Anggota DPD RI asal Riau Minta Menhut tak Keluarkan HPH dan HTI Baru
Keberadaan HPH dan HTI di Riau kerap menimbulkan masalah, bahkan konflik di Riau. Karena itu anggota DPD RI asal Riau minta Menhut tak lagi keluarga HPH dan HTI di Riau.
Riauterkini-JAKARTA-Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan tidak lagi menerbitkan izin baru pengalihan hutan alam menjadi hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tamanan industri (HTI) guna menahan kerusakan hutan alam. Pemerintah atau Departemen Kehutanan (Dephut) ditantang mencabut izin konsesi perusahaan yang merusak hutan alam.
“Kami menginginkan pengelolaan hutan yang mempertimbangkan kelestarian. Ini harus menjadi prioritas 100 hari Pemerintah. Entah berapa menteri menggawangi Dephut, tidak satu pun berani mengubah status izin pengusahaan hutan dari Sabang sampai Merauke," kata Anggota Komite II DPD Intsiawati Ayus dari Riau di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (15/1/2010). .
Iin, panggilan akrabnya, mengatakan, penerbitan izin baru hanya menambah kerusakan hutan alam. “Pemberian izin baru jangan mengganggu hutan alam. Kalau Pemerintah menerbitkan izin baru, arealnya di lahan yang rusak, terbengkalai, tidur saja, jangan di areal hutan alam yang asri,” tukasnya.
Jika Pemerintah tidak berhenti menerbitkan izin HPH dan HTI, dia mengkhawatirkan luas hutan alam semakin berkurang atau menyusut dan kerusakan lingkungan akan semakin memarah. “Ada niat yang busuk melegalisasi pemanfaatan kayu hutan alam atas nama HPH, HTI, atau apa pun,” ujarnya, didampingi Wakil Ketua Komite II DPD Djasarmen Purba (Kepulauan Riau) dan Mursyid (Nanggroe Aceh Darussalam).
Intsiawati mengamati, pemberian izin pembukaan lahan sebagai konsesi bagi perusahaan seringkali tidak tepat. Kasus yang kerap terjadi di daerah seperti Riau, pengusaha yang mengantongi izin HPH dan HTI di areal hutan alam hanya mengambil kayunya. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap masyarakat sekitarnya.
Kasus Semenanjung Kampar (Pelalawan) dan Pulau Rangsang (Kepulauan Meranti) membuktikannya. Menurut mantan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD ini, hutan alam di Pulau Rangsang mengalami kerusakan setelah pohonnya ditebang oleh pengusaha yang mengantongi izin HPH. Kini, masyarakat setempat kesulitan mencari sumber air akibat intrusi air laut.
Khusus di pesisir, jika izin konsesi terus menerus diberikan Pemerintah maka kemungkinan akan menenggelamkan kawasan tersebut akibat abrasi yang menghantam daratan. Belum lagi, tidak jarang perusahaan pemegang izin HPH dan HTI berkonflik dengan masyarakat sekitarnya atau pemerintah daerah karena melanggar batas areal konsesi.
Sayangnya, Dephut tidak mengevaluasi izin konsesi perusahaan yang merusak hutan alam, apalagi mencabutnya. “Padahal, kami berharap, segera saja dicabut dan arealnya ditetapkan status quo tanpa tenggat waktu,” ujarnya, terutama status quo areal perusahaan yang lama-lama berkonflik dengan masyarakat dan jelas-jelas melanggar batas.
Mursyid menambahkan, NAD dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia mengalami pengalihan fungsi hutan alam yang luar biasa menjadi kawasan pemukiman dan perkantoran atau kawasan wisata alam yang permanen. Ia mencontohkan, di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL).
Banyak badan atau instansi yang menanganinya, antara lain BKEL (Badan Kawasan Ekosistem Lauser), Manajemen Lauser, TNGL (Taman Nasional Gunung Lauser), Dephut, Kantor Wilayah (Kanwil) Kehutanan, Dinas Kehutanan, Polhut (Polisi Hutan). Tapi, semuanya tidak menyelesaikan masalah karena perbedaan kepentingan.
Apalagi, penetapan kawasan hutan di “atas meja”, tanpa peninjauan atau evaluasi ke lapangan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kepentingan yang berlarut-larut ditambah permainan oknum tertentu yang berkuasa dan menabrak aturan. Praktiknya, terjadi jual beli lahan kepada pemodal (perkebunan, pertambangan) yang merugikan masyarakat sekitarnya.
Singkatnya, hutan-hutan alam di Aceh mengalami penggundulan karena penebangan liar yang menimbulkan banjir di hilir, merusak sarana dan prasarana umum, dan mengakibatkan kerugian harta benda, merusak hasil pertanian khususnya persawahan. Perilaku pengusaha yang juga memprihatinkan adalah kebiasaan membakar lahan yang ditebang, sehingga terjadi polusi asap dan kebakaran yang meluas.
Djasarmen mengatakan, pengalihan fungsi hutan lindung menjadi permukiman di Batam tanpa berkoordinasi dengan pemerintah daerah hanya akan menyisakan masalah di kemudian hari. Ia mencontohkan pengalihan hutan lindung di kawasan Rempang dan Galang.
Selama kunjungan reses belum lama ini di Kepulauan Meranti, Intsiawati bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau dan aparatur Kecamatan Rangsang, tokoh masyarakat, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) meninjau kawasan konsesi PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Desa Sungai Gayung Kiri. Hutan alam sebagai sumber mata pencaharian masyarakat lenyap akibat pembukaan lahan besar-besaran.
Intsiawati memprihatinkan hutan alam di sana yang rata dengan berton-ton kayu tebangan menumpuk di titik-titik logyard (lokasi tumpukan kayu). Ia mengkhawatirkan, aktivitas PT SRL akan menenggelamkan salah satu pulau terluar di Indonesia, karena jarak bibir pantai dengan areal konsesi yang tidak sampai satu kilometer. Lokasinya strategis bagi pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aktivitas perusahaan HTI ini tentu saja menjadi ancaman bagi penduduk sekitarnya, baik dari aspek lingkungan maupun eksistensi mereka. Kehadirannya menghilangkan hak-hak masyarakat mendapat sumber-sumber kehidupan dari hutan mereka sendiri karena mereka menggantungkan dirinya kepada kekayaan hutan alam ini.
“Masyarakat yang mengambil kayu di hutan milik masyarakat sendiri ditangkap oleh oknum aparat kepolisian. Padahal, kayu yang diambil hanya memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri,” katanya. *** (ira)