DPD: Instrumen Demokrasi Indonesia Baru

SISTEM ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan dengan dibentuknya institusi baru dalam struktur politik Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan ini merupakan konsekuensi dari proses reformasi politik di Indonesia yang kemudian diwujudkan dalam perubahan UUD 1945 (konstitusi) pada Bab VII A Amandemen III UUD 1945. Dengan adanya amandemen konstitusi ini maka keanggotaan MPR kini terdiri dari DPR sebagai wakil partai politik dan DPD sebagai wakil masyarakat lokal (daerah).

Kenapa DPD?
Dalam sistem demokrasi, parlemen adalah lembaga yang mewakili kepentingan rakyat. Parlemen memiliki kewenangan dalam menentukan setiap aturan hukum atau kebijakan pada sebuah negara. Di sejumlah negara yang wilayahnya luas serta memiliki masyarakat yang sangat majemuk, seperti Amerika Serikat, Australia, Cina, Argentina, Brazil, Jepang, dan Filipina, adanya lembaga-lembaga politik yang memperjuangkan kepentingan lokal/daerah adalah suatu prasyarat yang tak terelakkan. Oleh sebab itulah kemudian parlemennya dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu di samping representasi kepentingan nasional secara umum melalui partai politik juga ada sebuah institusi yang mewakili aspirasi masyarakat lokal secara langsung. Bentuk parlemen seperti ini populer disebut dengan istilah bikameralisme. Setiap negara yang menganut sistem bikameral tentunya mempunyai karakter dan pendekatan yang berbeda dalam hal rekruitmen keanggotaan, kewenangan, atau hak dan kewajibannya.

Dalam konteks Indonesia saat ini, kehendak untuk memperkuat sistem demokrasi melalui pembentukan lembaga politik dua kamar ini adalah sebuah keniscayaan. Sebagai sebuah bangsa yang majemuk, pluralitas politik dan budaya tentunya perlu mendapat wadah tepat. Di samping aliran politik, konstruksi perpolitikan juga harus mempertimbangkan kenyataan sosiologis-antropologis masyarakat yang hidup berdasarkan pada kebudayaannya (lokalitas) yang beragam. Keberagaman itulah yang semestinya diakomodir sebagai sebuah kekuatan bangsa. Model demokrasi yang hendak dibangun dalam masyarakat yang multietnis-multibudaya seperti di negeri kita ini, pada akhirnya memang harus mencerminkan dua hal di atas, yaitu representasi politik dan representasi kultural.

Dengan dibentuknya DPD, sejalan dengan pemberlakuan kebijakan otonomi daerah, posisi tawar daerah terhadap pemerintah pusat semakin kuat. DPD tidak hanya berfungsi sebagai representasi masyarakat lokal saja tapi juga membawa misi untuk mengapresiasikan kepentingan-kepentingan daerah. Sementara itu, peluang untuk mempererat hubungan pusat dengan daerah, termasuk dalam menjaga integrasi dan keutuhan bangsa dapat terjaga dengan baik.

Kedudukan DPD
Posisi seorang anggota DPD sebenarnya sangatlah kuat. Dalam sistem politik Amerika Serikat wakil negara bagian ini dikenal dengan istilah Senator. Dibandingkan anggota DPR yang umumnya tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dalam Pemilu, anggota DPD justru memiliki dukungan yang lebih riil dan legitimatif. Sungguh sangatlah wajar apabila konstituen menaruh harapan besar kepada para anggota DPD. Namun sayangnya, kedudukan institusi DPD dalam struktur politik nasional ternyata masih dibatasi UUD dan UU. DPD kedudukannya masih belum setara dengan DPR. Jika diamati tugas dan kewenangannya, peran para wakil daerah ini tak lebih dari sekedar lembaga pertimbangan saja. Peran DPD yang antara lain menyangkut urusan desentralisasi, keterlibatan dalam pembahasan RUU (khususnya pajak, pendidikan dan agama), APBN dan sebagian fungsi pengawasan lainnnya yang juga selanjutnya melaporkan hasilnya kepada DPR, hanya dijadikan bahan pertimbangan saja untuk ditindaklanjuti.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU), DPD tampak belum memiliki kekuasaan yang berarti. DPD memiliki wewenang memberi masukan, tetapi pengambil keputusan ada di tangan DPR yang anggotanya berasal dari partai politik. Akibatnya, dalam upaya membuat kebijakan yang berskala nasional, anggota DPD harus memiliki kemampuan yang lebih untuk menggunakan pengaruh yang dimilikinya. Wewenang DPD sebagaimana terdapat dalam konstitusi bisa mengakibatkan berlarutnya pembahasan. Di sisi lain, pola
hubungan antara DPD dengan DPR tidak dinyatakan secara eksplisit dalam konstitusi. Anehnya lagi, anggota DPD bisa diberhentikan dari jabatannya yang mana syarat-syaratnya dan tata caranya telah diatur dalam UU (22d ayat 4). Sementara, ketiadaan hak legislasi DPD bisa menyebabkan kepentingan parpol ikut mengatur dan mengintervensi susunan, kedudukan
dan pemberhentian anggota DPD.

Kelemahan hak, fungsi, tugas dan kewenangan tersebut, betul-betul tidak sebanding dengan proses yang harus dilewati oleh para calon ‘senator’ ini. Bandingkan dengan anggota DPR yang—jika dilihat dari UU No.12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota—memungkinkan adanya kekuasaan DPP untuk menentukan calon jadi legislatif. Untuk menjadi anggota DPD ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh seorang calon. Misalnya saja, dukungan suara rakyat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan atau yang berkekuatan hukum sama yang besaran dukungannya berkisar antara 1000-5000 penduduk (tergantung pada populasi penduduk per daerah pemilihan).

Jika struktur politik seperti ini masih dipertahankan, maka masa depan DPD sebagai penyeimbang DPR dalam sistem bikameral jadi agak mengkhawatirkan. Di saat kinerja DPR kurang maksimal maka bandul demokrasi pun akan bergerak ke titik yang pesimis. DPR dan DPD semestinya memiliki kewenangan, fungsi dan hak yang setara agar kelemahan DPR tersebut bisa ditutupi oleh massifnya kinerja DPD. Di samping itu, model demokrasi yang kita anut sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih luas serta penghargaan yang tinggi pada kepentingan dan partisipasi masyarakat lokal. Karena prinsip inilah mestinya yang melatari semangat untuk membangun demokrasi dalam konteks masyarakat majemuk. Sebuah upaya untuk memberikan ruang artikulasi dan partisipasi politik yang lebih besar pada masyarakat lokal untuk membangun dirinya.

Kehadiran DPD dalam konteks lain adalah sebuah jawaban atas persoalan tentang minimnya kontrol politik masyarakat yang dulu hanya dilakukan oleh DPR. Saat ini institusi DPD diharapkan bisa menjadi alternatif baru yang mampu membawa perubahan politik secara nasional. Oleh sebab itulah maka penguatan DPD perlu mendapat dukungan dari berbagai kelompok strategis seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi lokal, institusi pendidikan, dan sebagainya. Dengan demikian, masa depan demokrasi di Indonesia lebih menjanjikan.

(Sumber: "Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggunjawaban intsiawati Ayus, Anggota DPD-Ri Daerah Pemilihan Riau," Proklamasi Publishing House, Jakarta: 2005)

Lahirnya DEWAN PERWAKILAN DAERAH


DALAM perjalanan sejarah, sejak pemerintahan orde lama, orde baru hingga masa transisi demokrasi, aspirasi masyarakat daerah sepertinya nyaris terabaikan. Bahkan pemerintah pusat sering menganggapnya sebagai penghambat pembangunan negara kesatuan RI. Pada banyak kasus, akumulasi kekecewaan masyarakat daerah telah memicu konflik dan geliat gerakan lokal untuk memisahkan diri. Sebut saja misalnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Negara Riau Merdeka (NRM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Semua itu tak lebih bersumber dari adanya ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah.

Perubahan politik Indonesia yang ditandai reformasi 1998 telah memberikan angin segar bagi upaya penataan sistem politik Indonesia ke arah yang lebih demokratis. Di antara upaya penataan tersebut adalah reformasi ketatanegaraan, yaitu melalui perubahan atau amandemen UUD 1945.

Salah satu fokus penting dalam amandemen tersebut adalah menentukan pola ideal hubungan pusat-daerah atau desentralisasi. Dari hasil pembahasan di MPR-RI mengenai pola baru desentralisasi ini kemudian keluarlah paket UU Otonomi Daerah pada tahun 1999 dan pembentukan lembaga baru khusus untuk perwakilan daerah pada tahun 2001. Lembaga baru ini selanjutnya dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI).

Paket kebijakan tentang Pemerintahan Daerah yang waktu itu tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 ternyata belum beranjak jauh dan hanya berkisar seputar persoalan demokratisasi politik di level pemerintahan daerah semata. Bahkan, dalam banyak hal, UU ini telah memberikan peluang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang di daerah. Demikian pula dengan hasil revisinya UU No. 34 tahun 2004 yang malah banyak menarik lagi peran daerah ke pusat.

Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah harapan baru bagi seluruh rakyat dan masa depan demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, melalui lembaga baru ini ruang aspirasi rakyat daerah dalam proses politik nasional masih bisa diperjuangkan dengan cara lain.

Tiap provinsi dari 32 region di Indonesia kini masing-masing memiliki empat anggota DPD, sehingga total wakil daerah se-Indonesia berjumlah sebanyak 128 orang. Hal ini berarti bahwa keanggotaan DPD tidak didasarkan atas jumlah penduduk (populasi) per provinsi. Dengan sistem seperti ini maka dipastikan bahwa DPD tidak didominasi oleh provinsi yang berpenduduk besar. Kebijakan yang demikian sungguh masuk akal dan baik karena telah menjamin keterwakilan daerah berbeda dengan DPR yang ditarik berdasarkan sistem proporsional jumlah populasi.

Kehadiran DPD sebagai badan legislatif ‘kedua’ tentunya perlu mendapatkan apresiasi positif dari semua pihak sebagai langkah penting dalam menata sistem pemerintahan yang demokratis. Lembaga ini sangat terkait dengan desakan dan keinginan untuk lebih meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional; serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah.

(Sumber: "Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban intsiawati Ayus, Anggota DPD-Ri Daerah Pemilihan Riau," Proklamasi Publishing House, Jakarta: 2005)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.