Pasang Surut Hubungan Antar Lembaga DPR dan DPD RI


Jakarta, dpd.go.id - Dewan Perwakilan Daerah RI dalam waktu dekat akan meminta pendapat Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan beberapa pasal dari UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang terkait dengan wewenang DPD. Dari proses tersebut diharapkan ada tafsir resmi yang mengatur hubungan kelembagaan antara DPR dan DPD RI. Selama ini, DPD merasa DPR telah mengabaikan wewenang DPD untuk ikut serta dalam pembahasan RUU tertentu yang menjadi domain DPD. Hal tersebut menjadi topik bahasan dialog interaktif Perspektif Indonesia dengan tema “Memecah Kebekuan Hubungan DPR-DPD,” Jum’at (07/09/2012) di Pressroom DPD RI.

Hadir sebagai wakil DPD, Senator asal Provisi Riau, Intsiawati Ayus, menyatakan bahwa dalam judicial reiview ini DPD RI berada dalam posisi meminta MK menafsirkan bukan melakukan gugatan kewenangan antar lembaga Negara. “Saya sendiri memahami bahwa Undang-undang merupakan produk kompromi politik, maka dari itu kami meminta MK untuk membuatkan tafsir sesuai konstitusi bagaimana sesungguhnya makna dari kata-kata “ikut membahas” dalam UU MD3,” ujar Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR ini.

Di DPR RI sendiri, saat ini sedang dibahas RUU revisi atas UU MD3. Menurut anggota Komisi III DPR RI dari FPAN, Taslim Chaniago, akan lebih baik jika DPD menunggu proses pembahasan revisi UU MD3 ini selesai baru mengajukan judicial review jika masih terdapat pasal-pasal yang dinilai kurang jelas. “Pengajuan judicial review ke MK saat ini justru akan kembali membuat hubungan antara kedua lembaga menjadi beku, ” kata Taslim.

Sebagai lembaga perwakilan, baik DPD maupun DPR seharusnya menjadi mitra yang sejajar (equivalent partner). Namun jika satu pihak memiliki kewenangan sangat besar sementara pihak lain hanya diberi kewenangan yang sangat terbatas, maka akan sulit terjadi check and balances antar kamar dalam parlemen. Pengamat Politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa saat ini Indonesia berada dalam tahap pematangan demokrasi. “Dalam proses pembentukannya, DPD RI sering dianggap sebagai lembaga premature. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang tugas dan fungsi DPD,” terang Ikrar. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada penjelasan yang memperjelas posisi DPD.

Salah satu hal yang harus segera dilakukan menurut Refly Harun adalah mengupayakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Tujuan judicial review ini adalah untuk meminta penafsiran yang jauh lebih fixed ketimbang penafsiran yang dimiliki pembentuk Undang-undang,” jelas Refly. Selain itu, pengamat Hukum Tata Negara ini juga menegaskan pentingnya kesepakatan bangsa terhadap DPD. “Apakah kita masih butuh DPD atau tidak?” ungkapnya yang kemudian melanjutkan bahwa Indonesia masih membutuhkan DPD yang mewakili daerah. (af/saf)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.