RUU Petani 80 Persen Petani Indonesia Miskin
Indopos, SUKABUMI
Petani memang tulang punggung. Tapi di negara agraris seperti Indonesia, nasib petani justru memprihatinkan. Delapan puluh persen kondisi mereka masih terpinggirkan. Mereka susah mendapatkan pinjaman modal untuk membeli bibit dan pupuk. ’’Karena itu, Komite II DPD RI membahas RUU perlindungan dan pemberdayaan petani untuk keluar dari kemiskinan.
Dengan RUU ini diharapkan pemerintah memiliki perhatian khusus untuk mereka,’’ kata Wakil Ketua Komite II DPD RI Intsiawati Ayus, SH MH dalam kunjungan kerjanya di Sukabumi, Selasa (21/2). Pemerintah, lanjut dia, harus lebih perhatian kepada petani dalam melindungi dan memberdayakannya. Yang menjadi tujuan RUU ini bukan petani-petani besar, melainkan petani yang tidak memiliki lahan atau lahannya di bawah 2 hektare, serta pupuk dan bibit menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk pengadaannya.
Untuk masalah tengkulak, kata Intsiawati, di dalam undang-undang ada pasal yang menyebutkan bahwa untuk penumpukan atau penimbunan bahan pangan dalam jumlah tertentu harus mendapatkan izin pemerintah. ’’Jadi diharapkan tengkulak itu bisa dikendalikan dan tindakan khusus untuk menangani masalah pangan,’’ kata anggota DPD RI asal Provinsi Riau ini.
Selain masalah tengkulak, kebijakan pemerintah tentang impor pangan juga masalah serius bagi para petani. ’’Seharusnya pemerintah tidak langsung mengambil kebijakan impor, tetapi dia harus menanyakan kepada organisasi atau perwakilan petani tentang kebijakan tersebut,’’ ungkapnya.
Menurut anggota DPD RI Bambang Soeroso asal provinsi Bengkulu, secara faktual dan realitas, ketika kita menuju swasembada pangan petani kondisinya sangat mengkhawatirkan. ’’Dari aspek produktivitasnya, seharusnya petani bisa mengakses keuangannya dengan mudah melalui perbankan.
Sehingga petani bisa mendapatkan modal,’’ ujar dia. Itu sebabnya, Komite II sepakat mendorong pembentukan bank khusus untuk kehidupan petani. Pihaknya juga membahas masalah tengkulak yang menjual beras subsidi dari pemerintah dengan harga jauh lebih mahal dari harga sebelumnya.
’’Sebenarnya ini masalah sistem yang sekarang memungkinkan tengkulak masih menimbun pangan,’’ terang dia. Sistem yang sekarang, lanjut dia, membuka peluang tengkulak bermain. Hampir di setiap daerah petani rugi akibat ulah mereka. Belum lagi masalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). ’’KUR tidak jalan, padahal anggarannya sudah Rp 14 triliun pada 2011 yang sangat merugikan petani kita,’’ imbuhnya.
KUR itu seharusnya bunganya rendah. Dan, kebijakannya, pinjaman di bawah Rp 20 juta tidak memerlukan agunan. Tetapi yang harus diagunkan jenis usahanya itu sendiri. ’’Kenyataannya itu tidak terjadi di lapangan.
Makanya petani sekarang ini menjadi subjek yang selalu dikorbankan akibat tengkulak dan KUR,’’ tutur dia. Jadi, tambah dia, Komite II ikut mendorong bank untuk petani karena bank tersebut harus memberikan treatment khusus yang memberikan kemudahan bagi petani yang akan meningkatkan produktivitasnya. (fdi)