Menggugat Payung Hukum Pelabuhan

Jakarta, Suara-Daerahonline-Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, Indonesia sepertinya belum juga tersadar untuk lebih serius menggarap sektor ini. Padahal, seandainya pemerintah serius, bukannya suatu kemustahilan perekonomian negeri ini bakal bangkit dengan cepat.

Tengok saja negara tetangga kita Singapura. Bagaimana usaha mereka untuk membesarkan potensi kelautan -meski terbatas wilayahnya- sehingga mereka termasuk salah satu negara di Asia yang sudah diperhitungkan tingkat ekonominya. Salah satu penyokong pendapatan di Singapura adalah sektor pelabuhan. Malah negeri ini sering disebut dengan negara pelabuhan. Mereka tempat transit perdagangan dunia.

Akankah negeri Indonesia tercinta ini bisa melakukan seperti apa yang dilakukan negara tetangga itu? Sebenarnya bisa. Sebagaimana diutarakan Prof. Dr. Hasyim Jalal, pengamat kemaritiman, negeri ini seharusnya bisa memperoleh lebih banyak dari wilayah lautnya. Sekarang ini, lanjutnya, pemerintah lebih memperhatikan pembangunan di darat, padahal kalau sektor maritim bisa diperhatikan lagi, Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari negara tetangga itu. Salah satu yang belum tergarap optimal adalah pelabuhan lautnya.

Selain pembangunan pelabuhan dengan manajemen moderan, pemerintah bersama lembaga legislatif seyogianya memikirkan kembali payung hukum yang lebih komprehensif untuk pelabuhan. Selama ini, aturan pengelolaan pelabuhan diatur dalam UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, PP 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan Keputusan Menteri (KM) 54/2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut.

Tiga perangkat aturan tersebut dinilai masih belum memprioritaskan pengelolaan pelabuhan secara benar dan komprehensif, yang mampu memberikan manfaat dan keuntungan bagi kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam bentuk deviden.

Di sisi lain, industri pelabuhan yang selama ini dikelola Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo), baik Pelindo I (Medan), Pelindo II (Tanjung Priok), Pelindo III (Surabaya) dan Pelindo IV (Makasar), dinilai belum memberikan Community Development atau dengan sebutan program bina mitra lingkungan secara proporsional.

Menurut sumber majalah ini, community development tersebut kebanyakan diberikan pada kru-kru pelabuhan atau kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Padahal hingga saat ini banyak sekali usaha kecil masyarakat disekitar Pelabuhan yang memerlukan pinjaman lunak dari BUMN Pelindo.

Di sisi lain, 'basah'-nya bisnis pelabuhan yang mencapai angka miliaran rupiah per harinya, dengan diwarnai Pungli (Pungutan Liar) di sana-sini tersebut menggelitik pemerintah daerah untuk ikut mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya.
Di samping persoalan-persoalan di atas, selama ini ada ketidakjelas dalam pengaturan pelabuhan, bahkan disinyalir tumpang tindih, sehingga menjadikan kewenangan instansi yang terlibat di pelabuhan berjalan masing-masing.

Tak pelak, kondisi yang satu ini, menjadi penyebab kenapa Pelabuhan Indonesia hingga saat ini, kalah bersaing dengan pelabuhan di negara tetangga kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Bahkan, parahnya taruf pelabuhan Indonesia termahal di dunia.

Berbagai fenomena persoalan di atas, nampaknya menjadi alasan munculnya wacana agar ada pemisahan pengaturan pelabuhan dari UU No. 21/1992 tentang Pelayaran, seperti yang berlangsung selama ini.

Usulan agar pengaturan pelabuhan melalui undang-undang tersendiri, salah satunya dikemukakan kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sebut saja Sarwono Kusumaatmadja, selaku Ketua Panitia Adhoc (PAH) II DPD saat ini, mengemukakan, idealnya dan ini mengacu pada ketentuan UNCLOS 1982, pelabuhan diatur dengan Undang-undang sendiri, tidak dicantolkan pada UU No.21 /1992 tentang pelayaran, sebagaimana berlaku selama ini.

"UNCLOS, 1982 salah satunya memuat apa yang disebut dengan Port State, yaitu Negara Pelabuhan. Pelabuhan ini yang bertanggung jawab adalah syahbandar. Faktanya, syahbadnar di Indonesia ini tidak jelas. Departemen Perhubungan mengatakan syahbandar itu sama dengan Adpel atau administrator pelabuhan. Padahal sebenarnya Adpel sama sekali tidak sama dengan syahbandar,"kata Sarwono Kusumaatmaja.
Hal senada ditegaskan Intsiawati Ayus, anggota DPD RI asal pemilihan Kepulauan Riau. Dikatakan aturan hukum mengenai pelabuhan sebagaimana tertuang dalan UU Pelayaran, belum maksimal dan tidak lengkap, terutama berkenaan dengan pengelolaan industri pelabuhan. "Dalam arti, pengaturan pelabuhan melalui UU pelayaran tidak proporsionalnya. Sehingga, memunculnya berbagai persoalan seperti daerah yang bersikeras mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya," kata Intsiawati Ayus.
Sementara menurut Abdul Hakim anggota Komisi V DPR, ada dua alasan mengapa perlu ada kajian terkait dengan usulan kuat untuk memisahkan pengaturan pelabuhan dari Undang-undang pelayaran.

Pertama, kata Hakim, aspek pelayaran sangat terikat dengan konvensi-konvensi internasional, semacam UNCLOS (United Nation Conention Low of The Sea) (Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Sementara itu, aspek pelabuhan lebih banyak ke aspek teknis dan merupakan wewenang kenegaraan.

"Jadi masing-masing aspek cenderung memiliki kekhasan tersendiri, sehingga RUU yang dibuat pun harus mengacu ketentuan tersebut," terang Abdul Hakim, Kamis (15/6). Abdul Hakim mengakui, dalam RUU Pelayaran telah ada bab-bab tersendiri perihal kedua aspek tersebut. Namun, mengingat kekhasan masing-masing aspek, tetap diperlukan kajian yang komprehensif agar tidak ada overlaping dalam praktek dilapangan. "Pemerintah harus cermat. Berbagai persoalan yang bakal muncul perlu dicarikan solusinya terlebih dahulu,"pinta Hakim.

Pertimbangan Kedua, ada perbedaan dari aspek asas. Menurutnya, jika pelabuhan dikontrol pemerintah, maka beberapa asas yang tercantum dalam RUU Pelayaran menjadi tidak relevan dengan pelayaran. Hakim memberi contoh, asas usaha bersama dan kekeluargaan yang notabene tidak match dengan semangat industri pelayaran yang mengutamakan profit (keuntungan).

Persoalan lain, adanya keinginan pemerintah membuka ruang lebih besar kepada swasta, untuk turut serta dalam pengelolaan pelabuhan. Semangat ini, ungkapnya, sebagai bentuk anti monopoli yang patut diberikan apresiasi. Akan tetapi, ada dampak yang perlu dicermati jika operator sepenuhnya dikelola oleh pihak swasta.
Dijelaskan, jika perusahaan yang sama juga bergerak di bidang pelayaran dan memiliki sejumlah kapal, bisa dipastikan akan terjadi diskriminasi dalam hal pelayanan pelabuhan. "Ini yang patut kita hindari. Caranya dengan mempertegas peran regulator dan operator antara pemerintah dan swasta," saran Abdul Hakim.

RUU Pelabuhan
Bilamana kepelabuhanan diatur Undang-undang tersendiri, kata Sarwono Kusuma Atmaja, akan jelas siapa yang berwenang, dan siapa yang mesti bertanggungjawab pada sebuah pelabuhan, termasuk masalah pengamanan lalu lintas barang dan kapal serta moda trasportasi lain yang berkepentingan di pelabuhan.

"Selama ini, pengelolaan pelabuhan tidak jelas, bahkan tumpang tindih, dengan kata lain pengelolaan (operator) pelabuhan dilakukan oleh PT (Persero) Pelindo I, II, III, IV, tapi disaat bersamaan PT Pelindo juga bertindak sebagai regulator, parahynya, administrator pelabuhan yang notabene dibawah Departemen Perhubungan juga mengeluarkan regulator," Kata Sarwono Kusumaatmaja.

]Meskipun sekarang pemerintah sedang menggodok revisi UU No. 21/1992 tentang pelayaran, kata Sarwono, urusan pelabuhan di Indonesia belum tentu bisa ter-cover semuanya. Dalam revisi itu memang disebutkan akan ada perubahan cukup mendasar karena nantinya Pemerintah Daerah (Pemda) dan pihak Swasta yang ber-Badan Hukum Indonesia (BHI) dapat dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan.

"Hal ini sesuai dengan amanah UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang berarti ada kewenangan pemyelenggaraan otomi daerah (Otoda), yang berarti pemerintah daerah dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan yang ada diwilayahnya, sehingga, bukan hanya sebagai mitra kerja, seperti yang berlangsung selama vini, " kata Sarwono.
Berdasarkan latarbelakang alasan yang dikemukakan diatas, kata Intsiawati Ayus, DPD RI telah mengajukan RUU Kepelabuhanan kepada Komisi V DPR RI. "RUU Kepelabuhan yang kami ajukan, telah disusun secara komprehensif terdiri dari 21 (dua puluh satu) Bab beserta naskah akademisnya," kata Intsiawati Ayus.

Dijelaskan, RUU pelabuhan memuat ketentuan dan pengaturan seperti pertama, penetapan kebijakan dan pengatruran perencanaan dan pengembangan pelabuhan nasional (national port development plan and polcy) yang disesuaikan dengan karekteristik potensi ekonomi, teknis, operasional dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing pelabuhan.

"Kedua, penetapan rencana induk pelabuhan dan daerah lingkungan kerja (DL Kr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp), dengan batas-batas yang jelas. Dan Ketiga, Hak atas tanah dan perairan di DLKr dan perairan di DLKp tidak otomatis dimiliki oleh pengelola pelabuhan yang telah mendapatkan penetapan DLKr dan DLKp, tetapi diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah dan perairan," kata Intsiawati Ayus.

Dan hal lainnya (Keempat), RUU Pelayaran, tidak memuat atau tidak mengakomodir kepentingan daerah. "Kewenangan di pelabuhan harus memperhatikan asas pokok Undang-undang No. 32 tahun 2004 yaitu asas ekternalitas, asas efeiiensi, asas akuntabilitas dan juga memperhatikan interkoneksitas pemerintah pusat dan pemerimntah daerah," kata Intsiwati Ayus.

Ditambahkan, optimalisasi teknis pelabuhan khusus tertentu disesuaikan dengan kondisi alam, dan memenuhi standar internasional, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat; Kesembilan, Keleluasaan bagi daerah untuk membangun pelabuhan berdasarkan standar, norma dan prosedur yang ditetapkan bersama antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, untuk menghindari tumpang tindih investasi antar wilayah.

Hal senada disampaikan ketua Tim Kerja RUU Kepelabuhanan DPD-RI, Bambang Soeroso, mengatakan pentingnya pelabuhan di Indonesia diatur dalam UU tersendiri, dinilai, lebih dikarenakan perjalanan sektor kepelabuhanan di Indonesia terus mengalami kemunduran.

Menurutnya, posisi strategis yang dimiliki Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai transshipment port antar negara maupun sebagai collector port dan distribution port bagi pelabuhan-pelabuhan lain. "Dan ironisnya, justru saat ini Indonesia sangat bergantung pada Singapura dan Malaysia. Kondisi itu, selain kerugian ekonomis juga berdampak pada hilangnya devisa negara serta lemahnya daya tawar Indonesia dalam perdagangan dunia, " paparnya.

Dia juga mengatakan, pasca pelaksaan UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (OTODA), masalah kepelabuhanan juga seringkali diperdebatkan. Untuk itu, kata dia, dalam RUU Kepelabuhanan, kepentingan pusat dan daerah soal pengelolaan pelabuhan telah terakomodir.

Saat ini terdapat 2.113 pelabuhan di Indonesia dengan komposisi 111 pelabuhan diusahakan oleh PT Pelabuhan Indonesia, 597 oleh Pemerintah dan 1.401 oleh pelabuhan khusus Industri yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik teknis, operasional dan potensi ekonomi tersendiri.

Pada masa mendatang, Bambang Soeroso menjelaskan, mestinya ada dua fungsi pelabuhan yang harus dijalankan. Pertama, pelabuhan sebagai pusat informasi kapal dan barang guna mendukung distribusi dan konsolidasi transportasi multimode. Kedua, pelabuhan juga harus berperan mempermudah kelancaran pelayanan barang, penumpang dan kapal untuk peningkatan roda ekonomi.(Agus N. Palgunadi).

Menggugat Payung Hukum Pelabuhan



Jakarta, Suara-Daerahonline-Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, Indonesia sepertinya belum juga tersadar untuk lebih serius menggarap sektor ini. Padahal, seandainya pemerintah serius, bukannya suatu kemustahilan perekonomian negeri ini bakal bangkit dengan cepat.



Tengok saja negara tetangga kita Singapura. Bagaimana usaha mereka untuk membesarkan potensi kelautan -meski terbatas wilayahnya- sehingga mereka termasuk salah satu negara di Asia yang sudah diperhitungkan tingkat ekonominya. Salah satu penyokong pendapatan di Singapura adalah sektor pelabuhan. Malah negeri ini sering disebut dengan negara pelabuhan. Mereka tempat transit perdagangan dunia.



Akankah negeri Indonesia tercinta ini bisa melakukan seperti apa yang dilakukan negara tetangga itu? Sebenarnya bisa. Sebagaimana diutarakan Prof. Dr. Hasyim Jalal, pengamat kemaritiman, negeri ini seharusnya bisa memperoleh lebih banyak dari wilayah lautnya. Sekarang ini, lanjutnya, pemerintah lebih memperhatikan pembangunan di darat, padahal kalau sektor maritim bisa diperhatikan lagi, Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari negara tetangga itu. Salah satu yang belum tergarap optimal adalah pelabuhan lautnya.



Selain pembangunan pelabuhan dengan manajemen moderan, pemerintah bersama lembaga legislatif seyogianya memikirkan kembali payung hukum yang lebih komprehensif untuk pelabuhan. Selama ini, aturan pengelolaan pelabuhan diatur dalam UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, PP 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan Keputusan Menteri (KM) 54/2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut.



Tiga perangkat aturan tersebut dinilai masih belum memprioritaskan pengelolaan pelabuhan secara benar dan komprehensif, yang mampu memberikan manfaat dan keuntungan bagi kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam bentuk deviden.



Di sisi lain, industri pelabuhan yang selama ini dikelola Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo), baik Pelindo I (Medan), Pelindo II (Tanjung Priok), Pelindo III (Surabaya) dan Pelindo IV (Makasar), dinilai belum memberikan Community Development atau dengan sebutan program bina mitra lingkungan secara proporsional.



Menurut sumber majalah ini, community development tersebut kebanyakan diberikan pada kru-kru pelabuhan atau kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Padahal hingga saat ini banyak sekali usaha kecil masyarakat disekitar Pelabuhan yang memerlukan pinjaman lunak dari BUMN Pelindo.



Di sisi lain, 'basah'-nya bisnis pelabuhan yang mencapai angka miliaran rupiah per harinya, dengan diwarnai Pungli (Pungutan Liar) di sana-sini tersebut menggelitik pemerintah daerah untuk ikut mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya.

Di samping persoalan-persoalan di atas, selama ini ada ketidakjelas dalam pengaturan pelabuhan, bahkan disinyalir tumpang tindih, sehingga menjadikan kewenangan instansi yang terlibat di pelabuhan berjalan masing-masing.



Tak pelak, kondisi yang satu ini, menjadi penyebab kenapa Pelabuhan Indonesia hingga saat ini, kalah bersaing dengan pelabuhan di negara tetangga kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Bahkan, parahnya taruf pelabuhan Indonesia termahal di dunia.



Berbagai fenomena persoalan di atas, nampaknya menjadi alasan munculnya wacana agar ada pemisahan pengaturan pelabuhan dari UU No. 21/1992 tentang Pelayaran, seperti yang berlangsung selama ini.



Usulan agar pengaturan pelabuhan melalui undang-undang tersendiri, salah satunya dikemukakan kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sebut saja Sarwono Kusumaatmadja, selaku Ketua Panitia Adhoc (PAH) II DPD saat ini, mengemukakan, idealnya dan ini mengacu pada ketentuan UNCLOS 1982, pelabuhan diatur dengan Undang-undang sendiri, tidak dicantolkan pada UU No.21 /1992 tentang pelayaran, sebagaimana berlaku selama ini.



"UNCLOS, 1982 salah satunya memuat apa yang disebut dengan Port State, yaitu Negara Pelabuhan. Pelabuhan ini yang bertanggung jawab adalah syahbandar. Faktanya, syahbadnar di Indonesia ini tidak jelas. Departemen Perhubungan mengatakan syahbandar itu sama dengan Adpel atau administrator pelabuhan. Padahal sebenarnya Adpel sama sekali tidak sama dengan syahbandar,"kata Sarwono Kusumaatmaja.

Hal senada ditegaskan Intsiawati Ayus, anggota DPD RI asal pemilihan Kepulauan Riau. Dikatakan aturan hukum mengenai pelabuhan sebagaimana tertuang dalan UU Pelayaran, belum maksimal dan tidak lengkap, terutama berkenaan dengan pengelolaan industri pelabuhan. "Dalam arti, pengaturan pelabuhan melalui UU pelayaran tidak proporsionalnya. Sehingga, memunculnya berbagai persoalan seperti daerah yang bersikeras mengelola pelabuhan yang ada di wilayahnya," kata Intsiawati Ayus.

Sementara menurut Abdul Hakim anggota Komisi V DPR, ada dua alasan mengapa perlu ada kajian terkait dengan usulan kuat untuk memisahkan pengaturan pelabuhan dari Undang-undang pelayaran.



Pertama, kata Hakim, aspek pelayaran sangat terikat dengan konvensi-konvensi internasional, semacam UNCLOS (United Nation Conention Low of The Sea) (Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Sementara itu, aspek pelabuhan lebih banyak ke aspek teknis dan merupakan wewenang kenegaraan.



"Jadi masing-masing aspek cenderung memiliki kekhasan tersendiri, sehingga RUU yang dibuat pun harus mengacu ketentuan tersebut," terang Abdul Hakim, Kamis (15/6). Abdul Hakim mengakui, dalam RUU Pelayaran telah ada bab-bab tersendiri perihal kedua aspek tersebut. Namun, mengingat kekhasan masing-masing aspek, tetap diperlukan kajian yang komprehensif agar tidak ada overlaping dalam praktek dilapangan. "Pemerintah harus cermat. Berbagai persoalan yang bakal muncul perlu dicarikan solusinya terlebih dahulu,"pinta Hakim.



Pertimbangan Kedua, ada perbedaan dari aspek asas. Menurutnya, jika pelabuhan dikontrol pemerintah, maka beberapa asas yang tercantum dalam RUU Pelayaran menjadi tidak relevan dengan pelayaran. Hakim memberi contoh, asas usaha bersama dan kekeluargaan yang notabene tidak match dengan semangat industri pelayaran yang mengutamakan profit (keuntungan).



Persoalan lain, adanya keinginan pemerintah membuka ruang lebih besar kepada swasta, untuk turut serta dalam pengelolaan pelabuhan. Semangat ini, ungkapnya, sebagai bentuk anti monopoli yang patut diberikan apresiasi. Akan tetapi, ada dampak yang perlu dicermati jika operator sepenuhnya dikelola oleh pihak swasta.

Dijelaskan, jika perusahaan yang sama juga bergerak di bidang pelayaran dan memiliki sejumlah kapal, bisa dipastikan akan terjadi diskriminasi dalam hal pelayanan pelabuhan. "Ini yang patut kita hindari. Caranya dengan mempertegas peran regulator dan operator antara pemerintah dan swasta," saran Abdul Hakim.



RUU Pelabuhan

Bilamana kepelabuhanan diatur Undang-undang tersendiri, kata Sarwono Kusuma Atmaja, akan jelas siapa yang berwenang, dan siapa yang mesti bertanggungjawab pada sebuah pelabuhan, termasuk masalah pengamanan lalu lintas barang dan kapal serta moda trasportasi lain yang berkepentingan di pelabuhan.



"Selama ini, pengelolaan pelabuhan tidak jelas, bahkan tumpang tindih, dengan kata lain pengelolaan (operator) pelabuhan dilakukan oleh PT (Persero) Pelindo I, II, III, IV, tapi disaat bersamaan PT Pelindo juga bertindak sebagai regulator, parahynya, administrator pelabuhan yang notabene dibawah Departemen Perhubungan juga mengeluarkan regulator," Kata Sarwono Kusumaatmaja.



]Meskipun sekarang pemerintah sedang menggodok revisi UU No. 21/1992 tentang pelayaran, kata Sarwono, urusan pelabuhan di Indonesia belum tentu bisa ter-cover semuanya. Dalam revisi itu memang disebutkan akan ada perubahan cukup mendasar karena nantinya Pemerintah Daerah (Pemda) dan pihak Swasta yang ber-Badan Hukum Indonesia (BHI) dapat dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan.



"Hal ini sesuai dengan amanah UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang berarti ada kewenangan pemyelenggaraan otomi daerah (Otoda), yang berarti pemerintah daerah dilibatkan dalam pengelolaan pelabuhan yang ada diwilayahnya, sehingga, bukan hanya sebagai mitra kerja, seperti yang berlangsung selama vini, " kata Sarwono.

Berdasarkan latarbelakang alasan yang dikemukakan diatas, kata Intsiawati Ayus, DPD RI telah mengajukan RUU Kepelabuhanan kepada Komisi V DPR RI. "RUU Kepelabuhan yang kami ajukan, telah disusun secara komprehensif terdiri dari 21 (dua puluh satu) Bab beserta naskah akademisnya," kata Intsiawati Ayus.



Dijelaskan, RUU pelabuhan memuat ketentuan dan pengaturan seperti pertama, penetapan kebijakan dan pengatruran perencanaan dan pengembangan pelabuhan nasional (national port development plan and polcy) yang disesuaikan dengan karekteristik potensi ekonomi, teknis, operasional dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing pelabuhan.



"Kedua, penetapan rencana induk pelabuhan dan daerah lingkungan kerja (DL Kr) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKp), dengan batas-batas yang jelas. Dan Ketiga, Hak atas tanah dan perairan di DLKr dan perairan di DLKp tidak otomatis dimiliki oleh pengelola pelabuhan yang telah mendapatkan penetapan DLKr dan DLKp, tetapi diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah dan perairan," kata Intsiawati Ayus.



Dan hal lainnya (Keempat), RUU Pelayaran, tidak memuat atau tidak mengakomodir kepentingan daerah. "Kewenangan di pelabuhan harus memperhatikan asas pokok Undang-undang No. 32 tahun 2004 yaitu asas ekternalitas, asas efeiiensi, asas akuntabilitas dan juga memperhatikan interkoneksitas pemerintah pusat dan pemerimntah daerah," kata Intsiwati Ayus.



Ditambahkan, optimalisasi teknis pelabuhan khusus tertentu disesuaikan dengan kondisi alam, dan memenuhi standar internasional, sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat; Kesembilan, Keleluasaan bagi daerah untuk membangun pelabuhan berdasarkan standar, norma dan prosedur yang ditetapkan bersama antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, untuk menghindari tumpang tindih investasi antar wilayah.



Hal senada disampaikan ketua Tim Kerja RUU Kepelabuhanan DPD-RI, Bambang Soeroso, mengatakan pentingnya pelabuhan di Indonesia diatur dalam UU tersendiri, dinilai, lebih dikarenakan perjalanan sektor kepelabuhanan di Indonesia terus mengalami kemunduran.



Menurutnya, posisi strategis yang dimiliki Indonesia belum dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai transshipment port antar negara maupun sebagai collector port dan distribution port bagi pelabuhan-pelabuhan lain. "Dan ironisnya, justru saat ini Indonesia sangat bergantung pada Singapura dan Malaysia. Kondisi itu, selain kerugian ekonomis juga berdampak pada hilangnya devisa negara serta lemahnya daya tawar Indonesia dalam perdagangan dunia, " paparnya.



Dia juga mengatakan, pasca pelaksaan UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (OTODA), masalah kepelabuhanan juga seringkali diperdebatkan. Untuk itu, kata dia, dalam RUU Kepelabuhanan, kepentingan pusat dan daerah soal pengelolaan pelabuhan telah terakomodir.



Saat ini terdapat 2.113 pelabuhan di Indonesia dengan komposisi 111 pelabuhan diusahakan oleh PT Pelabuhan Indonesia, 597 oleh Pemerintah dan 1.401 oleh pelabuhan khusus Industri yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik teknis, operasional dan potensi ekonomi tersendiri.



Pada masa mendatang, Bambang Soeroso menjelaskan, mestinya ada dua fungsi pelabuhan yang harus dijalankan. Pertama, pelabuhan sebagai pusat informasi kapal dan barang guna mendukung distribusi dan konsolidasi transportasi multimode. Kedua, pelabuhan juga harus berperan mempermudah kelancaran pelayanan barang, penumpang dan kapal untuk peningkatan roda ekonomi.(Agus N. Palgunadi).

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.