DPD Dukung Pembentukan RUU Meteorologi dan Geofisika

Jakarta, KabarIndonesia- Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendukung pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Meteorologi dan Geofisika (RUU MG) untuk disahkan menjadi undang-undang (UU). Dalam RUU tersebut, BMG harus mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi ke-MG-an seperti iklim, cuaca, dan kegempaan.

Demikian argumentasi yang disampaikan pimpinan PAH II DPD dalam rapat kerja (raker) dengan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sri Woro B Harijono dan Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Henny Lilywati di Ruang PAH II DPD lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Selasa (9/9). Raker dipimpin Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus didampingi Wakil Ketua PAH II DPD Abdul M Kilian (Papua Barat).

Sri Woro menjelaskan, keunikan posisi Indonesia disebabkan bentuknya yang kepulauan, terletak di dua benua dan dua samudera, berada di lintasan khatulistiwa, luas wilayahnya dari Sabang hingga Merauke, memiliki tiga musim dengan rasio daratan lebih sedikit terhadap lautan. Tahun 2007 saja, 379 total bencana di Indonesia diakibatkan banjir, angin topan, tanah longsor, gelombang pasang atau abrasi, gempa bumi, serta letusan gunung berapi. Bencana tersebut mengancam keselamatan jiwa-harta dan meresahkan masyarakat. Karenanya, dibutuhkan informasi prediksi dan warning yang cepat dan akurat yang pengaturannya melalui Undang-Undang tentang Meteorologi dan Geofisika atau UU MG agar pengaturan kegiatan keiklimcuacaan dan kegempaan secara keseluruhan terakomodir.

Selain itu, UU MG memudahkan menetapkan lokasi pengataman serta menjamin keadaan lingkungan yang tidak berubah di lokasi pengamatan. UU MG akan menetapkan otoritas remsi yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi MG yang mendasari perencanaan dan operasionalnya seperti bagi transportasi darat, laut, dan udara; pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesehatan, konstruksi, dan energi.

“Selama ini, tidak ada rujukan atau legalitas yang terakomodasi dalam satu undang-undang,” jelas Sri Woro. Selanjutnya, tidak ada jaminan ketersediaan data yang representatif dan bersinambung karena kulaitasnya rendah dan tidak valid. Padahal, kesimpangsiuran informasi iklim, cuaca, dan kegempaan justru meresahkan masyarakat.
Ia mengklaim, kegagalan kegiatan pembangunan diakibatkan informasi iklim, cuaca, dan kegempaan tidak dijadikan sebagai pedoman.

Jika dibandingkan, UU MG telah dimiliki Jepang sejak tahun 1952, Filipina (1972), Perancis (1993), Jerman (1998), serta China (1999). Pembentukan RUU MG belum terlalu ketinggalan dan diharapkan penghujung tahun 2008 ini disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah menjadi UU.

Henny Lylywati mengatakan, banyak sekali hal-hal yang berkaitan meteorologi dan geofisika selain iklim, cuaca, dan kegempaan yakni kualitas udara, pasang surut, dan gravitasi yang bertujuan pemetaan dengan metode dan standar tersendiri. Karenanya, kemungkinan BMG bekerja sama selain dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum lainnya juga diperlukan penegasan sama dengan pihak asing dalam RUU jika pengamatan bersifat global.Anggota DPD asal Kalimantan Barat, Aspar, mendukung pembentukan UU MG. “Sekalipun Indonesia telah merdeka 63 tahun, kita belum mempunyai UU MG,” ujarnya. UU tersebut dibutuhkan karena keunikan posisi Indonesia beserta kemungkinan bencana yang mengancam keselamatan jiwa dan harta serta meresahkan masyarakat. Informasi keadaan tersebut harus diprediksi dan di-warning secara cepat dan akurat.

Ia memberi catatan. Menurutnya, rumusan RUU MG harus mengatur peran serta masyarat. “Peran serta masyarakat sangat penting dalam negara demokrasi. Jangan ditinggalkan, apalagi membiarkan mereka sebagai penonton saja.”

Selain itu, harus melibatkan pemerintah daerah mengingat bencana banyak terjadi di daerah-daerah. Apalagi, penyediaan lahan untuk pendirian stasiun pengamatan di titik-titik lokasi tertentu yang dana pembebasannya tidak selalu disiapkan pemerintah pusat. Muhammad Nasir (Jambi) mendukung pendapat Aspar karena yang berhadapan langsung dengan masalah ke-MG-an adalah pemerintah daerah. RUU MG harus mengatur agar pemerintah daerah memperoleh informasi terdini tentang iklim, cuaca, dan kegempaan. “Pemerintah daerah harus dilibatkan dengan segala macam konsekuensinya” tegas dia.M Jum Perkasa (Sumatera Selatan) juga berpendapat seharusnya Indonesia memiliki UU MG sejak dulu. Menurutnya, perencanaan pembangunan daerah dan operasionalnya ke depan berhubungan dan dipengaruhi perubahan lingkungan. Informasi prediksi maupun warning harus diketahui pemerintah daerah sejak awal sebelum rencana pembangunan daerah dioperasionalkan.

“Yang mengendalikan otonomi daerah adalah bupati, walikota, dan gubernur.” Ia mengatakan, sejak otonomi daerah diberlakukan banyak rencana pembangunan daerah dibuat asal-asalan tanpa mempertimbangkan hasil survei meteorologi dan geofisika. “Seolah-olah BMG hanya untuk cuaca, iklim, dan kegempaan,” ujar Jum. “Karena kebijakan pemerintah daerah tidak mempunyai payung hukum, yang menjadi korban adalah masyarakat.”

Nasir juga mengatakan, rumusan RUU MG harus disesuaikan dengan otonomi daerah, seperti pengaturan pembagian tanggung jawab Bupati, Walikota, dan Gubernur selaku pelaksana pemerintah daerah dengan Presiden selaku Pemerintah. “Apa tanggung jawab pemerintah daerah dan apa tanggung jawab pemerintah pusat.”

Ditekankan pula, UU MG menyangkut denyut nadi perekonomian masyarakat seperti penentuan musim tanam dan area penangkapan ikan. Karenanya, BMG yang terlambat menyampaikan informasi kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang tidak segera menindaklanjuti atau mengabaikannya alias tidak menyosialisasikannya harus dikenai sanksi. “Jadi, harus ada konsekuensinya,” tegas Nasir.

Nasir mengingatkan agar UU MG yang berlaku mudah dimengerti dan dipahami orang awam tanpa istilah ke-MG-an yang hanya dimengerti dan dipahami orang tertentu. “UU MG berlaku bukan hanya untuk yang mengetahui istilah ke-MG-an, tetapi untuk rakyat, untuk siapa saja. Kalau istilahnya sulit untuk awam berarti UU ini hanya untuk petugas dan pelaksana BMG.”

Wakil Ketua PAH II DPD memprihatinkan perlakuan terhadap BMG di masa lalu yang seperti anak tiri. Masa kini, PAH II DPD mendukung BMG menjadi mempunyai otoritas yang independen. “Tidak dianaktirikan lagi seperti dulu. Kantornya harus di sebelah kantor Gubernur.”

Menurutnya, BMG harus mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi ke-MG-an. “BMG harus berani,” tukasnya. Seiring dengan itu, UU MG harus menegaskan urutan atau hirarki organisasi kerja BMG dan hubungannya dengan pemerintah daerah termasuk cara mengeluarkan hingga diterimanya informasi.

Intsiawati juga mengingatkan UU jangan hanya melegalkan kerja BMG baik salah maupun benar juga kerja pihak ketiga yang mengganggu kerjanya seperti mendiseminasi informasi. Ketentuannya juga harus mempertegas hak masyarakat memperoleh informasi ke-MG-an. “Kapan waktu yang mewajibkan BMG menyampaikan informasi kepada masyarakat, harus dipertegas.”

DPD mendukung UU MG mempertegas penggunaan informasi ke-MG-an sebagai acuan kegiatan perencanaan dan opersionalnya. Bersamaan dengan itu, BMG dituntut mempersiapkan diri sebagai penyedia informasi dan diharuskan menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh Bagian Hubungan Antar-Lembaga dan Pemberitaan Sekretariat Jenderal DPD Penanggungjawab. A Djunaedi. (DPD/rac)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.