Kejayaan dan Keistimewaan Melayu
DAHULU Melayu dikenal sebagai sebuah peradaban yang agung dan bangsa yang hebat. Pengaruh kekuasaannya yang luas dan hubungannya dengan berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Singasari, Sriwijaya dan Majapahit sampai abad ke-7 telah dicatat oleh I-tsing, sang pengembara dari Cina.
Menurut sejumlah pakar sejarah, istilah Melayu sudah muncul sejak lama. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan keagungan dan kegemilangan sebuah kerajaan-bangsa. Dalam kitab Sejarah Melayu, Sulalatus-Salatin, istilah Melayu adalah nama yang diberikan pada keturunan Sultan Malaka, yang berdasarkan mitologi, merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain.
Menurut catatan sejarah, Raja Melayu pertama turun dari Bukit Siguntang, Palembang yang kemudian berkembang hingga terbentuk Kerajaan Malaka oleh Parameswara. Dengan berkembangnya Islam di kerajaan Malaka maka makin kokohlah kemuliaan serta kejayaan Melayu. Peristiwa peng-Islam-an Raja Malaka yang diawali dengan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW secara tersirat menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tinggi martabatnya. Bangsa yang terangkat kemulian lantaran dimahkotai oleh agama Islam. Kesultanan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah Sultan Muzafar Shah dan Sultan Alaudin Riayat Shah yang arif dan bijak. Di bawah pemerintahan mereka, Kesultanan Melayu memperluas kekuasaannya, termasuk menjalin perdagangan antar bangsa hingga Kepulauan Ryukyu, Jepang.
Laksamana Hang Tuah dan lima sahabatnya, serta Bendahara Tun Perak, merupakan tokoh-tokoh Melayu yang terkenal pada saat itu. Dengan kekuatan perdagangan,pengaruh politik, dan Islam, Kerajaan Cina tertarik menjalin hubungan diplomasi dan perdagangan dengan kesultanan Melayu. Hubungan itu makin dikukuhkan dengan perkawinan puteri Cina, Hang Li Po, dengan Sultan Muzafar Shah. Dasar inilah yang menjadi titik permulaan Kesultanan Melayu menjalin hubungan dengan Cina.
Tak sampai di situ saja, peradaban Melayu semakin gemilang manakala bahasa Melayu menjadi lingua-franca yang dituturkan sebagai bahasa perdagangan dunia. Para pedagang Cina dan India, misalnya, menjadikan bahasa Melayu menjadi medium penuturan yang digunakan tidak saja di Malaka tapi hingga seluruh Nusantara. Sampai saat ini bahasa Melayu sudah menjadi bahasa keempat dunia yang dituturkan lebih kurang 250 juta orang.
Inilah cerminan dari sebuah bangsa yang kuat dan berpengaruh. Di samping itu, bahasa Melayu yang dinamis adalah kelebihan bahasa ini dalam menyerap berbagai pengaruh dan penerapan frase ilmu pengetahuan dari sejak zaman Hindu-Buddha sampai setelah kedatangan Islam, dan semua ini menegaskan kemauan orang Melayu untuk berubah menjadi bangsa yang lebih baik kedudukannya. Sejarah lalu juga telah menunjukkan bagaimana kehebatan bangsa Melayu bukan hanya terletak pada kejayaan material semata-mata, tetapi juga pada sendi budaya dan adat yang bernafaskan Islam. Inilah yang memikat kekuatan kekuasaan asing untuk memperebutkan bumi bertuah.
Jika sampai pada pembahasan sastra Melayu, sampailah kita pada Riau. Hingga saat ini sastra Melayu-Riau telah memoles warnanya yang amat mencolok dalam khazanah sastra Indonesia. Dalam sebuah wawancara di Pekanbaru pada tahun 1999, manakala sejumlah daerah sedang menuntut kemerdekaan dan mempersoalkan otonomi, seorang penyair terkenal Sutardji Colzum Bachri menyatakan bahwa hal yang sangat konkret bagi Riau adalah ‘negara kata-kata’. Menurutnya eksistensi orang Riau adalah katakata. Kosmologi mereka adalah kata, demikian tegas Sutardji. Apa maksudnya? Sutardji mengungkapkan sebuah pernyataan ringkas, “Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa.
Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra. Beranjak dari kenyataan itu, sastra Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan-percobaan dan eksperimentasi.” Raja Ali Haji, tokoh sastrawan dan intelektual Riau memang telah menorehkan bukti sejarah konkrit tentang kontribusi masyarakat Melayu- Riau bukan saja sastra Indonesia tapi juga dunia intelektual. Tengok saja karya-karyanya, mulai dari 'Hikayat Abdul Muluk' (1846), 'Gurindam Dua Belas' (1847), 'Muqaddimah fi Intizam' (1857), 'Kitab Pengetahuan Bahasa' (1869) dan 'Silsilah Melayu dan Bugis' (1865), sampai karyanya yang monumental 'Tuhfat an-Nafis' (1866).
Semua ini menggambarkan tentang Melayu yang begitu intelek yang didukung oleh penyebaran Islam dan dukung pemerintah terhadap pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Sungguh tak heran jika istana kemudian dijadikan sebagai pusat pengajian ilmu dan tempat para ulama berkumpul. Banyak masjid dan sekolah pondok serta madrasah didirikan dengan maksud untuk membina keunggulan bangsa Melayu, dan semua rakyat berpeluang menerima ilmu yang dapat memajukan mereka.
Kemunculan kaum intelektual, cendekiawan, serta ulama yang termasyhur dengan berbagai karyanya di bidang pengetahuan, agama, dan filsafat menjadi ukuran bahwa bangsa ini sebenarnya adalah bangsa yang mementingkan ilmu pengetahuan. Tradisi Melayu ini diwarisi juga oleh Aceh dan Johor yang mengembangkan ilmu dan pengetahuan.Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah karena menjadi pusat pengkajian agama seperti di Malaka. Pusat pengkajian agama ini kemudian melahirkan ulama-ulama seperti Abdul Rauf Singkel dan Samsudin Al-Sumatrani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mereka melanjutkan institusi Baiturahman sehingga banyak melahirkan pemikir Melayu.
Keistimewaan Melayu juga didukung oleh warisan budaya dan adatnya yang kaya, mulai dari syair, pantun, sepak raga, congkak hingga tarian-tarian yang memiliki cita rasa estetis tinggi. Pewarisan ini juga menjadi semacam pesan pada generasi kini bahwa di dalam kesenian itu juga sebenarnya ada unsur nasehat yang menjadi pedoman untuk menjadi bangsa yang hebat. Begitu juga dengan perilaku orang Melayu, semuanya penuh dengan simbol ketinggian pekerti, melalui budi bahasa dan sopan santunnya. Melayu dikenal sebagai bangsa berbudi yang suka menabur budi kepada orang lain. Jiwa gotong-royong dan rasa kekeluargaan apalagi tatkala melihat tetangga dan saudara seagama, mereka bagaikan satu keluarga. Begitu pula dengan sifat hormat-menghormati dan kasih sayang yang diungkapkan dalam pantun, syair dan madah gurindam warisan nenek moyang yang selaras dengan tuntunan Islam itu, bagai kata pepatah, “Yang tua dihormati dan yang muda dikasihi”. Nilai-nilai inilah yang meletakkan Melayu sebagai bangsa besar dimana kebesaran ini telah membedakannya dengan peradaban lain di dunia. Oleh sebab itulah kita perlu membangun setelah jatuh, karena kita percaya untuk menjadi bangsa yang unggul tidak pernah ada titik akhirnya…