Masalah Perkotaan Disebabkan Inkonsistensi Pemerintah Dalam Rencana Tata Ruang


citins.blogspot.com
Perkotaan di Indonesia mempunyai masalah yang tipikal, diantaranya urbanisasi, lingkungan, dan sosial. Berbagai masalah perkotaan timbul akibat perencanaan tata ruang kota yang tidak jelas, serta inkonsistensi pembuat kebijakan dalam melaksanakan perencanaan pembangunan. Kritikan tersebut disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam acara dialog Suara Daerah dengan tema “Masalah Perkotaan di Berbagai Daerah”. Dialog berlangsung di Press Room DPD, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (22/07). Pembicara dalam acara tersebut adalah Intsiawati Ayus (Anggota DPD Provinsi Riau), Wasis Siswoyo (Anggota DPD Provinsi Jawa Timur), Dani Anwar (Anggota DPD Provinsi DKI Jakarta), dan Doni Janarto Widiantoro (Kasubdit Lintas Wilayah Direktorat Penataan Ruang Wilayah II).

Intsiawati menilai bahwa pada umumnya eksekutif dan legislatif masih berpikir konvensional, dan tidak memiliki konsep pembangunan yang tegas dan jelas. Ia juga mengamati bahwa kepala daerah masih banyak yang belum mengenal konsep pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, yaitu yang berwawasan lingkungan. Menurut Intsiawati ada dua hal untuk menyikapi masalah pembangunan kota, yaitu perencanaan dan pembangunan. Namun, untuk masalahnya justru berawal dari kebijakan pemerintah daerah itu sendiri, yang melakukan penyimpangan terhadap tata ruang kota. “Perda yang diturunkan tentang rencana tata ruang kota yaitu bagi saya hanyalah sebuah konsep formalitas. Karena pemerintah daerah tidak konsekuen dalam melaksanakan perencanaan pembangunan, belum lagi kita bicara kurang efektifnya dan koordinasi antar dinas dan instansi,” ungkap Intsiawati.

Masalah kedua yang disebutkan Intsiawati adalah integrasi antar kota dan kabupaten, yaitu adanya isu kesenjangan wilayah. “Langkah idealnya satu kota seimbang memberikan kemajuan dan tidak melemahkan wilayah di sebelahnya,” jelasnya.

Sementara itu, Wasis mengatakan bahwa untuk menciptakan kota yang nyaman, penataan kota harus direncanakan secara matang. Ia menjelaskan keadaan di Jawa Timur yang sudah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah. “Karena itu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan dibiarkan. Contoh, misalnya di kota Malang, pembangunan mal tidak sesuai dengan rencana RTRW Kabupaten/Kota, ternyata ketika masyarakat melakukan protes terhadap pembangunan itu, tapi tetap berjalan tanpa ada sanksi yang jelas,” katanya.

Wasis juga mencontohkan masalah lumpur Lapindo yang belum ada rencana pengganti ruangan yang telah rusak, seperti jalan akses ke Surabaya maupun kota-kota lain, sehingga mengganggu ekonomi masyarakat. Masalah lainnya berkaitan dengan pembangunan Jalan Lingkar Selatan (JLS) yang tak kunjung rampung.
Dani Anwar yang menjadi anggota DPD dari ibukota negara menyebutkan tiga hal penting mengenai persoalan perkotaan. Pertama, Indonesia tidak punya perencanaan terintegrasi, sehingga berbagai macam persoalan muncul berkaitan dengan pembangunan kota. Kedua, konsistensi dalam melaksanakan aturan yang ada juga lemah. “Seluruh pemerintah, baik pusat dan daerah keliatannya konsistensinya kalau berhadapan sama pemodal, loyo dia, seperti kasus yang terjadi sekarang, tiba kawasan hijau itu mau dijadikan mal”, tegasnya.

Ketiga, pemerintah kurang memiliki kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan di masa yang akan datang. Dani mencontohkan Belanda yang membuat rencana tata ruang kota dengan matang hingga beratus-ratus tahun tidak berubah. Dikatakannya, pemerintah Indonesia dianggap tidak mampu melaksanakan perencanaan, contohnya pembangunan Becak Kayu (Bekasi, Cawang, Kampung Melayu) dan proyek monorel yang terhenti pembangunannya. “Kadang peraturan kurang mampu mengatasi persoalan-persoalan di masa depan yang begitu cepat perkembangannya. Kemudian yang terjadi adalah pembiaran pelanggaran terhadap tata kota, sehingga kotanya semrawut,” katanya.

Pendapat Dani tersebut diakui oleh Doni Janarto yang mengatakan bahwa tidak adanya kejelasan aturan main dalam tata ruang kota. “Jadi sejak ada otonomi daerah, pusat tidak lagi punya portofolio tentang perkotaan. Sehingga kalau kita tanya tentang kebijakan pembangunan kota, tidak ada satupun yang berani mengatakan bertanggung jawab,” katanya. Tapi, pada kenyataannya kota-kota itu berkembang tanpa arah dan kendali, lanjutnya.

Doni menerangkan bahwa isu-isu di perkotaan tipikal di berbagai daerah. Pertama urbanisasi yang terbagi menjadi dua definisi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota dan daerah rural yang menjadi urban. Dengan adanya perpindahan penduduk, sektor pertanian yang menjadi andalan pedesaan kini berkurang kontribusinya hingga tersisa 15%-20% dari PDB nasional. Kemudian, proses desa yang berubah menjadi kota, menurut Doni lebih berbahaya. “Karena tidak hanya masalah sosial, tapi juga lingkungan, alih fungsi yang luar biasa di kawasan-kawasan rural, yang mengakibatkan bencana-bencana yang kita rasakan di perkotaan,” jelasnya.

Intsiawati: Subsidi BBM Masih Perlu Diberlakukan


Jakarta, dpd.go.id
Salah satu masalah bangsa Indonesia yang baru-baru ini kembali meresahkan masyarakat adalah isu kenaikan harga BBM atau penarikan subsidi BBM. Kenaikan harga BBM diyakini akan berakibat luas di masyarakat, terutama dilihat dari segi ekonomi seperti penurunan aktivitas produksi dan kenaikan harga barang lainnya. Apakah kenaikan harga BBM itu adalah kebijakan yang bijak bagi rakyat? Tiga narasumber yang hadir dalam Talk Show DPD RI Perspektif Indonesia (1/7/11) menyampaikan argumentasi masing-masing dalam tema “Mengurai Masalah Subsidi BBM” di Press Room DPD RI, Senayan Jakarta.

Fluktuasi harga BBM, bagi Arif Budimanta (Anggota Komisi XI DPR RI/F-PDIP), adalah hal yang biasa terjadi. Yang menjadi masalah adalah transparansi dari pemerintah tentang biaya pokok BBM. “Selama ini pemerintah tidak pernah memberikan transparansi biaya pokok BBM, padahal seharusnya itu dilakukan oleh pemerintah,” ujar Arif menjelaskan. Arif juga menyampaikan bahwa kenaikan harga BBM akan menggerus daya beli rakyat dan itu berarti pemiskinan terstruktur. Menaikkan harga BBM merepresentasikan bahwa pemerintah itu pragmatis dan populis. “Lagipula, timing kenaikan harga BBM sudah selesai,” tandasnya. Arif yang juga tidak setuju dengan adanya pembatasan BBM menawarkan solusi, yaitu dengan pengaturan dan pengawasan BBM secara reguler.

Aspirasi daerah yang pada kesempatan ini diwakili oleh Intsiawati Ayus (Anggota Komite II DPD RI dari Provinsi Riau) lebih menghendaki adanya keadilan distribusi bagi daerah penghasil BBM. “Selama ini terjadi anomali, justru terjadi kelangkaan BBM di daerah penghasil karena kuota yang diberikan kepada daerah penghasil tidak sesuai dengan konsumsi yang dibutuhkan,” papar Intsiawati. Mengenai subsidi BBM, Intsiawati berpendapat bahwa subsidi BBM masih perlu diberlakukan.

Lain lagi dengan argumentasi Kurtubi, pengamat perminyakan. Dalam argumentasinya, tidak masalah jika pemerintah menaikkan harga BBM mulai dari Rp 1.000,00 sampai dengan Rp 1.500,00, asalkan pemerintah menjelaskan kepada rakyat secara jujur dan transparan, dan harus disertai dengan pengembalian manfaat kepada rakyat dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang memadai. Selain solusi jangka pendek tersebut, Kurtubi yang mengamati bahwa permasalahan harga BBM adalah persoalan salah kelola yang bersumber pada UU Migas No. 22/2001, menganjurkan agar pemerintah tidak menggunakan kebijakan yang justru merugikan pemerintah. “Cabut segera UU migas,” tegas Kurtubi. (AF)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.