GEOTIMES--Timbulnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan sangat merugikan masyarakat yang terkena dampaknya. Seluruh aspek kegiatan masyarakat hampir lumpuh total, baik dari segi kesehatan, pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Karenanya, bencana kabut asap ini sudah seharusnya diperhatikan serius pemerintah pusat maupun daerah.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI Intsiawati Ayus mengatakan, kasus kabut asap masih dipandang pemerintah sebagai peristiwa wajar yang biasa terjadi setiap tahun. Padahal, kasus ini terjadi karena ada unsur kesengajaan pihak-pihak terkait. Dan ini tentunya sangat merugikan masyarakat.
“Dalam suasana frustasi, akibat adanya kabut asap ini membuat potensi ekonomi daerah hilang yang jumlahnya cukup besar. Dalam kasus di Riau, misalnya, hilangnya potensi ekonomi daerah tersebut mencapai Rp 20 triliun. Artinya, angka ini hampir 2,5 kali lipat dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Provinsi Riau,” kata senator asal Provinsi Riau ini.
Dia menjelaskan, kabut asap di Riau sudah terjadi sepanjang 17 tahun. Artinya, jika dikalkulasi sepanjang tahun tersebut dikalikan dengan Rp 20 triliun, maka potensi ekonomi daerah Riau yang hilang mencapai Rp 340 triliun. Ini kerugian besar bagi daerah-daerah yang terkena dampak bencana asap tersebut.
Selain itu, dia juga mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan bencana kabut asap. Pemerintah seolah memelihara bencana ini sebagai proyek. Sebab, penanggulangan bencana asap tiap tahunnya menelan dana cukup besar. Alokasi anggaran pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk penyelesaian kabut asap dan pemadaman api saja sebesar Rp 1 triliun.
Belum lagi anggaran penanggulangan bencana lainnya di beberapa kementerian seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, dan kementerian lainnya. Sementara itu, di daerah juga ada Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang punya anggaran dana besar yang bisa dicairkan kapan pun untuk kepentingan tertentu
“Karenanya, apakah memang bencana kabut asap ini dipelihara atau sengaja dibiarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, untuk dimanfaatkan sebagai proyek. Sebab, sudah bertahun-tahun ini tidak ada penyelesaian yang konkret,” tutur Intsiawati.
“Pemerintah pusat maupun daerah seolah saling lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat bilang, itu kewenangan daerah. Sebaliknya daerah bilang itu kewenangan pusat.”