WARTAHARIAN.CO-(Jakarta) Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD RI) memutuskan untuk menerima dua Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mengatur mekanisme pemilihan
gubernur, bupati, dan walikota, yakni Perppu Nomor 1/2014 dan Perppu
Nomor 2/2014. Rapat pleno mengesahkan pandangan tersebut di Gedung DPD
RI Kompleks Parlemen, Senayan - Jakarta, Kamis (15/01) siang.
Kamis (15/01) malam, Komite I DPD RI mengikuti rapat kerja (raker) Komisi I DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham). Dalam kesempatan itu, Komite I DPD bersama Komisi II DPR menyampaikan pandangannya.
Sementara Pemerintah menyampaikan keterangannya atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; serta RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketua Komite I DPD Akhmad Muqowam (senator asal Jawa Tengah) memimpin rapat pleno Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/01). Dia memberikan kesempatan kepada setiap senator guna menyampaikan pendapatnya sebelum pengambilan keputusan.
“Posisi (sikap) draw, jumlah yang menerima dan menolak perppu sama (banyak). Saya menerima perppu,” ucapnya, setelah dia mendata jumlah para senator yang menerima dan menolak perppu sama banyak.
Para senator memiliki alasan ihwal manfaat dan mudarat pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota), baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota (tak langsung) maupun rakyat (langsung). Setiap tahapan pemilihan memiliki masalah, baik tak langsung maupun langsung.
“Mudarat harus dihilangkan. Lewat DPRD, kita bisa mengawasi. Misalnya, 1-2,5 miliar per kepala. Apa iya? Berani? Saya menolak perppu, sikap ini tidak dipengaruhi kelompok mana pun,” tegas Juniwati Tedjasukmana Masjchun Sofwan (senator asal Jambi).
Untuk pemilihan tak langsung, masalah pada tahapan persiapan selama pencalonan partai atau gabungan partai seperti calon kepala daerah yang diajukan fraksi atau gabungan fraksi DPRD tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Calon kepala daerah memiliki kompetensi dan integritas rendah, dan politik uang selama pengusungan calon kepala daerah.
Sedangkan calon perorangan (independen) tidak bisa sebagai peserta pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Masalah pada tahapan pelaksanaan seperti politik uang selama pemungutan dan penghitungan suara.
Sedangkan masalah pada tahapan penetapan seperti DPRD menyandera kepala daerah dengan ancaman pemberhentian (impeachment), “balas budi” atau “balas jasa” antara kepala daerah dan fraksi dan gabungan fraksi DPRD, dan kepala daerah kurang memperhatikan rakyat serta pemerintahan dan pembangunan karena diajukan fraksi atau gabungan fraksi DPRD.
Untuk pemilihan langsung masalah pada tahapan persiapan seperti biaya banyak (mahal), bakal calon yang memiliki uang, populis, dan/atau kekerabatan; dan incumbent (petahana) mengerahkan sumber daya pemerintah daerah yang dikemas program/kegiatan terselubung. Masalah pada tahapan pelaksanaan seperti rawan konflik, politik uang, birokrat terbelah, dan kinerja birokrasi terganggu.
Bahkan pejabat daerah dimutasikan dan/atau dinon-job-kan; biaya banyak (mahal); hubungan sosial budaya masyarakat rusak (terfragmentasi), birokrasi dipolitisasi, dan penyelenggara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah berpihak atau tidak netral. Sedangkan masalah pada tahapan penetapan seperti tim sukses yang ikut mengatur dan mempengaruhi kepala daerah selama melaksanakan pemerintahan dan pembangunan, kelompok masyarakat membarter kepentingannya semisal menuntut penguasaan lahan dan pemekaran daerah, jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut tindak pidana korupsi bertambah, serta sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) bertambah.
Juniwati Tedjasukmana Masjchun Sofwan bersama Rijal Sirait (senator asal Sumatera Utara), Eni Sumarni (senator asal Jawa Barat), Ahmad Subadri (senator asal Banten), Yusran A Silondae (senator asal Sulawesi Tenggara), Abdul Azis Khafia (senator asal Daerah Khusus Ibukota Jakarta), dan Nurmawati Dewi Bantilan (senator asal Sulawesi Tengah) di pihak yang menolak perppu, karena mudaratnya yang banyak ketimbang manfaatnya. Sementara di pihak yang menerima perppu antara lain Akhmad Muqowam bersama Muhammad Mawardi (senator asal Kalimantan Tengah), Marthin Billa (senator asal Kalimantan Timur), Intsiawati Ayus (senator asal Riau), Jacob Esau Komigi (senator asal Papua Barat), dan Yanes Murib (senator asal Papua). (WH/DS)
Kamis (15/01) malam, Komite I DPD RI mengikuti rapat kerja (raker) Komisi I DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham). Dalam kesempatan itu, Komite I DPD bersama Komisi II DPR menyampaikan pandangannya.
Sementara Pemerintah menyampaikan keterangannya atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; serta RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 2/2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketua Komite I DPD Akhmad Muqowam (senator asal Jawa Tengah) memimpin rapat pleno Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/01). Dia memberikan kesempatan kepada setiap senator guna menyampaikan pendapatnya sebelum pengambilan keputusan.
“Posisi (sikap) draw, jumlah yang menerima dan menolak perppu sama (banyak). Saya menerima perppu,” ucapnya, setelah dia mendata jumlah para senator yang menerima dan menolak perppu sama banyak.
Para senator memiliki alasan ihwal manfaat dan mudarat pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota), baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota (tak langsung) maupun rakyat (langsung). Setiap tahapan pemilihan memiliki masalah, baik tak langsung maupun langsung.
“Mudarat harus dihilangkan. Lewat DPRD, kita bisa mengawasi. Misalnya, 1-2,5 miliar per kepala. Apa iya? Berani? Saya menolak perppu, sikap ini tidak dipengaruhi kelompok mana pun,” tegas Juniwati Tedjasukmana Masjchun Sofwan (senator asal Jambi).
Untuk pemilihan tak langsung, masalah pada tahapan persiapan selama pencalonan partai atau gabungan partai seperti calon kepala daerah yang diajukan fraksi atau gabungan fraksi DPRD tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Calon kepala daerah memiliki kompetensi dan integritas rendah, dan politik uang selama pengusungan calon kepala daerah.
Sedangkan calon perorangan (independen) tidak bisa sebagai peserta pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Masalah pada tahapan pelaksanaan seperti politik uang selama pemungutan dan penghitungan suara.
Sedangkan masalah pada tahapan penetapan seperti DPRD menyandera kepala daerah dengan ancaman pemberhentian (impeachment), “balas budi” atau “balas jasa” antara kepala daerah dan fraksi dan gabungan fraksi DPRD, dan kepala daerah kurang memperhatikan rakyat serta pemerintahan dan pembangunan karena diajukan fraksi atau gabungan fraksi DPRD.
Untuk pemilihan langsung masalah pada tahapan persiapan seperti biaya banyak (mahal), bakal calon yang memiliki uang, populis, dan/atau kekerabatan; dan incumbent (petahana) mengerahkan sumber daya pemerintah daerah yang dikemas program/kegiatan terselubung. Masalah pada tahapan pelaksanaan seperti rawan konflik, politik uang, birokrat terbelah, dan kinerja birokrasi terganggu.
Bahkan pejabat daerah dimutasikan dan/atau dinon-job-kan; biaya banyak (mahal); hubungan sosial budaya masyarakat rusak (terfragmentasi), birokrasi dipolitisasi, dan penyelenggara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah berpihak atau tidak netral. Sedangkan masalah pada tahapan penetapan seperti tim sukses yang ikut mengatur dan mempengaruhi kepala daerah selama melaksanakan pemerintahan dan pembangunan, kelompok masyarakat membarter kepentingannya semisal menuntut penguasaan lahan dan pemekaran daerah, jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut tindak pidana korupsi bertambah, serta sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) bertambah.
Juniwati Tedjasukmana Masjchun Sofwan bersama Rijal Sirait (senator asal Sumatera Utara), Eni Sumarni (senator asal Jawa Barat), Ahmad Subadri (senator asal Banten), Yusran A Silondae (senator asal Sulawesi Tenggara), Abdul Azis Khafia (senator asal Daerah Khusus Ibukota Jakarta), dan Nurmawati Dewi Bantilan (senator asal Sulawesi Tengah) di pihak yang menolak perppu, karena mudaratnya yang banyak ketimbang manfaatnya. Sementara di pihak yang menerima perppu antara lain Akhmad Muqowam bersama Muhammad Mawardi (senator asal Kalimantan Tengah), Marthin Billa (senator asal Kalimantan Timur), Intsiawati Ayus (senator asal Riau), Jacob Esau Komigi (senator asal Papua Barat), dan Yanes Murib (senator asal Papua). (WH/DS)