Masa Kerja Pimpinan DPD Dipersingkat

Jakarta, Kompas-Dewan Perwakilan Daerah tengah menyempurnakan peraturan tata tertibnya. Salah satu usulan yang berkembang, ada keinginan memperpendek masa kerja pimpinan DPD dari semula lima tahun menjadi 2,5 tahun. Pimpinan Panitia Ad Hoc dan pimpinan Alat Kelengkapan, yang berjumlah 30 orang, ingin dikocok ulang.

Panitia Perancang Undang-Undang DPD, yang menangani perubahan tatib, membenarkan adanya sejumlah usulan tersebut. "Salah satu usulan yang masuk memang menghendaki masa kerja pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun," kata Wakil Ketua PPUU Intsiawati Ayus (DPD Riau), Rabu (29/6).

Selain masa kerja pimpinan DPD yang dipersingkat, lanjut Intsiawati, masa kerja pimpinan Panitia Ad Hoc maupun pimpinan Alat Kelengkapan juga diusulkan dipersingkat, yaitu menjadi satu tahun. Tujuannya untuk memberi kesempatan pada semua anggota untuk memimpin, ucapnya.

Anggota DPD dari Maluku Utara Juanda Bakar adalah yang mengusulkan adanya perpendekan masa kerja Pimpinan DPD itu. Dia berpendapat, hal ini penting untuk memberi kesempatan pada anggota lain. Penggantian pimpinan DPD pun tidak diatur dalam undang-undang, tapi sepenuhnya ditentukan oleh Tata Tertib DPD sendiri. Siklus penggantiannya pun tidak harus sama dengan siklus pergantian pimpinan pemerintahan.

Pimpinan PAH juga ada kecenderungan untuk dipilih setiap satu tahun, lalu mengapa pimpinan DPD harus dipilih setiap lima tahun, tandasnya.

Wakil Ketua DPD Irman Gusman (Sumatera Barat) yang dihubungi terpisah mengaku juga sudah mengetahui adanya usulan tersebut. Tapi dia yakin, usulan itu tidak akan diterima oleh rapat paripurna DPD. Usulan itu hanya dari satu orang dan jauh dari laku, ucapnya. Dia menduga usulan itu muncul karena ketidakpuasan. Saya sih senang-senang saja, tapi itu usulan minoritas, tandasnya. Soal usulan pemilihan PAH dan alat kelengkapan setiap satu tahun sekali, Irman berpendapat hal itu mungkin dilakukan. (Kompas - 30 Juni 2005)

Investasi Migas Sarat Masalah di Daerah

Jakarta, Kompas- Sejumlah permasalahan yang terkait dengan tuntutan daerah berpotensi menjadi hambatan bahkan ancaman bagi kelangsungan investasi sektor minyak dan gas. Permasalahan itu mencuat karena keinginan daerah memperoleh pendapatan dari kegiatan investasi migas.

Berbagai permasalahan di daerah diutarakan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rapat kerja antara Panitia Ad Hoc II DPD dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Selasa (14/6) di Jakarta.

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Panitia Ad Hoc II Kasmir Tri Putra itu terungkap pula kekhawatiran soal perundingan perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu, Jawa Tengah, yang dinilai berpotensi menimbulkan persoalan baru.

Daerah migas yang telah memiliki persoalan antara lain Garut dan Indramayu (Jawa Barat) serta Riau.

Anggota DPD Arif Nata Diningrat mengemukakan adanya tuntutan Pemerintah Kabupaten Garut yang meminta bagi hasil dari kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan asal Amerika Serikat, ChevronTexaco. Alasan pihak daerah, Garut kaya dengan sumber energi panas bumi tetapi masih termasuk daerah tertinggal dari ukuran ekonomi rakyatnya.

Dia juga mengemukakan masalah tuntutan pemerintah daerah Indramayu untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan pengelolaan migas. Bahkan, pemerintah daerah Indramayu telah menerbitkan peraturan untuk mengenakan pajak bagi setiap kegiatan pengelolaan migas.

Arif menambahkan, peraturan daerah Indramayu itu sudah dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Maret 2003. Namun, Mahkamah Agung kemudian memenangkan pemerintah daerah Indramayu.

Anggota DPD M Jum Perkasa mengemukakan, dana bagi hasil yang dikeluhkan setiap pemerintah daerah muncul karena dana tersebut selalu terlambat turun. Keterlambatan pencairan dana bagi hasil terjadi karena Departemen ESDM juga terlambat menyerahkan data ke Departemen Keuangan.

Bagi hasil ini dinilai bisa menimbulkan persoalan karena biasanya investor yang menjadi sasaran kemarahan daerah. Pemerintah daerah sering menekan pemerintah pusat karena dana bagi hasil migas sangat dibutuhkan untuk membiayai anggaran belanja daerah.

Dalam kesempatan itu anggota DPD Intsiawati Ayus mengingatkan pemerintah untuk tidak serta-merta meluluskan permintaan daerah untuk mengelola lapangan minyak yang dikembalikan investor. Alasannya, pengelolaan wilayah kerja migas membutuhkan keahlian agar memberikan keuntungan, sementara daerah tidak memiliki ketersediaan sumber daya tersebut.

Intsiawati mencontohkan kasus Blok CPP di Riau. Setelah dilepas PT Caltex Pacific Indonesia, blok tersebut dikelola PT Bumi Pusako Siak yang merupakan perusahaan milik pemerintah daerah dan Pertamina.

Menurut berita Kompas sebelumnya, produksi minyak di Blok CPP itu menurun pascapenyerahan tersebut.

Dia menyebutkan ada indikasi bahwa Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Riau, juga berniat menguasai Blok MFK yang juga akan dilepas Caltex. "Sangat sayang, saya tidak ingin penyakit di Siak akan menjadi penyakit di Rokan Hulu karena daerah operasi Caltex diserahkan kepada daerah. Bagaimana jangan sampai produksi turun," ujar Intsiawati.

Proses panjang

Menanggapi persoalan daerah itu, Purnomo menegaskan tidak ada undang-undang yang mendasari daerah pengolah migas mendapat bagian, kecuali daerah penghasil migas. Meski demikian, Purnomo menyatakan belum mendengar putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan pemerintah daerah Indramayu.

Purnomo pun mengakui proses penghitungan dana bagi hasil migas untuk daerah sangat panjang. Namun, menurut Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan, wakil daerah selalu diikutsertakan dalam penghitungan jumlah minyak yang dieksploitasi. "Tidak mungkin daerah tak mengetahui proses perhitungan dana bagi hasil," katanya.

Masalah di Blok Cepu

Kemungkinan munculnya persoalan tuntutan penyertaan daerah pada wilayah kerja migas Blok Cepu disinggung anggota DPD Budi Santoso. Bahkan, jika daerah disertakan dalam Blok Cepu, kemungkinan akan terjadi rebutan antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur.

Purnomo mengatakan, daerah dipastikan akan mendapatkan kepesertaan (interest) 10 persen dalam Blok Cepu. Sebelumnya seluruh interest diserahkan kepada PT Pertamina, tetapi sesuai dengan undang-undang migas yang baru, daerah bisa mendapatkan interest atau kepemilikan.

Purnomo mengakui, pemerintah memang belum memutuskan pemerintah daerah mana yang akan mendapatkan interest 10 persen. Kalau berpatokan pada wilayah kerja, yang mendapatkan interest adalah Bojonegoro, Jawa Timur. Namun, lapangannya sendiri ada di Cepu, Jawa Tengah.

"Kami belum bisa mengatakan pasti 10 persen jatuh ke mana, masih akan dibicarakan dengan Departemen Dalam Negeri. Wilayah administrasi dan wilayah pertambangan harus dipertimbangkan," ujarnya.

Sebelumnya juru bicara tim negosiasi pemerintah, Rizal Mallarangeng, mengatakan, tim negosiasi perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu sedang mengkaji kemungkinan penetapan komposisi saham di Blok Cepu sebesar 45 persen buat Pertamina, 45 persen buat ExxonMobil, dan sisanya 10 persen buat pihak pemerintah daerah. Komposisi itu masih terus didiskusikan dengan pihak ExxonMobil.

Pasokan BBM tersendat

Dari Surabaya dilaporkan, kemarin pasokan premium dan solar di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Surabaya dan Lamongan masih tersendat. Hal ini terjadi sejak dua pekan lalu.

Memang tidak semua SPBU mengalami kehabisan stok bahan bakar minyak (BBM).

General Manager PT Pertamina Persero UPMS V Hariyoto Saleh mengatakan, kelangkaan pasokan BBM di sejumlah SPBU sudah diatasi. "Tersendatnya pasokan BBM terjadi akibat keterlambatan tanker. Selain itu, dana subsidi BBM dari pemerintah kepada Pertamina sejumlah Rp 76,5 triliun, jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan di APBN sebesar Rp 19,5 triliun, belum turun. Hal ini yang membuat Pertamina tidak bisa melakukan pembelian minyak sehingga stok nasional menipis dari 24 hari menjadi 18 hari saja," ungkapnya. (LIA/NUT/dot/boy)

Investasi Migas Sarat Masalah di Daerah



Jakarta, Kompas- Sejumlah permasalahan yang terkait dengan tuntutan daerah berpotensi menjadi hambatan bahkan ancaman bagi kelangsungan investasi sektor minyak dan gas. Permasalahan itu mencuat karena keinginan daerah memperoleh pendapatan dari kegiatan investasi migas.



Berbagai permasalahan di daerah diutarakan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rapat kerja antara Panitia Ad Hoc II DPD dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Selasa (14/6) di Jakarta.



Dalam rapat yang dipimpin Ketua Panitia Ad Hoc II Kasmir Tri Putra itu terungkap pula kekhawatiran soal perundingan perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu, Jawa Tengah, yang dinilai berpotensi menimbulkan persoalan baru.



Daerah migas yang telah memiliki persoalan antara lain Garut dan Indramayu (Jawa Barat) serta Riau.



Anggota DPD Arif Nata Diningrat mengemukakan adanya tuntutan Pemerintah Kabupaten Garut yang meminta bagi hasil dari kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan asal Amerika Serikat, ChevronTexaco. Alasan pihak daerah, Garut kaya dengan sumber energi panas bumi tetapi masih termasuk daerah tertinggal dari ukuran ekonomi rakyatnya.



Dia juga mengemukakan masalah tuntutan pemerintah daerah Indramayu untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan pengelolaan migas. Bahkan, pemerintah daerah Indramayu telah menerbitkan peraturan untuk mengenakan pajak bagi setiap kegiatan pengelolaan migas.



Arif menambahkan, peraturan daerah Indramayu itu sudah dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Maret 2003. Namun, Mahkamah Agung kemudian memenangkan pemerintah daerah Indramayu.



Anggota DPD M Jum Perkasa mengemukakan, dana bagi hasil yang dikeluhkan setiap pemerintah daerah muncul karena dana tersebut selalu terlambat turun. Keterlambatan pencairan dana bagi hasil terjadi karena Departemen ESDM juga terlambat menyerahkan data ke Departemen Keuangan.



Bagi hasil ini dinilai bisa menimbulkan persoalan karena biasanya investor yang menjadi sasaran kemarahan daerah. Pemerintah daerah sering menekan pemerintah pusat karena dana bagi hasil migas sangat dibutuhkan untuk membiayai anggaran belanja daerah.



Dalam kesempatan itu anggota DPD Intsiawati Ayus mengingatkan pemerintah untuk tidak serta-merta meluluskan permintaan daerah untuk mengelola lapangan minyak yang dikembalikan investor. Alasannya, pengelolaan wilayah kerja migas membutuhkan keahlian agar memberikan keuntungan, sementara daerah tidak memiliki ketersediaan sumber daya tersebut.



Intsiawati mencontohkan kasus Blok CPP di Riau. Setelah dilepas PT Caltex Pacific Indonesia, blok tersebut dikelola PT Bumi Pusako Siak yang merupakan perusahaan milik pemerintah daerah dan Pertamina.



Menurut berita Kompas sebelumnya, produksi minyak di Blok CPP itu menurun pascapenyerahan tersebut.



Dia menyebutkan ada indikasi bahwa Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Riau, juga berniat menguasai Blok MFK yang juga akan dilepas Caltex. "Sangat sayang, saya tidak ingin penyakit di Siak akan menjadi penyakit di Rokan Hulu karena daerah operasi Caltex diserahkan kepada daerah. Bagaimana jangan sampai produksi turun," ujar Intsiawati.



Proses panjang



Menanggapi persoalan daerah itu, Purnomo menegaskan tidak ada undang-undang yang mendasari daerah pengolah migas mendapat bagian, kecuali daerah penghasil migas. Meski demikian, Purnomo menyatakan belum mendengar putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan pemerintah daerah Indramayu.



Purnomo pun mengakui proses penghitungan dana bagi hasil migas untuk daerah sangat panjang. Namun, menurut Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan, wakil daerah selalu diikutsertakan dalam penghitungan jumlah minyak yang dieksploitasi. "Tidak mungkin daerah tak mengetahui proses perhitungan dana bagi hasil," katanya.



Masalah di Blok Cepu



Kemungkinan munculnya persoalan tuntutan penyertaan daerah pada wilayah kerja migas Blok Cepu disinggung anggota DPD Budi Santoso. Bahkan, jika daerah disertakan dalam Blok Cepu, kemungkinan akan terjadi rebutan antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur.



Purnomo mengatakan, daerah dipastikan akan mendapatkan kepesertaan (interest) 10 persen dalam Blok Cepu. Sebelumnya seluruh interest diserahkan kepada PT Pertamina, tetapi sesuai dengan undang-undang migas yang baru, daerah bisa mendapatkan interest atau kepemilikan.



Purnomo mengakui, pemerintah memang belum memutuskan pemerintah daerah mana yang akan mendapatkan interest 10 persen. Kalau berpatokan pada wilayah kerja, yang mendapatkan interest adalah Bojonegoro, Jawa Timur. Namun, lapangannya sendiri ada di Cepu, Jawa Tengah.



"Kami belum bisa mengatakan pasti 10 persen jatuh ke mana, masih akan dibicarakan dengan Departemen Dalam Negeri. Wilayah administrasi dan wilayah pertambangan harus dipertimbangkan," ujarnya.



Sebelumnya juru bicara tim negosiasi pemerintah, Rizal Mallarangeng, mengatakan, tim negosiasi perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu sedang mengkaji kemungkinan penetapan komposisi saham di Blok Cepu sebesar 45 persen buat Pertamina, 45 persen buat ExxonMobil, dan sisanya 10 persen buat pihak pemerintah daerah. Komposisi itu masih terus didiskusikan dengan pihak ExxonMobil.



Pasokan BBM tersendat



Dari Surabaya dilaporkan, kemarin pasokan premium dan solar di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Surabaya dan Lamongan masih tersendat. Hal ini terjadi sejak dua pekan lalu.



Memang tidak semua SPBU mengalami kehabisan stok bahan bakar minyak (BBM).



General Manager PT Pertamina Persero UPMS V Hariyoto Saleh mengatakan, kelangkaan pasokan BBM di sejumlah SPBU sudah diatasi. "Tersendatnya pasokan BBM terjadi akibat keterlambatan tanker. Selain itu, dana subsidi BBM dari pemerintah kepada Pertamina sejumlah Rp 76,5 triliun, jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan di APBN sebesar Rp 19,5 triliun, belum turun. Hal ini yang membuat Pertamina tidak bisa melakukan pembelian minyak sehingga stok nasional menipis dari 24 hari menjadi 18 hari saja," ungkapnya. (LIA/NUT/dot/boy)

DPD Minta Pemerintah Formulasikan Peralihan Lapangan Eks Caltex

**

Arin Widiyanti - detikFinance

Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) minta pemerintah pusat membuat formula peralihan lapangan minyak Bumi Siak Pusako eks Caltex di Riau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

"Bumi Siak Pusako dalam masa peralihan perlu disikapi pemerintah pusat karena kabupaten, provinsi dan dinas menuntut bagian. Ini menjadi preseden karena mengklaim satu sama lain, lalu yang berhak siapa?" kata Intsiawati Ayus, anggota DPD Riau saat raker Panitia Ad Hoc II DPD dengan Menteri ESDM, di Gedung DPR/MPR Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (14/6/2005).

Formula bisa berbentuk UU atau setidaknya Keppres sehingga terjadi kesepahaman dan ada perhatian dari pusat.

Dia menjelaskan, lapangan Bumi Siak Pusako yang merupakan eks Caltex dialihkan karena adanya UU otonomi daerah. Jadi daerah punya kekuatan mengelola sumber daya energi dan mineral di daerahnya.

"Saya dengar ada sharing kabupaten sebesar 70 persen dan pemerintah provinsi 30 persen. Namun dengan ini saya tidak melihat ada keharmonisan di antara mereka," kata Intsiawati.

Menurutnya, peralihan tersebut merupakan tongkat estafet dari pusat ke daerah, seharusnya ada bimbingan yang tidak melampaui kewenangan daerah. "Jadi semua aspek peralihan formulanya tetap disepakati bersama," kata dia.

Intsiawati meminta adanya fungsi pengawasan dari pusat karena ternyata pemulihan daerah eks Caltex tidak dikerjakan secara profesional. Jadi sangat mubazir jika tidak dimanfaatkan.

Menanggapi hal tersebut, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantioro mengatakan, kalau sudah business to business maka partisipasi interest pemerintah tidak ikut lagi. Alasannya, masalahnya bukan kebijakan, tetapi uang. "Karena ini bukan masalah kebijakan tapi UUD, ujung-ujungnya duit," komentar Purnomo. (mar/)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.