ANGGOTA DPD ASAL RIAU PERSOALKAN LIMA ISU BESAR, TERMASUK KABUT ASAP

Sumber: www.dpd.go.id published on 27 Juli 2009


Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Riau mencatat lima isu besar di Riau, yaitu kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan, pemadaman listrik selama 12 jam sehari, sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan besar, dunia anak yang makin memprihatinkan akibat peningkatan jumlah pekerja anak dan anak korban eksploitasi seks, serta kesulitan mendapat sekolah gratis.

Kelima isu tersebut hasil kunjungan kerja anggota DPD asal Riau tanggal 3 Juli–22 Juli 2009 sebagai rangkuman aspirasi masyarakat yang dibaca anggota DPD asal Riau Soemardhi Taher saat Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Kamis (23/7). Acara dipimpin Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita didampingi para wakil ketua, Laode Ida dan Irman Gusman. Soemardhi juga menyertakan harapan masyarakat kepada pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu presiden/wakil presiden tahun 2009.

Kesatu, kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan di Riau telah bertahun-tahun atau sejak tahun 1977 bersamaan dengan pembukaan lahan perusahaan-perusahaan besar/kecil. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru melaporkan, hanya dalam setengah hari hotspot di Riau meningkat drastis dari 88 menjadi 140 lokasi.

Jumlahnya meningkat drastis mengikuti perubahan arah angin dari tenggara dan barat daya menjadi timur laut dengan kecepatan 5 hingga 12 knot yang disertai tipisnya potensi hujan di Riau. “Kabut asap sudah berakibat luar biasa,” ujar Soemardhi yang menggambarkan kerusakan dan penghancuran hutan dan lahan di Riau rata-rata 48.416 hektar (ha) per tahun yang 77% di antaranya di area gambut.

Pembakaran hutan dan lahan di Riau berdampak terhadap udara yang membahayakan kesehatan masyarakat, salah satunya menambah penderita inveksi saluran pernapasan akut (ISPA). Jika tahun 2005 tercatat 7.608 penderita ISPA, maka tahun 2009 tercatat 47.125 orang. “Masa depan anak-anak Indonesia di Riau diciderai oleh kabut asap akibat keserakahan banyak pihak, yang entah kapan bisa dihentikan,” ujarnya.

Sayangnya, Menteri Kehutanan (Menhut) Malem Sambat (MS) Kaban menyatakan, kabut asap di Riau hanya dibesar-besarkan media massa lokal/nasional. “Barangkali, Menhut menunggu hutan di Riau ludes dibakar dan anak anak seluruhnya terjangkit ISPA terlebih dahulu,” tambahnya, dengan menyebutnya sebagai sikap reaktif, bukan proaktif.

Padahal, kebakaran hutan dan lahan di Riau telah disorot internasional karena terkait isu perubahan iklim dan pemanasan global. Riau disebut-sebut berandil sebagai penyebab kebocoran asmosfir yang merusak bumi. Pertengan bulan Juli 2009 sedikitnya 1.784 hotspot di lahan-lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) Riau. “Ancaman pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) untuk menindaknya hanyalah bualan belaka.”

Seiring peningkatan permintaan palm oil dari pasar Eropa yang terus meningkat maka perkebunan kelapa sawit juga akan diperluas. Saat ini saja Riau telah menghasilkan 40% palm oil Indonesia. “Diperkirakan, separoh Riau akan menjadi ladang sawit. Berarti, jika tidak ada perubahan kebijakan maka kebakaran lahan akan berlangsung dari tahun ke tahun. Kerusakan hutan juga akan terus berlanjut. Sekarang saja, lebih 1,4 juta ha hutan perawan di Riau telah berubah menjadi ladang sawit.”

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD memanggil Menhut untuk mempertanyakan kebijakannya tentang rencana umum tata ruang, terutama menyangkut penggunaan lahan untuk perkebunan perusahaan yang telah dan yang akan dilakukan di masa depan.

Kedua, pemadaman listrik selama 12 jam sehari. “Masalah listrik di Riau telah sangat meresahkan masyarakat,” kata Soemardhi. Di Pekanbaru, misalnya, terjadi pemadaman listrik yang amat ekstrim yang terjadi selama 12 jam sehari dengan durasi 3 jam, 4 x sehari.

Pemadaman disebabkan kebijakan PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) yang meliputi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi yang menjatah listrik untuk suatu daerah berdasarkan jumlah pembangkit listrik di daerah bersangkutan. Karenanya, Riau mendapat giliran pemadaman listrik lebih besar dan lebih lama. “Riau dibanding Sumatera Barat kalah jauh,” tukasnya, mengenai jumlah pembangkit listrik. Soemardhi menganggap kebijakan tersebut menciderai kebersamaan.

Selain itu, penyebab pengurangan jatah listrik Riau adalah pertumbuhan pemakaian listrik di Riau yang meningkat tajam, penurunan debet air yang luar biasa di beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan posisi Riau yang berada di ujung jaringan interkoneksi.

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD mempersoalkan pembangunan kelistrikan sekarang dan yang akan datang serta keseimbangan pembangunan kelistrikan di daerah-daerah khususnya di Riau. Padahal, Riau telah mengalami pertumbuhan cepat di berbagai bidang yang meningkatkan kebutuhan daya listrik. “Bukannya ditingkatkan malah dikurangi, sehingga terjadi pemadaman selama 12 jam sehari. Suatu pemadaman listrik di masa damai yang terlama di Indonesia atau barangkali di dunia.”

Ketiga, sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan besar. Menurut Soemardhi, di Riau banyak terjadi konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan besar perkebunan sawit. “Sering terjadi bentrok antara kedua pihak yang menelan korban harta/aset bahkan nyawa,” jelasnya.

Peristiwa terakhir pertengan tahun ini, yaitu bentrok berdarah antara masyarakat Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Rokan Hulu dengan PT Sumatera Sylva Lestari (PT SSL) sebagai suplayer kayu PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) April Group. Persoalannya, tanah ulayat digarap sebagai lahan HTI PT SSL seluas 1000 ha sejak tahun 1995-an.

Tahun 1997, Bupati Kampar memutuskan status quo. Tanpa kesepakatan, tahun 1998 PT SSL menggunakan tanah tersebut sebagai lahan HTI yang ditanami akasia. Masyarakat kembali mendudukinya dan menebangi akasia yang berusia 1,5 tahun dan menggantinya dengan sawit, karet, atau tanaman perladangan lainnya. Bentrokan menewaskan tiga orang warga masyarakat.

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD agar mendorong pemerintah mengukur ulang semua lahan-lahan konsensi perkebunan di Riau.

Keempat, dunia anak yang makin memprihatinkan akibat peningkatan jumlah pekerja anak dan anak korban eksploitasi seks. Anggota DPD asal Riau mengutip Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Riau yang mencatat kasus pekerja anak yang tahun demi tahun meningkat. “Dari tahun ke tahun belakangan semakin memprihatinkan,” jelasnya.

Tahun 2006, pekerja anak tercatat 264 kasus, tahun 2007 menjadi 409 kasus, dan tahun 2008 639 kasus. “Yang lebih mengerikan adalah kasus anak korban eksploitasi seks yang perkembangannya semakin mengkhawatirkan,” ujarnya. Jika tahun 2006 tercatat 243 kasus, tahun 2007 menjadi 463 kasus, dan tahun 2008 858 kasus.

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD agar mendorong Pemerintah dan KPAID mengambil kebijakan yang proaktik untuk menyelamatkan anak Indonesia sebagai generasi penerus.

Kelima, kesulitan mendapat sekolah gratis. “Di Riau susah mendapat sekolah gratis, kecuali di teve, iklan,” tukasnya.

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.