Intsiawati Ayus: Kami Ingin MK Beri Tafsir Jelas Fungsi Legislasi DPD


Politikindonesia - Masih ada yang kurang pas, terkait peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terbentuk pasca reformasi. Lembaga ini dinilai belum banyak berperan membantu pembentukan undang-undang. Padahal, meski terbatas pada UU yang berkaitan dengan daerah, DPD juga memiliki fungsi legislasi. Akan tetapi fungsi tersebut belum dijabarkan dalam mekanisme yang lebih rinci tentang bagaimana pembahasan legislasi antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD.

Kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Tim Litigasi DPD, Intsiawati Ayus, belum adanya mekanisme tentang fungsi legislasi DPD tersebut menjadi satu sumber kelemahan. Itulah salah satu alasan DPD mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK), September lalu. Uji materi ini, ujar dia, merupakan upaya mengembalikan posisi dan peran DPD seperti yang seharusnya sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 22d.

Ada 2 Undang-Undang (UU) yang diujikan DPD ke MK. Kedua UU tersebut, yaitu UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

“Kami sudah menempatkan diri secara santun. Jika ada kesalahan konstitusi di negara ini, hanya MK wadahnya. Jadi kami ingin meminta MK untuk memberikan penafsiran terkait kewenangan DPD dalam menyusun UU,” ujarnya kepada politikindonesia.com, usai perayaan Sewindu DPD di Gedung DPD, Jakarta, Senin (01/10).

Kata Intsiawati, dalam UUD 1945 dengan tegas telah menyatakan setiap Rancangan UU yang berkaitan dengan kewenangan daerah harus dikomunikasikan dengan DPD. RUU yang wajib melibatkan DPD ini berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

“Dalam UUD sudah jelas, bahwa DPD pada bidang tertentu dapat dan ikut membahas UU. Namun, kata "dapat dan ikut" yang ada dalam UUD 1945 itu tidak dapat terealisasikan dengan baik. Artinya, teori yang ada dalam UUD 1945 tidak bisa dipraktekan di dalam kedua UU itu," kata perempuan yang juga Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR ini.

Kepada Elva Setyaningrum, Sekjen Tim Legislasi DPD ini menjelaskan alasan lembaganya mengajukan uji materi ke MK. Ia juga memaparkan adanya pro dan kontra tentang pengajuan itu dan harapan DPD ke depannya. Berikut hasil wawancaranya.

Apa alasan DPD mengajukan uji materi untuk kedua UU tersebut ke MK?

Uji materi yang diajukan DPD tersebut tidak dimaksudkan untuk menambah kewenangan DPD. Kami hanya ingin MK mengeluarkan tafsir yang tepat untuk mengembalikan fungsi DPD, terkait fungsi legislasi yang dimiliki lembaga ini. Setidaknya, kami diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan pandangan dan diajak berdialog untuk memberikan masukan-masukan ide saat ingin melahirkan UU. Sehingga kami bisa bertanggung jawab kepada masyarakat kami di daerah.

Bisa lebih detil, kewenangan DPD yang mana, yang saat ini tidak berfungsi baik?

Salah satu kewenangan DPD dalam UU MD3, ada pada Pasal 102 ayat (1) yang menyatakan RUU yang disiapkan DPD harus tetap melalui pertimbangan dan harmonisasi dari Badan Legislasi. Padahal Badan Legislasi merupakan salah satu alat kelengkapan DPR. Ketentuan ini jelas menurunkan derajat DPD.

Pasal lain yang juga dinilai mengkerdilkan kewenangan DPD yakni Pasal 147 ayat (3) dan (4). Ayat ini menyebutkan, setelah RUU usul DPD disepakati oleh Paripurna maka RUU itu akan menjadi RUU usul DPR. DPR pun akan menugaskan penyempurnaan RUU kepada komisi, gabungan komisi, badan legislasi dan panitia khusus.

Kami berpendapat, pasal-pasal ini telah melanggar UUD 1945 Pasal 22d ayat (1) yang secara tegas menyatakan DPD memiliki kewenangan mengajukan RUU kepada DPR. Dalam UUD 1945 dengan tegas telah menyatakan setiap RUU yang berkaitan dengan kewenangan daerah harus dikomunikasikan dengan DPD.

Jadi selama ini DPD tidak pernah dilibatkan dalam merancang UU?

Saya tidak bilang, tidak pernah. Pernah, yakni saat pembahasan UU Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya anggap itu sebagai sebuah hadiah atau mujizat yang luar biasa. Boeh dibilang ini sebagai hadiah ruang.

Saat penetapan UU Daerah Istimewa Yogyakarta, DPD bisa bekerja sesuai dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 22d. Kami terlibat pada saat pembahasan UU itu.

Sejatinya, DPD mempunyai hak yang sama dengan DPR dalam hal legislasi, namun dalam kenyataannya, justru jarang pernah dilibatkan dalam penyusunan hingga pengesahan RUU.

Sampai sejauh mana proses uji materi yang diajukan ke MK itu?

Saat ini, uji materi tersebut masuk dalam tahap penyempurnaan permohonan. Karena saat kami mengajukan, ada catatan dari MK bagi kami untuk menyempurnakan permohonan itu. Intinya, kami minta diluruskan lagi pada konstitusi yang benar dari kedua UU tersebut.

Anda yakin, putusan MK nantinya bisa memenuhi keinginan DPD?

Kami percaya dan yakin, kalau MK akan memutuskan sesuai dengan permintaan DPD. Alasannya, karena permintaan DPD itu memang sudah seharusnya. Kami hanya memberikan beban kepada MK untuk menguji materi terhadap kedua UU tersebut. Apakah sudah sesuai atau tidak dengan semangat UUD 1945. Kami mempersilahkan MK memberikan interpretasi yang benar terhadap konstitusi.

Apakah langkah uji materi ini menimbulkan pro dan kontra?

Saya rasa, sikap pro dan kotra itu biasa. Setiap kita ingin melakukan sesuatu, pro dan kontra pasti akan muncul. Bukan hanya anggota DPR yang bersikap kontra terhadap pengajuan uji materi ini, bahkan anggota DPD pun ada juga yang bersikap demikian. Bagi saya, mereka yang bersikap kontra itu karena mereka tidak membaca secara utuh permohonan uji materi yang kami ajukan ke MK. Kami bukan ingin menanmbah kewenangan, tapi hanya ingin MK mendudukkan fungsi legislasi DPD pada tafsir yang sebenarnya.

Apa harapan ada terkait peran dan fungsi DPD ke depan?

Kami ingin bagi-bagi tugas dengan DPR. Bagi-bagi tugas di sini, jangan disalah artikan dengan meminta kewenangan DPR. Kami tidak akan meminta kewenangan DPR, tapi kami hanya ingin pembagian tugas yang adil dan bijaksana antara DPD dan DPR seperti yang diamanatkan pada UUD 1945.

Sebab selama Republik ini berjalan, beban legislatif di DPR tidak terpenuhi. Misalnya, dari 70 prolegnas ((Program Legislasi Nasional) yang disusun, yang selesai hanya 11 buah. Ke-11 hasil Prolegnas itu pun bermuara ke MK untuk dilakukan judicial review. Oleh karena itu, kami ingin bagi-bagi tugas dengan DPR agar cita-cita negara ini bisa tercapai. (eva/zel/kap)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.