Lahirnya DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DALAM perjalanan sejarah, sejak pemerintahan orde lama, orde baru hingga masa transisi demokrasi, aspirasi masyarakat daerah sepertinya nyaris terabaikan. Bahkan pemerintah pusat sering menganggapnya sebagai penghambat pembangunan negara kesatuan RI. Pada banyak kasus, akumulasi kekecewaan masyarakat daerah telah memicu konflik dan geliat gerakan lokal untuk memisahkan diri. Sebut saja misalnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Negara Riau Merdeka (NRM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Semua itu tak lebih bersumber dari adanya ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah.
Perubahan politik Indonesia yang ditandai reformasi 1998 telah memberikan angin segar bagi upaya penataan sistem politik Indonesia ke arah yang lebih demokratis. Di antara upaya penataan tersebut adalah reformasi ketatanegaraan, yaitu melalui perubahan atau amandemen UUD 1945.
Salah satu fokus penting dalam amandemen tersebut adalah menentukan pola ideal hubungan pusat-daerah atau desentralisasi. Dari hasil pembahasan di MPR-RI mengenai pola baru desentralisasi ini kemudian keluarlah paket UU Otonomi Daerah pada tahun 1999 dan pembentukan lembaga baru khusus untuk perwakilan daerah pada tahun 2001. Lembaga baru ini selanjutnya dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI).
Paket kebijakan tentang Pemerintahan Daerah yang waktu itu tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 ternyata belum beranjak jauh dan hanya berkisar seputar persoalan demokratisasi politik di level pemerintahan daerah semata. Bahkan, dalam banyak hal, UU ini telah memberikan peluang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang di daerah. Demikian pula dengan hasil revisinya UU No. 34 tahun 2004 yang malah banyak menarik lagi peran daerah ke pusat.
Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah harapan baru bagi seluruh rakyat dan masa depan demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, melalui lembaga baru ini ruang aspirasi rakyat daerah dalam proses politik nasional masih bisa diperjuangkan dengan cara lain.
Tiap provinsi dari 32 region di Indonesia kini masing-masing memiliki empat anggota DPD, sehingga total wakil daerah se-Indonesia berjumlah sebanyak 128 orang. Hal ini berarti bahwa keanggotaan DPD tidak didasarkan atas jumlah penduduk (populasi) per provinsi. Dengan sistem seperti ini maka dipastikan bahwa DPD tidak didominasi oleh provinsi yang berpenduduk besar. Kebijakan yang demikian sungguh masuk akal dan baik karena telah menjamin keterwakilan daerah berbeda dengan DPR yang ditarik berdasarkan sistem proporsional jumlah populasi.
Kehadiran DPD sebagai badan legislatif ‘kedua’ tentunya perlu mendapatkan apresiasi positif dari semua pihak sebagai langkah penting dalam menata sistem pemerintahan yang demokratis. Lembaga ini sangat terkait dengan desakan dan keinginan untuk lebih meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional; serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah.
(Sumber: "Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban intsiawati Ayus, Anggota DPD-Ri Daerah Pemilihan Riau," Proklamasi Publishing House, Jakarta: 2005)