Pansus Perubahan UU Susduk DPD RI Jaring Aspirasi di DPRD Riau

Undang-undang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD dan DPRD segera direvisi. Untuk menjaring aspirasi dari daerah, Pansus DPD RI menggelar forum bersama dengan DPRD Riau.

Riauterkini-PEKANBARU-Panitia Khusus (Pansus) Perubahan Undang-undang Nomer 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) MD3 DPD RI datangi DPRD Riau untuk membicarakan rencana perubahan tersebut, Senin (29/11/10). Dalam kunjungannya, DPD mengundang pengamat politik sekaligus staf ahli DPD Arbi Sanit sebagai narasumber pembicara.

 Rencana perubahan berlandaskan dengan fungsi dan kedudukan DPD sebagai perwakilan daerah dengan DPR yang tidak jelas. Misalnya, Keterlibatan DPD RI dalam penyusunan program legislasi nasional (Prolegnas) DPD hanya diberikan ruang untuk menyampaikan usul daftar dan prioritas RUU untuk satu masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran.

“Dan DPD tidak diikut sertakan dalam proses pembahasan status RUU di luar Prolegnas. Padahal hal ini tidak bertentangan dengan UUD 1945. Harusnya DPD dapat ikut serta dalam proses pembahasanya,” jelas Wakil Ketua Pansus Perubahan Undang-undang Nomer 27 Tahun 2009 DPD RI Intsiawati Ayus.

Untuk itu, dalam penyampaianya Arbi Sanit menyebutkan perlunya konsolidasi otoritas kinerja DPRD dan DPRD sebagai wakil rakyat daerah. Perlunya kejelasan posisi dan kinerja DPD dan DPRD dalam memperjuangkan objek yang sama kepentingan rakyat daerah. Maka, terangnya, perlunya sebuah ketegasan atau peraturan yang harus dilembagakan.

Anggota DPRD Riau Zulkarnain Noerdien menyambut kedatangan itu dengan harapan, bahwa bukan perubahan Undang-undang 27 Tahun 2009 tersebut yang dirubah tetapi yang harus dirubah adalah Undang-Undang Dasan (UUD) 1945. Pasalanya, kedudukan tertinggi adalah UUD 1945. “Jika ada peraubahan terbaru yang bertentangan dengan undang-undang tertinggi tidak dapat di laksanakan,” jelasnya.***(tam)

Kuasa Hukum Tegaskan Susno Tak Benci Polri


Rabu, 24 Maret 2010 | 15:35 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta -Kuasa Hukum bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Susno Duadji, Husni Maderi, menyatakan kliennya tidak membenci Polri dan tidak berniat menghina institusi ini. "Justru Susno ingin memperbaiki institusi," katanya dalam diskusi "Mengungkap Praktek Markus" yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah, di Jakarta.

Menurut Husni, persepsi tersebut justru dibenturkan oleh sejumlah elit di kepolisian. "Pak Susno tidak pernah membenci Polri, namun sejumlah elit menganggapnya seperti itu," katanya melanjutkan.

Kuasa hukum Susno lainnya, Efran Juni, memberikan pendapat yang senada. "Institusi Polri sudah kehilangan akal sehat. Seharusnya Propam melindungi Susno, karena yang disampaikan bukan dalam forum seperti acara minum kopi. Keterangan disampaikan oleh Susno saat dia diundang oleh Satgas (satuan tugas pemberantasan mafia hukum)," kata Efran. Dia beranggapan, seharusnya keterangan Susno ditindaklanjuti terlebih dahulu. "Jika ada pihak-pihak yang terganggu, silahkan. Tapi selesaikan ini dulu," katanya
Sebelumnya, sejumlah pihak melaporkan Susno karena merasa nama baiknya dicemarkan. Ini adalah buntut pernyataan Susno beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa ada makelar kasus di tubuh Polri.

Menurut Efran, Susno pernah menyampaikan masalah di institusi Polri ini kepada Kapolri. "Beliau pernah berkirim surat kepada Kapolri bahwa ada masalah di institusi Kepolisian, namun Kapolri tidak menanggapi," kata Efran.

Berdasarkan keterangan Husni, Susno pada hari Jumat (26/3) akan memenuhi panggilan dari Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Status Susno pada saat memenuhi panggilan tersebut adalah sebagai terperiksa. Menurut Husni, dalam konteks pemeriksaan Propam, tidak ada yang namanya status sebagai tersangka. "Yang ada adalah sebagai terperiksa," kata Husni. Sehingga, lanjut Husni, status terperiksa hampir sama dengan tersangka.

Dalam dialog tersebut, Susno diagendakan akan hadir sebagai pembicara. Namun dibatalkan, dan digantikan oleh kedua kuasa hukumnya, Husni Maderi dan Efran Juni, karena alasan keamanan. "Pak Susno ada di suatu tempat yang tidak dapat diekspose, demi keselamatan Pak Susno," kata Husni. "Beliau kami pindahkan dari satu tempat ke tempat lain," lanjutnya.

Anggota Komisi III DPR, Taslim, menyatakan bahwa Komisi III akan membahas permasalahan ini secara mendalam. "Kami akan bahas ini secara lebih mendalam di Komisi III," kata Taslim. Menurutnya, untuk mengungkapkan keberadaan markus di dunia hukum butuh keberanian dari banyak pihak, seperti internal Kepolisian, Kejaksaan, dan juga Departemen Hukum dan HAM.

"Mengapa tidak diselidiki dulu (laporan Susno). Jika tidak benar, baru tangkap Pak Susno," kata Taslim. "Saya pribadi akan membela Pak Susno," lanjutnya.Intinya, masalah ini akan diungkap secara tuntas di Komisi III.

Anggota DPD RI, Intsiawati Ayus, berharap adanya reformasi total di tubuh kepolisian. "Mudah-mudahan ini momentum bagi internal Polri untuk melakukan perbaikan secara komprehensif," katanya.

Kuasa Hukum Tegaskan Susno Tak Benci Polri

Rabu, 24 Maret 2010 | 15:35 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta -Kuasa Hukum bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Susno Duadji, Husni Maderi, menyatakan kliennya tidak membenci Polri dan tidak berniat menghina institusi ini. "Justru Susno ingin memperbaiki institusi," katanya dalam diskusi "Mengungkap Praktek Markus" yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah, di Jakarta.

Menurut Husni, persepsi tersebut justru dibenturkan oleh sejumlah elit di kepolisian. "Pak Susno tidak pernah membenci Polri, namun sejumlah elit menganggapnya seperti itu," katanya melanjutkan.

Kuasa hukum Susno lainnya, Efran Juni, memberikan pendapat yang senada. "Institusi Polri sudah kehilangan akal sehat. Seharusnya Propam melindungi Susno, karena yang disampaikan bukan dalam forum seperti acara minum kopi. Keterangan disampaikan oleh Susno saat dia diundang oleh Satgas (satuan tugas pemberantasan mafia hukum)," kata Efran. Dia beranggapan, seharusnya keterangan Susno ditindaklanjuti terlebih dahulu. "Jika ada pihak-pihak yang terganggu, silahkan. Tapi selesaikan ini dulu," katanya
Sebelumnya, sejumlah pihak melaporkan Susno karena merasa nama baiknya dicemarkan. Ini adalah buntut pernyataan Susno beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa ada makelar kasus di tubuh Polri.

Menurut Efran, Susno pernah menyampaikan masalah di institusi Polri ini kepada Kapolri. "Beliau pernah berkirim surat kepada Kapolri bahwa ada masalah di institusi Kepolisian, namun Kapolri tidak menanggapi," kata Efran.

Berdasarkan keterangan Husni, Susno pada hari Jumat (26/3) akan memenuhi panggilan dari Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Status Susno pada saat memenuhi panggilan tersebut adalah sebagai terperiksa. Menurut Husni, dalam konteks pemeriksaan Propam, tidak ada yang namanya status sebagai tersangka. "Yang ada adalah sebagai terperiksa," kata Husni. Sehingga, lanjut Husni, status terperiksa hampir sama dengan tersangka.

Dalam dialog tersebut, Susno diagendakan akan hadir sebagai pembicara. Namun dibatalkan, dan digantikan oleh kedua kuasa hukumnya, Husni Maderi dan Efran Juni, karena alasan keamanan. "Pak Susno ada di suatu tempat yang tidak dapat diekspose, demi keselamatan Pak Susno," kata Husni. "Beliau kami pindahkan dari satu tempat ke tempat lain," lanjutnya.

Anggota Komisi III DPR, Taslim, menyatakan bahwa Komisi III akan membahas permasalahan ini secara mendalam. "Kami akan bahas ini secara lebih mendalam di Komisi III," kata Taslim. Menurutnya, untuk mengungkapkan keberadaan markus di dunia hukum butuh keberanian dari banyak pihak, seperti internal Kepolisian, Kejaksaan, dan juga Departemen Hukum dan HAM.

"Mengapa tidak diselidiki dulu (laporan Susno). Jika tidak benar, baru tangkap Pak Susno," kata Taslim. "Saya pribadi akan membela Pak Susno," lanjutnya.Intinya, masalah ini akan diungkap secara tuntas di Komisi III.

Anggota DPD RI, Intsiawati Ayus, berharap adanya reformasi total di tubuh kepolisian. "Mudah-mudahan ini momentum bagi internal Polri untuk melakukan perbaikan secara komprehensif," katanya.

Konsep Penataan Kota, Tidak Jelas


Politikindonesia - Belum dilaksanakannya, model pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, mengakibatkan kota menjadi semrawut dan cenderung menyalahi penataan ruang yang sebelumnya telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legilatif. Butuh waktu lama untuk mendesain kembali (redesign) karena banyaknya bangunan yang telah berdiri.

Hal itu dikemukakan Instiawati Ayus SH MH, Anggota DPD asal Riau kepada politikindonesia.com, usai mengikuti dialog “Suara Daerah” di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (22/03).

Lebih jauh lagi, Intsiawati yang akrab dipanggil Iin itu menilai, semrawutnya pembangunan perkotaan juga diakibatkan tidak konsekwennya eksekutif dan legislatif dalam penerapan kebijakan. “Mereka yang menyusun perencanaan tata ruang, tetapi mereka pula yang melanggarnya,” ujar Iin.

Kondisi ini diperparah, katanya, karena UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tidak memberikan sanksi tegas terhadap aparat pemerintah yang melanggarnya. Akibatnya, kesemrawutan pembangunan perkotaan tak dapat dihindarkan. “Ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia.”

Mantan Ketua Bidang Hukum dan HAM Persatuan Perempuan Peduli Melayu, Riau itu, melihat konsep pembangunan antarkota belum terintegrasi. Idealnya, satu kota dibangun, tidak mengesampingkan atau bahkan mengabaikan pembangunan di wilayah sebelahnya. Wanita kelahiran Bengkalis, Riau 4 Mei 1968 itu menyontohkan, banjir di Jakarta diakibatkan konsep pembangunan di kawasan Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi) yang tidak terintegrasi dengan baik.

Senator perempuan selama dua periode itu menambahkan, pasca pengesahan UU Penataan Ruang, DPD telah merekomendasikan 12 Peraturan Pelaksanan (PP). Namun hingga saat ini belum seluruhnya direalisir. Karena itu tak mengherankan jika antara perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seringkali tidak nyambung.

Lulusan S-2 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia itu juga mengingatkan RUU tentang Perumahan dan Permukiman, juga tidak dapat dilepaskan dengan implementasi UU Penataan Ruang. Karena itu ia meminta agar penerapan sanksi terhadap pelanggar UU Penataan Ruang harus benar-benar efektif. Pemerintah juga perlu terus didorong untuk membuat grand design Penataan Ruang.

Sulit dan Kompleks

Yasti S Mokoagow, Ketua Komisi V DPR dalam wawancara khusus dengan politikindonesia.com pada Selasa (08/06) lalu mengakui menerapkan penataan ruang di Indonesia ibarat mengurai benang kusut. Sulit dan kompleks.

Yang paling krusial menurutnya adalah sinkronisasi terhadap pelaksanaan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.26/2007. Pasal itu mensyaratkan, penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana. “Itu yang susah,” ujarnya.

Soalnya, banyak sekali pembangunan infrastruktur yang tidak mengacu pada ketentuan dimaksud. Dan jika ketentuan tersebut diterapkan secara tegas, maka bangunan-bangunan yang tidak sesuai, harus dibongkar. “Ini bukan pekerjaan mudah. Tugas Kementerian Pekerjaan Umum, sangat berat,” ujar wanita kelahiran Manado, 8 Maret 1986 itu.

Yasti menegaskan, penataan ruang memiliki peran strategis dalam penanggulangan dan mitigasi bencana. Terkait hal itu, lulusan S-1 FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado itu menekankan perlunya koordinasi antara Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian PU dengan pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota.

Koordinasi tersebut menjadi penting mengingat masih banyak kabupaten/kota yang belum melakukan revisi tata ruang. Beberapa diantaranya sedang melakukan revisi. Sebagian lainnya, dalam tahap persetujuan.

DPD ingatkan perumahan untuk Masyarakat Adat

dpd.go.id. Anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengingatkan Pemerintah cq Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemnegpera) agar memperhatikan perumahan bagi masyarakat adat dan masyarakat terpencil serta menyediakan perumahan di wilayah perbatasan. Pemerintah diharapkan memberi kemudahan kepemilikan rumah bagi masyarakat adat, masyarakat terpencil, dan masyarakat di wilayah perbatasan.

Etha Aisyah Hentihu (Maluku) menyinggung perumahan untuk masyarakat adat. “Bagaimana tanggung jawab membangun perumahan untuk masyarakat adat? Kalau lokasi perumahannya di atas tanah adat, bagaimana?” Ia berharap, Pemerintah memberi kemudahan kepemilikan rumah bagi masyarakat adat, selain masyarakat berpenghasilan rendah melalui perencanaan pembangunan yang bertahap.

Persoalan perumahan untuk masyarakat adat Suku Kubu (dikenal dengan nama Suku Anak Dalam atau Orang Rimba) juga diungkap Muhammad Syukur (Jambi). “Bagaimana perumahan untuk suku Anak Dalam di pedalaman hutan Jambi?”

Tak ketinggalan, Bambang Susilo (Kalimantan Timur) mengingatkan, 2.764 jiwa warga suku Korowai di hutan-hutan pedalaman Papua, seperti di Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, mendiami rumah di atas pohon. “Kita sibuk membahas rancangan undang-undang, real estate, apartemen, rumah susun, tapi kita masih memiliki saudara yang rumahnya di atas pohon.”

Selain itu, ia meminta Pemerintah membangun perumahan di wilayah perbatasan, seperti wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak (Malaysia) dan Kalimantan Timur – Sabah (Malaysia). Misalnya, di masing-masing wilayah perbatasan dibantun 1000 rumah.

Intsiawati Ayus (Riau) menekankan, jaminan bagi masyarakat untuk memperoleh perumahan merupakan permasalahan yang sensitif, apalagi jika mengaitkannya dengan hak asasi. “Bagaimana kementerian ini membagi jatah 80 untuk provinsi atau kabupaten/kota yang berhak dan membutuhkan, ada tuntutan konsistensi dan konsekuensi agar kementerian tidak pilih kasih.”
Pembangian tersebut juga bersinggungan dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi. Jika rancangan undang-undang merekomendasi pendirian lembaga/badan penyelenggaraan pembangunan perumahan. “Lembaga/badan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi sangat riskan. Kalau di lapangan, bagi-baginya tidak adil, kali-kalinya tinggi.”

Muhammad Asri Anas (Sulawesi Barat) mendukung jika Pemerintah menambah dana alokasi khusus dan dana dekonsentrasi untuk pembangunan perumahan. Apalagi, PP 38/2007 menyatakan perumahan merupakan tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang dapat menugaskan atau membentuk lembaga/badan.

“Di kampung saya, pemerintah daerah tidak merespon perumahan sebagai kebutuhan. Malahan, saya simpulkan, tidak ada provinsi yang serius bicara perumahan. Pemerintah daerah hanya asyik bicara 20% dana pendidikan.”

Parlindungan Purba (anggota DPD asal Sumatera Utara) mempertanyakan benchmark pembangunan perumahan dalam rancangan undang-undang perumahan dan permukiman. “Negara mana benchmark-nya? Apakah seperti Singapura yang menjamin masyarakat memiliki perumahann sekian tahun?” tanyanya.
Ia juga menyoal pembiayaan yang menyulitkan pembangunan perumahan. “Kenapa di Indonesia kesulitan pembiayaan? Karena uang yang tersedia jangka pendek dan mahal, sementara yang dibutuhkan untuk jangka panjang dan murah.”

Budi Doku (Gorontalo) menyinggung dana alokasi khusus dan dana dekonsentrasi yang sebelumnya tidak dialokasikan. Di tahun 2011, ia mencatat 80 kabupaten/kota masing-masing akan memperoleh anggaran Rp 6,6 miliar untuk pembangunan perumahan. Sayangnya, anggaran tersebut hanya dikucurkan untuk 20 kabupaten/kota dan 5 provinsi yang memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Ahmad Subadri (Banten) mengingatkan kemungkinan dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk penyediaan lahan perumahan dan permukiman dikorupsi oleh pejabat pemerintah daerah.

Supartono (Jawa Timur) mengatakan, belum jelas aturan perumahan dan permukiman. Sedangkan Gusti Farid Hasan Aman (Kalimatan Selatan) mendukung sosialisasi aturan perumahan dan permukiman.
Menanggapi berbagai pertanyaan dan pernyataan tersebut, Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menegpera) Suharso Manoarfa mengatakan, “Untuk masyarakat adat dan daerah tertinggal, kami memiliki program rumah swadaya,” ujarnya. “Kami mengarah ke kawasan timur.”

“Sayangnya, anggaran kami tidak banyak, karena kami di cluster tiga, bukan di cluster dua,” katanya saat rapat kerja (raker) dengan Komite II DPD yang dipimpin ketuanya, Bambang Susilo (Kalimantan Timur), didampingi Wakil Ketua Komite II DPD Djasarmen Purba (Kepulauan Riau) di Ruang Rapat Komite II DPD lantai 3 Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/7).

Ia juga menyetujui, program pembangunan perumahan di wilayah perbatasan. “Saya setuju sekali. Dari sisi pertahanan keamanan, kami telah menawarkan kepada kabupaten-kabupaten di sekitar perbatasan,” ujarnya. Tidak hanya itu, pihaknya mengajak Kementerian Sosial, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan pemerintah kabupaten di sekitar perbatasan negara untuk membangun perumahan swadaya.
Untuk daerah-daerah yang padat seperti Kota Bogor, karena 80% kawasannya termasuk terbangun, sisanya kawasan terbuka. Dibanding dengan 20 tahun yang lalu masih 65%. “Cepat sekali pertambahannya. Kalau dibiarkan, kita tidak lagi melihat Kota Bogor yang dingin dan hijau. Kekumuhan mudah ditemui, sperti di bantaran sungai.”

7,4 juga rakyat Indonesia
Di bagian lain, Suharso mengatakan, 7,4 juta rakyat Indonesia membutuhkan perumahan, sedangkan yang terpenuhi hanya 710 ribu tiap tahun. Jumlah 7,4 juta yang dibutuhkan tersebut berdasarkan Sensus Pendudukan 10 tahun sebelumnya (2000) yang dikoreksi oleh Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 5 tahun sesudahnya (2005).

“Kita tidak tahu persis angkanya berapa,” akunya. Sebagai rujukan menyusun perencanaan pembangunan perumahan maka Pemerintah menggunakan angka 2,4 juta dan 710 ribu. Bagaimana posisi Pemerintah?
Ia menyatakan, perumahan merupakan common goods yang strategis karena menyangkut pemenuhan kebutuhan manusia yang asasi. Oleh karena itu, perumahan termasuk isu yang diatur Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Sebenarnya, penyediaan rumah itu menyangkut kepentingan yang asasi dan universal.”
Dari sisi permintaan, 7,4 juta merupakan permintaan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah. Lalu, Pemerintah menyediakan rumah yang harganya terjangkau seperti Perumnas yang berharga rata-rata Rp 55 juta atau rumah susun yang berharga rata-rata Rp 144 juta. “Padahal, tidak mungkin kita menjumpai sebuah rumah di Papua seharga Rp 55 juta. Dan, rumah seharga Rp 144 juta pun tidak bisa berlaku umum dari waktu ke waktu.”

Suharso mengatakan, Pemerintah mengintervensi bursa permintaan dan penawaran perumahan melalui pembiayaan, seperti subsidi yang terbatas untuk uang muka atau suku bunga selama jangka waktu tertentu.
Berdasarkan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perumahan merupakan urusan wajib daerah. Karena keuangan pemerintah daerah yang tidak memadai, pemerintah daerah dituntut memiliki kebijakan pembangunan perumahan sebagai bagian kebijakan pembangunan daerah. “Tetapi apa boleh buat, tidak dilakukan.”

Karena tidak dilakukan, UU 27/2007 tentang Penataan Ruang membagi tata ruang wilayah di Indonesia. Untuk memastikan ketersediaan areal perumahan maka disiapkan dana alokasi khusus yang mensyaratkan daerah bersangkutan memiliki rencana tata ruang dan zonasi perumahan. “Tujuannya, merangsang daerah-daerah memiliki kebijakan perumahan sebagai bagian kebijakan pembangunan daerah.”
Sesuai dengan UU 33/2004, Suharso melanjutkan, dana alokasi khusus disiapkan berdasarkan tiga kriteria, yakni kriteria umum, khusus, dan teknis. Berdasarkan kriteria umum, akan dijumpai daerah-daerah yang semestinya mendapat dana alokasi khusus tetapi ternyata tidak.

Melalui pertemuan tripartit antara Kemenegpera, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) untuk mengecualikannya kriteria umum, termasuk dalam RUU APBN 2011.

Dana alokasi khusus untuk perumahan tersebut bertujuan untuk memastikan ketersediaan lahan dan mengembalikan perencanaan daerah. “Hampir semua kabupaten/kota di Indonesia tidak memiliki detail plan, termasuk master plan membangun kabupaten/kotanya, sehingga tidak diketahui bentuknya.”
Selain dana alokasi khusus, tahun ini untuk pertama kalinya Pemerintah mengalokasikan dana dekonsentrasi ke pemerintah provinsi agar pemerintah provinsi memberikan perhatian yang seksama kepada pembangunan perumahan. “Oleh karena itu, kami berharap DPD mendorong 33 pemerintah provinsi untuk benar-benar memberikan,” kata Suharso

Pembiayaan perumahan
Dalam APBN, Suharso menyambung, pembiayaan pembangunan perumahan telah berubah. Jika sebelumnya dimasukkan sebagai subsidi atau belanja maka sekarang diubah menjadi pembiayaan. Tujuannya, agar diperoleh dana murah jangka panjang. “Hari ini, perbankan tidak bisa membiayai perumahan yang murah. Kenapa? Karena dana yang tersedia adalah jangka pendek dan mahal.”

Misalnya, PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Astek diminta menjaga suku bunga dananya tidak sama dengan suku bunga deposito satu tahun di bank Pemerintah. “Artinya, kita sendiri menciptakan dana yang mahal. Kalau bunga deposito harus 6% atau 7% berarti tidak mungkin bisa didapat dana yang murah.”
Bandingkan dengan Singapura yang menyediakan suku bunga untuk pembiayaan perumahan hanya 0,5 atau 0,6%. Jadi, mereka yang kaya membayar rumahnya dengan biaya yang murah, tapi kita yang miskin membayarnya mahal. Ke depan, kita harus menyediakan dana jangka panjang yang murah.

Wamen ESDM Dijadwalkan Buka Seminar Perminyakan dan Gas


PEKANBARU (RiauPos)
Menyambut perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Emas ke-50 tahun Universitas Islam Riau (UIR) September 2012 mendatang, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Perminyakan UIR menggelar Seminar Nasional Perminyakan dan Gas Bumi (Annual Petroleum Engineering UIR Expo 2012).

Seminar nasional yang dilangsungkan 10-15 April 2012 di Fakultas Teknik UIR, rencananya akan dibuka Wakil Menteri (Wamen) Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) RI, Prof Dr Widjajono Partowidagdo.

“Pak Wamen ESDM sudah menyatakan kesediaannya membuka dan menghadiri seminar nasional perminyakan dan gas bumi. Bahkan, Pak Wamen akan menjadi pembicara langsung,” ungkap Ketua Panitia Pelaksana, Muhammad Ariyon ST MT kepada Riau Pos, Senin (9/4) di Fakultas UIR.

Menurut Muhammad Ariyon yang juga Pembantu Dekan III Fakultas Teknik UIR ini, beberapa rangkaian kegiatan pendukung seperti kegiatan lomba karikatur energi, speech contest, debat ‘’Perlukah Subsidi BBM’’, lomba mading, the winner game, donor darah, HMTP Awards (Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan), pembentukan Forum Komunikasi Energi Daerah terlebih dulu digelar.

Seminar nasional sendiri baru digelar 14 April 2012 mendatang di auditorium Fakultas Teknik UIR. Selain Wamen yang menjadi pembicara, seminar yang mengangkat tema “Pengembangan Riset dan Teknologi Perminyakan menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan”, menghadirkan Gubernur Riau Dr HC HM Rusli Zainal MP, Prof Dr Ing Rudi Rubiandini R dari BP Migas, Intsiawati Ayus MM dan Rektor UIR Prof Dr H Detri Karya SE MA.

Sedangkan untuk kegiatan pameran teknologi minyak dan gas bumi dilaksanakan selama dua hari 14-15 April 2012.

Pameran ini diikuti sebanyak 24 peserta dari Kementerian ESDM RI, perusahaan perminyakan dan gas bumi serta sejumlah universitas perminyakan dan gas bumi di tanah air.
Menyinggung soal materi pameran teknologi yang digelar, Muhammad Ariyon menjelaskan tentang pemaparan perkembangan teknologi-teknologi terbarukan di bidang pengelolaan sumberdaya minyak dan gas bumi, rantai kegiatan industri migas dan industri hulu-hilir, program-program pengembangan masyarakat, manajemen pengelolaan minyak dan gas serta regulasi minyak dan gas bumi.(dac)

Hampir Seratus Advokat Siap Dampingi Susno


Para advokat yang akan mendampingi Susno berasal dari dua organisasi yang berseteru, Peradi dan KAI.

Diskusi DPD, Rabu (24/3), membahas fenomena markus di Polri.

Susno Duaji akhirnya menyandang status tersangka. Mantan Kabareskrim yang pertama kali melontarkan istilah cicak dan buaya ini, dijadikan tersangka karena dituding melakukan delik pencemaran nama baik. Nasib naas yang dialami Susno adalah buah dari ‘nyanyiannya’ tentang praktek makelar kasus di tubuh Polri. Susno terang-terangan menyebut keterlibatan sejumlah tinggi Polri.

Meski berstatus tersangka, Susno tetap menuai dukungan dari sejumlah kalangan. Anggota Komisi III DPR Taslim mengatakan upaya Susno membongkar markus perlu didukung. Komisi III, kata Taslim, bahkan telah menjadikan upaya pengungkapan markus sebagai agenda utama. Menurutnya, butuh keberanian ekstra untuk melakukan hal seperti Susno. “Markus tidak akan terungkap tanpa orang dalam,” ujarnya dalam diskusi di Gedung DPD Jakarta, Rabu (24/3).

Taslim sendiri mengaku heran bagaimana bisa Polri lebih memilih untuk menetapkan Susno sebagai tersangka. Polri seharusnya menyelidiki terlebih dahulu benar tidaknya keterangan Susno. “Polisi harus berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Di tingkat elit saja gampang, apalagi di tingkat bawah,” katanya.

Anggota DPD dari Riau Intsiawati Ayus ikut-ikutan mendukung Susno. Pengungkapan markus di tubuh Polri, kata Intsiawati, adalah bagian reformasi secara komprehensif. Ia berharap tindakan Susno yang berani mengungkap markus diikuti oleh polisi-polisi lain. “Mudah-mudahan di tingkat Polres, Polsek muncul Susno-Susno lainnya,” harapnya.

Dukungan untuk Susno tidak hanya mengalir dari politisi, kalangan advokat pun siap mendukung. Kuasa Hukum Susno, Husni Maderi mengklaim ada sekitar 96 advokat yang siap membela kliennya. “96 lawyer tersebut terdiri dari (anggota, red.) Peradi dan KAI,” dia menambahkan.

Husni menyayangkan tindakan Polri yang begitu saja menetapkan Susno sebagai tersangka. Tindakan kliennya mengungkap adanya Markus, kata Husni, tidak didasari niat untuk mencari sensasi, tetapi semata ingin memperbaiki institusi Polri.

Judicial review
Dalam acara diskusi yang sama, Pengamat Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin mengatakan jika pasal yang disangkakan adalah Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, maka Susno bukanlah korban pertama. Pasal karet itu, kata Irman, kerap digunakan polisi ketika merasa tersudut. Ironisnya, Susno disangkakan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 oleh institusi dimana ia berkiprah selama puluhan tahun.

Karena telah memakan banyak korban, Irman usul agar kuasa hukum mengajukan judicial review ke MK. Jika hal ini dilakukan, Irman yakin judicial review akan didukung oleh banyak kalangan. “Komjen masih aktif (Susno Duadji), magnitude konstitusionalnya besar,” katanya.

Mantan staf ahli MK ini memprediksi MK akan mengabulkan permohonan judicial review terhadap Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. “Pasal penghinaan terhadap presiden saja sudah dibatalkan,” tambahnya.

Usulan Irman disambut positif oleh kuasa hukum Susno, Erfan Helmi Juni. Erfan pun langsung mencanangkan tim khusus yang akan fokus melakukan judicial review. “Jangan juga kita sampaikan suatu hal yang baik, kemudian ada oknum tersinggung, kemudian melaporkan pencemaran nama baik itu kan konyol. Kapan kita bisa dewasa dalam suatu kerangka demokrasi dalam konteks kita sebagai negara hukum,” pungkasnya.

Pengungkapan makelar kasus harus dilakukan bersama-sama


dpd.go.id
Pernyataan Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Susno Duadji mengenai adanya makelar kasus di tubuh Polri membuka perbincangan panas di berbagai tempat, tak terkecuali DPD RI . Praktik makelar kasus tidak hanya ada di pusat, bahkan di daerah variasi makelar kasus jauh lebih banyak. Diskusi mengenai “Praktik Markus di Pusat dan Daerah” berlangsung dalam acara Dialog Kenegaraan, di Press Room DPD RI Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta , Rabu (24/03).

Sedianya Komjen Susno Duadji menjadi narasumber dalam dialog tersebut. Namun, karena statusnya sudah menjadi tersangka, Susno tidak jadi hadir dan mewakilkan kepada tim kuasa hukumnya, yaitu Efran Juni dan Husni Maderi. Narasumber lainnya adalah Intsiawati Ayus (Anggota Komite II DPD RI, asal Riau), Taslim (Anggota Komisi III DPR RI), serta Irman Putra Sidin (Pakar Hukum Tata Negara).

Intsiawati Ayus mengatakan makelar kasus di daerah justru lebih parah dibandingkan di pusat, karena variasi kasusnya lebih banyak, misalnya makelar proyek, makelar tender, dll. “Lebih bervariasi dan lebih kejam lagi hal-hal perlakuan polisi, oknum-oknum polisi di tingkat daerah, hanya tidak terekspos, karena dianggap tidak menarik. Kami yang di daerah sudah pada tingkat jenuh dan muak”, ucap Intsiawati. Intsiawati berharap dengan munculnya kasus Susno, akan ada reformasi di tingkat kepolisian secara komprehensif dari atas sampai ke bawah.

Sementara itu, Irman mengibaratkan badan Polri seperti rumah besar yang harus dibersihkan bersama-sama. Taslim juga sepakat dengan pernyataan Irman tersebut dan mengatakan bahwa untuk mengungkap makelar kasus harus ada keberanian internal penegakan hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Depkumham. “Dalam hal mengungkap markus itu, tidak akan pernah terungkap kasus itu kalo tidak ada orang dalam. Kalau kita di luar saja, selaku anggota DPR dan DPD tidak akan mampu mengungkap markus itu”, ujar Taslim.

Dalam dialog tersebut, tim kuasa hukum Susno Duadji berkesempatan mengungkap alasan tindakan Susno yang membeberkan praktik makelar kasus di Polri bukan untuk menghina institusi Polri, tapi justru ingin memperbaiki. “Kami ini dibenturkan, seolah-olah ingin membusuki institusi Polri, tapi padahal untuk memperbaiki Polri. Ini kelakuan elit polisi. Pak Susno tak pernah membenci polri,” tandas Husni.

Status Tersangka Susno karena Pasal Karet



Metrotvnews.com, Jakarta: Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin berpendapat penetapan status tersangka kepada mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji disebabkan adanya pasal karet. Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang pencemaran nama baik seharusnya dihapus.

"Pasal ini tidak layak dikonstitusi. Pasal ini tidak bermanfaat," tegas Irman dalam acara dialog kenegaraan bertema "Mengungkap Praktik Markus di Pusat dan Daerah" di Gedung DPD/MPR RI, Jakarta, Rabu (24/3). Menurut Irman, kasus yang menimpa Susno bukan pertama kali di Indonesia. Kejadian ini sudah berlangsung berkali-kali. Bahkan, bisa saja menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang hampir berkarakter serupa dengan Susno.

"Kejadian ini juga pernah menimpa wartawan kan? Kalau pasal ini tidak dihapus, jangan-jangan kalau ada copet di bus terus kita teriak copet dan copet itu lapor polisi, bisa kena juga kita," kata Irman.

Karena itu, Irman menyarankan kuasa hukum Susno mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi. DPR juga harus mengkaji ulang pasal-pasal karet tersebut. "Daripada berdebat ini-itu mending mengajukan judical review. Ini bukan hanya untuk Pak Susno. Siapapun yang jadi polisi ketika tersudut akan menggunakan pasal itu," kata Irman.

Kuasa hukum Susno Duadji, Erfan Helmi Juni, mengatakan, akan mengajukan judical review terhadap dua pasal karet tersebut. Ia tak ingin pengungkapan kebenaran terkukung akibat ketidakdewasaan. Namun ia masih menanti surat penetapan terperiksa dari Propam.

"Saya ini baru tahu dari ajudan Pak Susno dan baca di media online. Suratnya sendiri belum datang ke saya. Kalau sudah ada kan kita bisa tahu apakah Pak Susno ditetapkan sebagai tersangka karena apa," jelas Erfan.

Anggota Komisi III DPR, Taslim mengatakan, komisi hukum di DPR akan segera mengubah KUHAP. Ia mengakui banyak pasal-pasal yang memiliki kelemahan."Tahun ini kita mulai,"janji Taslim.

Taslim mempertanyakan, apakah institusi Polri terlalu kuat hingga Susno dipidanakan karena melaporkan dugaan Markus pajak kepada Satgas Antimafia Hukum. Ia juga akan mendorong Komisi III DPR untuk mempertimbangkan perombakan di tubuh Polri.

Senada dengan Taslim, anggota DPD RI Intsiawati Ayus setuju dengan rencana pengkajian pasal-pasal karet. Tapi soal Susno, Ayus menilai persoalan yang menimpannya adalah hal biasa.(Andhini)

Pimpin Ratusan Bupati Urusi Pangan Nasional

Sriwijaya Post - Jumat, 19 Februari 2010 08:41 WIB
JAKARTA, SRIPO — Forum Daerah Penghasil Pangan se-Indonesia resmi dideklarasikan di Hotel Crowne Plaza, Jakarta, Kamis (18/2). Bupati OKU Timur H Herman Deru secara aklamasi terpilih dan dikukuhkan sebagai ketua umum forum yang beranggotakan ratusan bupati dan walikota daerah penghasil pangan se-Indonesia tersebut.

Deklarasi diawali dengan seminar lokakarya bidang pangan yang menampilkan pembicara Wakil Ketua DPD RI DR Laode Ida, Menteri Pertanian diwakili Sesdit Dirjen Tanaman Pangan Udhoro Kasih Anggoro, Herman Deru, pakar pertanian IPB DR Hermanto Siregar dan anggota DPD Intsiawati Ayus.



Dalam sambutannya Laode Ida menegaskan DPD hanya memfasilitasi terbentuknya Forum Daerah Penghasil Pangan se-Indonesia ini yang ide dan gagasan awalnya dicetuskan Herman Deru dalam beberapa kali pertemuan dengan DPD baik di Jakarta maupun di Sumsel. Menurutnya, gagasan Herman Deru tersebut kemudian didiskusikannya dengan para anggota DPD, khususnya Komite II yang membidangi bidang pertanian dan sejumlah bupati dan walikota baik daerah penghasil pangan maupun daerah yang mengalami defisit atau rawan pangan.

“Ternyata gagasan membuat Forum Daerah Penghasil Pangan se- Indonesia ini mendapat sambutan dan respon yang luar biasa. Saya melihat ada kesamaan pandangan dari seluruh bupati dan walikota untuk membuat sebuah forum yang nantinya dapat menjadi wadah kordinasi, konsultasi dan tukar menukar informasi mengenai pertanian, khususnya pangan,” paparnya. Forum ini juga nantinya dapat menjadi bargaining position bagi kepala daerah kepada pemerintah pusat dalam membuat kebijakan pertanian, khususnya pangan.

Sementara Herman Deru menjelaskan Forum Daerah Penghasil Pangan seluruh Indonesia yang beranggotakan lebih dari 100 kepala daerah ini nantinya akan menjadi wadah yang produktif dan konstruktif dalam mewujudkan dan mendukung program nasional di bidang pertanian, utamanya mewujudkan dan mempertahankan ketahanan pangan nasional.

“Forum ini juga sebagai alat perjuangan untuk meminta agar pemerintah pusat dapat lebih memperhatikan daerah-daerah penghasil pangan secara lebih serius. Kita ingin Forum Daerah Penghasil Pangan ini bisa bersinergi dengan semua stake holder di bidang pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berimplikasi kepada kesejahteraan petani,”paparnya.

Deru meminta pemerintah tidak hanya berkutat dan berkosentrasi pada pembangunan dan pengembangan sektor energi, tetapi juga harus sama pentingnya untuk memperkuat, membangun dan mengembangkan sektor pangan sebagai skala prioritas pembangunan secara nasional dengan memperhatikan secara serius daerah-daerah penghasil pangan yang besar kontribusinya untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional. “Kalau untuk daerah penghasil migas pemerintah memberikan dana bagi hasil, maka perlu juga dipikirkan dana bagi hasil untuk daerah penghasil pangan. Toh muaranya untuk kesejahteraan rakyat,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu Deru mengajak bupati dan walikota seluruh Indonesia untuk menyamakan persepsi dan pandangan mengenai pembangunan pertanian, utamanya pangan dalam rangka membantu dan mensejahterakan para petani yang saat ini nasibnya masih banyak yang termarginalkan . “Sampai hari ini para petani masih saja dihantui oleh persoalan ketidakpastian harga, akses pasar dan modal yang masih sulit didapat serta problem infrastruktur pertanian yang belum memadai yang menyebabkan perekonomian petani belum terlalu membaik. Sehingga melalui Forum Daerah Penghasil Pangan seluruh Indonesia ini kita akan bersama-sama dapat mencarikan solusi terbaik di bidang pertanian guna mensejahterakan petani itu,” paparnya.

Menteri Pertanian diwakili Sesdit Dirjen Tanaman Pangan, Udhoro Kasih Anggoro menyambut baik didirikannya Forum Daerah Penghasil Pangan seluruh Indonesia tersebut. Dia menegaskan Departemen Pertanian diminta atau tidak diminta siap untuk bekerjasama dengan forum tersebut guna memajukan bidang pertanian.

“Kami menunggu karya-karya Forum Daerah Penghasil Pangan seluruh Indonesia , Intinya bagaimana menyusun kebijakan dimana pemerintah dapat memberikan kontribusinya yang besar kepada daerah-daerah penghasil pangan yang memiliki kontribusi besar untuk pemenuhan pangan secara nasional. Jangan sampai kontributor besar justru mendapat perhatian yang kecil,” tegasnya. (Kc/Ant)

KPK Didesak Usut Gubernur Riau

KPK masih melanjutkan pemeriksaan kasus Pelalawan.

Riau, swarahatirakyat.com
Sejumlah politikus di Riau mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi menuntaskan pengusutan kasus di Riau, khususnya kasus Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, secara berjenjang, termasuk soal gubernur dan Menteri Kehutanan dalam kasus itu. “KPK hendaknya juga melakukan penanganan hukum kepada Gubernur Riau Rusli Zainal selaku pemberi rekomendasi,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Riau, Intsiawati Ayus Intsiawati, kemarin.

Desakan ini menyusul penahanan Asrar Rahman, bekas Kepala Dinas Kehutanan Riau, oleh KPK karena tersangkut kasus dugaan korupsi pemberian izin kehutanan di Kabupaten Pelalawan, Riau. Asrar diduga melakukan tindak pidana korupsi dan turut serta dalam pemberian izin pemanfaatan kayu di area yang ada di wilayah Kabupaten Pelalawan dan Siak pada 2001-2006.

Pemberian izin itu dinilai melanggar ketentuan. Asrar bersama dua bekas Kepala Dinas Kehutanan Riau, yaitu Suhada Tasman dan Burhanuddin Hussin (sekarang Bupati Kampar), telah dijadikan tersangka pada 2008.Intsiawati Ayus menyebutkan, kejahatan perizinan jelas saling terkait dan berjenjang dari pejabat terbawah hingga pejabat di atasnya. Selain itu, kata dia, proses hukum wajib dilakukan terhadap perusahaan penampung kayunya.Pandangan senada disampaikan anggota Komisi Kehutanan DPR asal Riau, Wan Abubakar. “KPK jangan hanya mengusut bawahannya saja. Kejahatan dalam perizinan itu jelas tidak berdiri sendiri. Ada gubernur dan menteri selaku atasan mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau Asrar. Hendaknya diusut juga keterlibatan mereka,” ujar Wan Abubakar.

Anggota DPRD Riau, A.B. Purba, juga meminta KPK mengusut semua pihak yang terlibat. “Kepala daerah, apakah bupati, gubernur, Kepala Dinas Kehutanan, hingga Menteri Kehutanan, harus juga diproses secara hukum,” kata Purba. Sebagai anggota DPR, kata Purba, sejak awal ia sudah mengingatkan bahwa izin itu bermasalah.Menanggapi desakan itu, Kepala Hubungan Masyarakat KPK Johan Budi S.P. menyatakan, pengusutan kasus ini tidak berhenti pada penahanan Asrar Rahman. “Pemeriksaan akan kami lanjutkan,” kata Johan kemarin.Saat dimintai konfirmasi oleh Wartawan melalui telepon dan layanan pesan singkat, Rusli Zainal tidak menjawab.

Dalam sebuah wawancara dengan Wartawan sebelumnya, Rusli mengaku tidak tahu bahwa pengesahan rencana kerja tahunan 10 perusahaan itu—yang kemudian dinilai jaksa KPK—melanggar kewenangannya.“ Tidak tahu saya, mana saya tahu urusan itu. Enggak mungkin saya mengecek dokumen yang banyak itu,” kata dia kepada Wartawan (mustafa).

Anggota DPD RI asal Riau Minta Menhut tak Keluarkan HPH dan HTI Baru


Keberadaan HPH dan HTI di Riau kerap menimbulkan masalah, bahkan konflik di Riau. Karena itu anggota DPD RI asal Riau minta Menhut tak lagi keluarga HPH dan HTI di Riau.

Riauterkini-JAKARTA-Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan tidak lagi menerbitkan izin baru pengalihan hutan alam menjadi hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tamanan industri (HTI) guna menahan kerusakan hutan alam. Pemerintah atau Departemen Kehutanan (Dephut) ditantang mencabut izin konsesi perusahaan yang merusak hutan alam.

“Kami menginginkan pengelolaan hutan yang mempertimbangkan kelestarian. Ini harus menjadi prioritas 100 hari Pemerintah. Entah berapa menteri menggawangi Dephut, tidak satu pun berani mengubah status izin pengusahaan hutan dari Sabang sampai Merauke," kata Anggota Komite II DPD Intsiawati Ayus dari Riau di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (15/1/2010). .

Iin, panggilan akrabnya, mengatakan, penerbitan izin baru hanya menambah kerusakan hutan alam. “Pemberian izin baru jangan mengganggu hutan alam. Kalau Pemerintah menerbitkan izin baru, arealnya di lahan yang rusak, terbengkalai, tidur saja, jangan di areal hutan alam yang asri,” tukasnya.

Jika Pemerintah tidak berhenti menerbitkan izin HPH dan HTI, dia mengkhawatirkan luas hutan alam semakin berkurang atau menyusut dan kerusakan lingkungan akan semakin memarah. “Ada niat yang busuk melegalisasi pemanfaatan kayu hutan alam atas nama HPH, HTI, atau apa pun,” ujarnya, didampingi Wakil Ketua Komite II DPD Djasarmen Purba (Kepulauan Riau) dan Mursyid (Nanggroe Aceh Darussalam).

Intsiawati mengamati, pemberian izin pembukaan lahan sebagai konsesi bagi perusahaan seringkali tidak tepat. Kasus yang kerap terjadi di daerah seperti Riau, pengusaha yang mengantongi izin HPH dan HTI di areal hutan alam hanya mengambil kayunya. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap masyarakat sekitarnya.

Kasus Semenanjung Kampar (Pelalawan) dan Pulau Rangsang (Kepulauan Meranti) membuktikannya. Menurut mantan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD ini, hutan alam di Pulau Rangsang mengalami kerusakan setelah pohonnya ditebang oleh pengusaha yang mengantongi izin HPH. Kini, masyarakat setempat kesulitan mencari sumber air akibat intrusi air laut.

Khusus di pesisir, jika izin konsesi terus menerus diberikan Pemerintah maka kemungkinan akan menenggelamkan kawasan tersebut akibat abrasi yang menghantam daratan. Belum lagi, tidak jarang perusahaan pemegang izin HPH dan HTI berkonflik dengan masyarakat sekitarnya atau pemerintah daerah karena melanggar batas areal konsesi.

Sayangnya, Dephut tidak mengevaluasi izin konsesi perusahaan yang merusak hutan alam, apalagi mencabutnya. “Padahal, kami berharap, segera saja dicabut dan arealnya ditetapkan status quo tanpa tenggat waktu,” ujarnya, terutama status quo areal perusahaan yang lama-lama berkonflik dengan masyarakat dan jelas-jelas melanggar batas.

Mursyid menambahkan, NAD dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia mengalami pengalihan fungsi hutan alam yang luar biasa menjadi kawasan pemukiman dan perkantoran atau kawasan wisata alam yang permanen. Ia mencontohkan, di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL).

Banyak badan atau instansi yang menanganinya, antara lain BKEL (Badan Kawasan Ekosistem Lauser), Manajemen Lauser, TNGL (Taman Nasional Gunung Lauser), Dephut, Kantor Wilayah (Kanwil) Kehutanan, Dinas Kehutanan, Polhut (Polisi Hutan). Tapi, semuanya tidak menyelesaikan masalah karena perbedaan kepentingan.

Apalagi, penetapan kawasan hutan di “atas meja”, tanpa peninjauan atau evaluasi ke lapangan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kepentingan yang berlarut-larut ditambah permainan oknum tertentu yang berkuasa dan menabrak aturan. Praktiknya, terjadi jual beli lahan kepada pemodal (perkebunan, pertambangan) yang merugikan masyarakat sekitarnya.

Singkatnya, hutan-hutan alam di Aceh mengalami penggundulan karena penebangan liar yang menimbulkan banjir di hilir, merusak sarana dan prasarana umum, dan mengakibatkan kerugian harta benda, merusak hasil pertanian khususnya persawahan. Perilaku pengusaha yang juga memprihatinkan adalah kebiasaan membakar lahan yang ditebang, sehingga terjadi polusi asap dan kebakaran yang meluas.

Djasarmen mengatakan, pengalihan fungsi hutan lindung menjadi permukiman di Batam tanpa berkoordinasi dengan pemerintah daerah hanya akan menyisakan masalah di kemudian hari. Ia mencontohkan pengalihan hutan lindung di kawasan Rempang dan Galang.

Selama kunjungan reses belum lama ini di Kepulauan Meranti, Intsiawati bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau dan aparatur Kecamatan Rangsang, tokoh masyarakat, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) meninjau kawasan konsesi PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Desa Sungai Gayung Kiri. Hutan alam sebagai sumber mata pencaharian masyarakat lenyap akibat pembukaan lahan besar-besaran.

Intsiawati memprihatinkan hutan alam di sana yang rata dengan berton-ton kayu tebangan menumpuk di titik-titik logyard (lokasi tumpukan kayu). Ia mengkhawatirkan, aktivitas PT SRL akan menenggelamkan salah satu pulau terluar di Indonesia, karena jarak bibir pantai dengan areal konsesi yang tidak sampai satu kilometer. Lokasinya strategis bagi pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Aktivitas perusahaan HTI ini tentu saja menjadi ancaman bagi penduduk sekitarnya, baik dari aspek lingkungan maupun eksistensi mereka. Kehadirannya menghilangkan hak-hak masyarakat mendapat sumber-sumber kehidupan dari hutan mereka sendiri karena mereka menggantungkan dirinya kepada kekayaan hutan alam ini.

“Masyarakat yang mengambil kayu di hutan milik masyarakat sendiri ditangkap oleh oknum aparat kepolisian. Padahal, kayu yang diambil hanya memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri,” katanya. *** (ira)

DPD Desak Menhut Hentikan Izin Usaha Hutan



Jakartapress.com, Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meminta Menteri Kehutanan (Menhut) tidak lagi menerbitkan izin baru pengalihan hutan alam menjadi hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tamanan industri (HTI) guna menahan kerusakan hutan alam. Pemerintah atau Departemen Kehutanan (Dephut) ditantang mencabut izin konsesi perusahaan yang merusak hutan alam.

“Kami menginginkan pengelolaan hutan yang mempertimbangkan kelestarian. Ini harus menjadi prioritas 100 hari Pemerintah,” tukas anggota Komite II DPD Intsiawati Ayus (Riau) di Gedung DPD, Senayan, Rabu (13/1). “Entah berapa menteri menggawangi Dephut, tidak satu pun berani mengubah status izin pengusahaan hutan dari Sabang sampai Merauke,” ungkapnya.

Iin, panggilan akrabnya, mengatakan, penerbitan izin baru hanya menambah kerusakan hutan alam. “Pemberian izin baru jangan mengganggu hutan alam. Kalau Pemerintah menerbitkan izin baru, arealnya di lahan yang rusak, terbengkalai, tidur saja, jangan di areal hutan alam yang asri,” tukasnya.

Jika Pemerintah tidak berhenti menerbitkan izin HPH dan HTI, dia mengkhawatirkan luas hutan alam semakin berkurang atau menyusut dan kerusakan lingkungan akan semakin memarah. “Ada niat yang busuk melegalisasi pemanfaatan kayu hutan alam atas nama HPH, HTI, atau apa pun,” ujarnya, didampingi Wakil Ketua Komite II DPD Djasarmen Purba (Kepulauan Riau) dan Mursyid (Nanggroe Aceh Darussalam).

Intsiawati mengamati, pemberian izin pembukaan lahan sebagai konsesi bagi perusahaan seringkali tidak tepat. Kasus yang kerap terjadi di daerah seperti Riau, pengusaha yang mengantongi izin HPH dan HTI di areal hutan alam hanya mengambil kayunya. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap masyarakat sekitarnya.

Kasus Semenanjung Kampar (Pelalawan) dan Pulau Rangsang (Kepulauan Meranti) membuktikannya. Menurut mantan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD ini, hutan alam di Pulau Rangsang mengalami kerusakan setelah pohonnya ditebang oleh pengusaha yang mengantongi izin HPH. Kini, masyarakat setempat kesulitan mencari sumber air akibat intrusi air laut.

Khusus di pesisir, jika izin konsesi terus menerus diberikan Pemerintah maka kemungkinan akan menenggelamkan kawasan tersebut akibat abrasi yang menghantam daratan. Belum lagi, tidak jarang perusahaan pemegang izin HPH dan HTI berkonflik dengan masyarakat sekitarnya atau pemerintah daerah karena melanggar batas areal konsesi.

Sayangnya, Dephut tidak mengevaluasi izin konsesi perusahaan yang merusak hutan alam, apalagi mencabutnya. “Padahal, kami berharap, segera saja dicabut dan arealnya ditetapkan status quo tanpa tenggat waktu,” ujarnya, terutama status quo areal perusahaan yang lama-lama berkonflik dengan masyarakat dan jelas-jelas melanggar batas.

Mursyid menambahkan, NAD dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia mengalami pengalihan fungsi hutan alam yang luar biasa menjadi kawasan pemukiman dan perkantoran atau kawasan wisata alam yang permanen. Ia mencontohkan, di Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL).

Banyak badan atau instansi yang menanganinya, antara lain BKEL (Badan Kawasan Ekosistem Lauser), Manajemen Lauser, TNGL (Taman Nasional Gunung Lauser), Dephut, Kantor Wilayah (Kanwil) Kehutanan, Dinas Kehutanan, Polhut (Polisi Hutan). Tapi, semuanya tidak menyelesaikan masalah karena perbedaan kepentingan.

Apalagi, penetapan kawasan hutan di “atas meja”, tanpa peninjauan atau evaluasi ke lapangan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih kepentingan yang berlarut-larut ditambah permainan oknum tertentu yang berkuasa dan menabrak aturan. Praktiknya, terjadi jual beli lahan kepada pemodal (perkebunan, pertambangan) yang merugikan masyarakat sekitarnya.

Singkatnya, hutan-hutan alam di Aceh mengalami penggundulan karena penebangan liar yang menimbulkan banjir di hilir, merusak sarana dan prasarana umum, dan mengakibatkan kerugian harta benda, merusak hasil pertanian khususnya persawahan. Perilaku pengusaha yang juga memprihatinkan adalah kebiasaan membakar lahan yang ditebang, sehingga terjadi polusi asap dan kebakaran yang meluas.

Djasarmen mengatakan, pengalihan fungsi hutan lindung menjadi permukiman di Batam tanpa berkoordinasi dengan pemerintah daerah hanya akan menyisakan masalah di kemudian hari. Ia mencontohkan pengalihan hutan lindung di kawasan Rempang dan Galang.

Selama kunjungan reses belum lama ini di Kepulauan Meranti, Intsiawati bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau dan aparatur Kecamatan Rangsang, tokoh masyarakat, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) meninjau kawasan konsesi PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Desa Sungai Gayung Kiri. Hutan alam sebagai sumber mata pencaharian masyarakat lenyap akibat pembukaan lahan besar-besaran.

Intsiawati memprihatinkan hutan alam di sana yang rata dengan berton-ton kayu tebangan menumpuk di titik-titik logyard (lokasi tumpukan kayu). Ia mengkhawatirkan, aktivitas PT SRL akan menenggelamkan salah satu pulau terluar di Indonesia, karena jarak bibir pantai dengan areal konsesi yang tidak sampai satu kilometer. Lokasinya strategis bagi pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aktivitas perusahaan HTI ini tentu saja menjadi ancaman bagi penduduk sekitarnya, baik dari aspek lingkungan maupun eksistensi mereka. Kehadirannya menghilangkan hak-hak masyarakat mendapat sumber-sumber kehidupan dari hutan mereka sendiri karena mereka menggantungkan dirinya kepada kekayaan hutan alam ini.

“Masyarakat yang mengambil kayu di hutan milik masyarakat sendiri ditangkap oleh oknum aparat kepolisian. Padahal, kayu yang diambil hanya memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri,” katanya. (AR)DPD akan Desak Presiden Izinkan Periksa Pejabat


Dukung Proses Hukum Ilog Riau
PEKANBARU-Koordinator Panitia Ad Hoc (PAH) II DPD RI Intsiawati Ayus, yang melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Riau mengatakan, pihaknya akan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secepatnya mengeluarkan izin pemeriksaan sejumlah pejabat di Riau yang diduga terlibat kasus illegal logging. “Nanti, DPD melalui PAH II akan menyampaikan surat kepada Presiden untuk mendesak agar izin pemeriksaan para pejabat di Riau segera dikeluarkan. DPD turun langsung ke Riau guna menghimpun informasi langsung dari lapangan,” ungkap Intsiawati terburu-buru ketika ditemui Riau Mandiri di saat hendak meninggalkan kantor Gubernur Riau usai pertemuan PAH II DPD RI dengan organisasi masyarakat (Ormas) dan LSM terkait illegal logging di Riau, Rabu (26/9).

Intsiawati menyebutkan, pihaknya mendukung langkah Polda Riau. Namun demikian, harus ada kepastian bagi perusahaan. “Kita dukung proses hukum yang dilakukan Polda, tapi jangan sampai perusahaan digantung lama agar kayu tidak membusuk. Kayu harus dilelang tapi dari satu sisi perusahaan sudah membayar administrasi tapi harga lelang lebih rendah dari yang telah dibayarkan,” tutur Intsiawati. Intsiawati juga menyebutkan, dari hasil kunjungan kerja PAH II DPD RI ke Riau yang dikoordinatorinya, selain bertemu dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau, rombongan juga turun langsung ke sejumlah lokasi yang diduga terjadi ilog serta ke sejumlah perusahaan bubur kertas yang saat ini tersandung dugaan ilog di Riau.

Hasil kunjungan PAH II DPD ke sejumlah perusahaan kertas yang diduga terlibat ilog, ditemui fakta kalau kerusakan hutan terjadi di Riau tidak sebanding dengan rehabilitasi lahan di lapangan. Perusahaan mengaku kesulitan melakukan penanaman karena belum adanya kepastian proses hukum dari pihak kepolisian. “Keinginan perusahaan untuk menanam sudah ada. Tapi karena Hutan Tanaman Industri (HTI) terpolice line, mereka baru bisa menanam sebanyak 20 persen yakni 5.000 pohon dari 20.000 pohon yang ditargetkan,” terang anggota DPD RI asal Riau ini.

Intsiawati mengatakan, dari kunjungannya ke sejumlah perusahaan tersebut, ada kondisi ril di mana perusahaan meminta kejelasan dan ketegasan tentang persepsi mengenai illegal logging. Dalam kondisi sekarang, dengan bahan baku dan alat berat yang di-police line membuat tidak berjalannya produksi. “Untuk tetap berjalan, perusahaan terpaksa mengambil tanaman muda yang belum waktunya untuk dipanen,” ucap Intsiawati.

Sementara, sebut Intisawati, sesuai edaran SK Menteri Kehutanan untuk tanaman muda idealnya baru bisa dipanen pada tahun 2009 mendatang. Namun karena dipolice line, perusahaan terpaksa memanen tanaman pada usia empat tahun dari usia enam tahun yang ditentukan. Konsekwensinya, terjadi penurunan kualitas produksi oleh perusahaan. Akibat police line pula, ungkap Intsiawati perusahaan tidak dapat melakukan penanaman pada areal yang dipertanyakan (proses hukum) dan status hukumnya masih menggantung. Menurut perusahaan, kata Intsiawati, kegiatan menaman menjadi terkendala hingga saat ini karena tidak bisa melakukan kegiatan sebelum proses hukum berjalan. Sementara kemarin, PAH II DPD RI juga melakukan pertemuan dengan ormas serta LSM di Riau. “Pertemuan tadi, kita menerima masukan dari ormas dan LSM tentang illegal logging dan kondisi agraria yang berantakan di Riau,” sebutnya. (ara)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.