DPD akan Desak Presiden Izinkan Periksa Pejabat

Dukung Proses Hukum Ilog Riau

PEKANBARU, Riau Mandiri-Koordinator Panitia Ad Hoc (PAH) II DPD RI Intsiawati Ayus, yang melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Riau mengatakan, pihaknya akan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secepatnya mengeluarkan izin pemeriksaan sejumlah pejabat di Riau yang diduga terlibat kasus illegal logging. “Nanti, DPD melalui PAH II akan menyampaikan surat kepada Presiden untuk mendesak agar izin pemeriksaan para pejabat di Riau segera dikeluarkan. DPD turun langsung ke Riau guna menghimpun informasi langsung dari lapangan,” ungkap Intsiawati terburu-buru ketika ditemui Riau Mandiri di saat hendak meninggalkan kantor Gubernur Riau usai pertemuan PAH II DPD RI dengan organisasi masyarakat (Ormas) dan LSM terkait illegal logging di Riau, Rabu (26/9).

Intsiawati menyebutkan, pihaknya mendukung langkah Polda Riau. Namun demikian, harus ada kepastian bagi perusahaan. “Kita dukung proses hukum yang dilakukan Polda, tapi jangan sampai perusahaan digantung lama agar kayu tidak membusuk. Kayu harus dilelang tapi dari satu sisi perusahaan sudah membayar administrasi tapi harga lelang lebih rendah dari yang telah dibayarkan,” tutur Intsiawati. Intsiawati juga menyebutkan, dari hasil kunjungan kerja PAH II DPD RI ke Riau yang dikoordinatorinya, selain bertemu dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau, rombongan juga turun langsung ke sejumlah lokasi yang diduga terjadi ilog serta ke sejumlah perusahaan bubur kertas yang saat ini tersandung dugaan ilog di Riau.

Hasil kunjungan PAH II DPD ke sejumlah perusahaan kertas yang diduga terlibat ilog, ditemui fakta kalau kerusakan hutan terjadi di Riau tidak sebanding dengan rehabilitasi lahan di lapangan. Perusahaan mengaku kesulitan melakukan penanaman karena belum adanya kepastian proses hukum dari pihak kepolisian. “Keinginan perusahaan untuk menanam sudah ada. Tapi karena Hutan Tanaman Industri (HTI) terpolice line, mereka baru bisa menanam sebanyak 20 persen yakni 5.000 pohon dari 20.000 pohon yang ditargetkan,” terang anggota DPD RI asal Riau ini.

Intsiawati mengatakan, dari kunjungannya ke sejumlah perusahaan tersebut, ada kondisi ril di mana perusahaan meminta kejelasan dan ketegasan tentang persepsi mengenai illegal logging. Dalam kondisi sekarang, dengan bahan baku dan alat berat yang di-police line membuat tidak berjalannya produksi. “Untuk tetap berjalan, perusahaan terpaksa mengambil tanaman muda yang belum waktunya untuk dipanen,” ucap Intsiawati.

Sementara, sebut Intisawati, sesuai edaran SK Menteri Kehutanan untuk tanaman muda idealnya baru bisa dipanen pada tahun 2009 mendatang. Namun karena dipolice line, perusahaan terpaksa memanen tanaman pada usia empat tahun dari usia enam tahun yang ditentukan. Konsekwensinya, terjadi penurunan kualitas produksi oleh perusahaan. Akibat police line pula, ungkap Intsiawati perusahaan tidak dapat melakukan penanaman pada areal yang dipertanyakan (proses hukum) dan status hukumnya masih menggantung. Menurut perusahaan, kata Intsiawati, kegiatan menaman menjadi terkendala hingga saat ini karena tidak bisa melakukan kegiatan sebelum proses hukum berjalan. Sementara kemarin, PAH II DPD RI juga melakukan pertemuan dengan ormas serta LSM di Riau. “Pertemuan tadi, kita menerima masukan dari ormas dan LSM tentang illegal logging dan kondisi agraria yang berantakan di Riau,” sebutnya. (ara)

Calon Anggota DPD RI Tahun 2009 Daerah Pemilihan RIAU

Inilah daftar calon legislator independen (DPD) Pemilu 2009 dari Dapil RIAU(Diurut berdasarkan abjad)

1. Abdul Aziz, SH
2. Abdul Gafar Usman, MM., H. (Ka Kanwil Depag Riau)
3. Adlin, SSos., MSi
4. Afridawati Yunita,SH.,Hj
5. Agustian Rasmanto, SE
6. Amer Hamzah, SIp
7. Amril Piliang
8. Andry Muslim
9. Arbi, SH.,MH., H
10. Azwar Aziz,SH., MSi., H (IPHI Riau)
11. Buchari Mahmud, SH., H (Dispenda Pekanbaru ?)
12. Dicky Rinaldy (Panwas Pilkada ?)
13. Dinawati, SAg (Anggota DPD RI 2004-2009)
14. Edwin Syarif, SSi (Mantan Ketua KNPI Riau)
15. Effendy SE (KPUD INHU 2004)
16. Fachmi Amrie, Drs., H
17. Farouq Alwi, Drs., H (Mantan Walikota Pekanbaru)
18. Gusmiyar Ridwan, SH
19. Haris Jumadi, SE., MM., H
20. Ida Bagiawaty Rachman, SH (KPPI Riau / PDIP)
21. Intsiawati Ayus, SH., MHAnggota DPD RI 2004-2009)
22. Johny Setiawan Mundung, SP (Walhi Riau)
23. Khairudin, SHI., MAg
24. Mafirion (Ka Pengda PSSI Riau)
25. Maimanah Umar, MA., Dra., Hj (Anggota DPD RI 2004-2009)
26. Marbaga Tampubolon
27. Muhamad Amin, Ir.
28. Mohd. Diah, SS
29. Mohd. Irawan
30. Mohd. Yusuf. DM
31. Muhammad Gazali, Lc (Ketua IKADI Riau)
32. Paragian Sinaga, Ir. (DPRD PDS Pekanbaru)
33. Raja Rusdianto, Drs., H (pengusaha)
34. Ramlius., SAg
35. Riza Irianti, Dra., Hj
36. Said Muhammad Ilyas, SmHK
37. Syaifudin, SAg
38. Syamsul Hidayat Kahar, H (DPRD Riau-Golkar)
39. Viator Butar Butar (IKBR)
40. Wide Wirawaty, ST
41. Yonnetti Auni
42. Zulhusni Domo (FPI Riau)

Menanti Lahirnya RUU Meteorologi dan Geofisika

***



BERITA DAERAH.COM-Indonesia mempunyai posisi yang sangat strategis sekaligus unik karena sebagai negara kepulauan, terletak di antara dua benua dan dua samudera serta berada di lintasan khatulistiwa.



Luas wilayahnya dari Sabang hingga Merauke membentang lebih dari 4.000 km, memiliki tiga musim dengan rasio daratan lebih sedikit terhadap lautan.



Letak yang unik itu memberi anugerah kepada bangsa Indonesia berupa kekayaan alam yang melimpah ruah, baik yang ada di permukaan, di dalam tanah hingga dasar samudera.



Di saat yang sama, anugerah itu juga menyimpan potensi bencana yang mengancam kehidupan dan harta benda jutaan orang yang mukim di negara itu.



Informasi kemungkinan terjadi bencana tersebut sudah seharusnya dapat diprediksi sehingga masyarakat bisa mendapat peringatan secara cepat dan akurat.



Sebagai contoh, sepanjang tahun 2007 tercatat sebanyak 379 bencana terjadi di Indonesia berupa banjir, angin topan, tanah longsor, gelombang pasang atau abrasi, gempa bumi, serta letusan gunung berapi.



Kenyataan itu menegaskan bahwa bangsa ini membutuhkan informasi prediksi dan "warning" ancaman bencana yang cepat serta akurat yang pengaturannya harus melalui perangkat perundang-undangan atau UU tentang Meteorologi dan Geofisika (UU MG).



Keberadaan UU tersebut dimaksudkan agar pengaturan kegiatan terkait iklim-cuaca dan kegempaan secara keseluruhan bisa terakomodir.



BMG diharapkan mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi mengenai kondisi perubahan iklim, cuaca, dan kegempaan.



Selain itu, UU MG juga bakal memudahkan menetapkan lokasi pengamatan serta menjamin keadaan lingkungan yang tidak berubah di lokasi pengamatan.



UU yang sama juga akan menetapkan siapa otoritas resmi yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi MG yang mendasari perencanaan dan pengoperasian transportasi darat, laut, dan udara, kegiatan pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesehatan, konstruksi, dan energi.



"Selama ini, tidak ada rujukan atau legalitas yang terakomodasi dalam satu undang-undang," kata Sri Woro, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).



Selanjutnya juga tidak ada jaminan ketersediaan data yang representatif dan bersinambung karena kualitas data yang ada saat ini dinilai masih rendah dan tidak valid.



Padahal, kesimpangsiuran informasi iklim, cuaca, dan kegempaan justru meresahkan masyarakat.



Woro mengklaim bahwa kegagalan kegiatan pembangunan saat ini banyak yang disebabkan oleh informasi iklim, cuaca, dan kegempaan yang tidak dijadikan sebagai pedoman.



Selain iklim, cuaca, dan kegempaan, menurut Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Henny Lilywati, masih ada banyak hal lainnya yang terkait dengan meteorologi dan geofisika yakni kualitas udara, pasang surut, dan gravitasi yang bertujuan pemetaan dengan metode dan standar tersendiri.



Karenanya, RUU MG itu nantinya perlu pula menegaskan bahwa BMG mesti bekerja sama dengan pihak asing apabila pengamatan bersifat global, selain dengan instansi pemerintah, pemda, dan badan hukum lainnya.



DPD Mendukung



Saat rapat kerja dengan Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa (9/9), kalangan anggota DPD menyatakan mendukung lahirnya UU MG itu.



"Sekalipun Indonesia telah merdeka 63 tahun, kita belum mempunyai UU MG," kata Aspar, anggota DPD asal Kalimantan Barat.



Karenanya wajar apabila RUU itu segera disusun untuk kemudian disahkan menjadi UU.



Namun, ia memberi catatan bahwa rumusan RUU MG itu harus pula mengatur peran serta masyarat.



"Peran serta masyarakat sangat penting dalam negara demokrasi. Jangan ditinggalkan, apalagi membiarkan mereka sebagai penonton saja," katanya.



Selain itu, pemerintah daerah juga harus banyak terlibat mengingat bencana itu banyak terjadi di daerah-daerah.



Apalagi, penyediaan lahan untuk pendirian stasiun pengamatan di titik-titik lokasi tertentu yang dana pembebasannya tidak selalu disiapkan pemerintah pusat.



Senada dengan Aspar, anggota DPD asal Jambi Muhammad Nasir menyatakan bahwa karena yang berhadapan langsung dengan berbagai masalah ke-MG-an adalah pemerintah daerah, maka RUU MG harus mengatur pula agar pemda memperoleh informasi dini tentang iklim, cuaca, dan kegempaan.



"Pemerintah daerah harus dilibatkan dengan segala macam konsekuensinya" katanya.



Terkait dengan otonomi daerah, rumusan RUU MG tentunya juga harus disesuaikan dengan sistem itu, seperti pengaturan pembagian tanggung jawab Bupati, Walikota, dan Gubernur selaku pelaksana pemerintahan di daerah dengan Presiden selaku pemerintah pusat.



Karena UU MG nantinya bakal menyangkut denyut nadi perekonomian masyarakat seperti penentuan musim tanam dan area penangkapan ikan, maka BMG yang terlambat menyampaikan informasi kepada pemda atau ada pemda yang mengabaikan informasi, maka mereka harus dikenai sanksi.



Harus diakui pula bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah, banyak rencana pembangunan daerah yang dibuat asal-asalan tanpa mempertimbangkan hasil survei meteorologi dan geofisika.



Ke depan, menurut anggota DPD dari Sumsel, M Jum Perkasa, perencanaan pembangunan daerah dan operasionalnya sangat berhubungan dan dipengaruhi perubahan lingkungan.



Dengan demikian, informasi prediksi maupun peringatan dini terkait kebencanaan harus diketahui kalangan pemerintah daerah sejak awal sebelum rencana pembangunan daerah dioperasionalkan.



Terkait dengan peningkatan kapasitas BMG, kalangan DPD yang telah memberikan dukungan bagi terlahirnya UU MG menuntut BMG agar lebih mempersiapkan diri sebagai penyedia informasi dan diharuskan menyediakan informasi yang memang benar-benar dibutuhkan masyarakat.



BMG juga dituntut untuk mempertegas hirarki organisasi kerjanya dan bagaimana pola hubungan dengan pemda, termasuk cara mengeluarkan hingga diterimanya informasi.



UU ini, kata Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus, diharapkan tidak hanya melegalkan kerja BMG baik salah maupun benar, tetapi juga kerja pihak ketiga yang mengganggu.



Ketentuan juga harus mempertegas hak masyarakat memperoleh informasi ke-MG-an. "Kapan waktu yang mewajibkan BMG menyampaikan informasi kepada masyarakat, harus dipertegas," katanya.



Jika dibandingkan dengan UU MG yang telah dimiliki Jepang sejak tahun 1952, Filipina (1972), Perancis (1993), Jerman (1998), serta China (1999), pembentukan RUU MG di Indonesia ini sebenarnya belum terlalu ketinggalan.



Karenanya diharapkan pada penghujung tahun 2008 ini RUU itu bisa segera disahkan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah menjadi UU.



(ANT/DJunaedi S).

Kesalahan Memberi Informasi Dikenai Sanksi

Jakarta, Kompas-Jajaran petugas Badan Meteorologi dan Geofisika jika melakukan kesalahan memberi informasi, seperti kelalaian memberikan peringatan dini yang menimbulkan bencana merugikan banyak korban, akan dikenai sanksi. Ini diusulkan Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah agar masuk ke dalam Rancangan Undang- Undang Meteorologi dan Geofisika.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Intsiawati Ayus yang memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Meteorologi dan Geofisika, Selasa (9/9), di Jakarta.

”RUU yang diajukan BMG pada Pasal 55 menyebutkan, setiap orang yang patut diduga mengetahui fenomena meteorologi dan geofisika ekstrem, tetapi tidak menyampaikan informasi itu akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 250 juta. Lalu, bagaimana dengan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan BMG sendiri?” kata Intsiawati.

Kepala BMG Sri Woro B Harijono menanggapi usulan tersebut dan menyampaikan akan melengkapi serta merapikan RUU yang diajukan itu. ”BMG sampai saat ini memiliki 189 stasiun pengamatan di berbagai daerah. Mengenai keakurasian informasi BMG sekarang saya sampaikan mencapai 80 persen,” ujarnya.

RUU Meteorologi dan Geofisika yang disampaikan BMG itu meliputi tujuh bab terdiri atas 58 pasal. Ketentuan di dalam perundang-undangan ini akan memiliki sanksi pidana, tetapi yang diusulkan BMG itu tidak tegas mengatur ketentuan sanksi bagi jajaran BMG sendiri jika melakukan kesalahan.

Ketua PAH II DPD Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, RUU Meteorologi dan Geofisika itu disusun untuk mengoptimalkan fungsi BMG. Instansi ini diposisikan berkewajiban memberikan informasi peringatan dini atas berbagai bencana yang mampu dikurangi risikonya melalui sistem informasi meteorologi dan geofisika.

”Perubahan iklim global sekarang ini memberi dampak berupa peningkatan intensitas bencana di berbagai daerah. RUU itu nantinya juga diharapkan melindungi fungsi pelayanan BMG,” kata Sarwono. (NAW)

'Selama 63 Tahun Merdeka Kita Belum Punya UU MG'

**

Indonesia On Time(Jakarta)- Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendukung pembentukan RUU Meteorologi dan Geofisika (RUU MG) untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam RUU tersebut, BMG harus memiliki otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi terkait Metereologi dan Geofisika. Meski telah merdeka selama 63 tahun, tetapi Indonesia belum memiliki UU MG.

Demikian disampaikan pimpinan PAH II DPD dalam rapat kerja (raker) dengan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sri Woro B Harijono dan Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Henny Lilywati di Ruang PAH II DPD lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Selasa (9/9). Raker dipimpin Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus didampingi Wakil Ketua PAH II DPD Abdul M Kilian (Papua Barat).

Sri Woro menjelaskan, keunikan posisi Indonesia disebabkan bentuknya yang kepulauan, terletak di dua benua dan dua samudera, berada di lintasan khatulistiwa, luas wilayahnya dari Sabang hingga Merauke, memiliki tiga musim dengan rasio daratan lebih sedikit terhadap lautan. Tahun 2007 saja, 379 total bencana di Indonesia diakibatkan banjir, angin topan, tanah longsor, gelombang pasang atau abrasi, gempa bumi, serta letusan gunung berapi.

Bencana tersebut mengancam keselamatan jiwa-harta dan meresahkan masyarakat. Karenanya, dibutuhkan informasi prediksi dan warning yang cepat dan akurat yang pengaturannya melalui Undang-Undang tentang Meteorologi dan Geofisika atau UU MG agar pengaturan kegiatan keiklimcuacaan dan kegempaan secara keseluruhan terakomodir.

Selain itu, UU MG memudahkan menetapkan lokasi pengataman serta menjamin keadaan lingkungan yang tidak berubah di lokasi pengamatan. UU MG akan menetapkan otoritas resmi yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi MG yang mendasari perencanaan dan operasionalnya seperti bagi transportasi darat, laut, dan udara, pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesehatan, konstruksi, dan energi.

“Selama ini, tidak ada rujukan atau legalitas yang terakomodasi dalam satu undang-undang. Juga tidak ada jaminan ketersediaan data yang representatif dan bersinambung karena kulaitasnya rendah dan tidak valid. Padahal, kesimpangsiuran informasi iklim, cuaca, dan kegempaan justru meresahkan masyarakat," jelas Sri Woro.

Ia mengklaim, kegagalan kegiatan pembangunan diakibatkan informasi iklim, cuaca, dan kegempaan tidak dijadikan sebagai pedoman.

Jika dibandingkan, UU MG telah dimiliki Jepang sejak tahun 1952, Filipina (1972), Perancis (1993), Jerman (1998), serta China (1999). Pembentukan RUU MG belum terlalu ketinggalan dan diharapkan penghujung tahun 2008 ini disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah menjadi UU.

Henny Lylywati mengatakan, banyak sekali hal-hal yang berkaitan meteorologi dan geofisika selain iklim, cuaca, dan kegempaan yakni kualitas udara, pasang surut, dan gravitasi yang bertujuan pemetaan dengan metode dan standar tersendiri. Karenanya, kemungkinan BMG bekerja sama selain dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum lainnya juga diperlukan penegasan sama dengan pihak asing dalam RUU jika pengamatan bersifat global.

Sementara itu, Anggota DPD asal Kalimantan Barat, Aspar juga menyatakan dukungannya. "Sekalipun Indonesia telah merdeka 63 tahun, kita belum mempunyai UU MG. UU tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan karena keunikan posisi Indonesia beserta kemungkinan bencana yang mengancam keselamatan jiwa dan harta serta meresahkan masyarakat. Informasi keadaan tersebut harus diprediksi dan di-warning secara cepat dan akurat," katanya.

Menurutnya, rumusan RUU MG harus mengatur peran serta masyarat. Selain itu, harus melibatkan pemerintah daerah mengingat bencana banyak terjadi di daerah-daerah. Apalagi, penyediaan lahan untuk pendirian stasiun pengamatan di titik-titik lokasi tertentu yang dana pembebasannya tidak selalu disiapkan pemerintah pusat.(IOT-03)

DPD DUKUNG PEMBENTUKAN RUU METEOROLOGI DAN GEOFISIKA

***

Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendukung pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Meteorologi dan Geofisika (RUU MG) untuk disahkan menjadi undang-undang (UU). Dalam RUU tersebut, BMG harus mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi ke-MG-an seperti iklim, cuaca, dan kegempaan.

Demikian argumentasi yang disampaikan pimpinan PAH II DPD dalam rapat kerja (raker) dengan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sri Woro B Harijono dan Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Henny Lilywati di Ruang PAH II DPD lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Selasa (9/9). Raker dipimpin Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus didampingi Wakil Ketua PAH II DPD Abdul M Kilian (Papua Barat).

Sri Woro menjelaskan, keunikan posisi Indonesia disebabkan bentuknya yang kepulauan, terletak di dua benua dan dua samudera, berada di lintasan khatulistiwa, luas wilayahnya dari Sabang hingga Merauke, memiliki tiga musim dengan rasio daratan lebih sedikit terhadap lautan. Tahun 2007 saja, 379 total bencana di Indonesia diakibatkan banjir, angin topan, tanah longsor, gelombang pasang atau abrasi, gempa bumi, serta letusan gunung berapi.

Bencana tersebut mengancam keselamatan jiwa-harta dan meresahkan masyarakat. Karenanya, dibutuhkan informasi prediksi dan warning yang cepat dan akurat yang pengaturannya melalui Undang-Undang tentang Meteorologi dan Geofisika atau UU MG agar pengaturan kegiatan keiklimcuacaan dan kegempaan secara keseluruhan terakomodir.

Selain itu, UU MG memudahkan menetapkan lokasi pengataman serta menjamin keadaan lingkungan yang tidak berubah di lokasi pengamatan. UU MG akan menetapkan otoritas remsi yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi MG yang mendasari perencanaan dan operasionalnya seperti bagi transportasi darat, laut, dan udara; pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesehatan, konstruksi, dan energi.

“Selama ini, tidak ada rujukan atau legalitas yang terakomodasi dalam satu undang-undang,” jelas Sri Woro. Selanjutnya, tidak ada jaminan ketersediaan data yang representatif dan bersinambung karena kulaitasnya rendah dan tidak valid. Padahal, kesimpangsiuran informasi iklim, cuaca, dan kegempaan justru meresahkan masyarakat.

Ia mengklaim, kegagalan kegiatan pembangunan diakibatkan informasi iklim, cuaca, dan kegempaan tidak dijadikan sebagai pedoman.

Jika dibandingkan, UU MG telah dimiliki Jepang sejak tahun 1952, Filipina (1972), Perancis (1993), Jerman (1998), serta China (1999). Pembentukan RUU MG belum terlalu ketinggalan dan diharapkan penghujung tahun 2008 ini disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah menjadi UU.

Henny Lylywati mengatakan, banyak sekali hal-hal yang berkaitan meteorologi dan geofisika selain iklim, cuaca, dan kegempaan yakni kualitas udara, pasang surut, dan gravitasi yang bertujuan pemetaan dengan metode dan standar tersendiri. Karenanya, kemungkinan BMG bekerja sama selain dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum lainnya juga diperlukan penegasan sama dengan pihak asing dalam RUU jika pengamatan bersifat global.

Anggota DPD asal Kalimantan Barat, Aspar, mendukung pembentukan UU MG. “Sekalipun Indonesia telah merdeka 63 tahun, kita belum mempunyai UU MG,” ujarnya. UU tersebut dibutuhkan karena keunikan posisi Indonesia beserta kemungkinan bencana yang mengancam keselamatan jiwa dan harta serta meresahkan masyarakat. Informasi keadaan tersebut harus diprediksi dan di-warning secara cepat dan akurat.

Ia memberi catatan. Menurutnya, rumusan RUU MG harus mengatur peran serta masyarat. “Peran serta masyarakat sangat penting dalam negara demokrasi. Jangan ditinggalkan, apalagi membiarkan mereka sebagai penonton saja.”

Selain itu, harus melibatkan pemerintah daerah mengingat bencana banyak terjadi di daerah-daerah. Apalagi, penyediaan lahan untuk pendirian stasiun pengamatan di titik-titik lokasi tertentu yang dana pembebasannya tidak selalu disiapkan pemerintah pusat.

Muhammad Nasir (Jambi) mendukung pendapat Aspar karena yang berhadapan langsung dengan masalah ke-MG-an adalah pemerintah daerah. RUU MG harus mengatur agar pemerintah daerah memperoleh informasi terdini tentang iklim, cuaca, dan kegempaan. “Pemerintah daerah harus dilibatkan dengan segala macam konsekuensinya” tegas dia.

M Jum Perkasa (Sumatera Selatan) juga berpendapat seharusnya Indonesia memiliki UU MG sejak dulu. Menurutnya, perencanaan pembangunan daerah dan operasionalnya ke depan berhubungan dan dipengaruhi perubahan lingkungan. Informasi prediksi maupun warning harus diketahui pemerintah daerah sejak awal sebelum rencana pembangunan daerah dioperasionalkan.

“Yang mengendalikan otonomi daerah adalah bupati, walikota, dan gubernur.” Ia mengatakan, sejak otonomi daerah diberlakukan banyak rencana pembangunan daerah dibuat asal-asalan tanpa mempertimbangkan hasil survei meteorologi dan geofisika. “Seolah-olah BMG hanya untuk cuaca, iklim, dan kegempaan,” ujar Jum. “Karena kebijakan pemerintah daerah tidak mempunyai payung hukum, yang menjadi korban adalah masyarakat.”

Nasir juga mengatakan, rumusan RUU MG harus disesuaikan dengan otonomi daerah, seperti pengaturan pembagian tanggung jawab Bupati, Walikota, dan Gubernur selaku pelaksana pemerintah daerah dengan Presiden selaku Pemerintah. “Apa tanggung jawab pemerintah daerah dan apa tanggung jawab pemerintah pusat.”

Ditekankan pula, UU MG menyangkut denyut nadi perekonomian masyarakat seperti penentuan musim tanam dan area penangkapan ikan. Karenanya, BMG yang terlambat menyampaikan informasi kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang tidak segera menindaklanjuti atau mengabaikannya alias tidak menyosialisasikannya harus dikenai sanksi. “Jadi, harus ada konsekuensinya,” tegas Nasir.

Nasir mengingatkan agar UU MG yang berlaku mudah dimengerti dan dipahami orang awam tanpa istilah ke-MG-an yang hanya dimengerti dan dipahami orang tertentu. “UU MG berlaku bukan hanya untuk yang mengetahui istilah ke-MG-an, tetapi untuk rakyat, untuk siapa saja. Kalau istilahnya sulit untuk awam berarti UU ini hanya untuk petugas dan pelaksana BMG.”

Wakil Ketua PAH II DPD memprihatinkan perlakuan terhadap BMG di masa lalu yang seperti anak tiri. Masa kini, PAH II DPD mendukung BMG menjadi mempunyai otoritas yang independen. “Tidak dianaktirikan lagi seperti dulu. Kantornya harus di sebelah kantor Gubernur.”

Menurutnya, BMG harus mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi ke-MG-an. “BMG harus berani,” tukasnya. Seiring dengan itu, UU MG harus menegaskan urutan atau hirarki organisasi kerja BMG dan hubungannya dengan pemerintah daerah termasuk cara mengeluarkan hingga diterimanya informasi.

Intsiawati juga mengingatkan UU jangan hanya melegalkan kerja BMG baik salah maupun benar juga kerja pihak ketiga yang mengganggu kerjanya seperti mendiseminasi informasi. Ketentuannya juga harus mempertegas hak masyarakat memperoleh informasi ke-MG-an. “Kapan waktu yang mewajibkan BMG menyampaikan informasi kepada masyarakat, harus dipertegas.”

DPD mendukung UU MG mempertegas penggunaan informasi ke-MG-an sebagai acuan kegiatan perencanaan dan opersionalnya. Bersamaan dengan itu, BMG dituntut mempersiapkan diri sebagai penyedia informasi dan diharuskan menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. (sumber: www.dpd.go.id)

DPD Dukung Pembentukan RUU Meteorologi dan Geofisika

Jakarta, KabarIndonesia- Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendukung pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Meteorologi dan Geofisika (RUU MG) untuk disahkan menjadi undang-undang (UU). Dalam RUU tersebut, BMG harus mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi ke-MG-an seperti iklim, cuaca, dan kegempaan.

Demikian argumentasi yang disampaikan pimpinan PAH II DPD dalam rapat kerja (raker) dengan Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sri Woro B Harijono dan Deputi Bidang Infrastruktur Data Spasial Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Henny Lilywati di Ruang PAH II DPD lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Selasa (9/9). Raker dipimpin Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus didampingi Wakil Ketua PAH II DPD Abdul M Kilian (Papua Barat).

Sri Woro menjelaskan, keunikan posisi Indonesia disebabkan bentuknya yang kepulauan, terletak di dua benua dan dua samudera, berada di lintasan khatulistiwa, luas wilayahnya dari Sabang hingga Merauke, memiliki tiga musim dengan rasio daratan lebih sedikit terhadap lautan. Tahun 2007 saja, 379 total bencana di Indonesia diakibatkan banjir, angin topan, tanah longsor, gelombang pasang atau abrasi, gempa bumi, serta letusan gunung berapi. Bencana tersebut mengancam keselamatan jiwa-harta dan meresahkan masyarakat. Karenanya, dibutuhkan informasi prediksi dan warning yang cepat dan akurat yang pengaturannya melalui Undang-Undang tentang Meteorologi dan Geofisika atau UU MG agar pengaturan kegiatan keiklimcuacaan dan kegempaan secara keseluruhan terakomodir.

Selain itu, UU MG memudahkan menetapkan lokasi pengataman serta menjamin keadaan lingkungan yang tidak berubah di lokasi pengamatan. UU MG akan menetapkan otoritas remsi yang bertanggung jawab mengeluarkan informasi MG yang mendasari perencanaan dan operasionalnya seperti bagi transportasi darat, laut, dan udara; pertanian, perikanan, kehutanan, pariwisata, kesehatan, konstruksi, dan energi.

“Selama ini, tidak ada rujukan atau legalitas yang terakomodasi dalam satu undang-undang,” jelas Sri Woro. Selanjutnya, tidak ada jaminan ketersediaan data yang representatif dan bersinambung karena kulaitasnya rendah dan tidak valid. Padahal, kesimpangsiuran informasi iklim, cuaca, dan kegempaan justru meresahkan masyarakat.
Ia mengklaim, kegagalan kegiatan pembangunan diakibatkan informasi iklim, cuaca, dan kegempaan tidak dijadikan sebagai pedoman.

Jika dibandingkan, UU MG telah dimiliki Jepang sejak tahun 1952, Filipina (1972), Perancis (1993), Jerman (1998), serta China (1999). Pembentukan RUU MG belum terlalu ketinggalan dan diharapkan penghujung tahun 2008 ini disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah menjadi UU.

Henny Lylywati mengatakan, banyak sekali hal-hal yang berkaitan meteorologi dan geofisika selain iklim, cuaca, dan kegempaan yakni kualitas udara, pasang surut, dan gravitasi yang bertujuan pemetaan dengan metode dan standar tersendiri. Karenanya, kemungkinan BMG bekerja sama selain dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum lainnya juga diperlukan penegasan sama dengan pihak asing dalam RUU jika pengamatan bersifat global.Anggota DPD asal Kalimantan Barat, Aspar, mendukung pembentukan UU MG. “Sekalipun Indonesia telah merdeka 63 tahun, kita belum mempunyai UU MG,” ujarnya. UU tersebut dibutuhkan karena keunikan posisi Indonesia beserta kemungkinan bencana yang mengancam keselamatan jiwa dan harta serta meresahkan masyarakat. Informasi keadaan tersebut harus diprediksi dan di-warning secara cepat dan akurat.

Ia memberi catatan. Menurutnya, rumusan RUU MG harus mengatur peran serta masyarat. “Peran serta masyarakat sangat penting dalam negara demokrasi. Jangan ditinggalkan, apalagi membiarkan mereka sebagai penonton saja.”

Selain itu, harus melibatkan pemerintah daerah mengingat bencana banyak terjadi di daerah-daerah. Apalagi, penyediaan lahan untuk pendirian stasiun pengamatan di titik-titik lokasi tertentu yang dana pembebasannya tidak selalu disiapkan pemerintah pusat. Muhammad Nasir (Jambi) mendukung pendapat Aspar karena yang berhadapan langsung dengan masalah ke-MG-an adalah pemerintah daerah. RUU MG harus mengatur agar pemerintah daerah memperoleh informasi terdini tentang iklim, cuaca, dan kegempaan. “Pemerintah daerah harus dilibatkan dengan segala macam konsekuensinya” tegas dia.M Jum Perkasa (Sumatera Selatan) juga berpendapat seharusnya Indonesia memiliki UU MG sejak dulu. Menurutnya, perencanaan pembangunan daerah dan operasionalnya ke depan berhubungan dan dipengaruhi perubahan lingkungan. Informasi prediksi maupun warning harus diketahui pemerintah daerah sejak awal sebelum rencana pembangunan daerah dioperasionalkan.

“Yang mengendalikan otonomi daerah adalah bupati, walikota, dan gubernur.” Ia mengatakan, sejak otonomi daerah diberlakukan banyak rencana pembangunan daerah dibuat asal-asalan tanpa mempertimbangkan hasil survei meteorologi dan geofisika. “Seolah-olah BMG hanya untuk cuaca, iklim, dan kegempaan,” ujar Jum. “Karena kebijakan pemerintah daerah tidak mempunyai payung hukum, yang menjadi korban adalah masyarakat.”

Nasir juga mengatakan, rumusan RUU MG harus disesuaikan dengan otonomi daerah, seperti pengaturan pembagian tanggung jawab Bupati, Walikota, dan Gubernur selaku pelaksana pemerintah daerah dengan Presiden selaku Pemerintah. “Apa tanggung jawab pemerintah daerah dan apa tanggung jawab pemerintah pusat.”

Ditekankan pula, UU MG menyangkut denyut nadi perekonomian masyarakat seperti penentuan musim tanam dan area penangkapan ikan. Karenanya, BMG yang terlambat menyampaikan informasi kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah yang tidak segera menindaklanjuti atau mengabaikannya alias tidak menyosialisasikannya harus dikenai sanksi. “Jadi, harus ada konsekuensinya,” tegas Nasir.

Nasir mengingatkan agar UU MG yang berlaku mudah dimengerti dan dipahami orang awam tanpa istilah ke-MG-an yang hanya dimengerti dan dipahami orang tertentu. “UU MG berlaku bukan hanya untuk yang mengetahui istilah ke-MG-an, tetapi untuk rakyat, untuk siapa saja. Kalau istilahnya sulit untuk awam berarti UU ini hanya untuk petugas dan pelaksana BMG.”

Wakil Ketua PAH II DPD memprihatinkan perlakuan terhadap BMG di masa lalu yang seperti anak tiri. Masa kini, PAH II DPD mendukung BMG menjadi mempunyai otoritas yang independen. “Tidak dianaktirikan lagi seperti dulu. Kantornya harus di sebelah kantor Gubernur.”

Menurutnya, BMG harus mempunyai otoritas independen dan menjadi satu-satunya lembaga yang menyebarkan informasi ke-MG-an. “BMG harus berani,” tukasnya. Seiring dengan itu, UU MG harus menegaskan urutan atau hirarki organisasi kerja BMG dan hubungannya dengan pemerintah daerah termasuk cara mengeluarkan hingga diterimanya informasi.

Intsiawati juga mengingatkan UU jangan hanya melegalkan kerja BMG baik salah maupun benar juga kerja pihak ketiga yang mengganggu kerjanya seperti mendiseminasi informasi. Ketentuannya juga harus mempertegas hak masyarakat memperoleh informasi ke-MG-an. “Kapan waktu yang mewajibkan BMG menyampaikan informasi kepada masyarakat, harus dipertegas.”

DPD mendukung UU MG mempertegas penggunaan informasi ke-MG-an sebagai acuan kegiatan perencanaan dan opersionalnya. Bersamaan dengan itu, BMG dituntut mempersiapkan diri sebagai penyedia informasi dan diharuskan menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Siaran pers ini dikeluarkan secara resmi oleh Bagian Hubungan Antar-Lembaga dan Pemberitaan Sekretariat Jenderal DPD Penanggungjawab. A Djunaedi. (DPD/rac)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.