PT Indonesia Power Perlukan Harga yang Bisa Dipahami


Facebook Prof. Dr. M. Surya
Pada 28 Maret 2012 Komite II DPD RI mengunjungi PT Indonesia Power Unit Bisnis (PUB) Pembangkitan Kamojang Kabupaten Bandung. Komite II terdiri atas Prof. Dr. H. Mohamad Surya, Intsiawati Ayus, Afnan Hadikusumo, Iswadi, beserta staf didampingi Dirjen Energi Panas Bumi Sugiharto. Kali ini acara kunjungan kerja tersebut lebih lengkap karena disertai pula oleh Wakil Menteri ESDM RI Widjajono Partowidagdo. Rombongan tersebut diterima dengan baik oleh M. Hanafi Nur Rifai, selaku GM UBP Kamojang, dan Bismo Siswandanu, selaku Manajer Teknik.

Prof. Dr. H. Mohamad Surya, selaku ketua rombongan, mengatakan bahwa khusus dirinya sudah dua kali datang ke Kamojang. Kedatangan yang pertama dulu adalah diminta ceramah oleh masyarakat dan kedatangan kedua pada kali ini bersama Komite II DPD RI. Surya menegaskan kehadirannya kali ini bersama Komite II DPD RI yang disertai Wamen ESDM adalah untuk mendapatkan berbagai informasi terkait energi serta menampung aspirasi dan masalah yang ada, baik dari masyarakat, pemerintah, maupun PT Indonesia Power sendiri.

Adapun Instiawati Ayus, selaku wakil ketua Komite II DPD RI menjelaskan bahwa kunjungan kerja tersebut fokus pada kebijakan energi nasional untuk mewujudkan ketahanan energi nasional dalam hal ketahanan dan keamanan energi, kemandirian pasokan energi, mendapatkan informasi mengenai kesiapan daerah dalam melakukan konversi dari minyak ke gas, serta mendapatkan pemahaman bagaimana daerah memenuhi dan menghemat energi listrik serta menghadapi isu-isu global.

Dalam memenuhi keinginan Komite II DPD RI, PT Indonesia Power memberikan banyak paparan, baik mengenai dirinya sendiri maupun permasalahan yang ada di lapangan. Isi presentasi dari PT Indonesia Power, di antaranya, Sekitar tentang Korporat PT Indonesia Power, Unit Bisnis Pembangkitan Kamojang, Sejarah PLTP Kamojang, Proses Terjadinya Panas Bumi, Alur Proses PLTP Kamojang, Produksi-Penjualan-Top, Harga Pokok UBP Kamojang, Harga Pokok PLTP Kamojang, Rencana Pengembangan, Harga Uap PLTP Kamojang, serta Prestasi dan Penghargaan.

Di tengah-tengah presentasi, terutama tentang harga dan penjualan yang dilakukan PLTP Kamojang, Dirjen Energi Panas Bumi Sugiharto interupsi. Ia menyampaikan keluhan Pemda Kabupaten Garut tentang masih kurangnya Garut mendapatkan hasil dari penjualan panas bumi.

Menanggapi hal tersebut, PT Indonesia Power menerengkan bahwa masih ada kendala dalam hal harga jual beli. Harga yang terjadi saat ini masih belum memuaskan semua pihak. Karena panas bumi dijual kepada pembeli tunggal, yaitu PLN, Hanafi berharap bahwa jual beli dengan PLN jangan dibiarkan bebas. Ia menginginkan ada harga jual beli yang bisa dipahami semua pihak.

Mengomentari keinginan PT Indonesia Power, Sugiharto menyatakan bahwa pemerintah akan berupaya melakukan restrukturisasi harga.

Dalam kesempatan itu pun Wamen ESDM Wijoyono Partowidagdo sangat berharap besar pada energi panas bumi. Ia mendukung PLN untuk membeli panas bumi karena harganya murah.

“Aneh sekali jika PLN tidak membeli panas bumi yang murah dengan harga Rp1.000, tetapi mau membeli BBM yang harganya mahal di atas Rp3.000. Itu adalah kebijakan yang stupid,” tegas Wamen. (Tom)

Intsiawati Ayus: Kemajuan Pendidikan di Riau Salah Kaprah


RohulNews-(Ujingbatu),
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Intsiawati Ayus, SH.MH, senin (23/4/2012), melakukan kunjungan di SMA Negeri 1 Ujungbatu. Wakil Ketua Komite II DPD RI itu, yang didampingi Sekretaris Pemuda Pancasila kecamatan Ujungbatu Muhamad Fadli, SH, dan ketua HIMAROHU Pekanbaru Fatharyanto, disambut unsur Upika Ujungbatu, Kepala SMAN 1 Ujungbatu Yulisman, S.Pd, dan sejumlah staf Pengajar.

Hampir selama dua jam anggota DPD daerah pemilihan Propinsi Riau itu, memberikan motivasi dan dorongan kepada para siswa/i kelas X dan XI SMA negeri 1 yang juga dihadiri seluruh guru/staf pengajar, yang menggunakan system visualisasi dengan memperagakan beberapa ilustrasi yang berhubungan dengan dunia kehidupan dan kehidupan anak-anak remaja pada saat ini.

Menjawab pertanyaan wartawan, dengan lugas menjelaskan, Dalam rangka melaksanakan dan menunaikan tanggung jawab moral dan politik saya, saya ingin melayani dengan bekerja yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat dan daerah, saya mensiasati dan membuat strategi peran, untuk dengan masyarakat daerah pendidikan saya berperan sebagai motivator dan inspirator, untuk ruang masyarakat di jajaran pemerintahan, dan pelaku usaha, dan segala bidang serta sektor yang lain,saya berperan sebagai jembatan aspirasi.

"Tadi Kepada siswa ditekankan untuk memahami bahwa kedepan adalah peluang, dan hidup itu berkompetisi, dan meletakkan mereka bahwa pada hakekatnya adalah pelajar. Jadi seorang anak hakekatnya adalah pelajar dan seorang anak, jadi meletakkan mereka pada tempatnya." terang Intsiawati Ayus.

Menjawab pertanyaan tentang dunia pendidikan di Propinsi Riau saat ini, Intsiawati menegaskan, saya melihat Kemajuan pendidikan diRiau itu salah kaprah, karena para eksekutif, melihat pendidikan itu cukup dengan sarana dan prasarana, padahal pendidikan itu bersanding baik, antara sarana dan prasarana dan SDM, mindset eksekutif kita untuk melihat pendidikan bukan pada pokok yang hakekatnya, namun hanya lipsting saja, maka saya masuk pada kebutuhan anak, saya tidak melihat mindset mau kemana arahnya tidak jelas. Se ideal-idealnya, letakkan anak pada tempatnya untuk mempersiapkan pengganti generasi saat ini, sementara anak-anak sekarang tidak diletakkan pada titik generasi, tetapi diletakkan pada titik konsumsi.

Lebih jauh dijelaskannya, saya akan berusaha berkomunikasi dengan jajaran eksekutif, tetapi tidak semua pemerintah daerah di 12 kabupaten/kota di Propinsi Riau ini, dinas pendidikannya bersedia untuk berkomunikasi. Dan lebih banyak yang diletakkan di jajaran dinas pendidikan itu bukan orang berkompetensi untuk pendidikan. Makanya anak-anak salah urus, jadi kalau mereka tidak benar jangan salahkan anak, tetapi salahkan yang urus. Maka pilih lah orang yang tepat, kalau salah orang, ya salah urus.

Ketika ditanya tentang Tugas seorang anggota DPD, Mantan Pengacara itu menyebutkan, pada prinsipnya tugas anggota DPD adalah, menjembatani aspirasi keinginan daerah di pusat, sementara yang saya kerjakan saya tetap di lokal, tetapi karena ini merupakan tanggung jawab moral dan politik, himbauan saya,"kelak pihak eksekutip ini meletakkan orang dengan benar, jika salah maka akan salah urus,"terangnya.**(ach/vin*)

Warga Talang Kehilangan Lahan Mencapai 480 Hektare


RENGAT, inhusatu.com
Masyarakat Talang Mamak yang bermukim di Desa Talang Sungai Parit kehilangan lahan mencapai 480 hektare. Hal ini disebabkan karena PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V hanya merealisasikan pembangunan kebun KKPA seluas 200 hektare dari hasil kesepakatan sebelumnya yang mencapai 680 hektare.

Hal itu terungkap saat anggota DPD RI Instsiawati Ayus dan Abdul Gaffar Usman menggelar pertemuan dengan Wakil Bupati Inhu H Harman Harmaini, Camat se-Kabupaten Inhu dan pimpinan SKPD di lingkungan Pemkab Inhu, Rabu (18/4). Dua anggota DPD RI tersebut mengaku memperoleh laporan dari warga Talang Sungai Parit yang merasa kehilangan lahan KKPA mereka.

Berdasarkan data yang ada, masyarakat Talang Sungai Parit melalui Koperasi Perkebunan Kumbuh Lestari telah sepakan dengan PTPN V pada tahun 2000. Saat itu pihak perusahaan bersedia menyediakan lahan KKPA untuk masyarakat seluas 680 hektare. Namun telah 12 tahun berlalu, lahan untuk masyarakat yang dibangun oleh PTPN V hanya dijumpai 200 hektare, sehingga masyarakat kehilangan 480 hektare lahannya.

Bahkan awalnya, lahan KKPA yang terealisasi hanya 145 hektare. Setelah didesak, pihak PTPN V bersedia untuk memberikan kembali 55 hektare bagi masyarakat yang dikeluarkan dari HGU. Itupun masih ada kejanggalan, karena menurut surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 583/460-IX/2002, KKPA yang bisa dikeluarkan seluas 185 hektare.

Pihak PT PN V melalui Manager Kebun Air Molek II Eri Mukhlis berdalih bahwa lahan KKPA untuk masyarakat tersebut tidak dapat sepenuhnya mereka berikan karena sebagian lahan masyarakat tersebut sudah masuk dalam kawasan HGU PT Inecda.

Saat Intsiawati mempertanyakan kehadiran pihak BPN, sayang tidak satupun mereka yang hadir. �Kuncinya ada pada BPN, karena merekalah yang mengetahui peta kawasan tersebut, namun karena BPN tidak hadir, maka kita tidak dapat menentukan apapun," tegas Intsiawati.

Namun Abdul Gafar mempertanyakan kembali kepada PTPN V, jika memang tidak ada solusi nantinya, maka apakah PTPN V akan bisa tetap komitmen dengan kesepakatan awal untuk memberikan kebun KKPA masyarakat secara utuh. Jika itu dilakukan apakah akan ada kerugian pada perusahaan jika lahan diberikan sebagai KKPA kepada masyarakat.

Eri kembali menegaskan bahwa pihaknya akan tetap komitmen dengan kesepakatan awal. �Secara umum tidak kerugian pada perusahaan jika melakukan KKPA, bahkan perusahaan siap untuk mengerjakan lahan masyarakat lainnya jika memang ada," ucap Eri yang menurutnya sudah mewakili Direksi PTPN V.

Pertemuan tersebut diakhiri penandatanganan notulen oleh mereka yang hadir untuk kemudian akan dijadikan acuan dalam pertemuan pihak DPD RI dengan Direksi PTPN V pada 24 April 2012 di Pekanbaru.

Selain itu, DPD RI juga mendapatkan laporan dari Camat Sei Lalak, Solkan yang menyatakan pada tahun 2005 juga ada kesepakatan masyarakat Desa Kelawat melalui KUD Indragiri Mahkota Gading dengan PTPN V. Dimana kesepakatan tersebut untuk pengolahan lahan seluas 1000 hektare yang ada di Desa Kelawat dengan perjanjian 60-40.

Namun menurut Solkan, hingga saat ini setelah tujuh tahun dan sawit yang ditanam pihak PTPN V sudah ada yang dipanen, namun kebun untuk masyarakatpun belum satu hektarepun yang terealisasi. �Saat ditanyakan kepada PTPN V, jawaban mereka selalu menunggu rapat umum pemegang saham," tambah Solkan.

Menurut dia, akibat masalah ini berlarut akhirnya masyarakat kesal dan melakukan panen sendiri dan ulah PTPN ini mengakibatkan konflik dan baku hantam di antara masyarakat dalam melakukan panen yang memang tidak ada kejelasan mana yang milik mereka, sehingga semuanya merasa memiliki kebun dan siap untuk memanennya.

Menanggapi laporan tersebut, Abdul Gafar menyatakan agar pihak kecamatan dan kabupaten ataupun warga membuat laporan tertulis kepada DPD RI sehingga akan segara dapat memproses dan mencari penyelesaiannya. (tm)

Dikunjungi Anggota DPD RI, Warga Talang Mamak Adukan Penyerobotan Lahan oleh PTPN V


Riauterkini -RENGAT
Warga Talang Mamak Indragiri Hulu (Inhu) kehilangan lahan hingga 480 hektar, hal ini diakibatkan hasil Kesepakatan masyarakat Talang Sungai Parit melalui koperasi perkebunan Kumbuh Lestari dengan PT Perkebunan Nusantara V pada tahun 2000, Kamís (19/4/12)

Masalah ini terungkap dalam dialog anggota DPD RI Intsiawati Ayus dan Abdul Gafar Usman di ruang rapat Bupati Inhu. Dialog yang dihadiri oleh wakil bupati Inhu Harman Harmaini dan camat se Inhu serta pimpinan SKPD ini dilaksanakan setelah anggota DPD RI asal Riau mendapatkan laporan dari warga Talang Sungai Parit yang kehilangan lahan KKPA mereka.

Dalam perjanjian pihak perusahaan bersedia menyediakan lahan KKPA untuk masyarakat seluas 680 hektar. namun telah 12 tahun berlalu, lahan untuk masyarakat yang di bangun oleh PT PN V hanya 200 hektar.

Dimana pada tahap awal hanya di realisasikan 145 hektar. Setelah perusahaan kembali di desak, pihak PTPN V bersedia kembali memberikan 55 hektar untuk masyarakat yang dikeluarkan dari HGU mereka. Namun hal itu penuh kejanggalan, karena menurut surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) No 583/460-IX/2002, KKPA yang bisa di keluarkan seluas 185 hektar.

Namun sangat disayangkan, pihak BPN tidak hadir dalam pertemuan tersebut saat anggota DPD RI Intsiawati Ayus mempertanyakan kehadiran pihak BPN. “Kuncinya ada pada BPN, karena merekalah yang mengetahui peta kawasan tersebut, namun karena BPN tidak hadir, maka kita tidak dapat menentukan apapun," ujarnya.

Sementara itu pihak PTPN V melalui manager kebun Air Molek II Eri Mukhlis berdalih bahwa lahan KKPA untuk masyarakat tersebut tidak dapat sepenuhnya mereka berikan karena sebagian lahan masyarakat tersebut sudah masuk dalam kawasan HGU PT Inecda.

Namun pihaknya akan tetap komitmen dengan kesepakatan awal. “Secara umum tidak ada kerugian pada perusahaan jika melakukan KKPA, bahkan perusahaan siap untuk mengerjakan lahan masyarakat lainnya jika memang ada," tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut, DPD RI juga mendapatkan laporan dari camat Sei Lalak Solkan yang menyatakan, pada 2005 juga ada kesepakatan masyarakat desa Kelawat melalui KUD Indragiri Mahkota Gading dengan PTPN V, untuk pengolahan lahan seluas 1000 hektar yang ada di desa Kelawat dengan perjanjian pembagian 60-40.

Namun menurut Solkan, hingga saat ini setelah tujuh tahun dan sawit yang di tanam pihak PTPN V sudah ada yang di panen, namun kebun untuk masyarakat belum ada yang teralisasi. “Saat di tanyakan kepada PTPN V, jawaban mereka selalu menunggu rapat umum pemegang saham," jelasnya.

Seusai pertemuan diakhiri dengan penanda tanganan notulen, untuk kemudian akan dijadikan acuan dalam pertemuan antara DPD RI dengan direksi PTPN V pada tanggal 24 April 2012 di Pekanbaru. ***(guh)

Lukman Edy: Di antara Lima Nama


PEKANBARU, RIAU SATU.com. 
Di antara lima nama yang dipatut-patut menjadi bakal calon pendamping Lukman Edy pada Pilgubri 2013,siapakah yang akan dipilih. Achmad, Arsjadjuliandi Rachman, Azis Zaenal, Intsiawati Ayus, atau Suryadi Khusaini?

HM Lukman Edy M.Si. seperti meretas jalan yang pernah ditempuh seniornya di PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), yaitu Syaifullah Yusuf. Dari Sekretaris Jenderal DPP PKB lalu ditarik untuk duduk diKabinet Indonesia Bersatu dengan posisi sebagai Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, kemudian terjun menjadi pemimpin di daerah.

Syaifullah Yusuf beruntung karena–melalui proses politik yang bernama pemilukada-- terpilih, dan menjadi pemimpin Provinsi Jawa Timur dengan posisi sebagai wakil gubernur, untuk mendampingi Gubernur Soekarwo. Kendati selisih suaranya dengan kompetitornya sangat tipis, bahkan sampai disidangkan di Mahkamah Konstitusi, pada gilirannya posisi sebagai pemimpin di daerah berhasil direngkuh Syaifullah.

Yang membedakan, agaknya, posisi yang dibidik. Kalau Syaifullah mengincar jabatan wakil gubernur, selera Lukman Edy rupanya tidak mau kalah: ia ingin posisi Gubernur Riau periode 2013-2018. Modalnya, tiga kursi PKB di DPRD Provinsi Riau. Konon, sudah ada partai yang perolehan kursinya di DPRD Riau cukup besar sudah berkomitmen mendukung pencalonan LE tanpa kompensasi tertentu, misalnya kader partai itu direkrutsebagai bakal calon wakil LE.

Semuanya itu tentu sah-sah saja. Seperti dikatakan Harris, secara pribadi ia menilai bahwa Lukman pantas diperhitungkan menjadi pemimpin Riau ke depan. “Kita harus bangga dengan figur beliau,” tambah Harris, yang Bupati Pelalawan itu. Capaian Lukman yang sempat dipercaya menjadi menteri, menurut Harris, bukan hanya menjadi kebanggaan bagi Lukman dan keluarganya, bahkan juga kebanggaan bagi masyarakat Riau.

Yang kini menjadi persoalan, siapa figur yang dinilai pantas mendampingi Lukman untuk maju di ajang Pilgub Riau 2013 untuk posisi bakal calon wakil gubernur? Setakat ini, terdapat lima nama yang dipatut-patut untuk itu. Di antaranya,Suryadi Khusaini, mantan Wakil Ketua DPRD Riau yang kini Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Riau, dan H. Achmad M.Si., Bupati Rokan Hulu yang juga menjabat sebagai Ketua DPC PD (Partai Demokrat) di daerah yang sama.

Tiga nama lainnya adalah Drs. H. Azis Zaenal, Ketua DPW PPP (Partai Persatuan Pembangunan) Provinsi Riau yang kini menjadi anggota DPRD Riau; Arsjadjuliandi Rachman, anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Riau; dan Intsiawati Ayus SH MH, yang sudah dua periode duduk di DPD RI di Jakarta dari Daerah Pemilihan Provinsi Riau.

Suryadi Khusaini yang ditanya tentang itu mengaku menjelang Pilgub Riau 2013 sejumlah tokoh melakukan pendekatan dengan dirinya untuk diajak maju ke ajang politik lokal tingkat daerah itu. “Termasuk Pak Lukman Edy,” tambah Suryadi. Tapi, menurut Suryadi, baik soal dengan siapa ia akan berpasangan atau pada posisi apa akan ditempatkan, sangat tergantung dengan hasil survei dan keputusan DPP.

Tergantung Mahar

Nama yang lain disebut-sebut yaitu Intsiawati Ayus SH MH. Tapi ketika ditanya, ia tidak serta-merta mengiyakannya.“Tergantung dengan ‘mahar’-nya,” kata Intsiawati. “Mahar” yang ia maksud adalah komitmen tertulis antara dia dan pasangannya untuk seiring-sejalan selama dipercaya memimpin. Dalam bahasa lain, ia mengistilahkan: “Harus sepakat untuk seiring-sejalan sampai kakek-nenek.”

Intsiawati tidak menginginkan terjadinya apa yang disebut dengan “habis manis sepah dibuang.” Makanya, ia mensyaratkan harus ada komitmen yang jelas antara ia dan pasangannya sebelum maju ke arena pertarungan. “Saya tidak ingin kasus yang menimpa Dicky Chandra terjadi pula pada diri saya,” ungkapnya. Dicky Chandra adalah wakil bupati di Pulau Jawa yang memilih mengundurkan diri karena tidak sejalan dengan bupati, atasannya.

Ditanya apakah ia sudah didekati pihak Lukman Edy untuk diajak maju bersama Lukman ke arena Pilgub Riau 2013, Intsiawati mengaku bahwa sejauh ini belum ada dari pihak Lukman Edy yang mendatanginya untuk membicarakan hal tersebut. “Adinda jangan mancing-mancinglah,” katanya.

Azis Zaenal juga ikut disebut sedang dipatut-patut pihak Lukman Edy. Tapi ketika dikonfirmasikan, Azis menampiknya. “Wacana itu biarlah berkembang,” katanya. Tapi satu hal yang jelas, menurut Azis, partai tempat ia bernaung, PPP, belum memutuskan hal itu. Sikap partainya akan ditentukan dalam Mukerwil DPW PPP Riau yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini. “Mukerwil merupakan mekanisme partai yang harus ditaati,”sambungnya.

Ke manakah “bola” akan menggelinding? Purwaji S.Sos, Ketua I DPW PKB Riau, mengaku bahwa ia bersama para koleganya di jajaran DPW PKB Riau kompetensinya hanya sebatas memberi masukan-masukan yang diperlukan kepada Lukman. “Keputusan tentang siapa yang akan dipilih menjadi calon wakil beliau, merupakan hak dan wewenang Pak Lukman sepenuhnya,” ia menambahkan.

Ditanya tentang lima nama yang konon sedang dipatut-patut untuk dipilih menjadi pendamping Lukman, menurut Purwaji, pada dasarnya kelima nama itu merupakan putera-puteri terbaik Provinsi Riau. “Saya berani jamin, pasti banyak di antara masyarakat Riau yang mengenal kelima nama itu,” katanya. Tapi Purwaji mengingatkan, di antara kelima nama pasti ada nilai plus dan minusnya.

Syarifudin Hadi, Sekretaris DPD Partai Golkar Provinsi Riau, mengatakan bahwa untuk penetapan bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari Partai Golkar sudah diatur melalui ketentuan tersendiri,yaitu melalui Juklak Nomor 2 yang diterbitkan pada 2010. Ditanya apakah ada kemungkinan Lukman dilirik Golkar, menurut Syarifuddin, kemungkinan tersebut bisa saja. “Siapa saja terbuka peluang untuk diusung Partai Golkar, ”tambah Syarifuddin. “Tapi acuannya tetap melalui mekanisme yang telah digariskan,” sambungnya.

Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Pelalawan, HM Harris, dalam kapasitasnya secara pribadi mengaku Lukman Edy pantas diperhitungkan untuk menjadi pemimpin Riau ke depan. Kendati demikian, Harris juga mengingatkan bahwa untuk ikut dalam ajang politik seperti Pilgub Riau 2013, pihak Lukman harus pintar-pintar memilih figur untuk posisi bakal calon wakil gubernur. “Antara calon gubernur dan wakilnya harus saling melengkapi,” sambungnya.

Sementara, dalam pandangan Azam Awang,pengamat politik lokal, idealnya Lukman Edy menggandeng tokoh dari kalangan birokrat atau akademisi sebagai bakal calon wakil gubernur. “Agar saling melengkapi,” katanya. Dalam pandangan Azam, kalau Lukman dipasangkan dengan sesama politisi, dikhawatirkan akan terjadi resistensi di kalangan masyarakat pemilih. “Ingat, masyarakat pemilih kita semakin cerdas,” ungkapnya.

Menurut Azam, selain karena pertimbangan praktis untuk menjaring masyarakat calon pemilih sebanyak-banyaknya, perlunya Lukman Edy mempertimbangkan latar belakang calon pendampingnya juga didasarkan pada pertimbangan yang bersifat idealistis. “Agar roda pemerintahan bisa berjalan menurut yang semestinya, maka diperlukan figur yang mengerti dengan tata kelola pemerintahan,” ia menambahkan.

Kalau kedua unsur kepala daerah sama-sama bukan dari sosok yang berlatar belakang pendidikan akademis dan pengalaman di dunia birokrasi, menurut Azam, dicemaskan waktu akan banyak tersita untuk menimba pengalaman, sementara tugas-tugas lain sudah menumpuk. “Bukan tidak mungkin mereka akan diakal-akali oleh jajaran stafnya,” ungkap Azam.

Suryadi Khusaini Diunggulkan

DR. Ahmad Hidir M.Si., Ketua Program Studi Magister Sosiologi Program Pascasarjana Universitas Riau, mengatakan bahwa dari lima nama yang beredar itu, ia hanya mengenal secara lebih dekat dua di antaranya,yaitu H. Suryadi Khusaini dan Drs. Achmad M.Si. “Tapi di antara kedua nama yang saya kenal itu, pembobotan lebih diberikan kepada Pak Suryadi,” sambungnya.

Dalam pandangan Ahmad, Suryadi bisa jad imerupakan representasi masyarakat Kota Pekanbaru. Nilai lebih lain dari Suryadia dalah basis pendukung partai yang ia pimpin, PDI Perjuangan, yang merata di sejumlah kabupaten/kota di Riau. Belum lagi bicara asal-usul, di mana Suryadi merupakan putera Riau asal Pulau Jawa. “Ingat, populasi mereka cukup banyak,” tambahnya.

Kondisi berbeda terjadi pada figurAchmad, yang saat ini sedang menjalani periode kedua kebupatiannya di Rokan Hulu. Menurut Ahmad, sosok Achmad yang juga menjabat sebagai Ketua DPC PD (Partai Demokrat) Kabupaten Rokan Hulu kemungkinan hanya dikenal di daerahnya,dan paling banter ditambah dengan daerah tetangga, Kabupaten Rokan Hilir. “Kita tahu, kedua daerah penduduknya tidak terlalu banyak,” pungkas Ahmad. (Lebih lengkap, sila baca Tabloid Riau Satu Edisi 126, 16 April 2012)

Pembentukan Forum Komunikasi Energi Daerah Perlu Didukung


(Berita Daerah.com - Riau), 
Dekan Fakultas Teknik Universitas Islam Riau (UIR), Prof. Dr. Sugeng Wiyono, berpendapat Pemerintah Provinsi Riau perlu mendukung pembentukan Forum Komunikasi Energi Daerah sebagai komitmen seluruh pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan energi terbarukan di daerah.

"Pembentukan Forum Komunikasi Energi Daerah perlu didukung untuk mencari solusi energi di Riau," kata Sugeng kepada ANTARA di Pekanbaru, Selasa.

Ia menjelaskan, wacana pembentukan forum energi daerah tersebut mengemuka dalam seminar energi "Petroleum Engineering Expo" di kampus UIR pada pekan lalu. Hadir dalam acara tersebut Wakil Menteri (Wamen) ESDM Widjajono Partowidagdo, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Intsiawati Ayus, dan perwakilan dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Riau.

"Dalam seminar itu, Wamen ESDM juga merekomendasikan pembentukan Forum Komunikasi Energi di tiap daerah terutama daerah penghasil sumber daya alam," ujarnya.

Menurut dia, pembentukan forum itu untuk mencari rencana kebijakan bersama untuk Riau dalam mengantisipasi cadangan minyak dan gas (migas) yang secara alami terus menurun. Pembuatan kebijakan di daerah mengenai energi, lanjutnya, perlu mendapat dukungan semua pihak agar tidak dijalankan parsial atau sendiri-sendiri.

"Kita jangan terpaku pada energi migas saja, karena Riau memiliki potensi energi lain yang belum digarap seperti energi matahari, air, CBM dan batubara," katanya.

Menurut dia, hasil rekomendasi mengenai pembentukan forum energi daerah pada seminar itu akan disampaikan ke Gubernur Riau untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah.

"Kita akan laporkan rekomendasinya ke gubernur, semoga beliau meresponnya dengan positif," ujarnya.

Sebelumnya, anggota DPD RI asal Riau Intsiawati Ayus mengatakan Pemerintah Provinsi Riau harus berperan aktif dalam penyusunan kebijakan energi di daerah. Untuk menjamin keberlanjutan penyediaan dan peningkatan ketahanan energi lokal, lanjutnya, maka pembangunan dan pengembangan energi perlu melibatkan prakarsa daerah.

Sebab, berdasarkan UU No.30 tahun 2007 tentang Energi pada pasal 26 dijelaskan, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam pengelolaan energi di daerah masing-masing.

"Untuk masa mendatang, daerah jangan lagi jadi aktor pasif melainkan aktif memainkan peran dalam kebijakan energi," kata Intsiawati Ayus.

Menurut dia, kenyataan kini sangat kurang koordinasi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota terkait perencanaan energi. Akibatnya, kebijakan terkait energi seperti pertambangan, migas dan kelistrikan di daerah terkesan berjalan sendiri.

Padahal, ia menilai pemerintah daerah juga mempunyai kewenangan pengelolaan energi mulai dari kegiatan untuk penyediaan, pengusahaan dan pemanfaatan hingga penyediaan cadangan strategis dan konversi sumber daya energi.

(wsh/WSH/bd/ant)

Perubahan Kelima Bukan Untuk DPD Namun Demi Situasi Dan Kondisi Bangsa


perubahankelimauud45.com/
Penyempurnaan konstitusi sangat penting, agar konstitusi menjadi living and working constitution seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan masyarakat. UUD 1945 telah mengalami empat tahap perubahan, namun masih ada ruang-ruang kosong dalam tata aturan mekanisme hubungan antar lembaga dan antar cabang kekuasaan negara. Aktualisasi nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin melalui pemahaman utuh terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI semakin lama semakin berkurang. Oleh karenanya DPD mengajukan naskah usulan perubahan kelima UUD 1945.

Untuk menyempurnakan naskah usulan ini, DPD bekerjasama dengan universitas, akademisi dan pakar hukum tata negara untuk menyempurnakan isu besar ini. Salah satu kegiatan yang dilakukan DPD RI adalah mengadakan Focus Group Discussion Uji Publik Naskah Usulan Perubahan Kelima UUD 1945 bekerjasama dengan Universitas Islam Riau di Pekanbaru (14/04).

Dalam kegiatan ini Drs. Gafar Usman anggota DPD RI asal provinsi Riau dalam sambutannya menyatakan pemikiran ini ditujukan bukan untuk DPD tetapi untuk kemaslahatan bangsa dan negara ini kedepan.

Senada dengannya, kolega sesama senator asal Riau Intsiawati Ayus, SH, MH menyatakan pemikiran ini untuk mewujudkan tata kelola bernegara yang bisa menjawab situasi dan kondisi bangsa saat ini yang mengalami dinamika perpolitikan.

Sikap DPD terhadap hal ini adalah mengajukan Judicial Review ke MK untuk mengamandemen UUD 1945 dalam hal penafsiran atas kewenangan DPD Unutuk ikut, dapat dan bisa memberikan pertimbangan, demikian ucap wanita yang akrab dipanggil Iin ini.

Menjawab pertanyaan peserta tentang baik buruknya penguatan DPD, Intsiawati Ayus menyatakan perlu kesetaraan antara kewenangan DPD dan DPR RI, agar tercipta keseimbangan dalam berbangsa dan bernegara yang mana hal ini salah satunya dapat dilakukan melalui Amandemen UUD 1945.

Kegiatan ini juga menampilkan pembicara dari Universitas Islam Riau yaitu H. Yusri Munaf, SH, Mhum dan DR. Syaifudin Syukur serta Maxasai dari Universitas Riau.

Kunjungan Kerja Wakil Menteri ESDM dan Komite II DPD-RI ke Balittri

Gambar 1. Suasana diskusi DPD-RI komite II,
SAM ESDM, ka. Badan dan anggota forum 
Gambar 2. Anggota DPD-RI komite II,
Wamen ESDM, dan ka. Badan
berfoto bersama di kebun Kemiri
minyak Balittri
deptan.go.id

Hari Rabu, tanggal 22 Februari 2012, Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) yang dipimpin oleh Ketua Komite II Ir. H. Bambang Susilo, MM dan Wakil Menteri Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo, yang didampingi Staf Ahli Menteri (SAM) Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Investasi dan Produksi Ir. F.X. Sutijastoto, MA melakukan kunjungan kerja ke Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (BALITTRI) di Parungkuda, Sukabumi untuk melihat secara langsung potensi tanaman kemiri minyak (Reutealis trisperma [Blanco] Airy Shaw) sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) serta proses pengolahannya. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan sebelumnya oleh Wamen ESDM ke BALITTRI pada tanggal 28 Januari 2012.

Rombongan disambut oleh Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Haryono. Pada sambutannya, alumnus Asian Institute of Technology Bangkok ini menekankan pentingnya riset terhadap kemajuan bangsa. Biaya riset tersebut merupakan suatu investasi jangka panjang dan akan kembali berlipat-lipat. Sebagai contoh hasil riset kelapa sawit di kebun raya yang awalnya dulu hanya 3 pohon, sekarang menjadi 23 juta ton/tahun. Berkaitan dengan hal tersebut, Kepala Badan juga menjelaskan tugas litbang ada 4, yaitu menghasilkan varietas unggul dan perbenihannya, menghasilkan inovasi pendukung produktivitas dan produksi, desiminasi transfer teknologi ke masyarakat, serta kolaborasi dengan mitra.

SAM ESDM menambahkan, dibutuhkan tiga pilar untuk mencapai ketahanan energi yaitu ketersediaan energi, aksestabilitas masyarakat dan daya beli masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan tata niaga dari hulu hingga hilir, dalam hal ini adalah komoditas kemiri minyak. Apalagi cadangan minyak Indonesia yang terus menurun, menuntut dilakukannya perubahan sasaran kebijakan, yaitu di tahun 2015 target penggunaan energi terbarukan yang awalnya 17 %, dinaikkan menjadi 20% dan biofuel mendapatkan share 8 % dari sebelumnya sebesar 5%. Pengembangan tanaman sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN) tidak memerlukan lahan subur, tetapi dapat ditanam di lahan marginal yang sekaligus untuk pengembangan kewirausahaan setempat dalam pengolahan biofuel.

Bapak yang sering dipanggil dengan nama “pak Toto” ini lebih lanjut menjelaskan, kemiri minyak merupakan komoditas baru sehingga perlu dipersiapkan spesifikasinya mulai dari spesifikasi buah, biji hingga biodiesel yang dihasilkan. Regulasi tersebut perlu dikembangkan agar tata niaga kemiri minyak sebagai komoditas untuk biofuel dapat berjalan. Beliau mengharapkan forum ini sebagai “kick off meeting” sinergi pengembangan biofuel di Indonesia.

Terkait dengan kemiri minyak, Komite II DPD RI, yang menangani bidang pertanian dan perkebunan; perhubungan; kelautan dan perikanan; energi dan sumber daya mineral; kehutanan dan lingkungan hidup; pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan daerah tertinggal; perindustrian dan perdagangan; penanaman modal; dan pekerjaan umum, tertarik untuk mengembangkan komoditas tersebut di daerahnya. Ketua Komite II DPD RI memandang pertemuan ini merupakan sarana dalam mencari solusi mengenai biofuel di Indonesia, Beliau mengharapkan anggota DPD RI yang hadir dapat menyebarkan informasi mengenai komoditas kemiri minyak sebagai alternatif biofuel kepada konstituen di masing-masing daerah. Pada kunjungan kali ini, ketua Tim Komite II didampingi oleh Intsiawati Ayus, SH. MH (Wk. Ketua Komite II, Anggota Prov. Riau), Prof. Dr. H. Mohamad Surya (Anggota Prov. Jabar), Parlindungan Purba, SH. MM (Anggota Prov. Sumut), Ahmad Syaifullah Malonda, SP (Anggota Prov. Sulawesi Tengah), H. Ir. Abd. Jabbar Toba (Anggota Prov. Sulawesi Tenggara), Ishak Mandacan, SH (Anggota Prov. Papua Barat), serta beberapa staf komite II lainnya.

Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan presentasi tentang Perkembangan Penelitian BBN di Badan Litbang Pertanian oleh Peneliti Bioenergi, Prof. Bambang Prastowo. Beliau menyatakan teknik pemuliaan konvensional membuat produktivitas jarak pagar meningkat dari yang awalnya 4-5 ton/ha (IP-1A/M/P) di tahun 2006 menjadi 8-10 ton/ha (IP-3A/P) di tahun 2008. Teknik tersebut menurut beliau sudah sampai pada batasnya, sehingga perlu dilakukan penelitian secara GMO atau hibridization. Hasil evaluasi jarak pagar, didapatkan bahwa produktivitas jarak pagar berbeda dengan prediksi awal, yaitu setelah 1,5 tahun produktivitasnya sudah menurun, sehingga profesor menyarankan jarak pagar dibuat sebagai tanaman setahun. Namun permasalahannya, tenaga kerja yang diperlukan akan meningkat drastis.

Sebagai alternatif, terdapat tanaman kemiri minyak yang mempunyai potensi lebih tinggi dibandingkan jarak pagar. Tinggi dan rimbunnya tanaman ini, membuat tanaman kemiri minyak dapat digunakan sebagai tanaman konservasi dan selisih suhu di bawah tanaman kemiri minyak dapat mencapai 7°C. Balittri di tahun 2011 telah berhasil melepas 2 varietas unggul tanaman kemiri minyak yaitu “Kemiri Sunan 1” (Kepmentan No. 4000/2011) dan “Kemiri Sunan 2” (Kepmentan No. 4044/2011). Produksi tanaman yang baru dilepas ini dapat mencapai 50 – 289 kg/ph/thn. Kernel dari kemiri minyak dapat menghasilkan 52% minyak kasar, rendemen minyak jarak pagar hanya mencapai 32%.

Penggunaan teknologi produksi biodiesel yang dilakukan oleh peneliti Balittri, rendemennya mencapai 88% dari minyak kasar dan kualitas biodieselnya telah berhasil memenuhi 17 dari 18 standar SNI. Setelah pemaparan dan diskusi, Komite II DPD dan Wamen ESDM beserta rombongan melanjutkan kunjungan ke lapang untuk melihat lebih jelas pembibitan, penanaman, proses pengolahan kemiri minyak menjadi biodiesel, serta aplikasi penggunaannya di berbagai tipe kompor dan genset. Acara kunjungan diakhiri dengan ramah tamah dan santap siang.

DPD Dukung Pengembangan Potensi Energi Daerah


PEKANBARU--MICOM:
Dewan Perwakilan Daerah RI merekomendasikan penyediaan akses energi dengan memanfaatkan potensi energi daerah dan tidak hanya didominasi oleh pemerintah pusat.

"Ke depan penyediaan akses energi harus memanfaatkan pemerintah daerah setempat dan tidak hanya oleh pemerintah pusat," kata anggota DPD RI Intsiawati Ayus di Pekanbaru, Riau, Minggu (15/4).

Intsiawati Ayus mengatakan masalah tersebut pada Expo 2012 Universitas Islam Riau (UIR) dan yang juga diramaikan dengan pameran dan seminar nasional di antaranya menghadirkan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo.

Acara tersebut merupakan kerja sama Fakultas Teknik Jurusan Perminyakan UIR dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (BP Migas) Daerah Kerja (DK) Riau.

Menurut dia, Forum Energi Daerah (FED) perlu melakukan pemetaan wilayah yang mengalami masalah kemiskinan energi dan potensi ketersediaan dan pengembangan energi setempat.

Hal itu dimaksudkan agar implementasi kegiatan yang terkait dengan target pengentasan kemiskinan energi tidak terpusat di suatu daerah, namun dapat dilakukan secara menyeluruh dan terkoordinasi antar instasi di pusat maupun di daerah.

Dia menambahkan, target dan tolak ukur keberhasilan FED untuk meningkatkan akses masyarakat atas energi dan meningkatkan peran energi alternatif. Selain itu, target lainnya yaitu harga energi yang rasional sesuai dengan harga keekonomiannya dan meningkatkan ketersediaan energi untuk kepentingan daerah.

Anggota DPD dari pemilihan Provinsi Riau itu mengatakan target tersebut agar tersedianya cadangan penyangga energi dan meningkatkan penghematan pemanfaatannya serta ramah lingkungan. Dia mengatakan, dalam melaksanakan kewenangan dalam bidang energi, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota diatur melalui ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pihak DPD RI, katanya, berharap ada payung hukum Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang jelas, seperti kedudukan di daerah sehingga dukungan pendanaan dapat disediakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (Ant/OL-2)

Daerah Jangan Jadi Aktor Pasif Kebijakan Energi


Pekanbaru, (AntaraRiau-News)
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Intsiawati Ayus mengatakan daerah selayaknya tidak lagi hanya sekedar menjadi penerima dampak dan aktor pasif dalam kebijakan energi.

"Untuk masa mendatang, daerah jangan lagi jadi aktor pasif melainkan aktif memainkan peran dalam kebijakan energi," kata Intsiawati Ayus di Pekanbaru, Riau, Minggu.

Intsiawati Ayus mengatakan masalah tersebut pada Expo 2012 Universitas Islam Riau (UIR) dan dalam acara itu digelar pameran dan Seminar Nasional diantaranya menghadirkan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Widjajono Partowidagdo.

Namun acara tersebut merupakan kerjasama Fakultas Teknik Jurusan Perminyakan UIR dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (BP Migas) Daerah Kerja (DK) Riau.

Menurut dia, bahwa untuk menjamin keberlanjutan penyediaan dan peningkatan ketahanan energi lokal, maka pembangunan dan pengembangan energi perlu melibatkan prakarsa daerah.

Berdasarkan UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi pada pasal 26 dijelaskan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam pengelolaan energi di daerah masing-masing.

Pemerintah daerah, katanya, mempunyai kewenangan pengelolaan energi mulai dari kegiatan untuk penyediaan, pengusahaan dan pemanfaatan hingga penyediaan cadangan strategis dan konversi sumber daya energi.

Saat ini secara umum belum terjalin koodinasi yang harmonis, antara pusat, kabupaten/kota dan provinsi seputar perencanaan energi sehingga sebagai kebijakan terkait energi seperti pertambangan, migas dan kelistrikan di daerah terkesan berjalan sendiri.

Dia menambahkan, bahwa diperlukan suatu perencanaan energi yang terintergrasi dan terkoordinasi antara pusat dan daerah dan antara pemerintah kabupaten/kota di provinsi itu.

Selain itu, katanya, diperlukan adanya penyusunan data base energi serta perencanaan energi masing-masing daerah sehingga bisa lebih terlihat kemampuan dan kapasitas pelaksanaannya.

Dia menambahkan, bahwa Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) perlu ditunjang oleh Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Anggota DPD dari pemilihan Provinsi Riau itu mengatakan bahwa sejalan dengan regulasi dan tantangan energi ke depan yang makin berat dan kompleks, maka beban penyusunan RUED seharusnya menjadi porsi daerah.

"Daerah diharapkan dapat membentuk forum energi yang terdiri dari pemangku kepentingan di daerah yang mencakup masyarakat, swasta dan pemerintah daerah sehingga RUED bisa menjadi sebagai bahan penunjang yang akurat bagi RUEN, " katanya.

Namun begitu, daerah dapat berpartisipasi aktif mendukung pencapaian yang telah ditargetkan di dalam "blue print" pengelolaan energi nasional 2005-2025 serta menindaklanjuti berbagai kebijakan energi nasional.

Dia mengatakan, dalam upaya melepaskan diri dari ketergantungan tak terbarukan, khususnya minyak bumi, perencanaan dan impelementasi energi baru dan terbarukan harus dilakukan secara komprehensif dan sinergi antara nasional maupun daerah.

Namun kebijakan tidak lagi bersifat sentralistik tapi memberikan peran kepada daerah untuk mengembangkan jenis-jenis energi yang terbarukan.

Adityawarman

Intsiawati Ayus: Srikandi Pembela UMKM

Suara Karya, Jakarta.
Besarnya potensi ekonomi daerah yang mampu menjadi penopang ketahanan ekonomi nasional menjadi alasan utama anggota Senat Indonesia asal Riau, Intsiawati Ayus, untuk terus memperjuangkan penyempurnaan kedudukan, fungsi, dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat daerah.

Menurut wanita kelahiran Teluk Belitung, 4 Mei 1968, ini, perhatian pemerintah pusat terhadap kepentingan daerah masih minim. Hal ini dapat terlihat pada munculnya konflik lahan di sejumlah daerah.

"Meski DPD terhitung masih sebagai lembaga yang baru berdiri, tetapi kini masyarakat memiliki pandangan dan harapan yang besar kepada DPD, setelah wakilnya di DPR tidak lagi mampu menjalankan amanah dari rakyat," ujar sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (1992) dan magister ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (2004) ini.

Wakil Ketua Komite II DPD ini gigih menjadi salah seorang penggerak kesadaran bahwa pemerintah mesti menjadikan penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai prioritas pada tahun ini.

Dia rajin mengampanyekan bahwa kemampuan sektor tersebut harus tetap eksis dan tahan banting terhadap berbagai terpaan krisis.

Karena itulah, dia gencar mendorong penyelesaian konflik lahan dan percepatan pembagian lahan, pembangunan infrastruktur pertanian, serta relaksasi modal bagi petani kecil di daerah. "Ini menjadi kunci penting untuk meredam gejolak sosial, sekaligus dampak krisis di daerah," kata senator yang berhasil terpilih dalam dua periode ini. (Tri Handayani)

Keputusan DPD Tidak Terdengar di DPR

Soal Rapat Paripurna DPD RI yang Tolak Kenaikan BBM


Indopos-JAKARTA
Barangkali inilah bentuk penghinaan parlemen (contempt of parliament) ala Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab, DPR sama sekali tidak mengakomodasi hasil rapat Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) pada 15 Maret lalu yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). ’’Suara DPD tidak terdengar.

Maka, saya beranggapan bahwa ini merupakan atraksi antar kekuatan politik,’’ kata Wakil Ketua Komite II DPD RI Intsiawati Ayus pada acara ’’Dialog Kenegaraan’’ di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (4/4). Intsiawati juga berpikir untuk mengajukan masalah itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena sesuai pasal 22D UUD 1945, DPD ikut menimbang.

’’Tetapi semua itu tidak diwujudkan dalam mekanisme,’’ ujar dia. Rapat paripurna yang dilaksanakan DPR RI terkait rencana kenaikan BBM itu tak ubahnya merupakan atraksi politik. Selain itu, dalam laporan Badan Anggaran (Banggar) Paripurna hanya berdasarkan pandangan fraksi politik, sementara dari DPD RI tidak ada. Padahal, DPD secara formal memasukkan pertimbangan APBN tetapi tidak dibacakan.

’’Seharusnya mewujudkan pertimbangan, hasil pengawasan, dan fungsi DPD yang diwujudkan dalam komunikasi antar lembaga. Ini akan bersanding elok DPR dengan DPD,’’ tutur Intsiawati. Intsiawati berpandangan, sudah waktunya DPD melakukan judicial review ke MK atau kewenangan antarlembaga. Selain itu, tambah dia, perlu melakukan otorisasi untuk pro dan kontra kewenangan UU yang bermuara ke MK.

DPD tidak mau mendapat anggapan negatif dari masyarakat karena mendukung semua hasil keputusan DPR. ’’Padahal selama ini pertimbangan DPD tidak pernah diwujudkan dalam mekanisme,’’ imbuh dia. Diakui Instiawati, posisi DPD sebagai lembaga legislatif merupakan kecelakaan. Pembentukan lembaga ini tidak diiringi dengan pemberian kewenangan yang jelas dalam konteks sistem bikameral atau dua kamar. ’’Itu sebabnya, fungsi DPD dalam proses legislasi dikebiri,’’ ungkap dia. Menurut Intsiawati, kewenangan DPD dipersempit menjadi bersifat konsultatif.

Seharusnya keberadaan DPD bisa berjalan jika kedua kamar memiliki kewenangan sama. Minimnya kewenangan DPD membuat institusi ini menuntut agar pasal 22D UUD 1945 tentang kewenangan DPD diamandemen. ’’Ini agar sistem bikameral dan demokrasi dapat ditegakkan di negeri ini,’’ harap dia. Sistem bikameral di Indonesia, jelas dia, bertujuan memperkuat kedudukan pemerintah daerah atau rakyat daerah dalam proses dan produk legislasi tingkat pusat.

Meskipun demikian, terbuka kemungkinan untuk diperdebatkan tentang apakah anggota DPD menjadi wakil pemerintah daerah atau wakil rakyat daerah. ’’Contoh, dalam proses pemilihan dan akuntabilitasnya, anggota DPD merupakan wakil rakyat daerah karena dipilih langsung,’’ papar Intsiawati. Tiap provinsi, lanjutnya, memiliki jumlah anggota DPD yang sama dan tiap anggota memiliki suara sama dalam pengambilan keputusan. Sistem tersebut, jawab dia, bertujuan melindungi daerah bagian berpenduduk sedikit dari dominasi dari berpenduduk banyak.

Terlepas dari itu, keberadaan DPD untuk mewakili kepentingan daerah dalam proses dan produk legislasi di tingkat pusat cukup legitimate. ’’Karena itu, DPD bisa menjadi wadah aspirasi daerah,’’ pungkas Intsiawati. Aspirasi dan kepentingan rakyat daerah tidak dapat diperjuangkan karena kewenangan DPD terbatas. Namun, menurutnya, hal ini harus menjadi pertimbangan dalam melakukan amandemen konstitusi, khususnya pasal 22D.

’’Penguatan DPD tidak berarti melemahkan kedudukan dan peran DPR,’’ ucap anggota DPD RI asal Provinsi Riau. Masalah inilah yang mendorong DPD mengajukan judicial review. Namun, sambung Intsiawati, setelah mengalami uji materi di MK, ekspektasi akan adanya perbaikan UU tidak menjadi kenyataan. Dalam konteks konsolidasi demokrasi yang sedang diupayakan Indonesia sekarang ini, sangat penting memperkuat lembaga demokrasi. ’’Maka munculah keikutsertaan anggota parpol dalam pemilihan anggota DPD pada pemilu 2009,’’ papar Intsiawati.

Lalu, hendak dibawa ke mana DPD yang diisi oleh anggota partai? Bagaimana dengan nasib daerah ke depan? Pertanyaan tersebut, ungkap Intsiawati, patut dipikirkan secara serius bila Indonesia mau konsisten dengan perubahan ketatanegaraan sebagaimana disepakati dalam amandemen konstitusi. Kegagalan dalam mempertahankan konsistensi tersebut akan membawa disharmoni, baik hubungan internal kelembagaan itu sendiri maupun antarkelembagaan tinggi negara.

’’Tentunya harus dihindari, mengingat dampaknya yang negatif terhadap proses recovery Indonesia,’’ ulas Intsiawati. Selain itu, kehadiran DPD terkesan antara ada dan tiada. Anggota DPD merasa mampu memperjuangkan aspirasi daerah bila mereka memiliki kewenangan cukup. Masalahnya, imbuh dia, anggota DPD tidak bisa membuat kebijakan politik di tingkat pusat yang menguntungkan daerah bila kewenangannya terbatas. ’’Keterbatasan payung hukum sebagaimana diatur dalam pasal 22D yang tidak menguntungkan DPD,’’ tandas Intsiawati.

Di satu sisi, lanjut Intsiawati, daerah mengharapkan terpilihnya wakil daerah yang bisa memperjuangkan keinginannya. Tapi di sisi lain, DPD merasa deadlock dan tidak mampu melakukan tugas melampaui amanat konstitusi. ’’Dilema ini menimbulkan kekecewaan yang tak hanya dirasakan anggota DPD, tapi juga daerah,’’ terang dia. Implikasi lain dari keterbatasan kewenangannya tersebut yaitu meskipun DPD relatif telah melaksanakan fungsi pengawasan, fungsi legislasinya tidak memiliki mekanisme memadai.

Dari sejumlah RUU yang diajukan DPD, tegas dia, DPD tidak memprosesnya lebih lanjut. Kemajuan yang patut dicatat sejauh ini adalah RUU inisiatif. ’’Berbeda dengan sebelumnya yang hanya memberikan pandangan umum,’’ terang Intsiawati. Di sinilah kelemahan mendasar DPD. Bila merujuk ke konstitusi, sebenarnya tidak ada masalah mengikutsertakan DPD dalam pembahasan dengan DPR.

Tapi DPR membuat UU dan tata tertib yang hanya memungkinkan DPD ikut membahas di tingkat satu. Mestinya badan legislatif memiliki mekanisme jelas bisa diusulkan. Namun, pandangan dan pertimbangan DPD tidak diakomodasi atau tidak ditindaklanjuti DPR.


DPD Lebih Diperhitungkan 
Pada kesempatan sama, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin mengatakan, DPD merupakan lembaga yang dipilih melalui proses mekanisme pemilu. Seharusnya DPD memberikan respons atas komunikasi konstitusional yang merupakan prasyarat formil terbentuknya sebuah UU. ’’Mestinya anggota DPD dapat memanfaatkan semaksimal mungkin tugas pokok dan fungsi lembaga,’’ kata dia.

Irman mengemukakan, DPD akan kuat jika individu anggotanya juga kuat. DPD juga harus bisa mengembangkan anggotanya dalam bingkai tata tertib yang membungkus mereka di dalam, tapi bisa bersuara hingga keluar.

’’Tatib ini nantinya memberikan koridor kebebasan pada anggota untuk berekspresi,’’ jelas Irman. Irman beranggapan, masalahnya bagaimana menjadikan wakil daerah seperti anggota DPD lebih diperhitungkan. Jangan sampai ada pengabaian terhadap peran DPD. ’’Bila DPR diikat politik, DPD lebih mandiri,’’ paparnya.

Irman menilai, implikasi dari minimnya kewenangan DPD tersebut tak hanya terhadap anggota DPD, tapi institusi DPD itu sendiri. Tidak jarang anggota DPD mengeluhkan keberadaannya yang secara politik telah menurunkan semangat dan mengurangi rasa percaya diri. Secara institusi DPD tidak bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan DPR,’’ jawab dia.


DPR Dinilai Menghina 
Praktisi hukum Todung Mulya mengatakan, DPR telah melakukan penghinaan (contempt of parliament) terkait tindakan DPR yang tidak mengakomodasi hasil rapat Paripurna DPD yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

”Paripurna DPR yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM diduga kuat telah mengarah pada contempt of parliement,” kata Todung Mulya Lubis, dalam acara diskusi bertema ”Peran, Fungsi dan Aktualisasi Senat Dalam Sistem Parlemen di Berbagai Negara, di Senayan, Jakarta, Selasa (3/4).

Menurut Todung, meski wewenang DPD saat ini tidak sebagaimana yang diharapkan, tapi ketika institusi DPD mengeluarkan sebuah keputusan melalui forum tertingginya yaitu sidang paripurna DPD, maka DPR semestinya menjadikan keputusan itu sebagai salah satu bahan pertimbangan sebelum DPR mengambil keputusan. Sikap itu yang tidak diperlihatkan oleh sidang Paripurna DPR yang berlangsung selama 16 jam pada tanggal 30 hingga 31 Maret 2012 itu. (fdi)

PEMBAHASAN LEGISLASI: Relasi DPD-DPR Bermasalah


JAKARTA (Suara Karya) 
Hubungan kerja DPD dan DPR dianggap bermalasah, terutama di bidang legislasi. Karena itu, Wakil Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Intsiawati Ayus, mempertanyakan mekanisme relasi antara DPD dengan DPR terkait pembahasan perundang-undangan.
Sebab, meski telah ditetapkan dalam aturan pembahasan legislasi, namun hingga kini banyak undang-undang yang disahkan DPR tidak memberikan perimbangan yang sesuai untuk terakomodirnya usulan dari DPD.

"Ini menyangkut posisi di dalam mekanisme hubungan kerja antara DPR dengan DPD. Yang kita perjuangkan selama ini tidak hanya sebatas kewenangan, tetapi seberapa jauh usulan DPD terhadap suatu perundang-undangan dapat diakomodasikan," ujarnya dalam Dialog Kenegeraan bertema Dimensi Konstitusionalitas APBNP, di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (4/4). Hadir pula dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis, dan pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin.

Intsiawati menilai, hingga sejauh ini berdasarkan tata tertib yang mengatur mengenai mekanisme kerja antara DPD dengan DPR baru dapat terealisasi dalam sidang bersama. Namun, menurut dia, ada hal lain yang krusial, yakni menyangkut terakomodirnya usulan dari DPD untuk sebagai perimbangan dalam suatu perundang-undangan.

"Jadi tidak cukup hanya sebatas 'dicantumkan'. Seharusnya ada pertimbangan dari DPD dalam setiap pembahasan perundang-undangan," ujarnya.

Terkait hal ini, Intsiawati juga menyinggung terbukanya kemungkinan pengajuan gugatan atau judicial review terhadap sejumlah undang-undang yang dianggap tidak mengikutsertakan kepentingan daerah.

Namun, dia belum dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai rencana tersebut karena masih harus dibahas dalam rapat paripurna DPD.

Menanggapi persoalan tersebut, Harry Azhar Aziz menilai di dalam iklim demokrasi yang berlangsung saat ini membuka apeluang untuk dilakukannya judicial review terhadap undang-undang yanh dihasilkan DPR bersama pemerintah.

"Itu juga akan semakin memperbesar kualitas demokrasi. Mekanisme ketatanegaraan membolehkan hal itu. Malah ini dapat memperlihatkan atau menjadi indikator kualitas undang-undang yang dihasilkan itu sesuai dengan aspirasi rakyat atau tidak," katanya.

Sementara itu, Irman Putra Sidin berpendapat, setiap warga negara Indonesia, termasuk anggota parlemen memiliki kesempatan untuk mengajukan judicial review terhadap setiap keputusan yang dihasilkan DPR bersama pemerintah.

"Bagi rakyat yang merasa tidak puas dengan hasil undang-undang maka dapat menggugatnya secara konstitusional ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian secara konstitusional merupakan langkah rasional jika rakyat tidak menghendaki hasil yang dibahas lembaga legislasi," katanya. (Tri Handayani)

Dimensi Konstitusionalitas APBN-P


fy-indonesia.com
Disaksikan pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin (kanan), anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI, Harry Azhar Azis (kiri) dan wakil ketua Komite II DPD RI, Intsiawati Ayus (tengah) berdebat dan saling mempertahankan pendapatnya mengenai usulan penolakan kenaikan BBM anggota DPD RI yang diabaikan dan tidak dianggap oleh DPR RI pada saat berlangsung Dialog Kenegaraan berthema "Dimensi Konstitusionalitas APBN-P", Rabu, 04/04/2012 di Gedung Parlemen RI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan Jakarta Pusat. Menurut Harry Azhar Azis selama tugas dan wewenang DPD RI hanya sebatas mengusulkan dan tidak bisa ikut membahas sebuah RUU, DPD RI tidak bisa protes, karena hal itu tidak melanggar konstitusi dan kalau mau menggugat silahkan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara Ayus menyatakan idealnya setiap usulan DPD RI, hendaknya dibahas dan dijadikan bahan pertimbangan oleh DPR RI. Fyi/Mulkan Salmun.

Instiawati Ayus: Minta Posisi Mekanisme Hubungan Lembaga Diperjelas


Jakarta, dpd.go.id
Tidak diberinya kesempatan oleh DPR RI kepada DPD RI untuk memberikan pertimbangan terkait UU APBN-P membuat acara Dialog Kenegaraan yang berlangsung di Coffee Corner DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan-Jakarta berlangsung hangat.

Sebagai Anggota DPD RI dari Provinsi Riau, Intsiawati Ayus merasa bahwa DPD RI perlu membawa hal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Secara pribadi saya ingin sekali ke MK jika DPD RI mendapatkan ‘pelecehan’ dari DPR, baik itu dalam fungsi pengawasan maupun dalam memberikan usul inisiatif atau pendapat terhadap UU yang akan dibuat”, jelas Wakil Ketua Komite II DPD RI ini. “Kami tahu batas-batas tentang kewenangan kami di DPD RI, jadi tidak mungkin kami melakukan sesuatu diluar kewenangan tersebut. Saya hanya minta posisi mekanisme hubungan lembaga diperjelas”, tambahnya.

Pernyataan Instiawati langsung mendapat sanggahan dari Harry Azhar Aziz, “Tidak semua keputusan yang diambil DPR itu benar. Jadi silahkan saja kalau DPD ingin membawa masalah ini ke MK”, tegas Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar ini pada Rabu (4/4/2012).

Menengahi masalah yang ada, Irman Putra Sidin berpendapat bahwa harus ada pertimbangan yang berbeda antara DPD dan DPR, untuk itu DPD RI harus mengambil langkah konstitusional yang tegas demi masa depan DPD dan daerah. (dv/ank)

INTSIAWATI AYUS: DPD TIDAK KE MK..


SuaraBerita Senator Kita.
Dialog Kenegaraan DPD RI, hari ini, Rabu 4 April 2012, berlangsung cukup hangat. Hal ini terjadi dengan munculnya tanggapan yang spontan dari narasumber yang berasal dari DPR dan DPDRI. Dialog ini menghadirkan: DR. HARRY AZHAR AZIS (Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar), INTSIAWATI AYUS, SH, MH (Anggota DPD RI, dari RIAU) dan Pakar Hukum Tata Negara, A. IRMAN PUTRA SIDIN. Dialog yang membahas: DIMENSI KONSTITUSIONALITAS APBN-P, banyak membicarakan peranan DPDRI dalam pengambilan keputusan, termasuk pengesahan UU yang menyerahkan kepada pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM.

Dalam pemaparannya tentang pertimbangan DPD RI kepada DPR, Intsiawati Ayus mengatakan: “Karena tidak terdengarnya (penolakan DPD terhadap kenaikan harga BBM pada paripurna 15 Pebruari), ini adalah transaksi antar kekuatan politik jadinya. Apakah dapat dikatakan tidak ada kekuatan politik DPD?

Kalau bicara pro kontra terhadap rumusan pasal ini. Kalau memang ada kelompok yang mengajukan ke MK. Mengapa DPD tdk mengajukan juga ke MK, karena jelas dalam pasal 23 DPD memberikan pertimbangan. Pertimbangan kita berikan sesuai rentang waktu yang diberikan oleh DPR. Tapi tidak diwujudkan dalam mekanisme. UU yg sudah disahkan oleh DPR dan pemerintah. (Dalam putusan itu) tercantum dalam konsideran poin d, tercantum adanya pertimbangan DPD. Pertimbangan kita tidak masuk pada mekanisme pembahasan, hanya sekedar surat. Tentunya rakyat bertanya, apapun yang disahkan tentang Undang-Undang APBN-P ini berarti sudah idem dengan DPD, padahal tidak ada seperti itu. Jadi, kenapa tidak ke MK saja?

Hal ini mendapat tanggapan langsung dari Harry Azhar Azis: “ Memang itu menjadi masalah dan diputuskan dalam UU. Apakah pertimbangan DPD itu sama dengan pengamat atau 70 % diterima, itu tidak menyalahi konstitusi.”

Intsiawati Ayus menjawab: “Yang saya bahasakan ini mestinya jadi ideal”
Intsiwati Ayus melanjutkan: “Apapun yg di-UU-kan, bersanding elok lah DPR dengan DPD. Sampai saat ini, apa yang menjadi prioritas DPD, belum tentu menjadi prioritas DPR.

Harry Azhar Azis kembali menjawab: “Jadi DPD menolak UU ini, DPR setuju, ya sudah, sampai disitu saja.”

“Jadi posisi DPD hanya menyampaikan surat, itu saja.” Kata Intsiwati Ayus kemudian, “Yang saya bahasakan idealnya. Karena pertentangan rumusan UU itu bisa ke MK. Seandainya di konsideran memperhatikan pertimbangan DPD.”

Harry Azhar Azis menimpali: “DPR memutuskan seperti itu. Apakah pertimbangan DPD diterima DPR? Apakah pertimbangan DPD itu diterima atau ditolak, apa konstitusional, itu kan pertanyaan di MK, tidak bisa kita jawab disini. Kalau DPD secara resmi menyatakan, bahwa karena tidak didengar oleh DPR, lalu menggugat di MK, silakan diputuskan oleh DPD. Dan itu akan memperkaya demokrasi kita.”

Bagi saya, apapun yang akan diajukan ke MK, itu tidak masalah. Tersedia peluang di dalam UUD kita. Justru menurut saya semakin banyak UU diajukan ke MK, semakin terlihat apakah keputusan-keputusan politik yang diambil pemerintah dan DPR itu berkualitas atau tidak.”

Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin mengatakan: “Harus ada pembeda pertimbangan (pengamat atau anggota DPD). Harus beda ketika DPD yang berbicara di DPR. Tetapi memang disadari, kerangka konstitusional pembedanya ini belum jelas. Untuk memperjelas ini, DPD harus mengambil keputusan, harus bisa mengambil langkah konstitusional guna memperjelas masa depan daerah-daerah di Indonesia ini. Sebab DPR pasti akan tetap merujuk pada Undang-Undang yang berlaku. DPD harus mengambil langkah konkrit supaya tidak terjadi perdebatan.”

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.