Peran DPD Belum Optimal

Jakarta, Suara Merdeka CyberNews. Setelah setahun masa persidangan, 128 anggota DPD RI merasakan fungsi, tugas, dan wewenang sesuai Pasal 22D UUD 1945 belum optimal. Hal antara lain disebabkan sistem bikameralisme hasil amandemen ketiga konstitusi bukanlah bikameralisme murni yang menjamin checks and balances.

Tidak heran, belakangan ini kerapkali bermunculan pertanyaan silih berganti menggugat keberadaan DPD. Gugatan bernama kecaman pun pernah dialamatkan kepada para anggota DPD RI dan lembaga DPD RI sendiri. Masa depan DPD RI kini menjadi taruhan.

Demikian intisari diskusi Satu Tahun Masa Sidang DPD RI: Ke mana arah hendak dituju? dan peluncuran buku "Menapak Tahun Pertama. Laporan Pertanggungjawaban Kinerja Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus, Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Riau".

Narasumber dalam diskusi adalah Bivitri Susanti (Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) dan Indra J Piliang (peneliti Centre for Strategic and International Studies). Intsiawati yang juga Wakil Ketua Panitia Perancangan Undang-Undang DPD serta anggota Panitia Ad Hoc II DPD RI ini turut memberikan tanggapan atas peran DPD selama ini.

Intsiawati mengatakan bahwa pembuatan buku merupakan hasil bincang-bincang dengan Ketua PAH II saat itu itu, Kasmir Tri Putra. Awalnya, laporan tersebut mencoba membuat sebuah buku yang dikemas sebagai informasi, khususunya agenda yang dilakoni seorang anggota DPD. “Masalah ruang lingkup atau agenda kerja dan kegiatan di wilayah kerja. Idealnya dapat diluncurkan satu institusi DPD.”

Bivitri mengatakan jika masih tetap seperti sekarang keadannya, maka DPD memang harus dibubarkan, karena yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukan seperti DPD sekarang. “Yang kita miliki belum merupakan bikameral atau belum bikameral yang efektif karena kata kuncinya adalah kompetisi antara dua dewan,” demikian Bivitri.

Chencks and balances selain terjadi antara dua lembaga, juga dalam parlemen itu sendiri. “Inilah yang dibangun sistem bikameral,” jelasnya. Sistem bikameral bertujuan menciptakan checks and balances untuk keseimbangan kedua lembaga. Ia memisalkan, ketidakseimbangan justru dimulai ketika pemilu di mana biaya yang mahal sekali justru terjadi untuk mengikuti pemilu DPD yang menyebabkan semua calon melarikan semua masalah ke DPR.

Dalam urusan tata negara, lanjut dia, ketidakseimbangan juga terjadi dalam hal usulan rancangan undang-undang. Karena bukan pengambil keputusan, maka sudah seperti menjadi harga mati bahwa setiap pembahasan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan pemerintah. “Harus digantikan dengan DPD yang seimbang dengan DPR,” ujar Bivitri.

Dikatakan, setelah DPD lahir lewat hasil amandemen UUD 1945, jika DPD kembali mengajukan amandemen secara politis akan susah lolos. “Sekali dibuka ia akan seperti kotak pandora, ada fraksi yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam atau federalisme. Mungkin orang per orang di DPR menyatakan setuju amandemen, tetapi fraksi belum tentu setuju.”

Ia menilai, kendala untuk mengajukan amandemen besar sekali kendati Kelompok-kelompok DPD sudah mengumpulkan tanda tangan sejak November tahun lalu. Mereka bahkan menggalang upaya sampai bekerja sama dengan daerah-daerah dengan pertimbangan memenuhi deadline usulan amandemen UUD 1945 menjelang 2007.

Sembari menunggu penjajakan amandemen, menurutnya, laporan tahunan orang per orang anggota DPD harus dilakukan untuk memperkuat posisi DPD. Laporan tahunan orang per orang akan semakin penting dan semakin lebih bagus jika dikeluarkan lembaga DPD.

“Dulu sempat ada laporang tahunan lembaga negara, tetapi sekarang tidak semua lembaga negara mengeluarkan laporan tahunan,” jelas Bivitri. “Sayang sekali DPD tidak mengeluarkan laporan tahunan. Padahal di sinilah letak perlunya penguatan DPD sementara waktu mengingat pembuatan laporan tahunan merupakan salah satu kunci penguatan.“

Penguatan DPD dengan langkah amandemen merupakan tujuan jangka panjang. Yang harus dibuktikan para anggota DPD terlebih dahulu sebelum mengajukan amandemen adalah bekerja optimal karena yang dilakukan selama ini belum berjalan efektif. “Kepemimpinan DPD menjadi kunci lain. Seharusnya kepemimpinan DPD bisa memainkan peranan ke arah mana DPD hendak dibawa,” ungkap Bivitri.

Lebih lanjut dikatakan, keberadaan DPD selama ini tidak diketahui masyarakat karena komuniksasi politik yang jarang dilakukan DPD kepada publik. Ia mencontohkan, DPD mempunyai laporan kunjungan kerja yang tebal dengan standar pelaporan yang baik, sayangnya tidak didiskusikan atau dipilah-pilah sesuai kebutuhan publik. Ini penting untuk mendukung apa pun yang mau dilakukan untuk penguatan DPD termasuk amandemen UUD 1945.

Bivitri menceritakan pengalaman ketika membicarakan amandemen dengan pimpinan komisi DPR. Pada dasarnya pimpinan tersebut menyetujui amandemen tetapi karena ia mengamati DPD belum ngapa-ngapain. “Apa pernah DPD membahas atau mengusulkan RUU? Belum pernah. Kalau sudah kok saya belum dengar.”

Seharusnya, menurut Bivitri, selama setahun ini diperjelas apa yang telah dilakukan DPD dengan memanfaatkan ruang gerak terbatas dengan memaksimalkan prosedur dan mekanisme internal sehingga banyak produk politik yang dihasilkan kemudian membawa segala hasil kerja ke ruang-ruang publik.

“Kalau pun dianggap tidak mempunyai fungsi bikameral yang sesungguhnya, satu hal yang harus diingat, secara rasional DPD bisa berperan. Peran dan fungsi ini harus diambil dengan memanfatkan serta mencoba segala bentuk komunikasi politik kepada konstituen. Ini tantangan peran yang harus dimainkan.”

Indra pun sependapat dengan Bivitri. Kalau kondisi dan situasi DPD masih sepenti sekarang maka lebih baik DPD dibubarkan saja. Mengenai buku laporan pertanggungjawaban, lanjut Indra, isi buku terutama memuat dialog Intsiawati dengan anggota masyarakat di berbagai daerah di Riau. “DPD bisa mendorong elit lokal berdialog dengan masyarakat.”

Menurut dia, DPD merupakan gagasan lama sejak tahun 1960-an seiring dengan munculnya sejumlah dari dewan-dewan di daerah sejenis Dewan Gajah yang memunculkan pemberontakan daerah agar di pusat dibentuk utusan-utusan daerah. “Jangan-jangan kita yang ketinggalan zaman, pikiran itu sudah muncul sejak 60-an. Tuntutan mereka adalah otonomi daerah dan pembentukan senat di tingkat pusat. Ide ini tidak mengemuka karena secara politik kalah. Kalau gagasan itu terlaksana barangkali pusat tidak akan sekuat sekarang,” jelasnya.

Indra mengatakan, persoalan di dalam tubuh DPD terletak pada kapasitas para anggota yang tidak semua seragam karena berasal dari tokoh-tokoh lokal atau kerajaan-kerajaan lokal seperti Pangeran Arief Natadiningrat dari Cirebon dan Ratu Hemas dari Yogjakarta, termasuk tokoh-tokoh agama. “Mereka selama ini bekerja tinggal panggil pesuruh, semua beres. Lembaga modern yang dulu terpikirkan dalam Komisi Konstitusi ternyata diisi sumber daya manusia dengan kapasitas jauh lebih tradisional dari anggota DPR.”

Kapasitas tradisional tersebut, lanjut Indra, terlihat dari sikap ewuh pakewuh kepada mereka apalagi mereka juga elit lokal yang mantan gubernur, bupati, walikota, atau pengusaha yang merasa menjadi anggota DPD hanya sekadar stempel saja. Akibatnya, anggota DPD yang lain bergerak secara individual dengan misalnya membentuk kaukus-kaukus di DPD yang ternyata jauh lebih aktif ketimbang DPD itu sendiri. “Ada situasi individualisme yang kuat di antara anggota DPD,” urai Indra.

Selain itu, struktur internal yang ditandai dengan pembentukan dikotomi antara Indonesia wilayah timur dengan barat justru berdampak negatif. Ia mencontohkan, di tingkat pimpinan DPD, Laode Ida mewakili wilayah timur dan Irman Gusman dari wilayah barat. “Kenapa harus timur-barat, kenapa bukan utara-selatan, kenapa bukan tengah-tengah. Satu DPD terdiri dari empat kamar. Dalam banyangan saya satu ruangan dari empat provinsi berbeda. Bagaimana bisa bersinergi antarmasalah provinsi sementara yang ketemu adalah teman-teman satu provinsi itu sendiri. Bagaimana upaya DPD berhadapan dengan DPR jika di dalam sendiri dikotomi geografi semakin dikentalkan.”

Selain itu, DPD seolah telah menjadi perwakilan provinsi sehingga setiap anggota DPD merasa harus mewakili daerah masing-masing. Daerah yang dimaksud adalah wilayah provinsi tempat anggota DPD berasal. Mekanisme internal seperti ini dapat menyebabkan keterkungkungan bagi anggota DPD. Contohnya, masalah Papua hanya dibicarakan anggota DPD dari Papua, begitupun masalah Aceh hanya menjadi pembicaraan anggota DPD dari Aceh atau Kaukus-kaukus DPD yang dibentuk untuk daerah-daerah konflik.

Dengan keadaan demikian, Indra mengibaratkan DPD seperti orang dengan mulut dikunci tetapi kaki dan tangan terbuka dengan membentuk kotak-kotak sendiri. Kalau DPD bersedia melakukan perubahan maka dapat dilakukan terhadap struktur internal DPD agar setiap anggota bisa berkiprah lebih bebas. “Dari sini barulah melangkah menuju amandemen UUD 1945. Kalau tidak mempunyai pengalaman yang bisa menjadi bahan referensi, susah juga. Kita hanya mengamandemen UUD 1945 hanya berdasarkan emergensi lagi, tidak berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraaan.” (habieb sl/Cn08)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.