“Jadi, kalau ada yang ingin membubarkan DPD berarti mau membubarkan NKRI. Di mana fungsi utama kelahiran DPD RI adalah untuk memperkuat otonomi daerah sekaligus memperkuat NKRI,” tegas Intsiawati Ayus dalam dialog kenegaraan ‘Penguatan fungsi lembaga perwakilan di Indonesia’ bersama pimpinan Kelompok DPD di MPR RI Nurmawati Dewi Bantilan, guru besar hukum UKI Mukhtar Pakpahan dan pengajar hukum UGM Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (10/2).
Seperti dikutip Halloapakabar.com, menurut Intsiawati, tidak semua kebutuhan masyarakat itu bisa dipenuhi oleh DPR RI, sehingga harus diakomodir melalui DPD RI. “Kita memahami bahwa masih banyak daerah yang tertinggal, miskin, tidak punya listrik, krisis air bersih, transportasi yang buruk dan lain-lain, maka dibutuhkan kehadiran DPD RI,” ujar senator asal Provinsi Riau itu.
Hal senada dikatakan Nurmawati, jika kelahiran DPD RI ini sebagai perjuangan sejarah reformasi yang menyadari pentingnya daerah, karena kekayaan sumber daya alam (SDA) ada di daerah, yang diharapkan bisa dikelola dengan optimal untuk kesejahteraan daerah dan sebagainya. “Sama halnya dengan lahirnya KPK. Maka, lahirnya DPD ini tak kalah pentingnya dengan KPK,” katanya.
Tapi, kalau dinilai kinerjanya belum maksimal, itu kata Nurmawati, karena kewenangan yang diberikan juga terbatas. Padahal, kalau DPD RI tak ada, mungkin Aceh, NTT dan Papua sudah lepas dari NKRI. Karena itu, otonomi daerah harus diperkuat untuk mendukung NKRI. Sehingga membubarkan DPD RI berarti akan menambah masalah, dan bukan menyelesaikan masalah,” ungkap anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah itu.
Mokhtar Pakpahan menegaskan jika dirinya mendukung penguatan DPD RI dan bukan membubarkannya. Hanya saja ketika kekuatan itu diberikan dia berharap DPD RI jangan sampai ‘melacurkan diri’ untuk misalnya barter politik UU dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Sebagaimana halnya dilakukan oleh DPR RI selama ini.
Mengapa? Karena DPR RI itu tersandera kepentingan parpol dan kelompok. “Jadi, problemnya DPD ini memang politik. Yaitu, mau tidak DPR RI membagi kewenangannya dengan DPD RI, karena sampai saat ini meski ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga tidak berjalan. Maka masalah bukan hukum dan konstitusi, melainkan politik,” tambahnya.
Menurut Mokhtar, kehadiranDPD ini sebagai kebutuhan reformasi untuk penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, maka lahir KPK, dan untuk legislasi (UU) lahirlah DPD RI. Di mana kehadiran DPD diharapkan menjadi jalan tengah antara Presiden RI dan DPR RI dalam pembahasan RUU. Mengapa? Sebab, sulit berharap kepada politisi. “Misalnya Kejagung, yang diminta direshuffle, itu karena ada kepentingan politik dalam menjalankan tugasnya. Termasuk mendukung revisi UU KPK,” ungkapnya.
Dengan demikian dia menyarankan DPD RI yang sudah dekat dengan rakyat selama ini harus ditingkatkan lagi, dan menyampaikan bahwa perjuangannya dalam legislasi, anggaran dan pengawasan selama ini yang dinilai belum maksimal adalah akibat kewenangan yang terbatas dan masih tergantung kepada DPR RI.
Zainal Arifin berpendapat jika seluruh analisis menyatakan DPD dibutuhkan. Di mana kehadiran DPD RI itu untuk memperkuat sistem dua kamar (DPR dan DPD). Anomalinya, sistem dua kamar itu belum berjalan sebagaimana mestinya. Padahal di UU, DPD ikut membahas, tapi dalam UU MD3 pembahasan sampai tahap kedua, yang seharusnya sampai tiga tahap pengambilan keputusan. “Jadi, peran DPD RI belum naik kelas dan terjadi proses pengerdilan yang sistimatis,” katanya.
Sama halnya dengan sistem politik ketatanegaraan selama ini, yang seharusnya presidensil, tapi faktanya semi parlemen. Karena itu jalan satu-satunya menurut Zainal, adalah amandemen UUD 1945. Dan DPD sebagai produk reformasi, kalau dibubarkan, maka MK, KY dan KPK juga bisa bubar.
Yang pasti kata Zainal, Indonesia belum menyepakati seperti apa dan bagaimana seharusnya DPD RI ini? “Lokus-nya belum disepakti. Disamping legitimasinya yang masih rendah, akibat problem politik dan bukan konstitusi. Hanya saja kalau DPD RI minta sama kewenangannya dengan DPR RI, berarti meminta deadlock politik. Di mana begitu pandora politik itu dibuka, maka berbagai logika kejahatan akan muncul. Semisal GBHN, itu kontraproduktif dengan sistem presidensil,” pungkasnya. (fri/rdp)