Menanti Lahirnya RUU Meteorologi dan Geofisika

***



BERITA DAERAH.COM-Indonesia mempunyai posisi yang sangat strategis sekaligus unik karena sebagai negara kepulauan, terletak di antara dua benua dan dua samudera serta berada di lintasan khatulistiwa.



Luas wilayahnya dari Sabang hingga Merauke membentang lebih dari 4.000 km, memiliki tiga musim dengan rasio daratan lebih sedikit terhadap lautan.



Letak yang unik itu memberi anugerah kepada bangsa Indonesia berupa kekayaan alam yang melimpah ruah, baik yang ada di permukaan, di dalam tanah hingga dasar samudera.



Di saat yang sama, anugerah itu juga menyimpan potensi bencana yang mengancam kehidupan dan harta benda jutaan orang yang mukim di negara itu.



Informasi kemungkinan terjadi bencana tersebut sudah seharusnya dapat diprediksi sehingga masyarakat bisa mendapat peringatan secara cepat dan akurat.



Sebagai contoh, sepanjang tahun 2007 tercatat sebanyak 379 bencana terjadi di Indonesia berupa banjir, angin topan, tanah longsor, gelombang pasang atau abrasi, gempa bumi, serta letusan gunung berapi.



Kenyataan itu menegaskan bahwa bangsa ini membutuhkan informasi prediksi dan "warning" ancaman bencana yang cepat serta akurat yang pengaturannya harus melalui perangkat perundang-undangan atau UU tentang Meteorologi dan Geofisika (UU MG).



Keberadaan UU tersebut dimaksudkan agar pengaturan kegiatan terkait iklim-cuaca dan kegempaan secara keseluruhan bisa terakomodir.



BMG diharapkan mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi mengenai kondisi perubahan iklim, cuaca, dan kegempaan.



Selain itu, UU MG juga bakal memudahkan menetapkan lokasi pengamatan serta menjamin keadaan lingkungan yang tidak berubah di lokasi pengamatan.



UU yang sama juga akan menetapkan siapa otoritas resmi yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi MG yang mendasari perencanaan dan pengoperasian transportasi darat, laut, dan udara, kegiatan pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesehatan, konstruksi, dan energi.



"Selama ini, tidak ada rujukan atau legalitas yang terakomodasi dalam satu undang-undang," kata Sri Woro, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).



Selanjutnya juga tidak ada jaminan ketersediaan data yang representatif dan bersinambung karena kualitas data yang ada saat ini dinilai masih rendah dan tidak valid.



Padahal, kesimpangsiuran informasi iklim, cuaca, dan kegempaan justru meresahkan masyarakat.



Woro mengklaim bahwa kegagalan kegiatan pembangunan saat ini banyak yang disebabkan oleh informasi iklim, cuaca, dan kegempaan yang tidak dijadikan sebagai pedoman.



Selain iklim, cuaca, dan kegempaan, menurut Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Henny Lilywati, masih ada banyak hal lainnya yang terkait dengan meteorologi dan geofisika yakni kualitas udara, pasang surut, dan gravitasi yang bertujuan pemetaan dengan metode dan standar tersendiri.



Karenanya, RUU MG itu nantinya perlu pula menegaskan bahwa BMG mesti bekerja sama dengan pihak asing apabila pengamatan bersifat global, selain dengan instansi pemerintah, pemda, dan badan hukum lainnya.



DPD Mendukung



Saat rapat kerja dengan Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa (9/9), kalangan anggota DPD menyatakan mendukung lahirnya UU MG itu.



"Sekalipun Indonesia telah merdeka 63 tahun, kita belum mempunyai UU MG," kata Aspar, anggota DPD asal Kalimantan Barat.



Karenanya wajar apabila RUU itu segera disusun untuk kemudian disahkan menjadi UU.



Namun, ia memberi catatan bahwa rumusan RUU MG itu harus pula mengatur peran serta masyarat.



"Peran serta masyarakat sangat penting dalam negara demokrasi. Jangan ditinggalkan, apalagi membiarkan mereka sebagai penonton saja," katanya.



Selain itu, pemerintah daerah juga harus banyak terlibat mengingat bencana itu banyak terjadi di daerah-daerah.



Apalagi, penyediaan lahan untuk pendirian stasiun pengamatan di titik-titik lokasi tertentu yang dana pembebasannya tidak selalu disiapkan pemerintah pusat.



Senada dengan Aspar, anggota DPD asal Jambi Muhammad Nasir menyatakan bahwa karena yang berhadapan langsung dengan berbagai masalah ke-MG-an adalah pemerintah daerah, maka RUU MG harus mengatur pula agar pemda memperoleh informasi dini tentang iklim, cuaca, dan kegempaan.



"Pemerintah daerah harus dilibatkan dengan segala macam konsekuensinya" katanya.



Terkait dengan otonomi daerah, rumusan RUU MG tentunya juga harus disesuaikan dengan sistem itu, seperti pengaturan pembagian tanggung jawab Bupati, Walikota, dan Gubernur selaku pelaksana pemerintahan di daerah dengan Presiden selaku pemerintah pusat.



Karena UU MG nantinya bakal menyangkut denyut nadi perekonomian masyarakat seperti penentuan musim tanam dan area penangkapan ikan, maka BMG yang terlambat menyampaikan informasi kepada pemda atau ada pemda yang mengabaikan informasi, maka mereka harus dikenai sanksi.



Harus diakui pula bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak rencana pembangunan daerah yang dibuat asal-asalan tanpa mempertimbangkan hasil survei meteorologi dan geofisika.



Ke depan, menurut anggota DPD dari Sumsel, M Jum Perkasa, perencanaan pembangunan daerah dan operasionalnya sangat berhubungan dan dipengaruhi perubahan lingkungan.



Dengan demikian, informasi prediksi maupun peringatan dini terkait kebencanaan harus diketahui kalangan pemerintah daerah sejak awal sebelum rencana pembangunan daerah dioperasionalkan.



Terkait dengan peningkatan kapasitas BMG, kalangan DPD yang telah memberikan dukungan bagi terlahirnya UU MG menuntut BMG agar lebih mempersiapkan diri sebagai penyedia informasi dan diharuskan menyediakan informasi yang memang benar-benar dibutuhkan masyarakat.



BMG juga dituntut untuk mempertegas hirarki organisasi kerjanya dan bagaimana pola hubungan dengan pemda, termasuk cara mengeluarkan hingga diterimanya informasi.



UU ini, kata Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus, diharapkan tidak hanya melegalkan kerja BMG baik salah maupun benar, tetapi juga kerja pihak ketiga yang mengganggu.



Ketentuan juga harus mempertegas hak masyarakat memperoleh informasi ke-MG-an. "Kapan waktu yang mewajibkan BMG menyampaikan informasi kepada masyarakat, harus dipertegas," katanya.



Jika dibandingkan dengan UU MG yang telah dimiliki Jepang sejak tahun 1952, Filipina (1972), Perancis (1993), Jerman (1998), serta China (1999), pembentukan RUU MG di Indonesia ini sebenarnya belum terlalu ketinggalan.



Karenanya diharapkan pada penghujung tahun 2008 ini RUU itu bisa segera disahkan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah menjadi UU.



(ANT/DJunaedi S).

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.