Konflik Warga-PT AA, DPD Siap Fasilitasi Rekomendasi Pelepasan Kawasan Konflik

Untuk menghentikan konflik solusinya adalah pihak pemerintah dan perusahaan memberikan rekomendasi pelepasan kawasan untuk dialihfungsikan ke kebun sawit untuk warga. Anggota DPD-RI dapi Riau, Intsiawati Ayus siap memfasilitasinya ke pusat.

PEKANBARU, Riauterkini-Terkait dengan penyelesaian konflik antara warga dengan PT Arara Abadi, Anggota DPD-RI dapil Riau, Intsiawati Ayus kepada Riauterkini sabtu (15/12) menyatakan bahwa penyelesaian konflik adalah dengan memberikan rekomendasi pelepasan kawasan dari perijinan HTI PT AA untuk dialihfungsikan ke kebun sawit rakyat.

"Jika pihak pemerintah daerah dan perusahaan mau dan memiliki niat, tentu tidak ada salahnya melepaskan kawasan yang memang tanah ulayat itu kepada warga. Tentu dengan memberikan rekomendasi secara berjenjang untuk mengembalikan lahan yang diklaim warga sebagai tanah ulayat kepada negara dan dialihfungsikan untuk kebun rakyat. Karena hal itu akan dapat mensejahterakan perekonomian rakyat di kawasan tersebut," ungkapnya.

Menurutnya, jika memang pemerintah atau perusahaan mau merekomendasikan kawasan yang diklaim warga untuk dikembalikan kepada negara selanjutnya dialihfungsikan menjadi kebun sawit rakyat, maka ia bersedia memfasilitasi rekomendasi itu ke Menhut RI.

Karena bagaimanapun juga, klaim warga atas tanah itu semata-mata adalah untuk kesejahteraan warga juga. Katanya, pengelolaan lahan ulayat oleh warga selain dapat mensejahterakan warga juga pengelolaannya sangat bijaksana dan ramah lingkungan.

Riau Tak Concern Pemetaan Tanah

Terkait dengan hal itu, salah satu solusi yang bisa diambil pemerintah provinsi Riau menurut Intsiawati Ayus adalah melakukan road maping (pemataan lahan). Karena isu itu sudah menjadi isu global pada skala internasional.

"Dalam Un Climate Change Conference di Bali, isu road maping sudah mejadi isu internasional. Kemudian isu itu juga ditangkap oleh pemerintah Indonesia untuk dilaksanakan di daerah-daerah Indonesia. Namun sayangnya Riau tidak menampakkan minat untuk melaksanakannya," tambahnya.

Untuk itu ia mendesak pemerintah provinsi Riau untuk segera melaksanakan isu road maping di kawasan Riau. Tentunya agar ada kejelasan status kawasan. Terutama kejelasan bagi warga. ***(H-we)

Intsiawati Ayus: “Perempuan Melayu dengan Segudang Inisiatif dan Antusiasme III”*


PERJUANGAN TANPA HENTI

"Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia"

Dua larik gurindam pasal kelima dalam Gurindam Dua Belas, karya monumental Raja Ali Haji tersebut sangat tepat untuk menggambarkan kehidupan perempuan Melayu yang bergelar ‘Datin’ ini. Sang ‘Datin’ memang memaknai dan memelihara hidupnya dari kesia-siaan. Selalu bergerak dan berkreasi tanpa pernah berpikir untuk berhenti adalah jalan hidupnya.

Beragam aktifitas organisasi telah dijalani sejak Ia menjabat Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UIR. Selepas kuliah, sejak memulai karir kepengacaraannya, Iin aktif di dunia NGOs sehingga terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Riau (1997-sekarang) dan menjadi bendahara Riau Corruption Watch (2000-sekarang).

Sederet kepercayaan terkait profesinya di bidang hukum disandang Iin sejak tahun 2000, mulai dari anggota Dewan Komisaris Asosiasi Advokat Indonesia (2000-2005), Bidang Hukum Perhimpunan Masyarakat Madani Riau (2000-sekarang), Direktur Bidang Hukum TOPPAN-RI (2001-2003), Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Perempuan Peduli Melayu-Riau (2002-2006), Bidang Hukum dan HAM Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (2003-sekarang), sampai mendirikan Riau Lawyer Club pada tahun 2004. Di kalangan Ikatan Alumni UIR sendiri, Iin mengurusi Divisi Kerjasama antar bangsa (2000-2005) serta Bendahara KB ALDAMA FH UIR (2000). Sedangkan di Riau Tourism Board Iin terpilih sebagai Wakil Kepala Bidang Kajian Strategi Industri Pariwisata pada (2003-sekarang).
Dalam dunia profesi, segudang pengalaman kerja telah dilakoni Iin. Sejak akhir masa studi hingga meraih gelar sarjana tahun 1992 Iin sudah merintis profesinya di dunia kerja. Pada tahun 1991-1993, Iin sudah mendapat kepercayaan sebagai Kepala Bagian Penanggungjawab Piutang Pelanggan pada PT Anugrah Permindo Lestari. Kemudian pada tahun 1993 Iin diangkat sebagai Kepala Personalia dan Umum PT Duta Palma Nusantara. Tak puas dengan tantangan kerjanya, pada tahun 1996 Iin mulai menggeluti bidangnya dengan menjadi pengacara pada kantor hukum Srikandi. Dari pengalamannya itu Iin mendirikan kantor hukum sendiri, Intsiawati Ayus dan Rekan, pada tahun 2002. Dan pada saat yang sama Iin juga memimpin perusahaannya PT. Melayu Teknologi Mandiri sebagai Direktur Utama.

Di antara titik ujian terberat dalam mengayuh biduk amanah adalah ketika Iin terpilih menjadi Ketua Utama Rumpun Melayu Bersatu-Laskar Hulubalang Melayu Riau pada tahun 2001. Organisasi yang lahir dari rahim Kongres Rakyat Riau II ini menghimpun anggota lebih dari seratus tiga puluh ribu orang yang tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Betapa ketika itu tanggungjawab besar dan kesibukan luar biasa menderanya, namun itu semua diterimanya sebagai panggilan hidup. Baginya, kesibukan dan tanggung jawab baginya bukanlah beban, tetapi suatu kebahagiaan tersendiri.

Maka sungguhlah tak heran apabila beragam peran dan tanggung jawab di DPD senantiasa seolah menantikan inisiatif serta upaya proaktifnya yang tak kenal lelah. Seringkali waktu liburnya ia korbankan untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan di Senayan yang harus selesai tepat waktu. Saat ini, di samping menjadi anggota PAH II, Wakil PPUU, Iin juga aktif dalam perumusan RUU Susduk, dan diserahi tanggungjawab sebagai sekretaris tim RUU Kepelabuhan dan Revisi Undang-undang Ketenagalistrikan.

Di sela-sela kesibukannya yang segudang itu, Iin tak ingin terjebak pada streotip perempuan super yang kehilangan sentuhannya dalam keluarga. Ia lebih senang mengutip ungkapan sederhana RA Kartini bahwa “perempuan melahirkan peradaban”. Dengan demikian peran seorang perempuan tak berhenti pada satu bidang. Sungguh tak heran, jika kita akan menyaksikan betapa ia begitu menikmati aktivitas kesehariannya dalam mengatur rumah tangga dari memasak sampai membimbing dua puterinya yang jelita. Dengan memasak, ia tidak sekedar melayani suami tercinta, Erwin S, tetapi juga belajar tentang bagaimana melayani aspirasi masyarakat. Kadang, Iin sengaja membawa makanan hasil masakannya ke kantornya di Senayan untuk dinikmati oleh teman-teman dan para stafnya.

Sementara itu, di waktu luangnya, Iin senang mengisinya dengan membaca. Melalui keakrabannya dengan buku, ia tidak sekadar menjadi gudang ilmu bagi dua orang anak tercinta, Hopea Ingvirnia Erwin dan Sarah Syahirah Erwin, tapi juga menjadi pelita bagi masyarakat yang diwakilinya. Mengingat rasam Melayunya yang kental, Iin sepertinya senang berlabuh dalam kearifan kalimat bijak dan karya sastra Melayu. Deretan buku mulai dari karya-karya kitab klasik, seperti ‘Tunjuk Ajar Melayu’, buku-buku politik modern, sampai buku-buku kajian akademis menjadi daras utama dalam meningkatkan kecendekiaannya. Lewat pergaulannya yang intens dan akrab dengan Tokoh Legendaris Politik Riau, Prof. Dr. Tabrani Rab, selaksa pencerahan tentang arah perjuangannya kian jelas tergambar dalam pikirannya. Dan ini termanifestasi lewat tulisan-tulisan Iin yang sering dimuat media lokal Riau.

Intsiawati Ayus adalah sebuah fenomena di antara beragam gejala kehadiran seorang tokoh lokal yang menyeruak ke pentas nasional. Ia tidak muncul begitu saja dalam panggung politik bangsa ini. Melalui antusiasme dan perjuangan tanpa henti ia melukis jejak hidupnya. Segudang inisiatif, dengan tumpukan pengalaman dan aktivitas yang mengisi agenda hidupnya adalah penegas eksistensinya. Ia tidak mudah membiarkan dirinya untuk berleha-leha dan menikmati jeda. Setiap kali ia menyelesaikan sebuah titik dalam paragraf kesehariannya, ia pun menyusun gagasan baru untuk mencatatkan kalimat yang lebih bermakna dalam alinea hari-hari berikutnya. (adr/ltf)


*(Kutipan Buku ‘Biografi Perempuan Parlemen’, Diterbitkan Kaukus Perempuan Parlemen, 2007)

Intsiawati Ayus: “Perempuan Melayu dengan Segudang Inisiatif dan Antusiasme II”*


DI BAWAH TIMBANGAN KEADILAN

SEBAGAI politisi Iin memiliki keyakinan terhadap prinsip-prinsip kebenaran. Alih-alih tawar-menawar Iin lebih memilih berteriak lantang. Iin sepertinya tak pandai bersandiwara, acapkali dalam berbagai sidang ataupun forum, Ia berkata apa adanya. Inilah kelebihan perempuan Melayu ini, sekaligus juga peluang untuk melemahkannya. Ketika banyak elit mencoba untuk "bermain amanat", Iin berani mengungkapkan sebuah fakta secara terbuka.

Ia percaya bahwa hidup adalah rangkaian keputusan yang selalu mengandung pro dan kontra dan setiap orang wajib mempertahankan keyakinannya masing-masing. Hal ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari latar belakang profesinya sebagai pengacara. Dengan bekal pendidikan dan pengalaman hukum ini pulalah yang menjelaskan mengapa Wakil Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD-RI (2005-2006) ini begitu teliti dan fasih tatkala menelisik suatu aturan dan Undang-Undang serta mengemukakan argumentasinya.

Di bawah timbangan keadilan, perempuan Melayu ini terus bergerak, berpikir, berjalan, tanpa harus menimbang-nimbang apakah akan merugikan kepentingan diri sendiri ataukah akan berbuah kepercayaan publik dalam level politik yang lebih tinggi. Bagaimanapun, kebenaran adalah tujuannya dan bukan persepsi umum. Ia tahu, mengerjakan tanggungjawab publik hari ini jauh lebih penting ketimbang memikirkan kepentingan pribadi di masa depan.

Sebuah terobosan yang jitu pun ia lakukan. Ketidakjelasan konstitusi tentang mekanisme pertanggungjawaban Anggota DPD justru malah melahirkan sebuah inovasi yang brilian. Pada tahun pertama mengemban amanah sebagai wakil daerah, Iin menerbitkan sebuah buku pertanggungjawaban politik yang bisa jadi merupakan sebuah tradisi baru dalam jagad perpolitikan nasional. ˜Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus, SH., MH., Anggota DPD-RI Daerah Pemilihan Riau Periode 2004-2009", begitulah judul panjang buku tersebut. Setahun yang pendek tapi membuahkan catatan panjang tentang inisiasinya dengan lembaga baru dan komitmennya terhadap aspirasi daerah.

Di samping terus memperjuangkan aspirasi daerahnya Intsiawati juga senantiasa turut bahu-membahu dan berbagi dengan wakil daerah lainnya untuk kepentingan yang jauh lebih besar. Pada tahun kedua, konsentrasi Iin banyak tercurah pada upaya untuk memperkuat lembaga tinggi negara yang lahir dari Amandemen Ketiga UUD 1945 pada bulan Agustus 2001 ini. Iin masih belum puas dengan kewenangan sempit yang dimiliki oleh DPD. Ia melihat DPD seperti bintang yang bersinar terang di daerah. Tetapi di Jakarta nyaris tak terlihat, dikalahkan oleh cahaya matahari kekuasaan yang lebih besar. Dalam kaitannya dengan itu, Iin berperan penting dalam penyusunan rumusan RUU Susunan dan kedudukan DPD yang terpisah dari MPR dan DPR. Kelak UU ini akan memperkuat peran DPD sebagai representasi daerah di Jakarta.

Tidak hanya itu, Iin juga menorehkan tinta merah kepada pemerintah daerah yang tidak memfasilitasi dengan optimal aspirasi masyarakat dengan anggota DPD. Sebagai seorang wakil daerah, empati Iin terhadap wakil daerah lainnya tampak jelas dalam sikapnya. Anggota PAH II DPD-RI ini tidak pernah percaya dengan adagium, pulchrum est paucerum hominum, keindahan hanya untuk segelintir orang. Iin percaya, keindahan adalah untuk semua anak bangsa dalam hamparan kepulauan dari Sabang sampai Merauke. Sebagai anak bangsa yang berdarah Melayu, Iin menolak etnosentrisme sempit dan mengaminkan takrif Melayu dalam petikan puisi "Melayu" yang ditulis Usman Awang, 27 Oktober 1996, di Mingguan Malaysia:

Melayu di tanah Semenanjung luas maknanya:
Jawa itu Melayu,
Bugis itu Melayu
Banjar juga disebut Melayu,
Minangkabau memang Melayu,
Keturunan Aceh adalah Melayu,
Jakun dan Sakai asli Melayu,
Arab dan Pakistani, semua Melayu
Mamak dan Malbari serap ke Melayu
Malah mua'alaf bertakrif Melayu .....


*(Kutipan Buku ‘Biografi Perempuan Parlemen’, Diterbitkan Kaukus Perempuan Parlemen, 2007)

Intsiawati Ayus: “Perempuan Melayu dengan Segudang Inisiatif dan Antusiasme I”*


MERETAS KEMANDIRIAN

TELUK Belitung pada tahun 1968 adalah pedesaan yang sepi di Kabupaten Bengkalis, Riau. Sebuah daerah yang jauh dari hingar bingar politik dan pertarungan elit kekuasaan. Di lingkungan masyarakat petani karet dan sagu serta nelayan, pada tanggal 4 Mei tahun itu, Intsiawati Ayus dilahirkan. Lamat-lamat, peristiwa pergantian kekuasaan di Jakarta sampai juga di tanah itu. Intsiawati kecil memasuki zaman peralihan, tatkala masyarakat mulai menghirup atmosfir baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam suasana zaman seperti itulah, Iin, sebagaimana ia akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri Pematang Peranap (1981), Indragiri Hulu. Menjelang dewasa Iin meluaskan pergaulannya di Ibukota Pekanbaru dengan melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri 5 (1984) dan SMA Negeri 1 (1987). Tanpa menunggu terlalu lama, Iin meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Islam Riau (UIR) pada tahun 1992. Tak berhenti sampai situ, putri H. Asman Yunus dan Hj. Asnidar Yusuf ini kemudian menuntaskan Magister Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta pada tahun 2004.

Olahan pengalaman organisasi yang diracik dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari dunia pendidikan telah membangun sebuah kesadaran dalam diri Iin. Ia menatap Riau dan masyarakatnya. Baginya Riau bukan saja dikaruniai dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tetapi juga khazanah kekayaan budaya yang tinggi. Namun, itu semua ternyata tidak berkolerasi dengan tingkat kesejahteraan dan kemajuan peradaban masyarakatnya. Ia acapkali menyimak kata ˜keadilan sosial" atau ˜pemerataan ekonomi" serta berbagai jargon pembangunan yang diusung oleh pemerintah pusat kala itu. Tapi jargon itu ternyata kosong, bahkan tenggelam diterkam dengung mesin gergaji dan suara bor minyak yang bertalu-talu. Masyarakat Riau nyaris tidak merasakan hasilnya. Bahkan hak-hak masyarakat lokal pun dikebiri. Semua kekayaan SDA itu harus diterajui oleh Consensus Sapientum, kesepakatan orang-orang yang duduk di kursi empuk kekuasaan Pusat. Akibatnya, masyarakat yang aslinya sangat dinamis itu secara perlahan-lahan dilemahkan potensinya. Masalah minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai akibat dari lemahnya perekonomian dihantui oleh dalih untuk membenarkan stigma 'malas' yang melekat pada masyarakat Melayu.

Dari Kongres Rakyat Riau II Iin menangkap kegelisahan masyarakat atas segala ketidakadilan pusat di bumi lancang kuning itu. Opsi kemerdekaan adalah suatu keinginan yang sungguh amat wajar. Di samping kekayaannya yang melimpah ruah, Riau adalah jantung kebudayaan Melayu di Indonesia yang memiliki latar sosio-kultur-historis yang begitu teramat penting. Ikon kesusasteraan, keagamaan, dan intelektual yang tinggi serta bahasa standar lingua franca Nusantara tumbuh berkembang di bumi bertuah ini. Apalagi ikatan sejarah dan intensitas pergaulan masyarakat Riau dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia demikian tinggi. Dari dua negara itu saja masyarakat Riau dapat bercermin akan segala kekuatan, kemampuan, dan potensi yang dimilikinya.

Kata 'kemandirian' menjadi titik tolak kesadaran politik Iin. Dari sinilah Iin mengawali geraknya untuk menghimpun dukungan dari bawah dengan membawa sebuah visi, 'Riau Menuju Otonomi Khusus'. Ia tentu tidak sedang terjebak dalam primordialisme semu, sebab visi ini berangkat dari prinsip keadilan dan hak azasi sebuah komunitas. Masyarakat Riau harus memiliki kesempatan untuk memutuskan sendiri pengelolaan sumber daya alam mereka dalam sistem bagi hasil yang adil. Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam proporsi yang lebih seimbang dan adil adalah program pertama yang diusung oleh Iin.

Tetapi program itu tentu tidak cukup untuk menghadapi dilema masyarakat Riau. Pengelolaan SDA yang melimpah haruslah dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM. Peningkatan porsi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD Riau adalah program yang juga ia desakkan. Jalan menuju kemakmuran akan terbentang ketika keputusan-keputusan ekonomi Riau dilakukan lewat partisipasi penuh masyarakat Riau. Conditio sine qua non-nya adalah perimbangan keuangan dan peningkatan anggaran pendidikan.

Ketika syarat mutlak itu telah terpenuhi. Maka pola terpadu untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan SDA harus dijalankan di bawah satu payung hukum. Program ketiga ini berorientasi pada pemerataaan kesempatan ekonomi untuk seluruh masyarakat Riau. Sehingga penguasaan ekonomi tidak terkosentrasi pada segelintir elit dan pemilik modal. UKM dan penggunaan teknologi tepat guna untuk mengangkat potensi masyarakat bawah menurutnya perlu digalakkan. Untuk memastikan semua ini, maka jembatan komunikasi antara masyarakat daerah dengan wakil mereka di DPD harus terjalin dengan baik. Untuk itulah Iin mendesakkan urgensi program keempatnya, yaitu mendirikan kantor perwakilan DPD di setiap propinsi di Indonesia.


*(Kutipan Buku ‘Biografi Perempuan Parlemen’, Diterbitkan Kaukus Perempuan Parlemen, 2007)

Daerah Sangsikan Kebijakan Energi

JAKARTA, KOMPAS - Kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menerapkan kebijakan energi, karena dalam beberapa kebijakan yang sudah dikeluarkan tidak ada yang tuntas. Kesangsian itu mulai timbul sejak pemerintah mencanangkan konversi bahan bakar minyak ke batubara yang saat ini tidak juga muncul.

Hal tersebut muncul dalam Rapat Dengar Pendapat antara Panitia Adhoc II dan IV DPD di Jakarta, Senin (12/11). Semua keluhan DPD disampaikan kepada Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hilir Migas Tubagus Haryono dan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Kardaya Warnika.

Anggota DPD dari daerah pemilihan Sumatera Utara Yoppie Sangkot Batubara mempertanyakan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan biodiesel yang sebenarnya sudah dikembangkan sejak lama oleh negara lain. Ini dipertanyakan karena Indonesia merupakan penghasilan minyak kelapa sawit mentah (CPO), sa;ah satu bahan bakar biodiesel, terbesar kedua setelah Malaysia.

“Namun, kebijakan ini seperti hilang begitu saja. Kemudian ada biodiesel berbasis tanaman jarak, itu pun tidak jelas. Kita kalah dengan India yang sudah menanam jarak di dua juta hektar lahan tetapi Indonesia hanya wacana. Begitu pun bahan yang diambil dari tebu,” katanya.

Anggota DPD asal Riau Intsiawati Ayus menuntut penjelasan pemerintah terkait tiga hal, yakni kelangkaan minyak di daerah, kenaikan harga minyak di dunia, dan keharusan masyarakat menerima program konversi minyak tanah ke gas. “Semuanya itu datang tiba-tiba, dan kami di daerah sepertinya harus menelan begitu saja. Pemerintah tidak menjelaskan dengan terang tentang semua itu,” katanya.

Atas dasar itu, Anggota DPD asal Daerah Istimewa Yogyakarta Hafidh Asrom mempertanyakan jaminan pemerintah atas pasokan gas yang akan digunakan dalam program konversi minyak tanah tersebut. Jaminan itu sangat penting bagi seluruh masyarakat karena program ini akan mengubah kebiasaan yang sudah berjalan sangat lama.

“Pengecer itu bahkan masih saja mengeluhkan, karena tadinya hanya menyalurkan minyak tanah tiba-tiba harus ditambah dengan gas,” katanya. (OIN)

DPRD Riau Minta Intsiawati Ayus Berbicara Objektif

Pekanbaru, Bangrusli.net, Ketua Komisi B DPRD Riau Drs H Ruspan Aman meminta anggota MPR/DPD-RI daerah pemilihan Riau, Intsiawati Ayus untuk memberikan informasi secara objektif terhadap perkembangan program sapi K2i bagi masyarakat miskin. Sebab pihaknya belum melakukan kunjungan secara menyeluruh terhadap sapi yang ada di daerah kabupaten/kota.

Hal ini dikatakan Ruspam, Selasa (30/10) di Pekanbaru menanggapi tulisan Intsiawati Ayus di salah satu media harian lokal yang menyatakan lebih dari 30 persen sapi program K2I jenis brahman cross bunting yang dibeli dari dana APBD Riau 2006 sebesar Rp14 miliar lebih itu sudah mati. “Saya mengharapkan kalau ia berbicara (Intsiawati Ayus) harus menggunakan data dan sumber data yang benar dan akurat, tidak asal ngomong. Harus jelas dari mana datanya, berapa ekor yang mati, berapa ekor yang bunting, berapa ekor yang disebarkan. Jadi jangan dikira-kiralah,” tegasnya.

Sebab imbuhnya hal itu tidak bagus karena tidak memberikan informasi yang objektif kepada masyarakat. Kemudian laporan yang diberikan tidak terarah. Ia mengharapkan kalau memberikan informasi haruslah terarah dan bisa dipertanggung jawabkan.

Oleh karena itu pihaknya kata Ruspan, akan turun kembali ke sejumlah daerah untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Selain itu juga akan melakukan hearing dengan Dinas Peternakan Provinsi Riau untuk mengetahui perkembangan yang terjadi.

Kepala Dinas Peternakan Provinsi Riau Drs R Erisman MSi juga membantah tulisan Intsiawati Ayus tersebut. Menurutnya, apa yang disampaikan tersebut tidak benar. Mengingat kondisi yang terjadi di daerah sangat bervariasi. Misalnya untuk Kota Dumai tidak ada yang mati. Tapi untuk anak sapi ada mencapai 3-4 ekor. Itupun karena terinjak oleh induknya.

Di Kabupaten Pelalawan angka kematian cukup tinggi hanya sekitar 10 ekor, tidak sampai 10 persen. Hal yang sama juga terjadi di Indragiri Hulu dan Kuantang Singingi, dimana angka kematian hanya mencapai tujuh ekor. “Oleh karena itu kami menyatakan bahwa apa yang disampaikan Intsiawati Ayus, itu tidak benar. Apalagi sampai 30 persen,” tegas Erisman.

Namun demikian pihaknya akan tetap terus melakukan pembinaan dan peninjauan ke daerah untuk mengetahui perkembangan yang terjadi. Kemudian agar program ini berjalan dengan baik dan mampu mensejaterahkan peternak. (Sudaryanto)

DPD Desak Presiden Keluarkan Izin Pemeriksaan Pejabat



Fakta lapangan memperlihatkan kerusakan hutan yang tidak sebanding.



RIAU, Koran Tempo -Panitia Ad Hock II Dewan Perwakilan Daerah mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan izin pemeriksaan kepada sejumlah pejabat yang diduga terlibat dalam pembalakan liar (illegal logging).



Koordinator Panitia Ad Hoc (PAH) II Intsiawati Ayus mengatakan hal ini dalam pertemuan dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia di Ruang Kenanga, lantai 3 kantor Gubernur Riau, kemarin.



Desakan itu, kata dia, bertujuan memperlancar dan mempercepat proses penegakan hukum yang saat ini sedang digalakkan aparat keamanan. "Melalui PAH II DPD Riau, kami mendesak Presiden segera mengeluarkan izin pemeriksaan tak hanya terhadap pejabat, tapi juga menyegerakan proses penegakan hukum terhadap pelaku yang bukan pejabat," ujar Intsiawati, yang juga anggota DPD RI asal Riau, saat melakukan kunjungan kerja ke Riau.



Dia mengakui fakta-fakta lapangan memperlihatkan kerusakan hutan yang tidak sebanding dengan rehabilitasi yang dilakukan oleh perusahaan perkayuan. Selama ini, kata dia, mereka menggunakan bahan baku dari hutan alam untuk produksi.



"Mereka memperolehnya dari mitra kerja dan mengambilnya dari hutan alam hingga sebelum 2009 nanti, bukan dari hutan produksi. Itu memang nyata terjadi, setelah 2009 barulah mereka mengambil bahan bakunya dari HTI mereka sendiri," katanya.



Desakan serupa sebelumnya juga dikeluarkan Ketua Pemberantasan Illegal Logging Pemerintah Provinsi Riau Wan Abubakar. Ia berharap Presiden Yudhoyono segera menurunkan surat izin untuk memeriksa sejumlah pejabat di Riau terkait dengan kasus pembalakan liar. Wan sangat yakin pejabat yang ia maksudkan itu terlibat dalam pembalakan liar.



Wan, yang juga Wakil Gubernur Riau, mengaku sudah sejak tahun lalu berusaha menyeret para pejabat itu ke meja hijau. Namun, katanya, laporan yang dimasukkannya ke Kepolisian Daerah Riau selalu dimentahkan. "Justru Gubernur Riau Rusli Zainal menuding saya ini asal tuduh saja," katanya. Dengan rusaknya hutan di Riau saat ini, kata dia, hal itu menunjukkan keterlibatan mereka.



Sementara itu, kalangan lembaga swadaya masyarakat lingkungan mempertanyakan ketidaksamaan persepsi illegal logging yang selama ini disampaikan oleh kalangan pengusaha dan perusahaan. Padahal, menurut Santo Kurniawan, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari), tidak ada perbedaan persepsi tentang illegal logging yang dilakukan oleh Polda Riau.



"Perbedaan persepsi ini akibat kepentingan yang berbeda, pengusaha dengan keuntungannya, LSM dengan kerusakan lingkungannya, aparat hukum melalui perangkat aturan dan regulasi yang mengatur tentang kehutanan dan tindakan pidana lainnya," ujar Santo.



Menurut Ketua APHI Riau Endro Siswoko, kayu-kayu dan peralatan berat yang diberi police line oleh polisi seharusnya dilepaskan. Sebab, kayu itu akan berkurang harganya jika membusuk.



Selain itu, alat-alat berat tersebut disewa oleh perusahaan untuk menjalankan kegiatan operasional lapangan. "Kami belum tentu salah, tapi telah diberi police line oleh kepolisian," katanya. BOBBY TRIADI

DPD Desak Presiden Keluarkan Izin Pemeriksaan Pejabat

Fakta lapangan memperlihatkan kerusakan hutan yang tidak sebanding.

RIAU, Koran Tempo -Panitia Ad Hock II Dewan Perwakilan Daerah mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan izin pemeriksaan kepada sejumlah pejabat yang diduga terlibat dalam pembalakan liar (illegal logging).

Koordinator Panitia Ad Hoc (PAH) II Intsiawati Ayus mengatakan hal ini dalam pertemuan dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia di Ruang Kenanga, lantai 3 kantor Gubernur Riau, kemarin.

Desakan itu, kata dia, bertujuan memperlancar dan mempercepat proses penegakan hukum yang saat ini sedang digalakkan aparat keamanan. "Melalui PAH II DPD Riau, kami mendesak Presiden segera mengeluarkan izin pemeriksaan tak hanya terhadap pejabat, tapi juga menyegerakan proses penegakan hukum terhadap pelaku yang bukan pejabat," ujar Intsiawati, yang juga anggota DPD RI asal Riau, saat melakukan kunjungan kerja ke Riau.

Dia mengakui fakta-fakta lapangan memperlihatkan kerusakan hutan yang tidak sebanding dengan rehabilitasi yang dilakukan oleh perusahaan perkayuan. Selama ini, kata dia, mereka menggunakan bahan baku dari hutan alam untuk produksi.

"Mereka memperolehnya dari mitra kerja dan mengambilnya dari hutan alam hingga sebelum 2009 nanti, bukan dari hutan produksi. Itu memang nyata terjadi, setelah 2009 barulah mereka mengambil bahan bakunya dari HTI mereka sendiri," katanya.

Desakan serupa sebelumnya juga dikeluarkan Ketua Pemberantasan Illegal Logging Pemerintah Provinsi Riau Wan Abubakar. Ia berharap Presiden Yudhoyono segera menurunkan surat izin untuk memeriksa sejumlah pejabat di Riau terkait dengan kasus pembalakan liar. Wan sangat yakin pejabat yang ia maksudkan itu terlibat dalam pembalakan liar.

Wan, yang juga Wakil Gubernur Riau, mengaku sudah sejak tahun lalu berusaha menyeret para pejabat itu ke meja hijau. Namun, katanya, laporan yang dimasukkannya ke Kepolisian Daerah Riau selalu dimentahkan. "Justru Gubernur Riau Rusli Zainal menuding saya ini asal tuduh saja," katanya. Dengan rusaknya hutan di Riau saat ini, kata dia, hal itu menunjukkan keterlibatan mereka.

Sementara itu, kalangan lembaga swadaya masyarakat lingkungan mempertanyakan ketidaksamaan persepsi illegal logging yang selama ini disampaikan oleh kalangan pengusaha dan perusahaan. Padahal, menurut Santo Kurniawan, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari), tidak ada perbedaan persepsi tentang illegal logging yang dilakukan oleh Polda Riau.

"Perbedaan persepsi ini akibat kepentingan yang berbeda, pengusaha dengan keuntungannya, LSM dengan kerusakan lingkungannya, aparat hukum melalui perangkat aturan dan regulasi yang mengatur tentang kehutanan dan tindakan pidana lainnya," ujar Santo.

Menurut Ketua APHI Riau Endro Siswoko, kayu-kayu dan peralatan berat yang diberi police line oleh polisi seharusnya dilepaskan. Sebab, kayu itu akan berkurang harganya jika membusuk.

Selain itu, alat-alat berat tersebut disewa oleh perusahaan untuk menjalankan kegiatan operasional lapangan. "Kami belum tentu salah, tapi telah diberi police line oleh kepolisian," katanya. BOBBY TRIADI

President asked to issue permit to probe district heads

Pekanbaru, EoF News— Ad hoc Committee II of Regional Representative Council (DPD) urged President Susilo Bambang Yudhoyono to immediately issue summon letter to several officials who allegedly involved in illegal logging in Riau, Koran Tempo daily (28/9/2007) reported.

The call is followed by the statement from the National Police Headquarters today in Jakarta that the institution had submitted a request to the President to issue permit to probe five Riau district heads, Detik.com website reported (28/9).

The National Police Spokesperson Sisno Adiwinoto said that the police still await the President’s permit which normally the request is handled within 60 days since it is submitted.

In Pekanbaru, the Regional Representative Council held meeting with Riau environmental NGOs, and Indonesian Forestry Business Association (APHI) here on Thursday.

The Committee’s coordinator, Instiawati Ayus, said that the call is to smoothen and speed up the legal process taken by law enforcers.

“Through PAH II [the Chamber’s Committee II] of Riau’s DPD, we urge the President to issue the summon permit, not only for officials, but also to accelerate law enforcement process against the perpetrators who are not official, Instiawati, the member from this province, said.

She said that the findings on the ground showed that the deforestation occurred is not equal to the restoration conducted by timber companies who use raw material for pulp production from natural forests in the province.

"They sourced from partners and take [wood] from natural forest before 2009, not from productive forest,” Instiawati said.

Meanwhile, a parliamentarian from Commission II, returned gift parcel sent by PT Raja Garuda Mas (RGM) to Corruption Eradication Commission (KPK), Kompas Cyber Media reported Friday.

The member of House of Representatives, Aulia Rahman, who concurrently serves as Illegal Logging Working Committee member, said he received the 50x50-cm gift parcel of dates on Thursday afternoon.

RGM is a holding company belonged to tycoon Sukanto Tanoto and affiliated to Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL). “I don’t know PT RGM, but as far as I know PT RGM is a timber company operating in Riau,” Aulia said.

Intsiawati Ayus Deklarasikan PUPKA Riau

PEKANBARU (RiauInfo) – Anggota DPD/MPR-RI Daerah Pemilihan Riau, Intsiawati Ayus, SH.MH secara resmi mendeklarasikan Sentral Posko Upaya Penyelesaian Konflik Agraria (PUPKA) Riau di Ruang DPD Kantor DPRD Riau, Kamis (6/9). Pasalnya, PUPKA Riau berharap konflik agraria yang terjadi saat ini dapat diselesaikan di Riau.
“Saya tegaskan posko ini dibangun untuk mengupayakan penyelesaian konflik agraria sebagai pondasi pendukung penyelesaian konflik di Riau. Kedepannya PUPKA Riau diharapkan dapat mengatasi konflik ini dengan cermat dan profesional,” ungkap Intsiawati Ayus kepada RiauInfo di Ruang DPD Kantor DPRD Riau, Kamis (6/9).
Menurut alumni UIR ini, tertanggal 8 Agustus 2007, dia melakukan kerjasama dengan Komite Pimpinan Pusat – Serikat Tani Riau (KPP-STR) dalam mendorong penyelesaian konflik agraria di Riau. Hal ini berlandaskan kepada kesepakatan bersama antara Badan Pertanahan Nasional RI dengan Kepolisian Negara RI No. 3/SKB/BPN/2007 dan No.Pol.B/576/III/2007 tanggar 15 Maret 2007.
Semua ini bermuatan penting agar penyelesaian konflik agraria yang direncanakan oleh Pemerintah lebih mengedepankan rakyat dalam usaha penyelesaian. Mengapa? Karena tumpang tindihnya Surat Keputusa (SK) Pemerintah Pusat pada masa sentralisasi orde baru yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar di Riau.
Dengan adanya surat keterangan dasar kepemilikan atau pengelola tanah yang dimiliki oleh masyarakat Riau atau bahkan dengan tanah hukum adat/ulayat. Ini harus diselesaikan melibatkan masyarakat yang bersangkutan.
“Karena mana mungkin konflik agraria akan terselesaikan tanpa melibatkan mereka. Untuk itulah, PUPKA Riau ini kami bangun. Agar keterlibatan rakyat dalam mengetahui sejauh mana penyelesaian kasus agraria berjalan. Sehingga peran yang dapat kami berikan mampu mendorong keadilan agraria demi kesejahteraan bersama,” pungkasnya. (Dd)

Intsiawati Ayus Deklarasikan PUPKA Riau


PEKANBARU (RiauInfo)
Anggota DPD/MPR-RI Daerah Pemilihan Riau, Intsiawati Ayus, SH.MH secara resmi mendeklarasikan Sentral Posko Upaya Penyelesaian Konflik Agraria (PUPKA) Riau di Ruang DPD Kantor DPRD Riau, Kamis (6/9). Pasalnya, PUPKA Riau berharap konflik agraria yang terjadi saat ini dapat diselesaikan di Riau.

"Saya tegaskan posko ini dibangun untuk mengupayakan penyelesaian konflik agraria sebagai pondasi pendukung penyelesaian konflik di Riau. Kedepannya PUPKA Riau diharapkan dapat mengatasi konflik ini dengan cermat dan profesional," ungkap Intsiawati Ayus kepada RiauInfo di Ruang DPD Kantor DPRD Riau, Kamis (6/9).

Menurut alumni UIR ini, tertanggal 8 Agustus 2007, dia melakukan kerjasama dengan Komite Pimpinan Pusat - Serikat Tani Riau (KPP-STR) dalam mendorong penyelesaian konflik agraria di Riau. Hal ini berlandaskan kepada kesepakatan bersama antara Badan Pertanahan Nasional RI dengan Kepolisian Negara RI No. 3/SKB/BPN/2007 dan No.Pol.B/576/III/2007 tanggar 15 Maret 2007.

Semua ini bermuatan penting agar penyelesaian konflik agraria yang direncanakan oleh Pemerintah lebih mengedepankan rakyat dalam usaha penyelesaian. Mengapa? Karena tumpang tindihnya Surat Keputusa (SK) Pemerintah Pusat pada masa sentralisasi orde baru yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar di Riau.

Dengan adanya surat keterangan dasar kepemilikan atau pengelola tanah yang dimiliki oleh masyarakat Riau atau bahkan dengan tanah hukum adat/ulayat. Ini harus diselesaikan melibatkan masyarakat yang bersangkutan.

"Karena mana mungkin konflik agraria akan terselesaikan tanpa melibatkan mereka. Untuk itulah, PUPKA Riau ini kami bangun. Agar keterlibatan rakyat dalam mengetahui sejauh mana penyelesaian kasus agraria berjalan. Sehingga peran yang dapat kami berikan mampu mendorong keadilan agraria demi kesejahteraan bersama," pungkasnya. (Dd)

SONGSONG PILGUB 2008, Intsiawati Ayus: Masih Menunggu Putusan MK

PEKANBARU, RiauInfo- Kandidat calon perorangan (Independen) akan muncul-muncul satu persatu dalam meyongsong Pemilihan Gubernur Riau tahun 2008 mendatang. Tapi Intsiawati Ayus masih menunggu review keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Desember 2007.

"Maju, itu hal yang muda bagi saya. Masih sih seorang wanita ingin jadi Robin Hood dan Samson. Lihat saja nanti," ungkap Anggota DPD Daerah Pemilihan Riau, Intsiawati Ayus, SH,MH kepada wartawan di Ruang DPD Kantor DPRD Riau, Kamis (6/9).

Menurutnya, maju dari calon independen mempunyai peluang besar untuk dapat terpilih. Karena independen adalah calon yang kuat. Jika masyarakat Riau menginginkan dirinya jadi Gubernur bagaimana?

"Ya, amanah itu akan saya jalankan dengan baik. Saya siap untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Riau. Itulah simbol saya dalam kehidupan ini," katanya.

Tambah Intsiawati Ayus, jika tak ada aral melintang, keputusan MK masalah Undang-undang 32 tentang calon perorangan akan dikeluarkan Desember 2007. "Saya siap maju dari jalur independen, tapi masih menunggu keputusan MK," tukasnya. (Dodi Devira)

Intsiawati Ayus Deklarasikan PUPKA Riau

PEKANBARU, RiauInfo- Anggota DPD/MPR-RI Daerah Pemilihan Riau, Intsiawati Ayus, SH.MH secara resmi mendeklarasikan Sentral Posko Upaya Penyelesaian Konflik Agraria (PUPKA) Riau di Ruang DPD Kantor DPRD Riau, Kamis (6/9). Pasalnya, PUPKA Riau berharap konflik agraria yang terjadi saat ini dapat diselesaikan di Riau.

"Saya tegaskan posko ini dibangun untuk mengupayakan penyelesaian konflik agraria sebagai pondasi pendukung penyelesaian konflik di Riau. Kedepannya PUPKA Riau diharapkan dapat mengatasi konflik ini dengan cermat dan profesional," ungkap Intsiawati Ayus kepada RiauInfo di Ruang DPD Kantor DPRD Riau, Kamis (6/9).

Menurut alumni UIR ini, tertanggal 8 Agustus 2007, dia melakukan kerjasama dengan Komite Pimpinan Pusat - Serikat Tani Riau (KPP-STR) dalam mendorong penyelesaian konflik agraria di Riau. Hal ini berlandaskan kepada kesepakatan bersama antara Badan Pertanahan Nasional RI dengan Kepolisian Negara RI No. 3/SKB/BPN/2007 dan No.Pol.B/576/III/2007 tanggar 15 Maret 2007.

Semua ini bermuatan penting agar penyelesaian konflik agraria yang direncanakan oleh Pemerintah lebih mengedepankan rakyat dalam usaha penyelesaian. Mengapa? Karena tumpang tindihnya Surat Keputusa (SK) Pemerintah Pusat pada masa sentralisasi orde baru yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar di Riau.

Dengan adanya surat keterangan dasar kepemilikan atau pengelola tanah yang dimiliki oleh masyarakat Riau atau bahkan dengan tanah hukum adat/ulayat. Ini harus diselesaikan melibatkan masyarakat yang bersangkutan.(Dodi Devira)

"Karena mana mungkin konflik agraria akan terselesaikan tanpa melibatkan mereka. Untuk itulah, PUPKA Riau ini kami bangun. Agar keterlibatan rakyat dalam mengetahui sejauh mana penyelesaian kasus agraria berjalan. Sehingga peran yang dapat kami berikan mampu mendorong keadilan agraria demi kesejahteraan bersama," pungkasnya. (Dd)

DPD Riau Kejar Dana Non Budgeter Pemda di Riau

Terkait dengan tingginya dana bank Riau yang di-SBIkan, DPD RI dapil Riau bakal mengejar bunganya (non budgeter). Alasannya, penempatannya tak jelas.

Riauterkini-PEKANBARU-Anggota DPD RI dapil (daerah pemilihan) Riau, Intsiawati Ayus kepada Riauterkini kamis (6/9) menyatakan bahwa bunga dari dana milik pemda di Riau yang di SBI-kan oleh Bank Riau ke Bank Indonesia bisa disebut dengan dana non budgeter.

Namun menurut Instsiawati Ayus, dana non budgeter itu selama ini tidak jelas kemana dimasukkan. Untuk itu, dirinya berjanji akan melakukan konsutasi dengan menteri keuangan RI, Sri Mulyani untuk menyusun formula auditingnya.

”Dengan formula yang tepat, kita akan mengejar dana tersebut. Agar jelas kemana dana tersebut diarahkan. Pasalnya, kendati itu merupakan bunga dari dana APBD yang disimpan ke Bank Riau, namun selain jumlahnya besar, juga masuk sebagai dana non budjeter APBD. Jadi perlu ada kejelasan diposisikan dimana dana tersebut,” katanya.

Sementara itu, seperti yang dirilis Riauterkini sebelumnya, ’dana titipan’ pemda di Riau itu di-SBIkan oleh bank Riau bersama dengan dana dari pihak ketiga (nasabah umum). Bunga yang diberikan oleh Bank Indonesia adalah 4 % perhari untuk jasa giro dan 8,25% untuk jasa deposito.

Turut pengakuan Direktur Pemasaran Bank Riau, Buchari Asshari, pihaknya secara profesional sudah memberikan hak-hak nasabah sesuai dengan mekanisme perbankan yang berlaku. Alokasi bunga SBI diberikan kepada ’dana titipan’ dari pemda di Riau sama dengan yang diberikan kepada nasabah umum lainnya.

Yang menjadi permasalahan adalah, ketika pihak perbankan mendistribusikan bunga dana yang diSBIkan kepada ’pemilik dana’, maka pemilik dana seharusnya meletakkan dana tersebut pada posisi yang jelas. Karena asal dana adalah dari dana pemda di Riau yang diSBIkan.

”Posisi dana non budgeter itulah yang kini akan kita investigasi. Dialokasikan kemana jika memang dikucurkan sebagai dana proyek, dan disimpan di mana dana tersebut jika memang disimpan,” katanya.***(H-we)

Lagi Paripurna HUT Emas Riau: Gedung DPRD Dikepung Massa dan Dilempari Tomat

Sekitar 1.000 massa SEGERA mengepung gedung DPRD Riau saat wakil rakyat menggelar rapat paripurna istimewa HUT emas Riau. Sementara mahasiswa melempar gedung dewan dengan tomat.

Riauterkini-PEKANBARU-Sudah menjadi agenda rutin DPRD Riau setiap HUT provinsi menggelar sidang paripurna istimewa. Begitu juga pada HUT Riau ke-50, Kamis (9/8). Di saat para wakil rakyat bersidang, sekitar 1.000 massa Sentral Gerakan Rakyat (SEGERA) tiba dan langsung berkerumun di tepi jalan, luar pagar gedung DPRD Riau.

SEGERA merupakan kelompok kedua yang berdemo di DPRD Riau, sebelumnya telah terlebih dahulu datang sekitar 100 mahasiswa dari BEM Unri, BEM UIR dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Riau. Secara umum, kedua kelompok massa sama-sama kecewa peringatan HUT emas Riau begitu meriah. Sementara rakyat Riau masih banyak yang melarat.

Kedua kelompok massa tiba di DPRD Riau setelah melakukan long march dari Taman Makam Pahlawan Kusuma Darma Pekanbaru. Khusus massa SEGERA, sebagaiana aksi-aksi sebelumnya, mereka datang dengan tuntutan penutupan PT. Arara Abadi (AA) dan Indah Kiat Pulp And Paper (IKPP).

Tampil di atas podium dari sebuah mobil Pic-up, Rinaldi (Koordinator SEGERA), Intsiawati Ayus (anggota DPD RI) dan Mundung (Direktur Walhi Riau). Dalam orasinya, anggota DPD RI dari daerah pemilihan Riau, Intsiawati Ayus menyatakan dukungannya kepada masyarakat yang 'tertindas' oleh ulah perusahaan industri kehutanan yang menyerobot lahan adat (ulayat) suku sakai.



"Kita akan mendesak pimpinan provinsi Riau dan DPRD Riau untuk segera menuntaskan permasalahan penyerobotan lahan ulayat milik warga suku sakai oleh PT AA dan IKPP. Kita juga akan meminta pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk segera mengajukan data-data lengkat terhadap status lahan tersebut," terangnya.

Selain dikepung massa, gedung dewan juga dilempari tomat. Mahasiswa yang merasa kecewa karena aksi mereka tidak ditanggapi lantas melemparkan tomat. Belasan tomat berserakan di jalan depang gedung dewan, tenaga mahasiswa tak cukup kuat untuk mengotori gedung dewan dengan tomat, sebab jarak mereka terlalu jauh.

Sementara itu, Koordinator SEGERA, Rinaldi kepada Riauterkini menegaskan bahwa aksi kita ini bukanlah aksi demo seperti sebelumnya. Saat ini kita melakukan aksi pesta rakyat dalam rangka merayakan HUT Riau ke-50.

"Kita hanya melaksanakan pesta rakyat untuk memperingati HUT emas Riau. Dan kegiatan kita juga tidak ingin bertemu dengan para pejabat," terangnya.

terkait dengan aksi demo tersebut, Gubernur Riau, HM Rusli Zainal menyatakan bahwa aksi yang dilakukan adalah hal yang biasa. Pemprov Riau menghormati hak penyampaian aspirasi mereka.

"Itu biasa. Mereka boleh menyampaikan aksi sebagai sebuah aspirasi mereka kepada pemerintah maupun wakil mereka di DPRD Riau. Tentunya kita menerima aspirasi mereka dan akan memberikan solusi yang adil untuk permasalahan yang saat ini melibatkan mereka," terangnya.

Hal senada dikatakan ketua DPRD Riau, Chaidir. Menurutnya, aksi demo itu merupakan hal yang biasa dilakukan oleh warga untuk menyampaikan aspirasi mereka. Dan aspirasi itu juga bisa menjadi sebuah dukungan ataupun berupa kritik dan saran untuk pemerintah.***(H-we)

Menggugat Payung Hukum Pelabuhan

Jakarta, Suara-Daerahonline-Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, Indonesia sepertinya belum juga tersadar untuk lebih serius menggarap sektor ini. Padahal, seandainya pemerintah serius, bukannya suatu kemustahilan perekonomian negeri ini bakal bangkit dengan cepat.

Tengok saja negara tetangga kita Singapura. Bagaimana usaha mereka untuk membesarkan potensi kelautan -meski terbatas wilayahnya- sehingga mereka termasuk salah satu negara di Asia yang sudah diperhitungkan tingkat ekonominya. Salah satu penyokong pendapatan di Singapura adalah sektor pelabuhan. Malah negeri ini sering disebut dengan negara pelabuhan. Mereka tempat transit perdagangan dunia.

Akankah negeri Indonesia tercinta ini bisa melakukan seperti apa yang dilakukan negara tetangga itu? Sebenarnya bisa. Sebagaimana diutarakan Prof. Dr. Hasyim Jalal, pengamat kemaritiman, negeri ini seharusnya bisa memperoleh lebih banyak dari wilayah lautnya. Sekarang ini, lanjutnya, pemerintah lebih memperhatikan pembangunan di darat, padahal kalau sektor maritim bisa diperhatikan lagi, Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari negara tetangga itu. Salah satu yang belum tergarap optimal adalah pelabuhan lautnya.

Selain pembangunan pelabuhan dengan manajemen moderan, pemerintah bersama lembaga legislatif seyogianya memikirkan kembali payung hukum yang lebih komprehensif untuk pelabuhan. Selama ini, aturan pengelolaan pelabuhan diatur dalam UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, PP 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan Keputusan Menteri (KM) 54/2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut.

Tiga perangkat aturan tersebut dinilai masih belum memprioritaskan pengelolaan pelabuhan secara benar dan komprehensif, yang mampu memberikan manfaat dan keuntungan bagi kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam bentuk deviden.

Di sisi lain, industri pelabuhan yang selama ini dikelola Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo), baik Pelindo I (Medan), Pelindo II (Tanjung Priok), Pelindo III (Surabaya) dan Pelindo IV (Makasar), dinilai belum memberikan Community Development atau dengan sebutan program bina mitra lingkungan secara proporsional.

Menurut sumber majalah ini, community development tersebut kebanyakan diberikan pada kru-kru pelabuhan atau kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Padahal hingga saat ini banyak sekali usaha kecil masyarakat disekitar Pelabuhan yang memerlukan pinjaman lunak dari BUMN Pelindo.

Di sisi lain, 'basah'-nya bisnis pelabuhan yang mencapai angka miliaran rupiah per harinya, dengan diwarnai Pungli (Pungutan Liar) di sana-sini tersebut menggelitik pemerintah daerah untuk ikut mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya.
Di samping persoalan-persoalan di atas, selama ini ada ketidakjelas dalam pengaturan pelabuhan, bahkan disinyalir tumpang tindih, sehingga menjadikan kewenangan instansi yang terlibat di pelabuhan berjalan masing-masing.

Tak pelak, kondisi yang satu ini, menjadi penyebab kenapa Pelabuhan Indonesia hingga saat ini, kalah bersaing dengan pelabuhan di negara tetangga kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Bahkan, parahnya taruf pelabuhan Indonesia termahal di dunia.

Berbagai fenomena persoalan di atas, nampaknya menjadi alasan munculnya wacana agar ada pemisahan pengaturan pelabuhan dari UU No. 21/1992 tentang Pelayaran, seperti yang berlangsung selama ini.

Usulan agar pengaturan pelabuhan melalui undang-undang tersendiri, salah satunya dikemukakan kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sebut saja Sarwono Kusumaatmadja, selaku Ketua Panitia Adhoc (PAH) II DPD saat ini, mengemukakan, idealnya dan ini mengacu pada ketentuan UNCLOS 1982, pelabuhan diatur dengan Undang-undang sendiri, tidak dicantolkan pada UU No.21 /1992 tentang pelayaran, sebagaimana berlaku selama ini.

"UNCLOS, 1982 salah satunya memuat apa yang disebut dengan Port State, yaitu Negara Pelabuhan. Pelabuhan ini yang bertanggung jawab adalah syahbandar. Faktanya, syahbadnar di Indonesia ini tidak jelas. Departemen Perhubungan mengatakan syahbandar itu sama dengan Adpel atau administrator pelabuhan. Padahal sebenarnya Adpel sama sekali tidak sama dengan syahbandar,"kata Sarwono Kusumaatmaja.
Hal senada ditegaskan Intsiawati Ayus, anggota DPD RI asal pemilihan Kepulauan Riau. Dikatakan aturan hukum mengenai pelabuhan sebagaimana tertuang dalan UU Pelayaran, belum maksimal dan tidak lengkap, terutama berkenaan dengan pengelolaan industri pelabuhan. "Dalam arti, pengaturan pelabuhan melalui UU pelayaran tidak proporsionalnya. Sehingga, memunculnya berbagai persoalan seperti daerah yang bersikeras mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya," kata Intsiawati Ayus.
Sementara menurut Abdul Hakim anggota Komisi V DPR, ada dua alasan mengapa perlu ada kajian terkait dengan usulan kuat untuk memisahkan pengaturan pelabuhan dari Undang-undang pelayaran.

Pertama, kata Hakim, aspek pelayaran sangat terikat dengan konvensi-konvensi internasional, semacam UNCLOS (United Nation Conention Low of The Sea) (Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Sementara itu, aspek pelabuhan lebih banyak ke aspek teknis dan merupakan wewenang kenegaraan.

"Jadi masing-masing aspek cenderung memiliki kekhasan tersendiri, sehingga RUU yang dibuat pun harus mengacu ketentuan tersebut," terang Abdul Hakim, Kamis (15/6). Abdul Hakim mengakui, dalam RUU Pelayaran telah ada bab-bab tersendiri perihal kedua aspek tersebut. Namun, mengingat kekhasan masing-masing aspek, tetap diperlukan kajian yang komprehensif agar tidak ada overlaping dalam praktek dilapangan. "Pemerintah harus cermat. Berbagai persoalan yang bakal muncul perlu dicarikan solusinya terlebih dahulu,"pinta Hakim.

Pertimbangan Kedua, ada perbedaan dari aspek asas. Menurutnya, jika pelabuhan dikontrol pemerintah, maka beberapa asas yang tercantum dalam RUU Pelayaran menjadi tidak relevan dengan pelayaran. Hakim memberi contoh, asas usaha bersama dan kekeluargaan yang notabene tidak match dengan semangat industri pelayaran yang mengutamakan profit (keuntungan).

Persoalan lain, adanya keinginan pemerintah membuka ruang lebih besar kepada swasta, untuk turut serta dalam pengelolaan pelabuhan. Semangat ini, ungkapnya, sebagai bentuk anti monopoli yang patut diberikan apresiasi. Akan tetapi, ada dampak yang perlu dicermati jika operator sepenuhnya dikelola oleh pihak swasta.
Dijelaskan, jika perusahaan yang sama juga bergerak di bidang pelayaran dan memiliki sejumlah kapal, bisa dipastikan akan terjadi diskriminasi dalam hal pelayanan pelabuhan. "Ini yang patut kita hindari. Caranya dengan mempertegas peran regulator dan operator antara pemerintah dan swasta," saran Abdul Hakim.

RUU Pelabuhan
Bilamana kepelabuhanan diatur Undang-undang tersendiri, kata Sarwono Kusuma Atmaja, akan jelas siapa yang berwenang, dan siapa yang mesti bertanggungjawab pada sebuah pelabuhan, termasuk masalah pengamanan lalu lintas barang dan kapal serta moda trasportasi lain yang berkepentingan di pelabuhan.

"Selama ini, pengelolaan pelabuhan tidak jelas, bahkan tumpang tindih, dengan kata lain pengelolaan (operator) pelabuhan dilakukan oleh PT (Persero) Pelindo I, II, III, IV, tapi disaat bersamaan PT Pelindo juga bertindak sebagai regulator, parahynya, administrator pelabuhan yang notabene dibawah Departemen Perhubungan juga mengeluarkan regulator," Kata Sarwono Kusumaatmaja.

]Meskipun sekarang pemerintah sedang menggodok revisi UU No. 21/1992 tentang pelayaran, kata Sarwono, urusan pelabuhan di Indonesia belum tentu bisa ter-cover semuanya. Dalam revisi itu memang disebutkan akan ada perubahan cukup mendasar karena nantinya Pemerintah Daerah (Pemda) dan pihak Swasta yang ber-Badan Hukum Indonesia (BHI) dapat dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan.

"Hal ini sesuai dengan amanah UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang berarti ada kewenangan pemyelenggaraan otomi daerah (Otoda), yang berarti pemerintah daerah dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan yang ada diwilayahnya, sehingga, bukan hanya sebagai mitra kerja, seperti yang berlangsung selama vini, " kata Sarwono.
Berdasarkan latarbelakang alasan yang dikemukakan diatas, kata Intsiawati Ayus, DPD RI telah mengajukan RUU Kepelabuhanan kepada Komisi V DPR RI. "RUU Kepelabuhan yang kami ajukan, telah disusun secara komprehensif terdiri dari 21 (dua puluh satu) Bab beserta naskah akademisnya," kata Intsiawati Ayus.

Dijelaskan, RUU pelabuhan memuat ketentuan dan pengaturan seperti pertama, penetapan kebijakan dan pengatruran perencanaan dan pengembangan pelabuhan nasional (national port development plan and polcy) yang disesuaikan dengan karekteristik potensi ekonomi, teknis, operasional dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing pelabuhan.

"Kedua, penetapan rencana induk pelabuhan dan daerah lingkungan kerja (DL Kr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp), dengan batas-batas yang jelas. Dan Ketiga, Hak atas tanah dan perairan di DLKr dan perairan di DLKp tidak otomatis dimiliki oleh pengelola pelabuhan yang telah mendapatkan penetapan DLKr dan DLKp, tetapi diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah dan perairan," kata Intsiawati Ayus.

Dan hal lainnya (Keempat), RUU Pelayaran, tidak memuat atau tidak mengakomodir kepentingan daerah. "Kewenangan di pelabuhan harus memperhatikan asas pokok Undang-undang No. 32 tahun 2004 yaitu asas ekternalitas, asas efeiiensi, asas akuntabilitas dan juga memperhatikan interkoneksitas pemerintah pusat dan pemerimntah daerah," kata Intsiwati Ayus.

Ditambahkan, optimalisasi teknis pelabuhan khusus tertentu disesuaikan dengan kondisi alam, dan memenuhi standar internasional, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat; Kesembilan, Keleluasaan bagi daerah untuk membangun pelabuhan berdasarkan standar, norma dan prosedur yang ditetapkan bersama antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, untuk menghindari tumpang tindih investasi antar wilayah.

Hal senada disampaikan ketua Tim Kerja RUU Kepelabuhanan DPD-RI, Bambang Soeroso, mengatakan pentingnya pelabuhan di Indonesia diatur dalam UU tersendiri, dinilai, lebih dikarenakan perjalanan sektor kepelabuhanan di Indonesia terus mengalami kemunduran.

Menurutnya, posisi strategis yang dimiliki Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai transshipment port antar negara maupun sebagai collector port dan distribution port bagi pelabuhan-pelabuhan lain. "Dan ironisnya, justru saat ini Indonesia sangat bergantung pada Singapura dan Malaysia. Kondisi itu, selain kerugian ekonomis juga berdampak pada hilangnya devisa negara serta lemahnya daya tawar Indonesia dalam perdagangan dunia, " paparnya.

Dia juga mengatakan, pasca pelaksaan UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (OTODA), masalah kepelabuhanan juga seringkali diperdebatkan. Untuk itu, kata dia, dalam RUU Kepelabuhanan, kepentingan pusat dan daerah soal pengelolaan pelabuhan telah terakomodir.

Saat ini terdapat 2.113 pelabuhan di Indonesia dengan komposisi 111 pelabuhan diusahakan oleh PT Pelabuhan Indonesia, 597 oleh Pemerintah dan 1.401 oleh pelabuhan khusus Industri yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik teknis, operasional dan potensi ekonomi tersendiri.

Pada masa mendatang, Bambang Soeroso menjelaskan, mestinya ada dua fungsi pelabuhan yang harus dijalankan. Pertama, pelabuhan sebagai pusat informasi kapal dan barang guna mendukung distribusi dan konsolidasi transportasi multimode. Kedua, pelabuhan juga harus berperan mempermudah kelancaran pelayanan barang, penumpang dan kapal untuk peningkatan roda ekonomi.(Agus N. Palgunadi).

Menggugat Payung Hukum Pelabuhan



Jakarta, Suara-Daerahonline-Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, Indonesia sepertinya belum juga tersadar untuk lebih serius menggarap sektor ini. Padahal, seandainya pemerintah serius, bukannya suatu kemustahilan perekonomian negeri ini bakal bangkit dengan cepat.



Tengok saja negara tetangga kita Singapura. Bagaimana usaha mereka untuk membesarkan potensi kelautan -meski terbatas wilayahnya- sehingga mereka termasuk salah satu negara di Asia yang sudah diperhitungkan tingkat ekonominya. Salah satu penyokong pendapatan di Singapura adalah sektor pelabuhan. Malah negeri ini sering disebut dengan negara pelabuhan. Mereka tempat transit perdagangan dunia.



Akankah negeri Indonesia tercinta ini bisa melakukan seperti apa yang dilakukan negara tetangga itu? Sebenarnya bisa. Sebagaimana diutarakan Prof. Dr. Hasyim Jalal, pengamat kemaritiman, negeri ini seharusnya bisa memperoleh lebih banyak dari wilayah lautnya. Sekarang ini, lanjutnya, pemerintah lebih memperhatikan pembangunan di darat, padahal kalau sektor maritim bisa diperhatikan lagi, Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari negara tetangga itu. Salah satu yang belum tergarap optimal adalah pelabuhan lautnya.



Selain pembangunan pelabuhan dengan manajemen moderan, pemerintah bersama lembaga legislatif seyogianya memikirkan kembali payung hukum yang lebih komprehensif untuk pelabuhan. Selama ini, aturan pengelolaan pelabuhan diatur dalam UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, PP 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan Keputusan Menteri (KM) 54/2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut.



Tiga perangkat aturan tersebut dinilai masih belum memprioritaskan pengelolaan pelabuhan secara benar dan komprehensif, yang mampu memberikan manfaat dan keuntungan bagi kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam bentuk deviden.



Di sisi lain, industri pelabuhan yang selama ini dikelola Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo), baik Pelindo I (Medan), Pelindo II (Tanjung Priok), Pelindo III (Surabaya) dan Pelindo IV (Makasar), dinilai belum memberikan Community Development atau dengan sebutan program bina mitra lingkungan secara proporsional.



Menurut sumber majalah ini, community development tersebut kebanyakan diberikan pada kru-kru pelabuhan atau kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Padahal hingga saat ini banyak sekali usaha kecil masyarakat disekitar Pelabuhan yang memerlukan pinjaman lunak dari BUMN Pelindo.



Di sisi lain, 'basah'-nya bisnis pelabuhan yang mencapai angka miliaran rupiah per harinya, dengan diwarnai Pungli (Pungutan Liar) di sana-sini tersebut menggelitik pemerintah daerah untuk ikut mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya.

Di samping persoalan-persoalan di atas, selama ini ada ketidakjelas dalam pengaturan pelabuhan, bahkan disinyalir tumpang tindih, sehingga menjadikan kewenangan instansi yang terlibat di pelabuhan berjalan masing-masing.



Tak pelak, kondisi yang satu ini, menjadi penyebab kenapa Pelabuhan Indonesia hingga saat ini, kalah bersaing dengan pelabuhan di negara tetangga kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Bahkan, parahnya taruf pelabuhan Indonesia termahal di dunia.



Berbagai fenomena persoalan di atas, nampaknya menjadi alasan munculnya wacana agar ada pemisahan pengaturan pelabuhan dari UU No. 21/1992 tentang Pelayaran, seperti yang berlangsung selama ini.



Usulan agar pengaturan pelabuhan melalui undang-undang tersendiri, salah satunya dikemukakan kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sebut saja Sarwono Kusumaatmadja, selaku Ketua Panitia Adhoc (PAH) II DPD saat ini, mengemukakan, idealnya dan ini mengacu pada ketentuan UNCLOS 1982, pelabuhan diatur dengan Undang-undang sendiri, tidak dicantolkan pada UU No.21 /1992 tentang pelayaran, sebagaimana berlaku selama ini.



"UNCLOS, 1982 salah satunya memuat apa yang disebut dengan Port State, yaitu Negara Pelabuhan. Pelabuhan ini yang bertanggung jawab adalah syahbandar. Faktanya, syahbadnar di Indonesia ini tidak jelas. Departemen Perhubungan mengatakan syahbandar itu sama dengan Adpel atau administrator pelabuhan. Padahal sebenarnya Adpel sama sekali tidak sama dengan syahbandar,"kata Sarwono Kusumaatmaja.

Hal senada ditegaskan Intsiawati Ayus, anggota DPD RI asal pemilihan Kepulauan Riau. Dikatakan aturan hukum mengenai pelabuhan sebagaimana tertuang dalan UU Pelayaran, belum maksimal dan tidak lengkap, terutama berkenaan dengan pengelolaan industri pelabuhan. "Dalam arti, pengaturan pelabuhan melalui UU pelayaran tidak proporsionalnya. Sehingga, memunculnya berbagai persoalan seperti daerah yang bersikeras mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya," kata Intsiawati Ayus.

Sementara menurut Abdul Hakim anggota Komisi V DPR, ada dua alasan mengapa perlu ada kajian terkait dengan usulan kuat untuk memisahkan pengaturan pelabuhan dari Undang-undang pelayaran.



Pertama, kata Hakim, aspek pelayaran sangat terikat dengan konvensi-konvensi internasional, semacam UNCLOS (United Nation Conention Low of The Sea) (Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Sementara itu, aspek pelabuhan lebih banyak ke aspek teknis dan merupakan wewenang kenegaraan.



"Jadi masing-masing aspek cenderung memiliki kekhasan tersendiri, sehingga RUU yang dibuat pun harus mengacu ketentuan tersebut," terang Abdul Hakim, Kamis (15/6). Abdul Hakim mengakui, dalam RUU Pelayaran telah ada bab-bab tersendiri perihal kedua aspek tersebut. Namun, mengingat kekhasan masing-masing aspek, tetap diperlukan kajian yang komprehensif agar tidak ada overlaping dalam praktek dilapangan. "Pemerintah harus cermat. Berbagai persoalan yang bakal muncul perlu dicarikan solusinya terlebih dahulu,"pinta Hakim.



Pertimbangan Kedua, ada perbedaan dari aspek asas. Menurutnya, jika pelabuhan dikontrol pemerintah, maka beberapa asas yang tercantum dalam RUU Pelayaran menjadi tidak relevan dengan pelayaran. Hakim memberi contoh, asas usaha bersama dan kekeluargaan yang notabene tidak match dengan semangat industri pelayaran yang mengutamakan profit (keuntungan).



Persoalan lain, adanya keinginan pemerintah membuka ruang lebih besar kepada swasta, untuk turut serta dalam pengelolaan pelabuhan. Semangat ini, ungkapnya, sebagai bentuk anti monopoli yang patut diberikan apresiasi. Akan tetapi, ada dampak yang perlu dicermati jika operator sepenuhnya dikelola oleh pihak swasta.

Dijelaskan, jika perusahaan yang sama juga bergerak di bidang pelayaran dan memiliki sejumlah kapal, bisa dipastikan akan terjadi diskriminasi dalam hal pelayanan pelabuhan. "Ini yang patut kita hindari. Caranya dengan mempertegas peran regulator dan operator antara pemerintah dan swasta," saran Abdul Hakim.



RUU Pelabuhan

Bilamana kepelabuhanan diatur Undang-undang tersendiri, kata Sarwono Kusuma Atmaja, akan jelas siapa yang berwenang, dan siapa yang mesti bertanggungjawab pada sebuah pelabuhan, termasuk masalah pengamanan lalu lintas barang dan kapal serta moda trasportasi lain yang berkepentingan di pelabuhan.



"Selama ini, pengelolaan pelabuhan tidak jelas, bahkan tumpang tindih, dengan kata lain pengelolaan (operator) pelabuhan dilakukan oleh PT (Persero) Pelindo I, II, III, IV, tapi disaat bersamaan PT Pelindo juga bertindak sebagai regulator, parahynya, administrator pelabuhan yang notabene dibawah Departemen Perhubungan juga mengeluarkan regulator," Kata Sarwono Kusumaatmaja.



]Meskipun sekarang pemerintah sedang menggodok revisi UU No. 21/1992 tentang pelayaran, kata Sarwono, urusan pelabuhan di Indonesia belum tentu bisa ter-cover semuanya. Dalam revisi itu memang disebutkan akan ada perubahan cukup mendasar karena nantinya Pemerintah Daerah (Pemda) dan pihak Swasta yang ber-Badan Hukum Indonesia (BHI) dapat dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan.



"Hal ini sesuai dengan amanah UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang berarti ada kewenangan pemyelenggaraan otomi daerah (Otoda), yang berarti pemerintah daerah dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan yang ada diwilayahnya, sehingga, bukan hanya sebagai mitra kerja, seperti yang berlangsung selama vini, " kata Sarwono.

Berdasarkan latarbelakang alasan yang dikemukakan diatas, kata Intsiawati Ayus, DPD RI telah mengajukan RUU Kepelabuhanan kepada Komisi V DPR RI. "RUU Kepelabuhan yang kami ajukan, telah disusun secara komprehensif terdiri dari 21 (dua puluh satu) Bab beserta naskah akademisnya," kata Intsiawati Ayus.



Dijelaskan, RUU pelabuhan memuat ketentuan dan pengaturan seperti pertama, penetapan kebijakan dan pengatruran perencanaan dan pengembangan pelabuhan nasional (national port development plan and polcy) yang disesuaikan dengan karekteristik potensi ekonomi, teknis, operasional dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing pelabuhan.



"Kedua, penetapan rencana induk pelabuhan dan daerah lingkungan kerja (DL Kr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp), dengan batas-batas yang jelas. Dan Ketiga, Hak atas tanah dan perairan di DLKr dan perairan di DLKp tidak otomatis dimiliki oleh pengelola pelabuhan yang telah mendapatkan penetapan DLKr dan DLKp, tetapi diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah dan perairan," kata Intsiawati Ayus.



Dan hal lainnya (Keempat), RUU Pelayaran, tidak memuat atau tidak mengakomodir kepentingan daerah. "Kewenangan di pelabuhan harus memperhatikan asas pokok Undang-undang No. 32 tahun 2004 yaitu asas ekternalitas, asas efeiiensi, asas akuntabilitas dan juga memperhatikan interkoneksitas pemerintah pusat dan pemerimntah daerah," kata Intsiwati Ayus.



Ditambahkan, optimalisasi teknis pelabuhan khusus tertentu disesuaikan dengan kondisi alam, dan memenuhi standar internasional, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat; Kesembilan, Keleluasaan bagi daerah untuk membangun pelabuhan berdasarkan standar, norma dan prosedur yang ditetapkan bersama antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, untuk menghindari tumpang tindih investasi antar wilayah.



Hal senada disampaikan ketua Tim Kerja RUU Kepelabuhanan DPD-RI, Bambang Soeroso, mengatakan pentingnya pelabuhan di Indonesia diatur dalam UU tersendiri, dinilai, lebih dikarenakan perjalanan sektor kepelabuhanan di Indonesia terus mengalami kemunduran.



Menurutnya, posisi strategis yang dimiliki Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai transshipment port antar negara maupun sebagai collector port dan distribution port bagi pelabuhan-pelabuhan lain. "Dan ironisnya, justru saat ini Indonesia sangat bergantung pada Singapura dan Malaysia. Kondisi itu, selain kerugian ekonomis juga berdampak pada hilangnya devisa negara serta lemahnya daya tawar Indonesia dalam perdagangan dunia, " paparnya.



Dia juga mengatakan, pasca pelaksaan UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (OTODA), masalah kepelabuhanan juga seringkali diperdebatkan. Untuk itu, kata dia, dalam RUU Kepelabuhanan, kepentingan pusat dan daerah soal pengelolaan pelabuhan telah terakomodir.



Saat ini terdapat 2.113 pelabuhan di Indonesia dengan komposisi 111 pelabuhan diusahakan oleh PT Pelabuhan Indonesia, 597 oleh Pemerintah dan 1.401 oleh pelabuhan khusus Industri yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik teknis, operasional dan potensi ekonomi tersendiri.



Pada masa mendatang, Bambang Soeroso menjelaskan, mestinya ada dua fungsi pelabuhan yang harus dijalankan. Pertama, pelabuhan sebagai pusat informasi kapal dan barang guna mendukung distribusi dan konsolidasi transportasi multimode. Kedua, pelabuhan juga harus berperan mempermudah kelancaran pelayanan barang, penumpang dan kapal untuk peningkatan roda ekonomi.(Agus N. Palgunadi).

WAKTU KE WAKTU TERUS MENINGKAT: Pekanbaru, Dumai dan Duri Rawan Kegiatan Perdagangan Manusia

PEKANBARU, RiauInfo- Tiga kota di Riau yakni Pekanbaru, Dumai dan Duri dinilai sebagai kota paling rawan kegiatan perdagangan manusia, khususnya perempuan (trafficking). Sebab letak ketiga kota ini sangat strategis, berdekatan dengan luar negeri.

Anggota Perwakilan Daerah (DPD) RI, Intsiawati Ayus SH MH dalam keterangannya kepada wartawan Slasa (8/5) di Pekanbaru mengatakan, kegiatan Trafficking itu terus mengalami peningkatan dalam hal kasusnya dari waktu ke waktu.

Dikatakannya bahwa trafficking di Riau sangat berkaitan dengan geografis dan aktivitas perdagangan lainnya di Riau yang relatif sibuk. Kedekatan dengan negara tetangga seperti Singapura juga menjadi alasan maraknya trafficking di Riau.

Riau yang merupakan daerah yang banyak menjadi daerah transit serta deportasi TKI (tenaga kerja Indonesia) serta TKW (tenaga kerja wanita) juga menjadi stimulan banyaknya kasus trafficking di Riau.

Sementara itu Otaya Purbalistyani mengatakan, karena maraknya trafficking di Riau, maka pihaknya bermaksud mengadakan seminar dengan tema 'Pemberantasan Trafficking di Riau".

Otaya yang bertindak selaku ketua panitia ini menyatakan bahwa seminar direncanakan akan dilaksanakan pada 10 Mei 2007 mendatang. Hanya saja, karena Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Prof Dr Meutia Hatta tak bisa hadir dalam kesempatan itu, maka seminar diundur pada 7 Juni 2007 mendatang.

"Kita memang meminta Bu Menteri untuk dapat menjadi key note speakernya. Makanya kita sesuaikan dengan jadwal beliau," ujarnya. Seminar ini rencananya akan diikuti oleh 500 orang peserta yang terdiri dari tokoh masyarakat, LSM, ormas, akademisi, organisasi perempuan se-Riau, bidang perempuan di pemerintah provinsi/kabupaten/kota se-Riau, BEM se-Riau dan lainnya.

Adapun pembicara yang akan mengisi seminar ini antara lain adalah Prof Dr Hj Meutia Hatta, Intsiawati Ayus SH MH sebagai moderator, Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Kapolda Riau, Brigjen Pol Sutjiptadi, Ketua Pusat Data dan Informasi Perempuan Riau (Pusdatin Puanri), Dra Hj Septina Primawati, dan Duta PBB untuk trafficking, Dewi Hughes.(Ad)

ILLEGAL LOGGING: Polda Riau Terus Usut Pelaku dan Bekingnya

PEKANBARU, Suara Karya-Polda Riau terus mengusut kasus illegal logging yang disinyalir melibatkan sejumlah oknum pejabat, baik di daerah maupun di pusat. Mereka umumnya membekingi atau mempermudah para pelaku illegal logging menjalankan aksinya.

Berkaitan dengan hal itu, Kapolda Riau Brigjen Pol Drs Sutjiptadi MM di Pekanbaru mengancam akan menjadikan tersangka dan menangkap para pejabat yang terlibat illegal logging tersebut. "Saya tidak main-main, siapapun akan saya tangkap," ujarnya.

Pernyataan itu disampaikannya sehubungan makin maraknya kegiatan illegal logging di Riau. Bahkan belum lama ini tim dari Polda Riau menemukan ribuan batang kayu log di hutan dan di tumpukan kayu industri (chip) di area PT Riaupulp dan PT IKPP.

Selain itu, tim juga menangkap basah 35 truk trailer bermuatan kayu tanpa dokumen milik Riaupulp. Berkaitan dengan itu, Tim Tipiter Polda memeriksa sejumlah pejabat Riaupulp, yakni Andreas, Rudi Rianda, Yusuf Wibisono, dan Rudi Fajar.

Seorang Menteri?

Menurut Sutjiptadi, kegiatan illegal logging di Riau memang sudah sangat parah. Ini dapat dilihat dari banyaknya tersangka pembalakan kayu yang telah ditetapkan Polda Riau. Saat ini jumlah tersangkanya mencapai 140 orang.

Bahkan menurut dia tidak tertutup kemungkinan sejumlah pejabat dari pusat maupun daerah dijadikan tersangka. Dia malah tidak membantah informasi adanya seorang menteri menjadi calon tersangka karena diduga terlibat illegal logging.

"Dari hasil pemeriksaan, baik terhadap tersangka maupun saksi, telah terseret sejumlah nama bupati dan menteri. "Saat ini tim penyidik kami sudah melayangkan surat kepada presiden sebagai syarat untuk pemeriksaan terhadap para pejabat itu," katanya menambahkan.

Sementara itu, Intsiawati Ayus, salah seorang anggota DPD RI asal Riau, mengaku sangat miris atas terjadinya praktik illegal logging di Riau itu. Setelah melihat sendiri bukti-bukti yang dipaparkan Kapolda Riau, dia memang merasa yakin Riaupulp terlibat dalam illegal logging.

"Bukti-bukti yang ditunjukkan kapolda itu sangat meyakinkan bahwa perusahaan itu melakukan pelanggaran dan melawan hukum," ujarnya. Makanya dia sangat mendukung upaya-upaya Polda Riau dalam memproses masalah tersebut.

Dia melihat tak ada sedikit pun celah hukum bagi perusahaan untuk membuktikan bahwa itu bukan melanggar atau melawan hukum. "Karena, berdasarkan bukti-bukti yang kami lihat sendiri, itu sudah sangat jelas melanggar hukum," katanya lagi. (Adrizas)

Dipicu Pernyataan Andi Darussalam, Warga Geram Lapindo

***

Sidoarjo, Surya - Belum adanya kepastian siapa penanggungjawab dana ganti rugi cash and carry (tunai) membuat warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) I kembali meradang. Bahkan, mereka geram dengan petinggi PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) maupun Lapindo Brantas Inc (LBI) yang pernyataannya dinilai kontra produktif dengan upaya yang saat ini dilakukan pemerintah. "Pernyataan mereka merupakan contoh buruk betapa sulitnya membentuk komitmen dan kepercayaan itu," kata Sumitro, salah satu perwakilan warga TAS I, Rabu (28/3).

Dijelaskan, sejumlah penyataan Vice President MLJ, Andi Darussalam Tabusalla (ADT), maupun Humas LBI, membuat warga geram. Menurutnya, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten bahkan

Pansus Lumpur DPRD I Jatim serta owner dari Lapindo, Bakrie Grup, yang bertanggungjawab pada pendanaan LBI, harus didorong bersama-sama agar mampu menghasilkan keputusan maksimal.

"Karena itu semua pernyataan atau tindakan jangan sampai kontra produktif yang berdampak kurang kondusif bagi pihak yang selama ini sudah lama menderita akibat lumpur," papar Sumitro.

Dalam pernyataan sikapnya, warga TAS I meminta MLJ dalam hal ini Andi Darussalam Tabussala, maupun Humas LBI, Yuniwati Teryana, segera menarik pernyataannya agar tidak memancing reaksi warga yang lebih keras. Apalagi, persoalan ganti rugi cash and carry sudah disetujui Bakrie Grup dengan pemerintah pusat.

Kesepakatan lisan itu harus segera ditindaklanjuti dalan bentuk dokumen otentik, dan apabila komitmen ini tidak ditanggapi, warga mengancam akan menduduki kantor, aset dan semua kepentingan Lapindo, baik yang ada di Jatim maupun Jakarta.

Belum adanya pernyataan hitam di atas putih terkait pembiayaan cash and carry ini disikapi ratusan warga TAS I dengan melakukan pertemuan di Pasar Baru Porong (PBP), Rabu (28/3) pukul 20.00 WIB. Menurut Sumitro, keputusan cash and carry sampai sekarang masih pernyataan lisan dari Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. "Karena itu kami butuh bukti hitam di atas putih," tegasnya.

Warga yang hadir, selain yang masih tinggal di pengungsian PBP, juga yang sudah tinggal di rumah kontrakan. Saat mengundang mereka, tambah dia, pihaknya menyampaikan agar warga siap bermalam di PBP karena akan ada rencana aksi. "Kalau jadi aksi besoknya (hari ini, -Red), warga sudah siap," papar Sumitro.

Seperti diketahui, Pihak MLJ belum dapat menentukan dimana posisi Lapindo dalam persoalan dengan warga TAS I. Dalihnya, pemenuhan cash and carry adalah statemen pemerintah. "Tanyakan ke pemerintah, siapa yang bertanggung jawab. Lapindo belum pernah diajak koordinasi," jelas Andi Darussalam Tabusalla, Selasa (27/3).

Belum diperoleh tanggapan balik dari Andi Darussalam mengenai geramnya warga tersebut, meskipun Surya sudah berkali-kali menghubungi melalui handphone-nya, Rabu malam.
Sedang Kepala Divisi Humas Lapindo Brantas Inc (LBI), Yuniwati Teryana menyatakan, pihaknya sudah mendengar keputusan pemerintah terkait ganti rugi tunai bagi warga TAS I. Namun mekanisme ganti rugi belum diketahui secara jelas.

Sumber di Divisi Humas Lapindo saat dikonfirmasi mengatakan, yang dilakukan Yuniwati selaku Humas LBI masih dalam batas wajar dan sesuai fakta. "Kami memang masih menunggu arahan dari pemerintah untuk melangkah," ujar sumber di Lapindo.

Tunggu Nirwan Sementara itu, kesepakatan pemberian ganti rugi cash and carry untuk warga Perum TAS I antara pemerintah dengan Lapindo Brantas Inc dipastikan tertunda. Sebab, pemilik perusahaan Lapindo, Nirwan Bakrie, saat ini tidak berada di Indonesia.

Menurut Gubernur Jatim Imam Utomo, Nirwan Bakrie sedang berada di Amerika Serikat untuk mengurusi perusahaannya. Informasinya, dua hari lagi Nirwan baru pulang ke tanah air. Namun, lanjut Imam, berdasarkan hasil komunikasi melalui telepon, Nirwan siap memberi ganti rugi warga TAS I.

"Menunggu Nirwan datang dari Amerika. Saya sudah telepon, pak menteri (ESDM) juga sudah telepon, (perjanjian) sudah siap," ungkap Imam usai menerima rombongan Pansus Semburan Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Pemprov Jatim, Jl Pahlawan, Rabu. Rombongan DPD di antaranya KH Mudjib Imron, Mahmud Ali Zein, KH Nuruddin A Rahman, Luther Kombong, Joseph Bona Manggo, Insiawati Ayus dan Eni Khoirani.

Imam mengungkapkan dana ganti rugi cash and carry totalnya Rp 3,8 triliun. Dari jumlah itu, Rp 1,2 triliun untuk ganti rugi warga Perum TAS I.
Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jatim, saat ini lahan yang tergenang lumpur seluas 576 hektare, sedang tanah bersertifikat sebanyak 7.309 bidang, terdiri 6.652 bidang di TAS I dan 657 bidang di luar TAS I.

Pada kesempatan itu Imam menjelaskan kepada rombongan DPD bahwa masa kerja Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur (TPSL) diperpanjang hingga 8 April. Sebagai penggantinya akan dibentuk sebuah badan pengelola lumpur. "Badan pengelolaan lumpur sudah hampir diputuskan," tegasnya.

Wakil Ketua Pansus semburan Lumpur Lapindo DPD, KH Mudjib Imron menegaskan pihaknya akan mengawal semua hasil kesepakatan antara warga, pemerintah dan Lapindo. "Lapindo jangan main-main, Lapindo sudah beberapa kali tidak memenuhi kesepakatan-kesepakatan. Kami tidak hanya menekan Lapindo, tetapi juga pemerintah," tegasnya.

Mudjib juga mengatakan telah bertemu dengan Presiden SBY terkait permasalahan Lapindo. "Pak SBY mengatakan saya serius menangani masalah lumpur. Kami minta kepada Pak SBY, tolong uang Lapindo untuk ganti rugi dititipkan di bank. Jangan hanya Rp 100 miliar, tetapi harus sesuai dengan nilai ganti rugi. Kalau tidak, aset Lapindo disita saja," ujar Mudjib. st3/iit/jho

Dana Tunai Warga Perumtas–1 Rp 1,3 Triliun

***

SINAR HARAPAN, Surabaya - Gubernur Jatim Imam Utomo memastikan warga korban lumpur pascaledakan pipa transmisi gas Pertamina bakal mendapatkan ganti rugi secara tunai seperti empat desa sebelumnya. Dana tunai tahap II ini diperkirakan Rp 1,3 triliun.
“Pada tahap pertama dulu, ganti rugi diperhitungkan sebesar Rp 2,5 triliun. Sedangkan pada tahap II untuk Perumtas-1 dan sekitarnya diperkirakan membutuhkan dana Rp 1,3 triliun,” kata Imam Utomo usai dialog dengan Pansus Lumpur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di kantor Gubernur Jatim, Jl Pahlawan Surabaya, Rabu (28/3).
Anggota Pansus DPD yang hadir dalam dialog tersebut adalah Luther Kombong (Kaltim), Joseph Bone Manggo (NTT), Insiawati Ayus (Riau), Eni Chairani (Bengkulu), Mahmud Ali Zein (Jatim) dan Nurrudin A Rahman (Jatim), serta ketua Pansus Mujib Imron (Jatim).
Menurutnya, saat ini Lapindo masih berkonsentrasi menyelesaikan transaksi jual beli atas tanah dan bangunan warga korban lumpur tahap I. Sedangkan untuk ganti rugi tahap II, masih harus menunggu skema dan proses pembayaran.
Meskipun demikian, hingga Kamis (29/3) nota kesepakatan antara pemerintah dan Lapindo Brantas Inc masih belum selesai. Sebab kesepakatan pemberian ganti rugi tunai tahap II tersebut masih menunggu kepulangan pemilik Lapindo Brantas Inc, Nirwan Bakrie yang saat ini sedang berada di Amerika Serikat.
Kepala BPN Jatim, Gede Ariyudha yang hadir dalam dialog tersebut, mengatakan bahwa hingga awal Maret 2007, lahan yang tergenang lumpur seluas 576 hektare. Sedangkan tanah yang bersertifikat sebanyak 7.309 bidang, terdiri atas 6.652 bidang di Perumtas-1 dan 657 bidang di luar Perumtas.

Jaga Komitmen
Sementara itu, Andi Darussalam Tabusalla, Vice President & Media Relation PT Minarak Lapindo Jaya, mengungkapkan bahwa keluarga Bakrie tidak akan lari dari tanggung jawab untuk menuntaskan penanganan sosial semburan lumpur ini. “Kami tidak akan lari dari tanggung jawab. Orang tua keluarga Bakrie telah mengajarkan pada anak-anaknya untuk selalu menghadapi masalah, meskipun itu pahit. Ini adalah bentuk komitmen kami,” kata Andi Darussalam kepada SH.

Hal ini sudah dibuktikan dengan melakukan transaksi jual beli pada 21 pemilik 67 bidang tanah. “Kami sudah membuktikan tanggung jawab itu. Keluarga Bakrie telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit sejak semburan lumpur terjadi, baik untuk upaya menghentikan semburan maupun penanganan sosial” tambahnya.
Pihaknya juga menilai keputusan pemerintah terkait soal ganti rugi korban lumpur ini cepat berubah. Sebelumnya pemerintah memutuskan memberikan ganti rugi relokasi plus. Kemudian berubah menjadi tunai. Demikian pun soal peta lumpur, setelah disepakati sesuai dengan 4 Desember 2006, kini dibuat lagi peta lumpur 22 Maret 2007. “Apakah sudah ada jaminan peta lumpur ini tidak meluas lagi setelah tuntutan ini dipenuhi?” tanyanya. (chusnun hadi)

ANGGOTA F-PAN DUKUNG PENGUATAN DPD

***

Jakarta (Dewan) Dua orang anggota dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berjumlah 2 dari total 53 orang menerakan tanda tangan usul amandemen kelima dalam rangka penguatan fungsi, tugas, dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Dukungan dibubuhkan Anggota Fraksi PAN MPR RI Tristanti Mitayani dan Tuti Indarsih Loekman Soetrisno di Press Room DPD Gedung DPD Kompleks Parlemen, Rabu (14/3), disaksikan Wakil Ketua DPD Laode Ida, Ketua Kelompok DPD di MPR Bambang Soeroso, Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR GKR. Hemas dan H. Yoppie Sangkot Batubara, Wakil Sekretaris Muhammad Nasir serta Anggota DPD asal Riau, Intsiawati Ayus dan Maimanah Umar.

Sebelum penandatanganan GKR Hemas mengungkapkan kebanggaan bahwa dua politisi anggota Fraksi PAN ini memahami niat DPD yang akan memperbaiki konstitusi di negara ini. “…pada pagi hari ini dengan kesadaran penuh beliau berdua, beliau ingin sangat membantu, khususnya untuk ketatanegaraan di negara kita ini,” demikian disampaikan Ratu Hemas.

Tuti Indarsih Loekman Soetrisno mengungkapkan alasan dukunganya, bahwa pemikiran tentang perubahan konstitusi sudah lama ada, dan kini ada waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Tuti melihat adanya kepentingan yang lebih besar dari apa yang telah diperjuangkan dengan melalui perubahan konstitusi. Sebagai wakil rakyat menurutnya nomer satu yang dipikirkan adalah apa yang paling baik bagi rakyat, jadi apapun yang akan dilakukan melalui perubahan konstitusi adalah semata – mata agar rakyat lebih terperhatikan.

Sementara itu Tristanti Mitayani mengungkapkan alasan dukungannya karena keprihatinan yang luar biasa terhadap fenomena yang terjadi saat ini dimana DPR seolah-olah tidak mampu melakukan atau menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah. Selain itu menurutnya ada gejala yang sudah semakin nyata dimana pemerintah akan mengkerdilkan daerah, upaya–upaya untuk membesarkan daerah, mensejahterakan daerah itu rupanya sedikit demi sedikit ditarik.

Jadi tujuan dukungan mereka ini adalah untuk mendorong peningkatan kualitas check and balances lembaga legislatif terhadap eksekutif terutama dalam kaitan dengan kewenangan daerah. Misalkan saja UU Penyiaran yang mengerdilkan kewenangan daerah. “…jadi saya pikir saya harus mencari kekuatan lain untuk menyeimbangkan atau memperkuat DPR ini yang kelihatannya lemah di depan pemerintah, “ lanjut Tristanti

Tristanti juga menegaskan bahwa dukungan terhadap penguatan DPD dilakukan atas dasar sebagai individu, sebagai pribadi, bukan atas nama fraksi tetapi sebagai tokoh wanita politisi PAN. “Saya tidak tahu, kita tidak membicarakan fraksi, tapi saya sebagai individu saya merasa terpanggil untuk menandatangani ini karena sama juga dengan ibu tuti, “ demikian jelas Tristanti.

Bambang Soeroso dalam sambutannya sebelum menutup acara, menyatakan ungkapan terimakasih dan kebanggaan serta hormat terhadap dukungan pada upaya DPD untuk mengoptimalisasi peran dan fungsinya didalam rangka memperjuangkan kepentingan dan aspirasi daerah. Ke depannya Bambang mengharapkan supervisi sekaligus asistensi untuk bersama nanti mendorong perubahan konstitusi ini menjadi suatu kenyataan untuk sidang majelis yang akan dilaksanakan nanti ke depan. (sumber www.dpd.go.id)

SK Cash and Carry Lapindo Tunggu Nirwan dari AS

***

Gatra.com, Surabaya- Gubernur Jatim Imam Utomo mengatakan bahwa surat keputusan (SK) pemberian ganti rugi secara tunai (cash and carry) korban semburan lumpur pascaledakan pipa gas Pertamina, masih menunggu kedatangan bos Lapindo Brantas Inc Nirwan Bakrie, dari Amerika Serikat.

"Keputusan tertulis sudah disiapkan Menteri ESDM dan Lapindo di Jakarta, sekarang menunggu kedatangan Nirwan," ujar Imam Utomo disela-sela menerima rombongan Pansus Semburan Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jatim di kantor Pemprop Jatim di Surabaya, Rabu.

Imam menjelaskan, pemberian cash and carry diutamakan untuk warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejehtera (TAS) I yang rumahnya sudah jelas tipe-tipe-nya, sedangkan desa-desa sekelilingnya ada pembatasan.

"Jumlah seluruh korban lumpur Lapindo yang harus diganti sebanyak 12 ribu KK, dengan nilai Rp3,8 Triliun. Karena itu, kami mengharapkan kepada Pansus DPD agar mengawal pemberian `cash and carry` tersebut, termasuk verifikasi ganti rugi," paparnya.

Gubernur juga menjelaskan, kalau Kepres Nomer 13 Tahun 2006 tentang Pembentukan Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (PSLS) diperpanjang hingga (8/4), kemudian dibentuk Badan Pengelola Lumpur, sehingga nantinya Timnas dan badan ini mempunyai tugas berat untuk mengatasi lumpur.

"Lumpur nantinya harus dialirkan melalui Sungai Porong hingga ke laut, sedangkan tanggul harus diperkuat. Bagi warga yang selama ini menghalangi-halangi pembuatan tangggul harus bersedia untuk dibuatkan tanggul," ucapnya, menegaskan.

Kepala BPN Jatim, Gede Ariyudha menambahkan, hingga (1/3) lahan yang tergenang lumpur seluas 576 hektar, sedangkan tanah yang bersertifikat sebanyak 7.309 bidang, terdiri atas 6.652 bidang di TAS dan 657 bidang diluar Perum TAS.

"Bagi tanah yang belum bersertifikat secara normatif bisa jadi obyek jual beli, dengan menunjukkan bukti petok D atau letter C yang diketahui oleh kepala desa setempat," tuturnya.

Sementara itu. Ketua Pansus Semburan Lumpur Lapindo DPD, KH HA Mujib Imron SH MH, mengemukakan, usai bertemu dengan gubernur ini, rombongan Pansus menuju Sidoarjo. Setelah itu, melakukan perumusan dan dialog dengan narasumber untuk memperkuat tekanan ke Lapindo dan pemerintah.

"Kalau Lapindo tidak serius, kami meminta agar pemerintah mengambil alih dalam arti penanganannya. Sedangkan Lapindo tetap bertanggung jawab dari segi finansialnya. Kami akan mengawal baik secara hak hidup maupun hak pendidikan warga," katanya, menegaskan.

Rombongan DPD yang ikut dialog dengan gubernur adalah Luther Kombong dari Kaltim, Joseph Bona Manggo dari NTT, Intsiawati Ayus dari Riau, Eni Chairani dari Bengkulu, H Mahmud Ali Zain dari Jatim dan KH M Nuruddin A Rahman SH dari Jatim. [TMA, Ant]

SIDANG PARIPURNA KHUSUS DPD UNTUK MENILAI REALISASI APBN 2006 DI DAERAH-DAERAH

***

Jakarta (Dewan) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyelenggarakan Sidang Paripurna Khusus DPD untuk menilai realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2006 di daerah-daerah sebagaimana pernah diuraikan Presiden dalam pidato kenegaraan pada Sidang Paripurna Khusus DPD tahun lalu. Sasaran penilaian seperti revitalisasi di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, perbaikan infrastruktur serta harmonisasi peraturan-peraturan pemerintah yang bertentangan dengan otonomi daerah.

Demikian salah satu kesimpulan konferensi pers dalam rangka menjelaskan persiapan Sidang Paripurna Khusus DPD yang dilaksanakan tanggal 23 Agustus pukul 10.00 WIB di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Konferensi pers diselenggarakan di lantai 8 Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senin (7/8).

Konferensi pers dihadiri Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman sebagai Ketua Panitia Penyelenggaraan Sidang Paripurna Khusus DPD dengan Sekretaris, PRA Arief Natadiningrat, dan Wakil Sekretaris, Intsiawati Ayus; didampingi Koordinator Panitia Pengarah Sarwono Kusumaatmadja dan anggotanya, Anthony Charles Sunaryo; serta Koordinator Panitia Pelaksana Bambang Soeroso.

Penyelenggaran Sidang Paripurna Khusus DPD langsung di bawah koordinasi pimpinan DPD. Dalam kepanitiaan tersebut, Sarwono bersama Anthony bertugas menggarap materi bahan pidato Ketua DPD terhadap Pidato Kenegaraan Presiden mengenai kebijakan pembangunan daerah dalam kaitan dengan penyampaian nota keuangan APBN 2007. Jika tahun 2005 lalu orkestra sengaja ditampilkan untuk mengiringi prosesi kegiatan maka tahun 2006 ini hanya ditampilkan paduan suara.

Irman mengatakan, penyelenggaraan Sidang Paripurna Khusus DPD nanti sebagai konvensi setelah tahun lalu untuk pertama kali DPD mengundang Presiden. Buat DPD acara tersebut sangat penting karena untuk kedua kali Presiden menyampaikan paradigma pembangunan daerah terkait Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2007. Acara ini strategis mengingat berubahnya pola atau bentuk APBN yang berbasis otonomi daerah dan desentralisasi, ujarnya.

Dilanjutkan, DPD akan mengundang stakeholders yang berkaitan dengan kepentingan daerah pada tingkat nasional maupun daerah. Diharapkan acara tersebut dihadiri para pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif di jajaran pusat maupun daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi, kabupaten, kota. Juga diundang pimpinan partai politik dan tokoh-tokoh daerah supaya memahami persepsi pembangunan berbasis otonomi daerah dan desentralisasi.

Sarwono menambahkan, acara mendatang tidak perlu lagi diwarnai kontroversi menyangkut perdebatan apakah Presiden layak atau tidak layak menghadiri Sidang Paripurna Khusus DPD. Sudah ada konfirmasi Presiden akan hadir. Dengan demikian, semakin terbuka peluang kehadiran Presiden tiap tahun bisa dikembangkan menjadi konvensi. Ada tradisi politik yang baik.

Dikatakan, sasaran penyelenggaraan Sidang Paripurna Khusus DPD nanti adalah melihat sejauhmana realisasi APBN 2006 di daerah-daerah seperti yang pernah diuraikan Presiden dalam pidato kenegaraan pada Sidang Paripurna Khusus DPD tahun lalu. Dia menguraikan beberapa hal penting dan itu akan kami nilai, jelasnya.

Masalah penting dimaksud seperti revitalisasi di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan, perbaikan infrastruktur. Beliau juga waktu itu menjanjikan harmonisasi peraturan-peraturan pemerintah yang banyak di antaranya masih bertentangan dengan otonomi daerah. Itu nanti akan kita lihat.

Sejalan dengan itulah, pihak DPD mengumpulkan banyak informasi dari pemerintah daerah melalui asosiasi pemerintahan provinsi dan asosiasi pemerintahan kabupaten dan kota se-Indonesia. Selain itu, informasi juga diperoleh dari alat kelengkapan DPD beserta individu anggota DPD.

Setelah lengkap, lanjut Sarwono, semua informasi diramu menjadi bahan pidato Ketua DPD yang dalam peraturan tata tertib DPD menjadi juru bicara DPD. Tugas kami menyiapkan bahan-bahan untuk juru bicara kami supaya bisa memberikan penilaian terhadap pidato Presiden tahun lalu dan memberikan kepada Presiden berbagai tuntutan dan harapan daerah dalam rangka penyusunan APBN 2007, jelasnya.

Anthony melanjutkan, DPD telah memberikan pertimbangan APBN 2007 untuk tiga item utama, yakni mengusulkan kepada pemerintah agar kebijakan fiskal tahun 2007 diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran, kemudian mengurangi kesenjangan antar-daerah serta menumbuhkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Kalau pengangguran tidak dihentikan maka dia akan sangat mengganggu produktivitas nasional. Dengan demikian, tentunya makin memberatkan APBN pada tahun-tahun mendatang, alasannya.

Item berikutnya, kebijakan fiskal tahun 2007 pada arah kebijakan penerimaan dan pengeluaran belanja negara lebih diprioritaskan pada peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, pertanian, kelautan, perikanan, serta infrastruktur. Itulah bidang-bidang yang difokuskan dalam kaitan membangun perekonomian daerah.

APBN 2007 juga, lanjut Anthony, dapat mengatasi masalah-masalah mendasar yang menjadi prioritas pembangunan yaitu pada sistem pembangunan nasional untuk merevitalisasi pertanian, perikanan, kelautan, kesehatan, dan infrastuktur di daerah. Terutama pembangunan infrastruktur di daerah sangat penting untuk membuka isolasi di daerah-daerah yang tertinggal dan mendapatkan akses kepada daerah-daerah yang maju.

Bambang menambahkan, momentum tanggal 23 Agustus mendatang akan bermakna dan bernilai strategis. Karena itu, aspek penyelenggaraan kegiatan harus benar-benar efektif, bernilai, berbobot,dan pada akhirnya atas dasar hasil tersebut seluruh stakeholder dan para pengambil keputusan dan kebijakan di daerah mempunyai kesamaan bahasa, derap langkah, dan satu tujuan yakni bagaimana daerah-daerah dengan segala macam komplikasi dan persoalan-persoalannya dapat terselesaikan, sambungnya.

Sesuai dengan materi pidato kenegaraan Presiden tahun 2005 lalu, banyak masalah yang oleh pemerintah akan diupayakan pada tahun berjalan 2006 ini. Pengupayaan inilah yang akan dieksplorasi DPD serta diaktualisasikan dengan keadaan aktual di daerah-daerah sekarang.

Dalam perjalanan satu tahun terakhir ini juga banyak aspirasi daerah yang harus terangkat yang menjadi isu-isu sentral, ungkap Bambang. Sebaliknya, Presiden diharapkan menanggapi dan menyampaikan berbagai kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah terkait isu-isu sentral yang berkembang.

Tradisi ini, sambungnya, akan diteruskan setiap tahun sehingga dalam mengevaluasi kebijakan pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya akan terangkat kembali sejumlah masalah manakala kebijakan tersebut belum dapat dilaksanakan di daerah. Diharapkan momentum tersebut memberikan warna dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bahwa DPD dalam memperjuangkan dan membawa aspirasi masyarakat dan daerah ternyata tetap eksis.

Karena itulah, lanjut Anthony, DPD menekankan agar pengalokasian anggaran dibesarkan untuk pembangunan daerah yang sangat jauh tertinggal. Ini hanya bisa dengan kebijakan alokasi yang tidak seimbang. Daerah tertinggal harus dialolasikan lebih besar, urainya. Kami juga meminta agar alokasi per sektor diseimbangkan, bukan antardaerah saja. Jangan sampai, sektor yang menjadi unggulan atau basis malah mendapat dana minim sekali. (IMS) (Sumber: www.dpd.go.id)

HARI INI TIM PAH I DPD-RI KE BENGKALIS

Instiawati Ayus: Pemekaran Kabupaten Mandau dan Meranti Belum Memenuhi Syarat
22 Jan 2007 13:32 wib

Pekanbaru, RiauInfo-Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Daerah Pemilihan Riau, Instiawati Ayus SH MH mengatakan, pemekaran Kabupaten Mandau dan Kepulauan Meranti baru sebatas wacana, karena proses ke arah itu masih harus melalui mata rantai yang amat panjang. Menurutnya, merujuk pada pasal 16 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000, sedikitnya ada sembilan tahap yang harus dilalui dalam prosedur pemekaran daerah.

Menurutnya, untuk pemekaran daerah memang harus diawali dari kemauan politik masyarakat. Tapi itu saja tidak cukup. "Setelah itu harus ada penelitian awal oleh pemerintah daerah serta diperolehnya persetujuan dari berbagai pihak terkait (DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, gubernur, Mendagri, dan DPOD), hingga persetujuan presiden dan DPR terhadap rancangan undang-undang (RUU) pembentukan daerah.

"Selain prosedur yang amat panjang, syarat-syarat yang harus dipenuhi juga amat ketat. Jika dilihat dari tahap awal saja, yaitu syarat administratif, usul pemekaran Kabupaten Mandau dan Meranti tampaknya masih jauh dari memenuhi syarat," tegas Instiawati melalui press realase kepada wartawan.

Ditambahkannya, sesuai mekanisme, seharusnya pemekaran itu dilakukan atas usul pemerintah daerah yang sebelumnya telah dibahas bersama DPRD dan hasilnya akan disampaikan oleh gubernur atau bupati yang daerahnya akan dimekarkan kepada pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri.

"Saya melihat yang terjadi untuk pembentukan Kabupaten Mandau dan Kepulauan Meranti ini datang dari pihak-pihak yang berkepentingan. Karena tidak sesuai mekanisme perundangan-undangan, maka hal itu tidak sah," imbuhnya.

Lebih jauh dijelaskan Instiawati, pada tatanan normatif, pemekaran daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik, efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, dan dukungan terhadap pembangunan ekonomi guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, usul itu tidak boleh sampai menimbulkan masalah baru apalagi menimbulkan konflik horizontal dalam masyarakat.

"Dalam konteks pemekaran Kabupaten Mandau dan Meranti usul pemekaran tersebut sebaiknya mempertimbangkan pula aspek-aspek keseimbangan antar daerah dan proporsi subsidi yang adil bagi daerah lainnya, serta mempertimbangkan berbagai dimensi dan lapis kepentingan publik secara cermat. Dalam hal ini perlu diwaspadai tiga potensi penyimpangan dalam proses pemekaran daerah, yaitu politik uang, politik identitas, dan adanya free rider yang menjadikan pemekaran sebagai investasi politik," ujarnya lagi.

Masih menurut Instiawati, dalam hal politik identitas yang mewarnai usul pemekaran, bahwa harus diakui usul pemekaran di berbagai daerah ini tak jarang berbasis sentimen etnis dan/atau agama. "Secara nasional kita lelah dengan adanya konflik yang berbau SARA yang seakan-akan menghilangkan identitas anak negeri ini sebagai bangsa multikultural yang ber-Bhineka Tunggal Ika," ungkapnya seraya mengatakan bahwa Pemekaran Kabupaten Mandau dan Kabupaten Meranti adalah usul inisiatif DPR bukan DPD. Dalam hal ini kapasitas DPD adalah yang dimintai pertimbangan oleh DPR.

Instiawati juga menjelaskan bahwa usul pemekaran adalah sah, tetapi harus diingat bahwa dalam banyak kasus, proses pemekaran daerah seringkali lebih dominan kepentingan politiknya bahkan seringkali menjadi ajang 'bisnis politik'. Mengingat prosesnya yang panjang, proses meluluskan daerah pemekaran sering pula diwarnai indikasi adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). "Disamping itu berpotensi menguras anggaran dan sumber daya ekonomi serta politik yang ada. Akibatnya, pemekaran tidak sampai pada tujuan awalnya," paparnya.

Kemudian Instiwati Ayus juga mengatakan hari ini, Tim PAH I DPD RI akan berkunjung ke Kabupaten Bengkalis. "Kunjungan Kerja Tim PAH I DPD-RI ke Bengkalis merupakan bagian dari permintaan pertimbangan DPR tersebut. Kunjungan kerja yang dilakukan oleh tim dari PAH I adalah proses formal yang sudah terprogram dalam agenda masa sidang Ketiga DPD-RI yang dilakukan ke 16 daerah yang diusulkan. Karena kunjungan kerja tersebut dalam rangka menyerap aspirasi maka kunjungan tersebut bersifat informatif dan bukan investigatif," katanya.***

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.