Polemik agraria, pusat & daerah beda kepentingan

Sindonews.com - Wakil Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Intsiawati Ayus mengatakan, daerah dan pusat tidak pernah satu kata dalam mengatasi kasus agraria. Beda kepentingan antara DPD dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan kendala utama dalam penuntasan kasus agraria di daerah.

"Apa yang menjadi prioritas DPD dan DPR itu tidak pernah sama dari semua apapun," ujarnya saat talk show DPD perspektif Indonesia "Mungkinkah menuntaskan Konflik Agraria" di Pressroom DPD, Jakarta, Jumat (20/1/2012).

Bahkan setelah DPD melakukan pertemuan dengan DPR, hampir tiap kali tidak pernah mendapatkan satu suara bulat dalam mengentaskan kasus agraria yang terjadi. Padahal, dalam setiap kasus agraria, pihak yang paling berwenang dan mengetahui duduk perkaranya adalah DPD.

"Konsultasi antara DPD dengan DPR selalu menemui kebuntuan. Pendekatan dan kepentingan DPR dengan DPD, selalu berseberangan dalam menyelesaian konflik agraria," keluh anggota DPD Provinsi Riau ini.

Ditambahkan dia, untuk konflik agraria sebenarnya sudah dirumuskan sejak 1960 silam. Saat itu, pernah dibentuk panitia reformasi agraria untuk mengatasi persoalan pertahanan yang terjadi di sejumlah daerah sesuai dengan TAP MPR No.9 Tahun 2001. Namun hal itu tidak pernah direalisasikan.

"Kemudian saya pun pernah bersosialisasi dan datang ke Kapolri, karena pernah ada kesepakatan bersama antara Kapolri dengan BPN pada 2009 dalam penanganan konflik agraria," terangnya.

Dalam TAP MPR tentang agraria itu dijelaskan, daya agraria dan sumber daya alam (SDA) saling tumpang tindih dan bertentangan. Dinyatakan juga, dalam pengelolaan sumber daya agraria dan SDA harus menjunjung tinggil keadilan yang berkelanjutan, dan ramah lingkungan.

Adapun caranya adalah dengan terus melakukan koordinasi secara terpadu, berdinamika, aspirasi dan melibatkan masyarakat dalam setiap menyelesaikan konflik. Bahkan dalam pasal 4 poin b dinyatakan, pembaruan agraria dan pengelolaan SDA harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Namun dalam praktiknya, sering kali penyelesaian kasus agraria dan SDA justru mengabaikan HAM. Seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya. Petani dan warga yang menolak pengeksploitasian kawasan perkebunan dan tambang ditumpas dengan kekerasan bersenjata oleh aparat kepolisian. (san)

(hri)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.