Kemana Visi Riau?
Refleksi KritisUltah Kemerdekaan RI, Ultah Riau & Pilgubri 2013
Refleksi KritisUltah Kemerdekaan RI, Ultah Riau & Pilgubri 2013
Oleh: Intsiawati Ayus
Tak sampai 7 (tujuh) tahun dari sekarang kita sampai tahun 2020. Visi Riau 2020 yang tampak gagah dulu kini sepertiangan-angan lesu.Di tengah carut marut kondisi Riau seperti saat ini, visi seperti ini tentu menjadi utopia:“Terwujudnya Provinsi Riau Sebagai Pusat Perekonomian Dan Kebudayaan Melayu Dalam Lingkungan Masyarakat Yang Agamis, Sejahtera, Lahir Dan Bathin Di Asia Tenggara Tahun 2020”.
Lagipula, jika pemerintah mencanangkan tegaknya kemajuan Riau pada tahun 2020, syukurlah jika masyarakat faham& siap. Tapi sebagian besar sepertinya tidak. Bahkan para calon gubernur sekalipun.
Visi itu kini tampak bukan lagi visi sesungguhnya tapi lebih sekadar jargon. Cuma untuk membius masyarakat ke alam mimpi. Masyarakat banyak yang tak tahu apa-apa dan tak mengerti hendak dibawa kemana. Apalagi jika ditanya tentang cara agar bisa sampai tujuan tersebut. Bingung.
Mimpi Pusat Melayu
Dibalik segala yang ‘Wah’ dari kata-kata pejabat dan gedung-gedung yang dibangun, ternyata kita rapuh. Bermimpi untuk menjadi negeri pusat di wilayah Semenanjung ini, untuk menarik negara-negara persemakmuran Malaysia, Singapura, Kerajaan Brunei Darussalam berkiblat ke Riau secara ekonomi dan budaya? Kita perlu akui bahwa dengan kondisi seperti saat ini, panggang bukan saja jauh dari api, tapi apinya pun masih kecil.
Jika ditanya, di manakah kekuatan Melayu Riau? Kekuatan ekonomi? Kekuatan budaya? Kekuatan Politik? Kekuatan Sosial? Kekuatan Olahraga?Ratusan milyar bahkan triliunan kita belanjakan untuk even-even nasional-internasional, mengadakan pesta dan jamuanuntuk menjual diri dan menarik minat orang. Kedigdayaan kita sebagai daerah yang unggul pun nyaris tak begitu jelas. Yang kemudian terjadi hanyalah masalah dan masalah. Hasilnya pun sungguh-sungguh jauh dari sepadan.
Berapa total anggaran dan utang Riau dihabiskan untuk pembangunan venue dan berbagai infrastruktur pendukung?Dari hasil hearing DPRD Riau dengan Kepala Bapeda, diketahui utang Riau yang harus dibayar oleh Gubernur baru nanti mencapai lebih dari 1 triliun. Coba kita seimbangkan dengan dampak kemajuan ekonomi atau pengembangan UMKM. Berapa misalnya yang diperoleh UMKM dari souvenir atau makanan yang laku terjual? Ternyata boneka maskot PON, kaos, dan beragam pernak-pernikitu pun sebagian besardidatangkan dari pulau Jawa.
Jika menilik kesungguhan para pemimpin yang satu per satu menjadi pesakitan KPK. Kemudian mengukur capaian pembangunan selama ini, dan bercermin dari kesibukan Kita untuk membocorkan perahu bahkan menyasarkan arah kemudi demi kepentingan masing-masing, adakah pantas untuk optimis? Pastinya jauh dari realistis.
Belakangan ini Riau sudah menjadi tontonan yang tak elok bagi masyarakat Indonesia secara luas. Suguhan Debat Cagubri di salah satu TV swasta kemarin malah membuat itu semua semakin tidak indah. Apa yang tersisa dari marwah daerah? Tontonan itu malah menyajikan visi pembangunan ke depan yang semakin kabur sebagaimana kabut asap yang sering menyambangi Riau. Apa yang disampaikan para calon itu apakah cermin harapan masyarakat Kita?
Kita ternyata masih jago kandang. Kita cuma cakap meniru dan minim intelektualitas. Tak ada inovasi, yang ada hanya misi kepentingan. Kita sibuk becekau, sibuk bercakaran berebut kuasa sekaligus memamerkan kemiskinan visi. Di mana lagi tolok ukur eloknya budi Melayu tatkala para calon pemimpinnya mempertunjukkan perangai yang tidak elegan di depan publik?Bagaimana pula jadinya seorang calon gubernur tidak memahami tugas yang akan diembannya ke depan?
Kembali pada Resam
Jika kita jauh mendalami masalah-masalah Riau maka bisa jadi kita bisa diserang galau. Untunglah kata-kata sakti Hang Tuah masih bisa menghibur, “Tak kan Melayu hilang di bumi.” Kita masih punya harapan. Setidaknya kita patut masih punya keyakinan tak kan selamanya jadi batang yang terendam.
Resam Melayu adalah darah negeri ini. Kesempurnaan kemajuan Riau berarti tegaknya keelokan budaya Melayu. Tak ada artinya Riau maju, tapi jiwa Melayu luntur. Tak ada maknanya kita berjaya, jika adab yang tinggi ditanggalkan.
‘Politik Melayu’, itu judul olok-olok dari sebuah TV swasta nasional untuk menceritakan betapa absurdnya drama politik yang terjadi seputar proses Pilgubri 2013 ini. Kita tak tahu kejutan apa yang sedang menanti Riau. Tetapi masyarakat kitayang mudah terkejut jangan senang terlena dalam kejutan itu.
Sungguh kesuksesan tak ada maknanya sama sekali bagi orang yang sakit. Secara sosial masyarakat kita sudah saatnya menjalani terapi.Dan kita berharap kekuatan moral pemimpinlah yang menyembuhkan penyakit-penyakit sosial yang menjangkit masyarakat itu.
Inilah hakikat sebenarnya pemimpin. Sebelum mendabik dada mengaku diri sebagai pejuang rakyat, mereka perlu sadar bahwa kejayaan mereka tidak diukur dengan kemampuan mempersembahkankata-kata di hadapan rakyat. Sebaliknya, akan dinilai melalui ketinggian budi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan pekerti dalam menyembuhkan penyakit masyarakat.
Masyarakat saat ini butuh‘ditunjuk- diajar’ dan diberi teladan. Untuk meraih kemajuan sejati semua harus kembali pada jati dirinya melalui wasilah seorang pemimpin berteladan. Masyarakat patut menyadari kembali kelebihan-kelebihan yang dimilikinya agar diasuh dan diasah.Tapi, bagaimana jadinya jika justru para pemimpinnya sendiri yang sakit?
Kembalikan Tanah ke Masyarakat
Kemerdekaan RI ke-68 dan Ultah Riau ke-56. Kita memang gusar dengan waktu. Beban tanggungjawab memimpin Riau ke depan amat beratnya. Dengan umur segitu selayaknya kita sudahaman sejahtera bukan diambang bahaya sengsara.
Oleh karena itu Wahai Para Cagub-Cawagubri, agenda menyelamatkan Riau bukanlahagenda sisipan atau sambil lalu. Riau perlu digerakkan dengan gasing perubahan yang kencang. Komitmen untuk memastikan Melayu tidak tenggelam haruslah sejalan dengan komitmen untuk menambal lancang kuning. Tak ada gunanya layar terkembang jika perahu bocor.
Banyak masalah dan beragam kebutuhan yang belum terpenuhi.Apakah usaha para pemimpin untuk membasmi kemiskinan di Riau? Sejauh ini persoalan yang paling menyeruak di Riau adalah persoalan lahan. Tanahlah tempat hajat hidup, akses sumber pangan dan ekonomi. Itulah yang sudah direbut dari masyarakat. Saat ini kurang lebih 60 perusahaan yang mendapat HTI dan HGU dari pemerintah pusat yang sudah habis dan hampir habis izinnya. Riau perlu melakukan land reform dan land tanure. Tanah-tanah itu patut dikembalikan kepada rakyat dan pemangku adat.
Kita selayaknya memenuhi kebutuhan rakyat dengan solusi dan kejujuran. Janganlah para pemimpin menjadi sumber masalah dan pengkhianatan. Dengan keikhlasan kita dapat menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan masalah rakyat.
Kemajuan itu tak mengenal titik. Untuk mengejar matlamat baru dan mengembalikan marwah yang sedia ada, kita memerlukan para pemimpin baru yang lebih tinggi dinamikanya. Para pemimpin yang selayaknya memiliki energi dan semangat berlipat-lipat kali dibanding yang pernah ada.
Masyarakat Riausudah disuguhkan panggung, dengan beragam cerita yang mengandung decak kagum, dukungan, lucu, tawa, ironi, hingga cemooh dan pupusnya harapan. Adakah semuan tontonan itu jadi tuntunan? Kita masing-masing yang bisa menjawabnya.Wallahu a’lam.