Intsiawati Ayus: “Perempuan Melayu dengan Segudang Inisiatif dan Antusiasme I”*
MERETAS KEMANDIRIAN
TELUK Belitung pada tahun 1968 adalah pedesaan yang sepi di Kabupaten Bengkalis, Riau. Sebuah daerah yang jauh dari hingar bingar politik dan pertarungan elit kekuasaan. Di lingkungan masyarakat petani karet dan sagu serta nelayan, pada tanggal 4 Mei tahun itu, Intsiawati Ayus dilahirkan. Lamat-lamat, peristiwa pergantian kekuasaan di Jakarta sampai juga di tanah itu. Intsiawati kecil memasuki zaman peralihan, tatkala masyarakat mulai menghirup atmosfir baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam suasana zaman seperti itulah, Iin, sebagaimana ia akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri Pematang Peranap (1981), Indragiri Hulu. Menjelang dewasa Iin meluaskan pergaulannya di Ibukota Pekanbaru dengan melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri 5 (1984) dan SMA Negeri 1 (1987). Tanpa menunggu terlalu lama, Iin meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Islam Riau (UIR) pada tahun 1992. Tak berhenti sampai situ, putri H. Asman Yunus dan Hj. Asnidar Yusuf ini kemudian menuntaskan Magister Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta pada tahun 2004.
Olahan pengalaman organisasi yang diracik dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari dunia pendidikan telah membangun sebuah kesadaran dalam diri Iin. Ia menatap Riau dan masyarakatnya. Baginya Riau bukan saja dikaruniai dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tetapi juga khazanah kekayaan budaya yang tinggi. Namun, itu semua ternyata tidak berkolerasi dengan tingkat kesejahteraan dan kemajuan peradaban masyarakatnya. Ia acapkali menyimak kata ˜keadilan sosial" atau ˜pemerataan ekonomi" serta berbagai jargon pembangunan yang diusung oleh pemerintah pusat kala itu. Tapi jargon itu ternyata kosong, bahkan tenggelam diterkam dengung mesin gergaji dan suara bor minyak yang bertalu-talu. Masyarakat Riau nyaris tidak merasakan hasilnya. Bahkan hak-hak masyarakat lokal pun dikebiri. Semua kekayaan SDA itu harus diterajui oleh Consensus Sapientum, kesepakatan orang-orang yang duduk di kursi empuk kekuasaan Pusat. Akibatnya, masyarakat yang aslinya sangat dinamis itu secara perlahan-lahan dilemahkan potensinya. Masalah minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai akibat dari lemahnya perekonomian dihantui oleh dalih untuk membenarkan stigma 'malas' yang melekat pada masyarakat Melayu.
Dari Kongres Rakyat Riau II Iin menangkap kegelisahan masyarakat atas segala ketidakadilan pusat di bumi lancang kuning itu. Opsi kemerdekaan adalah suatu keinginan yang sungguh amat wajar. Di samping kekayaannya yang melimpah ruah, Riau adalah jantung kebudayaan Melayu di Indonesia yang memiliki latar sosio-kultur-historis yang begitu teramat penting. Ikon kesusasteraan, keagamaan, dan intelektual yang tinggi serta bahasa standar lingua franca Nusantara tumbuh berkembang di bumi bertuah ini. Apalagi ikatan sejarah dan intensitas pergaulan masyarakat Riau dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia demikian tinggi. Dari dua negara itu saja masyarakat Riau dapat bercermin akan segala kekuatan, kemampuan, dan potensi yang dimilikinya.
Kata 'kemandirian' menjadi titik tolak kesadaran politik Iin. Dari sinilah Iin mengawali geraknya untuk menghimpun dukungan dari bawah dengan membawa sebuah visi, 'Riau Menuju Otonomi Khusus'. Ia tentu tidak sedang terjebak dalam primordialisme semu, sebab visi ini berangkat dari prinsip keadilan dan hak azasi sebuah komunitas. Masyarakat Riau harus memiliki kesempatan untuk memutuskan sendiri pengelolaan sumber daya alam mereka dalam sistem bagi hasil yang adil. Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam proporsi yang lebih seimbang dan adil adalah program pertama yang diusung oleh Iin.
Tetapi program itu tentu tidak cukup untuk menghadapi dilema masyarakat Riau. Pengelolaan SDA yang melimpah haruslah dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM. Peningkatan porsi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD Riau adalah program yang juga ia desakkan. Jalan menuju kemakmuran akan terbentang ketika keputusan-keputusan ekonomi Riau dilakukan lewat partisipasi penuh masyarakat Riau. Conditio sine qua non-nya adalah perimbangan keuangan dan peningkatan anggaran pendidikan.
Ketika syarat mutlak itu telah terpenuhi. Maka pola terpadu untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan SDA harus dijalankan di bawah satu payung hukum. Program ketiga ini berorientasi pada pemerataaan kesempatan ekonomi untuk seluruh masyarakat Riau. Sehingga penguasaan ekonomi tidak terkosentrasi pada segelintir elit dan pemilik modal. UKM dan penggunaan teknologi tepat guna untuk mengangkat potensi masyarakat bawah menurutnya perlu digalakkan. Untuk memastikan semua ini, maka jembatan komunikasi antara masyarakat daerah dengan wakil mereka di DPD harus terjalin dengan baik. Untuk itulah Iin mendesakkan urgensi program keempatnya, yaitu mendirikan kantor perwakilan DPD di setiap propinsi di Indonesia.
*(Kutipan Buku ‘Biografi Perempuan Parlemen’, Diterbitkan Kaukus Perempuan Parlemen, 2007)