Jakarta (Antara) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Intsiawati Ayus mengatakan sampai saat ini ada 54 undang-undang sektor yang tumpang tindih sehingga menjadi penyebab munculnya berbagai persoalan perizinan.
"Kami sudah teliti, sekarang ini ada 54 UU Sektor yang begitu tumpang tindih. Jangankan di tingkat implementasinya yang tumpang tindih, di tingkat regulasinya sudah tumpang tindih. Ini sumber persoalan," kata anggota DPD RI Intsiawati Ayus pada diskusi DPD RI Senayan Jakarta, Rabu. Diskusi Dialog Kenegaraan dengan tema "Memberantas Korupsi di Daerah" menghadirkan pembicara Anggota DPD RI Intsiawati Ayus, Direktur LPI Boni Hargens dan Ketua Gerakan Wakatobi Bersih Muhammad Daulat.
Lebih lanjut Intsiawati menjelaskan berbagai modus korupsi di daerah banyak terjadi pada pengeluaran surat izin. Khusus di Provinsi Riau, korupsi paling tinggi terjadi di sektor kehutanan, kemudian perkebunan dan baru di sektor tambang.
Menurut dia, modus untuk terjadinya korupsi dilakukan dengan pengeluaran surat izin."Selama ini cari korupsinya itu dilakukan dengan seksi. Kalau mau pilkada, banyak itu keluar surat kuasa pertambangan (KP)," kata senator asal Riau tersebut.
Intsiawati menjelaskan khusus di Riau, hampir seluruh jajaran terlibat korupsi. Gubernur dan empat bupati di Riau masuk ke KPK terkait korupsi kehutanan."Yang lebih mencengangkan, surat izin yang dikeluarkan luas lahannya lebih besar dari total luas lahan Kabupaten Pelalawan sendiri. Jadi rumah-rumah penduduk masuk juga," kata Intsiawati. Data yang ada di Kemendagri, dari 529 kepala daerah, sebanyak 58 persen atau 304 Kepala Daerah terlibat korupsi.
Intsiawati menilai kejahatan di SDA ini sudah masuk kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya juga harus luar biasa, tetapi ironisnya aturan yang ada saat ini, masih biasa-biasa saja.
Sementara Boni Hargens menjelaskan berbagai persoalan korupsi di daerah terjadi karena sistim bos-isme. Penguasaan politik di tingkat lokal hanya dimenangkan oleh segelintir orang. Ini sistim bos-isme," kata Boni.
Bos-isme ini bisa terdiri atas orang parpol, konglomerat, birokrat, elit tokoh masyarakat, bahkan bahkan bisa preman. "Korupsi politik di daerah subur karena akar sistim bos-isme lokal ini. Jadi musuh demokrasi lokal ini sistim bosisme," kata Boni.Menurut dia, untuk memutus mata rantai bos-isme ini sebetulnya tidak rumit; cukup memahami segelintir orang itu saja.
"Kami sudah teliti, sekarang ini ada 54 UU Sektor yang begitu tumpang tindih. Jangankan di tingkat implementasinya yang tumpang tindih, di tingkat regulasinya sudah tumpang tindih. Ini sumber persoalan," kata anggota DPD RI Intsiawati Ayus pada diskusi DPD RI Senayan Jakarta, Rabu. Diskusi Dialog Kenegaraan dengan tema "Memberantas Korupsi di Daerah" menghadirkan pembicara Anggota DPD RI Intsiawati Ayus, Direktur LPI Boni Hargens dan Ketua Gerakan Wakatobi Bersih Muhammad Daulat.
Lebih lanjut Intsiawati menjelaskan berbagai modus korupsi di daerah banyak terjadi pada pengeluaran surat izin. Khusus di Provinsi Riau, korupsi paling tinggi terjadi di sektor kehutanan, kemudian perkebunan dan baru di sektor tambang.
Menurut dia, modus untuk terjadinya korupsi dilakukan dengan pengeluaran surat izin."Selama ini cari korupsinya itu dilakukan dengan seksi. Kalau mau pilkada, banyak itu keluar surat kuasa pertambangan (KP)," kata senator asal Riau tersebut.
Intsiawati menjelaskan khusus di Riau, hampir seluruh jajaran terlibat korupsi. Gubernur dan empat bupati di Riau masuk ke KPK terkait korupsi kehutanan."Yang lebih mencengangkan, surat izin yang dikeluarkan luas lahannya lebih besar dari total luas lahan Kabupaten Pelalawan sendiri. Jadi rumah-rumah penduduk masuk juga," kata Intsiawati. Data yang ada di Kemendagri, dari 529 kepala daerah, sebanyak 58 persen atau 304 Kepala Daerah terlibat korupsi.
Intsiawati menilai kejahatan di SDA ini sudah masuk kejahatan luar biasa, sehingga penanganannya juga harus luar biasa, tetapi ironisnya aturan yang ada saat ini, masih biasa-biasa saja.
Sementara Boni Hargens menjelaskan berbagai persoalan korupsi di daerah terjadi karena sistim bos-isme. Penguasaan politik di tingkat lokal hanya dimenangkan oleh segelintir orang. Ini sistim bos-isme," kata Boni.
Bos-isme ini bisa terdiri atas orang parpol, konglomerat, birokrat, elit tokoh masyarakat, bahkan bahkan bisa preman. "Korupsi politik di daerah subur karena akar sistim bos-isme lokal ini. Jadi musuh demokrasi lokal ini sistim bosisme," kata Boni.Menurut dia, untuk memutus mata rantai bos-isme ini sebetulnya tidak rumit; cukup memahami segelintir orang itu saja.
(bengkulu.antaranews.com