Menderitalah Mereka yang dari Daerah

Jakarta, Koran Tempo-Pagi itu, Intsiawati Ayus tampak gugup dan bingung. Berkali-kali ia merogoh tasnya, tapi yang dicari tak kunjung ketemu. Kasir pasar swalayan yang ada di hadapannya kelihatan tak sabar. Tatapannya mulai menyelidik. "Alamak, dompetku tertinggal!" bisik Intsiawati dalam hati. Tertinggal dalam taksi, maksudnya.

Untunglah, drama satu babak yang terjadi pada Kamis (14/10) lalu segera berakhir. Ottaya, ajudannya, membawa cukup uang untuk menebus beberapa kantong plastik belanjaannya hingga Iin tak terlalu lama menanggung malu. Dia langsung menelepon bank untuk memblokir rekeningnya karena kartu ATM-nya ikut raib bersama beberapa lembar uang merah bergambar gedung MPR/DPR.

Tak lama berselang, seseorang dengan bahasa "Tarzan" Inggris campur Indonesia, dengan logat Korea, menelepon dan menjelaskan menemukan dompet Iin--panggilan Intsiawati--dalam taksi yang sama. Iin kontan menarik napas lega.

Namun, senator itu harus lebih dulu diinterogasi oleh warga Korea tersebut, yang ingin memastikan bahwa dompet itu benar milik Iin. Layaknya interogator di bandara, orang Korea itu mencocokkan tempat dan tanggal lahir serta identitas Iin lainnya yang tertera di kartu tanda penduduk.

Mungkin apa yang baru dialami Iin bisa menjadi kenangan tak terlupakan. Cerita itu seolah melengkapi perjalanan nasibnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru beberapa waktu lalu tinggal di Jakarta. Selama di Ibu Kota, anggota DPD dari Riau ini sehari-hari menggunakan jasa taksi.

Maklum, ibu dengan dua anak itu tidak membawa mobilnya ke Jakarta. Ia tidak tahu kapan akan mendapatkan fasilitas mobil sebagai anggota dewan. Berapa persis gajinya, ia juga belum paham. "Sampai saat ini masih blank," ujarnya.

Ia memang sempat mendengar bahwa fasilitas mobil baru akan diberikan pada Desember mendatang. Selama anggota dewan belum mendapat fasilitas itu, akan disiapkan bus antar-jemput dari hotel ke kantor.

Soal antar-jemput itu, ia membayangkan keadaan itu seperti anak-anak sekolah. "Asramanya bareng, berangkatnya naik bus kayak bus sekolah saja," kata wanita kelahiran Teluk Belitung 4 Mei 1968 itu sembari tertawa.

Begitu pula soal fasilitas rumah. Sejak persidangan dimulai Oktober ini, Iin dan 127 anggota DPD lainnya ditampung di Hotel Mulia Senayan. Tapi, 13 Oktober lalu, mereka dipersilakan pulang ke daerah masing-masing untuk melakukan kegiatan internal provinsi.

Iin memilih tetap tinggal di Jakarta. Karena itu, ia tidak mengambil uang untuk pulang ke daerah. Pikirnya, dengan cara begitu dia bisa tinggal di Hotel Mulia. Ternyata Iin kena charge Rp 800 ribu per malam. Kontan, ia hengkang ke hotel lain yang lebih murah.

Dengan harga setengahnya, Iin mendapatkan unit lebih besar dan pelayanan lebih memuaskan. Fasilitasnya meliputi dua kamar tidur, ruang tamu, dapur, kamar mandi, makan pagi gratis, mesin cuci, magic jar, peralatan makan, dan panci. "Di (Hotel) Mulia, cuma kamar thok," tutur wanita berjilbab ini.

Namun, ya itu tadi. Semua biaya ia tanggung sendiri. "Berbahagialah mereka yang sudah menetap di Jakarta, menderitalah mereka yang dari daerah," katanya. Baru pada 17 Oktober, para anggota dewan diperkenankan kembali masuk ke Hotel Mulia, untuk mulai bersidang kembali di gedung MPR/DPR Senayan keesokan harinya.

Selanjutnya, pihak Sekretariat Jenderal MPR menetapkan, mulai 21 Oktober semua anggota dewan dari daerah akan ditempatkan di sebuah apartemen di Jakarta Barat. Tapi, masih belum jelas baginya sampai kapan tinggal di sana.

"Sampai saat ini, mereka (Sekretariat Jenderal MPR) tidak berani menjawab," tutur perempuan yang sebelumnya berprofesi pengacaranya ini. Sebelumnya, menurut Iin, pihak sekretariat mengatakan, mereka akan tinggal di apartemen sampai Desember tahun ini.

Iin sendiri mengaku kurang sreg tinggal di sana. Kalau boleh memilih, ia lebih suka tinggal di rumah daripada di apartemen. Budaya di apartemen, menurut dia, lebih tertutup Selain itu, kedua anaknya lebih terbiasa dengan dunia rumah. "Mungkin, sebulan di apartemen, anak-anak saya bakal mencari halaman," katanya. (indra darmawan)

Golkar Masih Unggul di Riau

Pekanbaru, detikNews- Berdasarkan hasil hitungan sementara yang diterima KPUD Riau pada 7 April 2004 hingga pukul 07.30 WIB, untuk suara DPR RI, Partai Golkar masih berada di urutan teratas meninggalkan partai-partai lainnya. Berdasarkan data yang masuk, jumlah suara Golkar untuk DPR RI mencapai 4.982 suara.

PDI Perjuangan dengan 1.322 suara pada posisi kedua. Berikutnya, tanpa disangka partai baru di bawah pimpinan Zainuddin MZ, Partai Bintang Reformasi (PBR) untuk sementara mempu mengungguli PAN dan PPP. Hingga saat ini PBR mampu merah 1.001 suara, sedangkan PPP 869 suara yang selanjutnya menyusul PAN 836 suara.

Namun, kondisi ini akan terus berumbah karena belum seluruh kabupaten di Riau melaporkan hasil perhitungan suaranya ke KPUD Riau.

Sementara itu, berdasarkan hasil perhitungan suara untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Riau di KPUD Riau hingga pukul 07.30 WIB, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Riau Soemardi Thaher memimpin dengan 83 suara.

Kemudian di urutan kedua, ketiga, dan keempat terdapat tokoh-tokoh masyarakat setempat, yakni Rahman Akil (76 suara), M Rasyad Zein (53), dan Mujtahid Thalib dengan 28 suara. Pada posisi kelima, keenam, dan ketujuh diduduki oleh calon-calon perempuan, yakni Intsiawati Ayus, Dinawaty, dan Maimanah Umar.

Kondisi perolehan suara di Posko Pemilu 2004 Pemerintah Kota Pekanbaru justru berbeda karena yang memimpin pada urutan teratas adalah seorang pengusaha bis kota dan perumahan, yakni Arbi dengan 1.948 suara. Kemudian disusul oleh tokoh pendidikan Maimanah Umar dengan 1.147 suara di posisi kedua, Soemardi Thaher di posisi ketiga dengan 1.135 suara, dan Dinawati di urutan keempat dengan 1.034 suara. Chaidir Anwar Tanjung - detikNews (asy/)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.