Pihak Koperasi Mengadu ke DPD

PEKANBARU, TRIBUN-Lahan pengembangan perkebunan yang dikelola Koperasi Tani Bakung Agri, Desa Sotol, Kecamatan Langgam, Pelalawan, yang diusulkan Dinas Kehutanan Provinsi Riau, untuk dijadikan hutan rakyat, terus mendapat perlawanan dari pihak koperasi.

Setelah membuat laporan ke Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta beberapa waktu lalu, pihak koperasi membuat laporan serupa yang ditujukan ke anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Daerah Pemilihan (Dapil) Riau, Intsiawati Ayus.

"Tadi saya sudah bertemu dengan Bu Intsiawati Ayus di Pekanbaru dan menyampaikan seluruh persoalan yang kami hadapi, terhadap usulan pemerintah tersebut," ujar Ketua Koperasi Tani Bakung Agri, Syamsurizal.(rie)

Intsiawati Ayus: Pulau Rangsang Terancam Tenggelam


Laporan Hengki Seprihadi

PEKANBARU, TRIBUN - Dalam masa kunjungan reses di Kabupaten Kepulauan Meranti, Intsiawati Ayus bersama WALHI Riau dan sejumlah aparatur kecamatan Rangsang, tokoh masyarakat dan satpol PP meninjau kawasan konsesi PT Sumatera Riang Lestari (SRL) di Desa Sungai Gayung Kiri Kecamatan Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti belum lama ini.

Perjalanan menuju lokasi memakan waktu lebih kurang dua jam dari Tanjung Samak (ibukota kecamatan Rangsang) dengan medan yang sulit dilalui akibat kondisi jalan yang jelek.

Dalam temuannya, Intsiawati Ayus sangat prihatin melihat kondisi hutan alam yang telah rata dengan tanah. Dirinya sangat khawatir, akibat aktivitas SRL tersebut akan mengancam tenggelamnya pulau terluar di Indonesia tersebut.

Jarak bibir pantai dengan aktivitas konsesi tidak sampai 1 km. Berton-ton kayu alam yang sudah ditebang tersebut hanya disusun dibeberapa titik logyard (lokasi untuk tumpukan kayu ) tanpa pernah di keluarkan dari wilayah lokasi konsesi.

Padahal penumpukan kayu tersebut sudah terjadi beberapa bulan. Pada saat kunjungan itu pun, aktivitas SRL pun masih berjalan tanpa ada halangan. Sejumlah alat berat (eskavator) pun terus beroperasi.

"Adanya perkebunan HTI oleh perusahaan ini tentu akan menjadi ancaman nyata bagi penduduk tempatan, baik dari aspek lingkungan maupun eksistensi mereka sendiri. Kehadiran perusahaan HTI ini akan menghilangkan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan sumber-sumber kehidupan dari hutan mereka sendiri karena mereka sangat menggantungkan diri pada kekayaan hutan ini,"ujar Intsiawati Ayus.

Ekspansi HTI PT SRL menimbulkan konflik sosial dan keresahan masyarakat tempatan. Hal ini terbukti dengan banyaknya protes dari masyarakat yang merasa terancam kehidupannya akibat aktivitas operasi perusahaan tersebut. Pembabatan hutan alam rawa gambut oleh PT. SRL bukan saja mengancam hutan rawa gambut pulau Rangsang tapi juga mengancam pulau terluar Indonesia yang sangat strategis dalam aspek pertahanan dan keamanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.(hnk)

Merangkai Pulau, Meranti Minta Dukungan



SELATPANJANG --Dumai Pos 
Penjabat Bupati Kepulauan Meranti, Drs H Syamsuar MSI meminta dukungan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) asal pemilihan Provinsi Riau, dalam rangka mewujudkan program merangkai pulau yang telah lama diidamkan. Tanpa adanya bantuan dari pemerintah pusat maupun provinsi program tersebut sulit terwujud.

Hal tersebut diungkapkan, Drs H Syamsuar MSi dalam kegiatan ramah tamah bersama Anggota DPD RI Asal Riau, Instiawati Ayus SH MH, yang dihadiri penjabat Meranti, para camat , muspika serta tokoh masyarakat kabupaten Kepulauan meranti, Rabu (16/12) ber tempat di Gedung DPRD Meranti jalan Dorak Selatpanjang.

Dalam pertemuan tersebut, Syamsuar mengemukakan, program merangkai pulau ini telah lama dicanangkan akan dibangun di Meranti. Hanya saja sampai saat ini belum terwujud. Meneruskan rencana inilah, Pemkab Meranti mencanangkan akan mewujudkan harapan masyarakat ini dalam beberapa tahun ke depan.

Tahap awal tentunya dilakukan sosialisasi ke sejumlah elemen terkait, baik di pusat maupun provinsi. Salah satu elemen yang diharapkan bisa mewujudkan harapan tersebut adalah DPD RI, yang diharapkan bisa menyuarakan dan memperjuangkan keinginan masyara kat Meranti, agar daerahnya bisa ditempuh dengan kendaraan darat melalui program merangkai pulau tersebut.

"Kami berharap dengan terwujudnya program merangkai pulau ini, secara otomatis roda perekonomian di daerah Meranti ini akan kian berputar dan semakin hidup. Tanpa itu, daerah ini akan terus menjadi kawasan yang terisolir dan lambat berkembang," ungkap Syamsuar.

Diakui Syamsuar, program merangkai pulau ini memang cukup berat bila dibebankan pada APBD Kep Meranti yang sangat kecil. Kalau menggantungkan pada APBD Kep Meranti kemungkinan terwujudnya sangat kecil. Karena itulah tentunya perlu dukungan dari Pusat dan Provinsi yang memiliki anggaran lebih besar.

Dikemukakan pula, program merangkai pulau ini, akan menghubungkan antar pulau di Meranti yang terpecah ke dalam empat pulau. Yakni Pulau Tebingtinggi, Merbau, Rangsang dan Pulau Padang."Kalau antar pulau ini sudah dirangkai dan bisa di tempuh dengan jalur darat, maka akses ekonomi akan semakin tumbuh," jelasnya.

Lebih jauh lagi, program merangkai pulau ini juga akan menghubungkan Meranti dengan pulau Sumatera. Dengan begitu akses menuju ke Buton, Siak, Pekanbaru dan lainnya, akan bisa ditempuh dengan jalur darat, tidak tertumpu ke jalur air seperti dilakoni selama ini. Merangkai pulau Meranti dengan Sumatera ini, bisa dilakukan lewat jalur Mengkikip yang saat ini dermaganya sudah disediakan oleh Provinsi di kawasan Kampung Balak, Kecamatan Tebingtinggi Barat.

Selain itu juga menghubungkan pulau Meranti dalam hal ini Pulau Rangsang, dengan Tanjung Balai Karimun, Provinsi Kepulauan Riau melalui jalur darat. "Tak perlu lagi lewat Buton, lewat Pulau Rangsang di kawasan Tanjung Samak saja, jalur darat bisa di tempuh untuk menuju ke Tanjung Balai Karium. Jaraknya lebih dekat, hanya selama 30 menit dengan menggunakan transportasi air," jelas Syamsuar.

Menanggapi ini, Instiawati Ayus mengaku sangat mendukung program merangkai pulau yang didambakan masyarakat Meranti ini. Karena itu, dia berjanji akan mengupayakan sekaligus memperjuangkannya ke pusat, dan mengusulkannya ke Pemprov Riau, agar program ini lebih diprioritaskan.

Disamping merangkai pulau, masih banyak hal yang dipaparkan Syamsuar terkait pembangunan Meranti. Diantaranya masalah tenaga kerja
dan tingginya angka pengangguran, masalah pendidikan, perikanan, kehutanan dan penanganannya serta lainnya.(ari/mus)

Pemerintah Harus Hentikan Deforestrasi


Republika Online, PEKANBARU--Organisasi lingkungan Greenpeace menyerahkan Pos Pelindung Iklim Greenpeace di jantung hutan Sumatera kepada masyarakat lokal. Pos yang dibangun pada akhir Oktober tersebut merupakan simbol solidaritas bersama komunitas lokal dalam pertarungan menghentikan penghancuran hutan di Semenanjung Kampar.

Direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, Von Hernandez menyatakan, kami akan memastikan bahwa tuntutan semua orang yang mendambakan dunia layak huni untuk anak-anak mereka, terdengar hingga Jakarta. “Bahkan didengar hingga koferensi dunia perubahan iklim PBB di Kopenhagen yang akan dimulai 7 Desember mendatang,” katanya, Senin (30/11).

Menurut Hernandez, Greenpeace mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan aksi segera untuk menghentikan deforestrasi dan perusakan lahan gambut Indonesia. “Dua kejadian ini menjadi penyebab terbesar emisi Indonesia,” katanya.

Anggota DPD RI asal Riau, Instiawati Ayus juga menyatakan pendapat senada. Ia menyatakan, pemerintah harus melihat lebih dekat berbagai masalah mengenai peraturan kehutanan dan pengeluaran izin tebang. “Pemerintah harus mengambil langkah tegas dan segera menanganinya,” katanya.

Hernandez menyatakan, Indonesia adalah negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat. “Sebagian besar emisi berasal dari aktivitas perusakan hutan dan lahan gambut yang terus berlangsung,” katanya.

Secara global, satu juta hektar hutan hancur setiap bulannya, atau seluas lapangan sepak bola setiap dua detik. Menurut Hernandez, dana signifikan sangat dibutuhkan negara berkembang untuk menghentikan deforestasi di Indonesia dan seluruhan dunia.

“Ini harus menjadi bagian paling penting dalam kesepakatn perundingan ikllim,” Juru Kampanye Hutan Greenplace Asia Tenggara, Bustar Maltar. Para pemimin dunia, lanjutnya, tidak bisa lagi membuang waktu dan harus melakukan kesepakatan yang adil, ambisius, dan mengikat di Kopenhagen Desember mendatang. “Kami akan melanjutkan tekanan hingga dicairkannya dana global untuk membantu penghentikan deforestasi di negara seperti Indonesia." c09/ahi

Greenpeace Akhiri Aksi di Semenanjung Kampar

Intsiawati Ayus bersama Warga Semenanjung Kampar saat menghadiri acara Penyerahan Kamp dan Penutupan Kamp Pembela Hutan Greenpeace

Pekanbaru, Aktivis lingkungan global, Greenpeace mengakhiri aksi mereka di kawasan rawa gambut Semenanjung Kampar, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan, setelah lebih dari satu bulan mereka mendirikan kamp Pelindung Iklim di daerah itu, Minggu siang (29/11).

Sebelum meninggalkan kawasan hutan gambut itu, Greenpeace menggelar acara perpisahan yang dihadiri seribuan warga dari Desa Teluk Meranti, Teluk Binjai, Desa Pulau Muda.

Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara, Zamzami Arlinus yang dihubungi Analisa melalui telepon genggamnya, membenarkan hal itu. Dikatakan, saat perpisahan itu terungkap bahwa warga di tiga desa itu merasa kehilangan ditinggalkan aktivis Greenpeace.

"Siapa lagi yang akan membantu kami berjuang jika Greenpeace pergi. Walaupun begitu, jujur kami katakan warga di Kecamatan Teluk Meranti ini telah dibukakan mata mereka dan disadarkan betapa pentingnya menyelamatkan hutan. Terimakasih Greenpeace. Kami tidak tahu seperti apa nantinya Semenanjung Kampar bila Greenpeace tidak lagi di sini," kata Suharirayati (40), salah seorang warga Teluk Meranti seperti ditirukan Zamzami.

Zamzami mengakui, pernyataan tulus warga ini membuat aktivis dan relawan Greenpeace menjadi terharu. Apalagi yang hadir dalam acara perpisahan itu melebihi perkiraan. Sekitar 1.000 warga Kecamatan Teluk Meranti menyempatkan waktu mereka untuk hadir di Semenanjung Kampar yang terletak di seberang kampung mereka yang dibatasi Sungai Kampar.

"Untuk hadir dalam acara perpisahan ini, sebanyak 30 speedboat dan pompong (kapal kayu motor) ditambah tiga unit kapal ukuran 4 X 10 meter disiapkan untuk antar jemput warga. Ternyata animo warga cukup tinggi untuk hadir pada acara perpisahan ini," kata Zamzami.

Selain kehadiran 1.000-an warga, acara perpisahan itu juga dihadiri Von Hernandez, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, Nur Hidayati, Country Representative Greenpeace Indonesia, anggota DPR pemilihan Riau, Intsiawati Ayus dan sejumlah pimpinan LSM yang tergabung dalam Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). Zamzami menambahkan, setelah acara perpisahan itu, kamp atau Posko Penyelamat Iklim di Semenanjung Kamapr akan diserahkan kepada Jikalahari. (dw)

Sumber:www.analisadaily.com

Pertarungan untuk menghentikan deforestasi akan terus berlangsung


Greenpeace Menyerahkan Pos Pelindung Iklim Kepada Masyarakat:Von Herandez Direktur eksekutif Greenpeace Asia Tenggara menyerahkan kunci kamp pembela iklim kepada masyarakat dan LSM Jikalahari pada acara penuntupan kamp pembela iklim di desa Teluk Meranti, Propinsi Riau


Teluk Meranti, Indonesia — Lebih dari seribu orang kemarin mengunjungi Pos Pelindung Iklim Greenpeace (Climate Defender Camp) di Jantung Hutan Sumatra, untuk menghadiri upacara penyerahan pos kepada masyarakat lokal. Upacara yang meriah dan inspiratif ini diselenggarakan oleh Greenpeace dan para pemuka masyarakat lokal.

Greenpeace mendirikan pos pada akhir Oktober lalu untuk menarik perhatian internasional akan pentingnya melindungi hutan alam dalam rangka menghindari bencana perubahan iklim menjelang pertemuan iklim PBB di Kopenhagen yang akan dimulai 7 Desember mendatang.

“Pos pelindung iklim berdiri sebagai simbol solidaritas bersama komunitas lokal dalam pertarungan menghentikan penghancuran hutan di Semenanjung Kampar. Kami akan tetap bekerja bersama mereka dan rekan-rekan lain dalam masalah ini. Kami akan memastikan bahwa tuntutan mereka, serta orang-orang lain yang mendambakan dunia layak huni untuk anak-anak mereka, terdengar di Jakarta dan Kopenhagen,” tegas Von Hernandez, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara di acara penyerahan itu.

Bertekad untuk menyampaikan pesan masyarakat langsung pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pemimpin dunia lain, Greenpeace menyatakan bahwa ribuan orang di seluruh dunia telah mengirimkan petisi dan surat kepada pemimpin Indonesia itu, mendesaknya untuk melakukan aksi segera untuk menghentikan deforestasi dan perusakan lahan gambut Indonesia, yang menjadi penyebab terbesar emisi Indonesia.

“Pemerintah Indonesia seharusnya berterima kasih kepada Greenpeace yang telah membantu mereka melindungi hutan Indonesia. Pemerintah harus melihat lebih dekat masalah-masalah yang diangkat oleh Greenpeace mengenai peraturan kehutanan dan pengeluaran izin tebang dan harus melakukan langkah segera untuk menanganinya,” ujar Intsiawati Ayus, anggota DPD RI asal Provinsi Riau yang datang langsung dalam upacara penyerahan itu dan akan berpartisipasi dalam perundingan iklim Kopenhagen.

Pada 12 November lalu, Greenpeace melakukan aksi untuk memprotes APRIL, salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia, untuk membeberkan kegiatan perusakan hutan gambut Kampar yang tengah berlangsung. Menteri Kehutanan Indonesia Zulkifli Hasan menanggapinya dengan mengeluarkan penghentian sementara izin operasi APRIL sambil menanti hasil evaluasi terhadap izin itu. Setelah aksi itu juga, perusahaan kertas raksasa UPM membatalkan kontrak dengan APRIL. Dua minggu kemudian Greenpeace memprotes Sinar Mas (pemilik APP), dengan cara menghentikan kegiatan ekspor di pabrik kertas besar mereka di Perawang, Riau, setelah sebelumnya mengeluarkan bukti foto dan gambar satelit yang memperlihatkan APP sedang menghancurkan hutan di sebelah Selatan Semenajung Kampar. Dari dua aksi ini, 25 aktivis Greenpeace asal luar negeri dideportasi dan 25 aktivis asal Indonesia dijadikan tersangka oleh polisi.

Indonesia adalah negara penghasil emisi terbesar ketiga di dunia setelah China dan Amerika Serikat, sebagian besar emisi berasal dari aktivitas perusakan hutan dan lahan gambut yang terus berlangsung. Secara global, satu juta hektar hutan hancur setiap bulannya, atau seluas lapangan sepak bola setiap dua detik. Dana signifikan sangat dibutuhkan negara berkembang untuk menghentikan deforestasi di Indonesia dan seluruh dunia. Ini harus menjadi bagian paling penting dalam kesepakatan perundingan iklim.

“Kerja kami lima pekan terakhir bersama masyarakat setempat untuk melindungi Semenanjung Kampar telah menunjukkan pada para pemimpin dunia bahwa perlindungan hutan adalah hal penting sebagai solusi untuk menghindari bencana perubahan iklim. Para pemimpin dunia tidak bisa lagi membuang waktu dan harus melakukan kesepakatan adil, ambisius dan mengikat di Kopenhagen Desember mendatang. Kami akan melanjutkan tekanan agar kesepakatan itu memasukkan dana global untuk membantu penghentian deforestasi di negara seperti Indonesia,” imbuh Bustar Maitar, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.

sumber:www.greenpeace.org

DPD BANTAH WACANA AKAN BOIKOT PELANTIKAN PRESIDEN

formatnews - Jakarta, 9/10: DEWAN Perwakilan Daerah (DPD) membantah informasi yang berkembang bahwa kalangan anggota DPD akan memboikot acara pelantikan Presiden Yudhoyono dan Wapres Boediono dalam sidang paripurna MPR pada 20 Oktober mendatang, terkait kisruh wakil DPD di kepemimpinan MPR.

"Saat ini beredar (wacana) bahwa DPD akan memboikot pelantikan presiden. Itu kami katakan tidak benar sama sekali," kata Intsiawati Ayus, Sekretaris Kelompok DPD di MPR, di Gedung DPD Jakarta, Jumat.

Ditegaskannya bahwa sikap resmi DPD secara institusi adalah akan tetap mengikuti acara kenegaraan tersebut walaupun untuk saat ini persoalan keberadaan Farhan Hamid sebagai wakil DPD di pimpinan MPR masih dipersoalkan para anggota DPD.

Namun demikian, Intsiawati menambahkan, DPD juga membebaskan para anggotanya untuk hadir atau tidak dalam acara pelantikkan presiden dan wapres terpilih untuk periode 2009-2014 itu.

"Kalaupun ada anggota DPD yang telah menyatakan nanti tidak akan hadir, itu juga kami hargai secara personal," katanya.

Sementara mengenai keberadaan anggota DPD asal Aceh, Farhan Hamid, yang dipilih MPR sebagai wakil MPR mewakili unsur DPD namun tanpa melalui rekomendasi DPD, menurut Intsiawati, pihaknya sudah menyerahkan persoalan tersebut ke Badan Kehormatan DPD untuk diproses lebih lanjut.

Intsiawati mengakui bahwa DPD merasa tercederai dengan pemilihan sepihak Farhan sebagai wakil Ketua MPR tanpa melalui usulan resmi dari DPD.

"Karena menurut UU Nomor 27/2009 telah disebutkan bahwa pimpinan MPR itu diusulkan di masing-masing ruang (DPR dan DPD)," ujarnya.

Dikemukakannya pula bahwa seharusnya pihak DPR memberi kesempatan waktu bagi DPD dalam proses musyawarah diinternalnya dalam mengusulkan calon yang mewakili kelompok DPD di kursi wakil ketua MPR.

Fakta yang terjadi kemudian, masih kata dia, keputusan yang akan diambil DPD belum bulat untuk menentukan usulan nama anggota DPD yang akan duduk di pimpinan MPR tetapi tiba-tiba sudah muncul nama Farhan Hamid sebagai calon wakil ketua dari unusur DPD yang diusulkan fraksi-fraksi DPR.

"Ruang sebelah dengan komposisi jumlah 560 dengan kami yang hanya 132 itu beda. Disana (DPR) cukup dengan sembilan orang (ketua fraksi) berkata ya. Tapi di DPD harus 132 orang untuk berkata ya semua sebelum sesuatu dijalankan," ujarnya. *ant*

Lima Senator Uji Materi ke MK: Anggap UU MPR,DPR,DPD dan DPRD Langgar UUD 45

Sumber jpnn.com


JAKARTA - Lima anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan sejumlah pasal atau ayat dalam UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang dinilainya bertentangan dengan UUD 1945. Ke lima anggota DPD itu, pada umumnya adalah anggota DPD periode 2004-2009 yang kini terpilih kembali. Diantara mereka adalah Intsiawati Ayus (Riau), Marhany Victor Poly Pua (Sulawesi Utara), Sofyan Yahya (Jawa Barat), Sri Kadarwati (Kalimatan Barat), dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD --dulu bernama UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Susduk)-- disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 3 Agustus 2009. "Dalam UU itu, terdapat materi ayat,pasal atau bagian undang-undang tentang MPR,DPR, DPD dan DPRD yang bertentangan dengan UUD 45. Dan itu merugikan hak dan kewenangan anggota DPD," tulis rilis humas DPD yang diterima JPNN Selasa (31/8).

Salah satu pasal UU MPR, DPR, DPD, DPRD yang dipermasalahkan kelima anggota DPD adalah pasal 14 ayat (1).Pasal ini terkait komposisi pimpinan MPR yang menghilangkan hak memilih dan dipilih anggota DPD sebagai Ketua MPR, kecuali hak memilih dan dipilih anggota DPR.Pasal 14 ayat (1) dinilai tak selaras dengan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan yang sama.

Pasal 14 ayat (1) itu menyatakan, "Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR".

Tim Kuasa Hukum kelima anggota DPD itu mendaftarkan permohonan uji materi ke Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat No 6 Jakarta Pusat.Tim kuasa hukum dikoordinasi oleh pengacara Todung Mulya Lubis, disertai anggota tim, seperti Tommy S Bhail, Alexander Lay, Taufik Basari, B Cyndy Panjaitan, dan Tommy Sihotang.(aj/jpnn)

5 Anggota DPD Minta MK Percepat Putusan Uji Materi UU Parlemen



Sumber:Yahoo News!

5 Anggota DPD meminta uji materi yang mereka ajukan dipercepat mengingat pemilihan ketua MPR akan dilakukan pada Oktober mendatang. Mereka menggugat pasal 14 ayat 1 UU No 27 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD 2009 terkait pemilihan ketua MPR.

"Kami meminta agar uji materi ini dipercepat karena akan segera dilakukan pemilihan," ujar Taufik Basari, kuasa hukum 5 anggota DPD, di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (1/9/2009).

5 Anggota DPD yang mempermasalahkan pasal 14 ayat 1 UU No 27 itu yakni Intsiawati Ayus (Riau), Marhany Victor Poly Pua (Sulawesi Utara), Sofyan Yahya (Jawa Barat), Sri Kadarwati (Kalimatan Barat), dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

Mereka adalah anggota DPD periode 2004-2009 yang terpilih menjadi anggota DPD periode 2009-2014.

Taufik menilai, dalam pasal itu tidak terdapat keseimbangan anggota DPD untuk dipilih menjadi ketua MPR. Anggota DPD mempunyai hak untuk menjadi ketua MPR.

"Siapa pun punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Tidak boleh haknya dipasung oleh pasal 14 ayat 1 UU 27," kata dia.

Lima Anggota DPD Ajukan Uji Materi ke MK

Mereka menganggap Pasal 14 Ayat 1 tidak adil dan tidak memberikan kesetaraan.

Sumber: VIVAnews

- Lima calon anggota Dewan Perwakilan Daerah terpilih mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ke Mahkamah Konstitusi, Selasa 1 September 209.

Mereka menganggap Pasal 14 Ayat 1 tidak adil dan tidak memberikan kesetaraan bagi anggota DPD untuk menjadi Ketua MPR.

"Dalam pasal ini tidak terdapat persamaan (equality) terhadap anggota DPD untuk dipilih sebagai ketua MPR," kata kuasa hukum kelima calon anggota DPD, Todung Mulya Lubis dalam keterangan pers di gedung MK, Selasa 1 September 2009.

"Pasal ini menunjukkan upaya mendegradasi kewenangan DPD," kata dia.

Kelima pemohon perkara ini adalah Intsiawati Ayus (Riau), Marhany
Victor Poly Pua (Sulawesi Utara), Sofyan Yahya (Jawa Barat), Sri
Kadarwati (Kalimatan Barat), dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

Todung meminta kepada MK untuk memprioritaskan sidang uji materi ini. Karena, lanjut dia, agenda ketatanegaraan yang berkaitan dengan
pemilihan ketua MPR akan segera dipilih. "Tanggal tiga Oktober sudah
diadakan pemilihan ketua MPR," kata dia.

Bunyi Pasal 14 ayat (1) itu adalah, "Pimpinan MPR terdiri atas 1
(satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 (empat) orang wakil
ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota
DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang
ditetapkan dalam sidang paripurna MPR".

Sementara itu, salah satu kuasa hukum pemohon, Taufiq Basari, meminta MK untuk membatalkan pasal tersebut sebatas frasa 'yang berasal dari DPR'. "Sekaligus kita menanyakan kepada MK, bagaimana kedudukan anggota MPR, baik yang berasal dari DPR maupun DPD," kata dia.

Perkuat Posisi, DPD Ajukan Uji Materi


Sumber: Sufiani Tanjung/Liputan6.com

Jakarta: Masa jabatan para wakil rakyat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah akan segera berakhir. Namun, hal itu tak menyurutkan langkah hukum terkait undang-undang yang mengatur komposisi jumlah anggota DPD. Dengan didampingi tim kuasa hukum, lima anggota DPD mendatangi Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (1/9) siang.

Mereka mengajukan judicial review atau hak uji materi atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pada intinya, para anggota DPD keberatan atas isi pasal 14 ayat 1 UU itu yang menyebutkan pimpinan MPR terdiri atas satu orang ketua yang berasal dari DPR, empat wakil ketua masing-masing dua dari DPR dan dua dari DPD.

Ini berarti, peluang anggota DPD untuk menduduki kursi ketua MPR pupus. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan yang sama. Untuk diketahui, RUU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada 3 Agustus 2009.

Adapun langkah hukum ini ditempuh untuk memperkuat posisi DPD di kursi lembaga tertinggi negara. Sejauh ini, pihak Mahkamah Konstitusi belum memberikan tanggapan atas pengajuan hak uji materi yang diajukan kelima anggota DPD ini. Kelima anggota DPD itu adalah Intsiawati Ayus (Riau), Marhany Victor Poly Pua (Sulawesi Utara), Sofyan Yahya (Jawa Barat), Sri Kadarwati (Kalimantan Barat), dan Wahidin Ismail (Papua Barat).(ANS)

DPD RI Resmi Ajukan Uji Materi UU MPR ke MK

Sumber: Erabaru-News


Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Selasa (01/09) resmi mengajukan gugatan uji materi (judicial review) Undang-Undang tentang MPR, DPR , DPD , dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan gugatan DPD RI disampaikan lima anggota DPD.

Mereka adalah anggota DPD periode 2004-2009 yang terpilih kembali menjadi anggota DPD untuk periode 2009-2014 dan akan mengucap sumpah/janji tanggal 1 Oktober 2009, yaitu Intsiawati Ayus (Riau), Marhany Victor Poly Pua (Sulawesi Utara), Sofyan Yahya (Jawa Barat), Sri Kadarwati (Kalimatan Barat) dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

RUU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 3 Agustus 2009.

DPD menilai UU ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional anggota DPD sebagai pemohon.

Salah satu pasal UU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD yang dipermasalahkan anggota DPD adalah Pasal 14 ayat (1) terkait komposisi pimpinan MPR yang menghilangkan hak memilih dan dipilih anggota DPD sebagai ketua MPR, kecuali hak memilih dan dipilih anggota DPR.

Pasal 14 ayat (1) tak selaras dengan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan yang sama.

Pasal 14 UU ini ini menghilangkan hak DPD untuk menjadi ketua MPR dan hal ini menunjukkan adanya pengkavlingan jabatan dengan menghapus peluang DPD untuk ikut dalam proses demokrasi.

Pasal 14 ayat (1) menyatakan, Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.

Tim Kuasa Hukum kelima anggota DPD mendaftarkan permohonan judicial review ke Gedung MK Jl Medan Merdeka Barat No 6 Jakarta. Tim Kuasa Hukum dipimpin Todung Mulya Lubis disertai anggota tim, antara lain, Tommy S Bhail, Alexander Lay, Taufik Basari, B Cyndy Panjaitan dan Tommy Sihotang.(ant/waa)

Anggota DPD Ajukan Uji Materi ke MK

Sumber: tvone


Jakarta,Lima anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa, mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini terkait sejumlah ayat atau pasal dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Siaran pers Humas DPD yang diterima di Jakarta, Selasa, menyebutkan, kelima anggota DPD yang mengajukan uji materi itu adalah anggota DPD periode 2004-2009 yang terpilih kembali menjadi anggota DPD periode 2009-2014.

Mereka adalah Intsiawati Ayus (Riau), Marhany Victor Poly Pua (Sulawesi Utara), Sofyan Yahya (Jawa Barat), Sri Kadarwati (Kalimatan Barat), dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD --dulu bernama UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Susduk)-- disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 3 Agustus 2009.

Para pemohon uji materi itu menilai, ada materi ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang bertentangan dengan UUD 1945 serta merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional anggota DPD sebagai pemohon.

Salah satu pasal UU MPR, DPR, DPD, DPRD yang dipermasalahkan kelima anggota DPD adalah pasal 14 ayat (1).

Pasal ini terkait komposisi pimpinan MPR yang menghilangkan hak memilih dan dipilih anggota DPD sebagai Ketua MPR, kecuali hak memilih dan dipilih anggota DPR.

Pasal 14 ayat (1) dinilai tak selaras dengan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan yang sama.

Pasal 14 ayat (1) itu menyatakan, "Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR".

Tim Kuasa Hukum kelima anggota DPD itu mendaftarkan permohonan uji materi ke Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat No 6 Jakarta Pusat.

Tim kuasa hukum dikoordinasi oleh pengacara Todung Mulya Lubis, disertai anggota tim, seperti Tommy S Bhail, Alexander Lay, Taufik Basari, B Cyndy Panjaitan, dan Tommy Sihotang. (Ant)

DPD Ajukan Uji Materi ke MK

Sumber: ANTARA News


Jakarta, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan uji materi terhadap pasal 14 ayat (1) UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa haknya untuk menduduki pimpinan MPR terpasung oleh pasal tersebut.

Koordinator Kuasa Hukum Anggota DPD, Todung Mulya Lubis, di Jakarta, Selasa mengatakan, pengajuan uji meteri pasal 14 ayat (1) tersebut sangat mendesak, karena pada kalender parlemen pemilihan Ketua MPR dijadwalkan 3 Oktober mendatang.

"Kalau tidak mengajukan uji materi saat ini maka anggota DPD tidak bisa menduduki jabatan Ketua MPR, karena haknya terpasung," kata Todung Mulya Lubis usai penyerahan berkas laporan uji materi ke MK.

Anggota DPD mengajukan uji materi pasal 14 ayat (1) terhadap UUD 1945 ke MK, kata dia, karena menilai hal tersebut adalah persoalan prinsip yang harus segera diperbaiki.

Dijelaskannya, pasal dua UUD 1945 mengamanahkan keanggotaan MPR terdiri atas DPR dan DPD. Amanah pasal tersebut, katanya, mengisyaratkan hak yang sama antara DPR dan DPD sebagai anggota MPR, termasuk haknya untuk menjadi Ketua MPR.

Namun, dengan disahkannya UU No 27 tahun 2009 pada 3 Agustus lalu, kata dia, hak anggota DPD untuk menjadi Ketua MPR jadi terganjal.

Pasal 14 ayat (1) berbunyi: "Pimpinan MPR terdiri dari 1 (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan empat orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua yang berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR".

Menurut Todung, pengajuan uji materi ke MK bukan untuk mencari jabatan tapi utuk mencari kesetaraan hak antara anggota DPR dan DPD.

"Uji materi diajukan untuk memulihkan hak anggota DPD yang terpasung oleh pasal ini," kata Todung.

Tim Kuasa Hukum anggota DPD menyampaikan berkas laporan uji materi ke MK yang terdiri dari daftar bukti secara tertulis, materi permohonan pengujian, "curriculum vitae" ahli-ahli pemohon, surat kuasa serta "soft copy" permohonan. Bundel berkas tersebut diterima panitera MK di gedung MK Jakarta pada Selasa siang.

Kelima pemohon, Intsiawati Ayus, Marhany Victor Poly Pua, Sofyan Yahya, Sri Kadarwati, dan Wahidin Ismail, turut hadir.

Kemungkinan sidang pendahuluan uji materi ini sudah bisa dilakukan pada 4 September dan putusannya pada akhir September.(*)

DPD Ajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi

By Republika Newsroom
Selasa, 01 September 2009 pukul 13:55:00


JAKARTA--DPD pada Selasa secara resmi mengajukan gugatan uji materi (judicial review) Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan gugatan DPD disampaikan lima anggota DPD.

Mereka adalah anggota DPD periode 2004-2009 yang terpilih kembali menjadi anggota DPD untuk periode 2009-2014 dan akan mengucap sumpah/janji tanggal 1 Oktober 2009, yaitu Intsiawati Ayus (Riau), Marhany Victor Poly Pua (Sulawesi Utara), Sofyan Yahya (Jawa Barat), Sri Kadarwati (Kalimatan Barat) dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

RUU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 3 Agustus 2009.

DPD menilai UU ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional anggota DPD sebagai pemohon.

Salah satu pasal UU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD yang dipermasalahkan anggota DPD adalah Pasal 14 ayat (1) terkait komposisi pimpinan MPR yang menghilangkan hak memilih dan dipilih anggota DPD sebagai ketua MPR, kecuali hak memilih dan dipilih anggota DPR.

Pasal 14 ayat (1) tak selaras dengan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan yang sama.

Pasal 14 UU ini ini menghilangkan hak DPD untuk menjadi ketua MPR dan hal ini menunjukkan adanya pengkavlingan jabatan dengan menghapus peluang DPD untuk ikut dalam proses demokrasi.

Pasal 14 ayat (1) menyatakan, "Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR".

Tim Kuasa Hukum kelima anggota DPD mendaftarkan permohonan judicial review ke Gedung MK Jl Medan Merdeka Barat No 6 Jakarta. Tim Kuasa Hukum dipimpin Todung Mulya Lubis disertai anggota tim, antara lain, Tommy S Bhail, Alexander Lay, Taufik Basari, B Cyndy Panjaitan dan Tommy Sihotang. ant/ahi

Intsiawati: Anggota DPD Berhak Dipilih Jadi Ketua MPR

POTRETNEWS
JAKARTA-Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bukan hendak mengejar kekuasaan. Judicial review terhadap ketentuan Pimpinan MPR bertujuan untuk menegakkan keadilan dan marwah anggota DPD RI. Demikian diungkapkan Intsiawati Ayus kepada pers seusai menjadi pembicara pada sebuah acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan DPD RI bertajuk ”Pro-Kontra Pimpinan MPR” yang dipandu oleh presenter kondang Elprisdat di Jakarta, Jumat (21/8/2009) lalu.

Sebagai salah satu pihak pemohon uji materi Pasal 14 UU tentang MPR, DPR, DPD, dan MPR (UU Susduk baru) Intsiawati menyatakan bahwa anggota DPR dan dan anggota DPD memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.

Sebagaimana diketahui, UU yang disahkan DPR beberapa waktu lalu itu langsung mengundang reaksi keras dari para anggota DPD dan para pakar hukum setelah sejumlah pasalnya dinilai bermasalah dan rancu. Oleh banyak pakar dan pengamat pasal 14 UU tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal di konstitusi (pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan dianggap telah merugikan hak-hak konstitusional para anggota DPD sebagai anggota MPR RI.

”Kami hanya ingin menegakkan equality, persamaan hak,” tegas Intsiawati. “Keanggotaan DPD di MPR RI adalah sebagai individu-individu. Dan, MPR adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan tersendiri. Jadi tak ada kaitannya antara kewenangan DPD saat ini yang tak setara dengan DPR ataupun jumlah anggota DPD yang lebih sedikit dari DPR. Hak-hak sebagai anggota MPR haruslah sama, karena itu sudah secara jelas dinyatakan Undang-Undang Dasar,” tandas anggota DPD asal Riau yang terpilih kembali untuk periode 2009-2014 itu.

Siti Zuhro, peneliti LIPI, yang juga menjadi pembicara dalam acara Dialog tersebut tersebut mengungkapkan pendapatnya bahwa secara kasat mata DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan politisnya dalam UU Susduk baru. Menurutnya, dengan menerapkan oligarki parlemen, anggota DPR bisa leluasa melindungi dan mengamankan kepentingannya untuk menjadi ketua MPR. “Ini upaya sistematis dari politisi DPR untuk membonsai hak politik dan melumpuhkan peran DPD sebagai representasi daerah,” tambah Zuhro.

Farhan Hamid, anggota DPR yang kini terpilih sebagai anggota DPD mengemukakan pembelaannya bahwa DPR sebenarnya tidak berniat melakukan monopoli legislasi, tapi UUD 1945 secara eksplisit telah menyatakan bahwa DPR merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Menurutnya, saat ini tak ada jalan lain selain membangun gerakan untuk melakukan amandemen yang bersifat jangka panjang. ”Masalahnya kan di hulu, bukan hilir,“ kata Farhan. “Ada mekanisme politik dan kita perlu strategi khusus untuk memuluskan amandemen.” (Mukhlis/Rel)

DPD Bukan Mengejar Kekuasaan

Sumber: www.riaupos.com


PEKANBARU (RP) - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bukan hendak mengejar kekuasaan. Judicial Review terhadap ketentuan pimpinan MPR bertujuan untuk menegakkan keadilan dan marwah anggota DPD RI.

Demikian diungkapkan anggota DPD Intsiawati Ayus kepada pers seusai menjadi pembicara pada sebuah acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan DPD RI bertajuk ‘’Pro-Kontra Pimpinan MPR’’ yang dipandu oleh presenter kondang Elprisdat, di Jakarta, Ahad (23/8).

Sebagai salah satu pihak pemohon uji materi Pasal 14 UU tentang MPR, DPR, DPD, dan MPR (UU Susduk baru) Intsiawati menyatakan bahwa anggota DPR dan dan anggota DPD memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.

Sebagaimana diketahui, UU yang disahkan DPR beberapa waktu lalu itu langsung mengundang reaksi keras dari para anggota DPD dan para pakar hukum setelah sejumlah pasalnya dinilai bermasalah dan rancu. Oleh banyak pakar dan pengamat pasal 14 UU tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal di konstitusi (pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan dianggap telah merugikan hak-hak konstitusional para anggota DPD sebagai anggota MPR RI.

‘’Kami hanya ingin menegakkan equality, persamaan hak,’’ tegas Intsiawati. Keanggotaan DPD di MPR RI adalah sebagai individu-individu dan MPR adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan tersendiri. Jadi tak ada kaitannya antara kewenangan DPD saat ini yang tak setara dengan DPR ataupun jumlah anggota DPD yang lebih sedikit dari DPR. Hak-hak sebagai anggota MPR haruslah sama, karena itu sudah secara jelas dinyatakan Undang-undang Dasar.

Siti Zuhro, peneliti LIPI, yang juga menjadi pembicara dalam acara dialog tersebut tersebut mengungkapkan pendapatnya bahwa secara kasat mata DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan politisnya dalam UU Susduk baru. Menurutnya, dengan menerapkan oligarki parlemen, anggota DPR bisa leluasa melindungi dan mengamankan kepentingannya untuk menjadi ketua MPR. ‘’Ini upaya sistematis dari politisi DPR untuk membonsai hak politik dan melumpuhkan peran DPD sebagai representasi daerah,’’ tambah Zuhro.

Farhan Hamid, anggota DPR yang kini terpilih sebagai anggota DPD mengemukakan pembelaannya bahwa DPR sebenarnya tidak berniat melakukan monopoli legislasi, tapi UUD 1945 secara eksplisit telah menyatakan bahwa DPR merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Menurutnya, saat ini tak ada jalan lain selain membangun gerakan untuk melakukan amandemen yang bersifat jangka panjang. ‘’Masalahnya kan di hulu, bukan hilir. Ada mekanisme politik dan kita perlu strategi khusus untuk memuluskan amandemen,’’ ujar Farhan.(jrr)

Kavling Ketua MPR oleh DPR Ancam Demokrasi

Sumber: detikNews, Jumat, 21/08/2009 14:10 WIB


Jakarta - Posisi Ketua MPR yang harus berasal dari anggota DPR sebagaimana diatur dalam UU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD akan melahirkan sistem oligkarhi baru. Cara seperti ini dinilai akan mengancam sistem demokrasi yang sedang dibangun.

Anggota DPD yang merupakan bagian dari MPR seharusnya memiliki hak yang sama untuk menempati posisi Ketua MPR. Demikian dikatakan pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, dalam diskusi bertajuk 'Pro-Kontra Pimpinan MPR' di Gedung DPD, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/8/2009).

"Bagaimana itu demokrasi kalau hak anggota lain sudah dihabisi terlebih dahulu," kata Zuhroh.

Pengamat berkacamata ini juga menengarai UU Susduk dibuat dengan memperhatikan konteks politik yang ada sekarang. Apalagi, pengesahan UU Susduk ini dilakukan setelah hasil pemilu legislatif diketahui.

"Oleh karenanya Ketua MPR sudah bisa diprediksi. Undang-undnag ini dibuat untuk konteks tertentu. Bukan rahasia lagi Pak Taufiq Kiemas mau diplot di situ," ungkapnya.

Menurut Anggota DPD Intsiawati Ayus, UUD 1945 menyebut MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD sehingga kedudukan kedua lembaga perwakilan tesebut di MPR juga seharusnya sama.

"Kalau jatah pimpinan dari DPR 3 orang dan dari DPD 2 orang silakan. Tapi yang mencubit itu ketua sudah dikavling sama DPR," sesalnya.

Sementara, Anggota DPR dari FPAN Ahmad Farhan Hamid mengatakan, ditetapkannya secara otomatis Ketua MPR berasal dari anggota DPR, akan menorehkan sejarah baru. "MPR satu-satunya lembaga yang pemimpinnya tidak dipilih oleh lembaga itu sendiri," pungkasnya. (lrn/yid)

RUU Pembangunan Perdesaan Tidak Komprehensif dan Sentralistik

Sumber: PotretNews, Kamis, 20/08/2009 22:02 WIB


PEKANBARU-Pengaturan tentang desa seharusnya diatur dalam formula UU yang tunggal, jangan sampai terpisah-pisah. Seluruh aspek tentang desa, mulai dari pembangunan desa, pemerintahan desa, pengelolaan SDA desa, keuangan desa, kemasyarakatan desa, pemberdayaan desa, dan lain-lain harus terintegrasi dalam satu kesatuan utuh sehingga nantinya tidak timbul ambiguitas dan kerancuan dalam implementasi, demikian diungkapkan Intsiawati Ayus, anggota DPD asal Riau seusai memimpin rapat Pansus DPD RI untuk RUU Perdesaan beberapa waktu yang lalu (15/8/2009).

Dalam pandangan pendapatnya, DPD RI menyatakan keberatannya baik secara formil maupun materil atas RUU Pembangunan Perdesaan yang disusun oleh DPR RI. Bagi DPD, RUU tentang Pembangunan Desa belum mengatur dan mengakomodir kepentingan desa secara komprehensif sesuai dengan perkembangan otonomi yang dinamis.

Pembangunan Pedesaan, menurut DPD, hanyalah merupakan satu bagian parsial saja dari kerangka besar pengaturan tentang Desa. Pengaturan tentang desa seharusnya mencakup empat aspek utama, yaitu tentang pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, serta kemasyarakatan.

DPD RI juga berpandangan dan berpendapat bahwa RUU Pembangunan Perdesaan selayaknya menjadi obyek kebijakan yang melibatkan partisipasi publik, jangan sampai hanya dijadikan komoditas politik sesaat yang menjadi ajang kontestasi kepentingan elite belaka. Jika tidak demikian maka tujuan akhir dari aturan hukum akan terancam. Karena itulah, DPD RI menyarankan agar RUU Pembangunan Perdesaan ditangguhkan pembahasannya menunggu pengajuan RUU tentang Desa yang lebih komprehensif.

Intsiawati yang didapuk sebagai Ketua Pansus RUU tentang Desa ini, juga menekankan tentang pentingnya dimensi kearifan lokal dan eksistensi masyarakat adat sebagai bagian yang paling substansial dari RUU yang mengatur tentang desa. Ia melihat soal pengaturan tentang organisasi kelembagaan desa, misalnya, terlihat masih sentralistik. Menurutnya, Pemerintahan Desa sudah sewajarnya mendapat pendelegasian kewenangan sesuai ruang lingkupnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa.

”Desa itu lebih dulu ada, jauh sebelum ada pemerintahan di atasnya,” ungkap Intsiawati. ”Ada ikatan-ikatan sosial dan kelembagaan asli yang mengatur kesatuan masyarakat terkecil ini,” ”Jadi desa itulah yang harusnya menjadi basis atau landasan bahkan ujung tombak bagi tata pemerintahan secara umum,” tegasnya.(Mukhlis/Rel)

DPR-DPD Mulai "Berebut" Kursi "Seksi"

JAKARTA, KOMPAS.com — UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau sering disebut UU Parlemen belum lagi diundangkan di lembaran negara. Namun, kontroversi pengaturan pimpinan MPR sudah mengemuka. Dua lembaga perwakilan, DPR dan DPD, mulai ribut berebut kursi yang cukup seksi itu.

Aturan Pasal 14 Ayat 1 berbunyi, "Pimpinan MPR terdiri atas 1 orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 orang wakil ketua yang terdiri atas 2 orang wakil ketua dari anggota DPR dan 2 orang berasal dari anggota DPD yang ditetapkan dalam sidang paripurna".

Bagi DPD, aturan ini sudah mengebiri hak anggota DPD untuk mendapatkan kesempatan menempati kursi Ketua MPR. Sebab, pasal tersebut mengatakan Ketua MPR berasal dari DPR. "Kenapa tidak menempatkan hak yang sama sebagai anggota MPR? Ini yang 'mencubit' DPD karena posisi ketua sudah dikapling DPR. Padahal, ada hak yang sama bagi anggota DPR dan DPD untuk menjadi ketua MPR," kata anggota DPD, Intsiawati Ayus, pada diskusi "Pro Kontra Pimpinan MPR", di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (21/8).

Intsiawati mengatakan, ketentuan tersebut menunjukkan monopoli kekuasaan oleh DPR. "Harusnya dibebaskan saja, mau dari DPR atau DPD. Walau nanti ketika pemilihan kami (DPD) kalah, tidak apa-apa. Paling tidak kalah secara manis," ujar wakil dari Provinsi Riau ini.

Anggota Pansus RUU Parlemen, Ahmad Farhan Hamid, mengutarakan, pertimbangan ketentuan pasal tersebut berdasarkan logika politik. Secara kuantitas, anggota DPR jauh lebih banyak dibandingkan anggota DPD. Menurutnya, berdasarkan hasil lobi ketentuan tersebut disepakati. Komposisi anggota DPD pun hanya sepertiga dari jumlah anggota DPR. "UU ini sebenarnya sudah memberikan pengakuan bikameral dan memberikan jaminan semua pihak terwakili," ujar anggota Fraksi PAN ini.

Sejak awal, ia sendiri sudah menyadari bahwa aturan mengenai kepemimpinan MPR ini akan menimbulkan kontroversi. DPD sudah ancang-ancang untuk mengajukan judicial review begitu UU tersebut diundangkan. "Silakan lah, kalau mau diuji ke MK. Tapi jangan ada pernyataan yang membuat hubungan dua lembaga tidak harmonis," kata dia.

Tak Diberi Kesempatan Menjadi Ketua MPR: Senator Gugat UU Parlemen

Sumber: Timor Express


JAKARTA,Timex-Baru tiga hari disahkan DPR melalui paripurna luar biasa, ancaman judicial review terhadap UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU Parlemen, Red) sudah muncul. Tak jauh-jauh, protes itu datang dari para anggota DPD yang menghuni kamar sebelah.
Para anggota DPD yang dikenal sebagi senator itu menilai, pasal 14 ayat 1 UU Parlemen bertentangan dengan konstitusi. Disebutkan, pimpinan MPR terdiri atas ketua yang berasal dari DPR dan empat wakil ketua yang berasal dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD.

Pasal itu dianggap telah menghilangkan kesempatan anggota DPD untuk bisa dipilih sebagai ketua MPR. "Seharusnya ada kesamaan hak sebagai anggota MPR," kata Wakil Ketua DPD Irman Gusman kepada pers di gedung parlemen, Senayan, kemarin (5/8).

Dia mengingatkan, pasal 2 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu. Selanjutnya, pasal 28D ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah.

Bahkan, imbuh Irman, dalam pasal 9 ayat c UU Parlemen yang dulu populer disebut UU Susduk dengan tegas mengatur anggota MPR mempunyai hak dipilih dan memilih. Karena sudah dipastikan ketua MPR berasal dari DPR, hak dipilih bagi anggota DPD menjadi hilang.

"Begitu diundangkan oleh pemerintah, kami akan mengajukan judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi, Red)," kata Irman.
Uji materiil itu akan diajukan sejumlah anggota DPD yang terpilih kembali.

Di antaranya, Intsiawati Ayus (Riau), Kanjeng Ratu Hemas (Jogjakarta), I Wayan Sudirta (Bali), Marhani V.P. Pua (Sulawesi Utara), Sri Kadarwati (Kalimantan Barat), dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

Yang bertindak sebagai kuasa hukum mereka adalah pengacara Todung Mulya Lubis. Turut serta menguatkan tim hukum DPD, peneliti LIPI Siti Zuhro serta dua pakar hukum tata negara, yaitu Fadjroel Falakh dan Iman Putra Sidin.

Todung Mulya Lubis mengatakan, banyak poin di UU Parlemen yang tidak bisa diterima. Di tengah komitmen menjadikan DPD sebagai lembaga negara yang setara dengan DPR, UU tersebut secara kasatmata justru mendegradasi DPD.

"Ada alasan konstitusional untuk mempertanyakan banyak hal yang ditulis di UU tersebut. Tapi, karena jangka waktu yang pendek (sampai pemilihan pimpinan MPR, Red), kami akan fokus pada pasal 14 ayat 1 dulu. Akan ada waktunya mempertanyakan hal lain. Main goal-nya ke UUD 1945," ujarnya.

Terkait pasal 14 ayat 1, Todung menegaskan, setiap anggota MPR seharusnya memang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ketua MPR. Tidak peduli, dia anggota DPR ataupun DPD. Sekalipun faktanya anggota DPR (560) lebih banyak daripada DPD (132).

Menanggapi ancaman gugatan dari DPD itu, mantan Ketua Pansus RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Ganjar Pranowo mempersilakan setiap warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu produk UU mengadukan ke MK.

"Saya menghormati teman-teman DPD. Tapi, sabar dulu, biar UU itu diberi nomor," katanya dengan nada menyindir. Ganjar meyakini tidak ada materi di UU Parlemen yang melanggar konstitusi.

Apakah keberatan DPD itu pernah muncul saat pembahasan RUU? "Seingat saya kok tidak," jawab politikus PDIP itu. Ganjar mengakui, pertimbangan utama ketua MPR berasal dari anggota DPR adalah rasio jumlah anggota. (pri/jpnn)

ANGGOTA DPD ASAL RIAU PERSOALKAN LIMA ISU BESAR, TERMASUK KABUT ASAP

Sumber: www.dpd.go.id published on 27 Juli 2009


Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Riau mencatat lima isu besar di Riau, yaitu kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan, pemadaman listrik selama 12 jam sehari, sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan besar, dunia anak yang makin memprihatinkan akibat peningkatan jumlah pekerja anak dan anak korban eksploitasi seks, serta kesulitan mendapat sekolah gratis.

Kelima isu tersebut hasil kunjungan kerja anggota DPD asal Riau tanggal 3 Juli–22 Juli 2009 sebagai rangkuman aspirasi masyarakat yang dibaca anggota DPD asal Riau Soemardhi Taher saat Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Kamis (23/7). Acara dipimpin Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita didampingi para wakil ketua, Laode Ida dan Irman Gusman. Soemardhi juga menyertakan harapan masyarakat kepada pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu presiden/wakil presiden tahun 2009.

Kesatu, kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan di Riau telah bertahun-tahun atau sejak tahun 1977 bersamaan dengan pembukaan lahan perusahaan-perusahaan besar/kecil. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru melaporkan, hanya dalam setengah hari hotspot di Riau meningkat drastis dari 88 menjadi 140 lokasi.

Jumlahnya meningkat drastis mengikuti perubahan arah angin dari tenggara dan barat daya menjadi timur laut dengan kecepatan 5 hingga 12 knot yang disertai tipisnya potensi hujan di Riau. “Kabut asap sudah berakibat luar biasa,” ujar Soemardhi yang menggambarkan kerusakan dan penghancuran hutan dan lahan di Riau rata-rata 48.416 hektar (ha) per tahun yang 77% di antaranya di area gambut.

Pembakaran hutan dan lahan di Riau berdampak terhadap udara yang membahayakan kesehatan masyarakat, salah satunya menambah penderita inveksi saluran pernapasan akut (ISPA). Jika tahun 2005 tercatat 7.608 penderita ISPA, maka tahun 2009 tercatat 47.125 orang. “Masa depan anak-anak Indonesia di Riau diciderai oleh kabut asap akibat keserakahan banyak pihak, yang entah kapan bisa dihentikan,” ujarnya.

Sayangnya, Menteri Kehutanan (Menhut) Malem Sambat (MS) Kaban menyatakan, kabut asap di Riau hanya dibesar-besarkan media massa lokal/nasional. “Barangkali, Menhut menunggu hutan di Riau ludes dibakar dan anak anak seluruhnya terjangkit ISPA terlebih dahulu,” tambahnya, dengan menyebutnya sebagai sikap reaktif, bukan proaktif.

Padahal, kebakaran hutan dan lahan di Riau telah disorot internasional karena terkait isu perubahan iklim dan pemanasan global. Riau disebut-sebut berandil sebagai penyebab kebocoran asmosfir yang merusak bumi. Pertengan bulan Juli 2009 sedikitnya 1.784 hotspot di lahan-lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) Riau. “Ancaman pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) untuk menindaknya hanyalah bualan belaka.”

Seiring peningkatan permintaan palm oil dari pasar Eropa yang terus meningkat maka perkebunan kelapa sawit juga akan diperluas. Saat ini saja Riau telah menghasilkan 40% palm oil Indonesia. “Diperkirakan, separoh Riau akan menjadi ladang sawit. Berarti, jika tidak ada perubahan kebijakan maka kebakaran lahan akan berlangsung dari tahun ke tahun. Kerusakan hutan juga akan terus berlanjut. Sekarang saja, lebih 1,4 juta ha hutan perawan di Riau telah berubah menjadi ladang sawit.”

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD memanggil Menhut untuk mempertanyakan kebijakannya tentang rencana umum tata ruang, terutama menyangkut penggunaan lahan untuk perkebunan perusahaan yang telah dan yang akan dilakukan di masa depan.

Kedua, pemadaman listrik selama 12 jam sehari. “Masalah listrik di Riau telah sangat meresahkan masyarakat,” kata Soemardhi. Di Pekanbaru, misalnya, terjadi pemadaman listrik yang amat ekstrim yang terjadi selama 12 jam sehari dengan durasi 3 jam, 4 x sehari.

Pemadaman disebabkan kebijakan PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) yang meliputi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi yang menjatah listrik untuk suatu daerah berdasarkan jumlah pembangkit listrik di daerah bersangkutan. Karenanya, Riau mendapat giliran pemadaman listrik lebih besar dan lebih lama. “Riau dibanding Sumatera Barat kalah jauh,” tukasnya, mengenai jumlah pembangkit listrik. Soemardhi menganggap kebijakan tersebut menciderai kebersamaan.

Selain itu, penyebab pengurangan jatah listrik Riau adalah pertumbuhan pemakaian listrik di Riau yang meningkat tajam, penurunan debet air yang luar biasa di beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan posisi Riau yang berada di ujung jaringan interkoneksi.

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD mempersoalkan pembangunan kelistrikan sekarang dan yang akan datang serta keseimbangan pembangunan kelistrikan di daerah-daerah khususnya di Riau. Padahal, Riau telah mengalami pertumbuhan cepat di berbagai bidang yang meningkatkan kebutuhan daya listrik. “Bukannya ditingkatkan malah dikurangi, sehingga terjadi pemadaman selama 12 jam sehari. Suatu pemadaman listrik di masa damai yang terlama di Indonesia atau barangkali di dunia.”

Ketiga, sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan besar. Menurut Soemardhi, di Riau banyak terjadi konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan besar perkebunan sawit. “Sering terjadi bentrok antara kedua pihak yang menelan korban harta/aset bahkan nyawa,” jelasnya.

Peristiwa terakhir pertengan tahun ini, yaitu bentrok berdarah antara masyarakat Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Rokan Hulu dengan PT Sumatera Sylva Lestari (PT SSL) sebagai suplayer kayu PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) April Group. Persoalannya, tanah ulayat digarap sebagai lahan HTI PT SSL seluas 1000 ha sejak tahun 1995-an.

Tahun 1997, Bupati Kampar memutuskan status quo. Tanpa kesepakatan, tahun 1998 PT SSL menggunakan tanah tersebut sebagai lahan HTI yang ditanami akasia. Masyarakat kembali mendudukinya dan menebangi akasia yang berusia 1,5 tahun dan menggantinya dengan sawit, karet, atau tanaman perladangan lainnya. Bentrokan menewaskan tiga orang warga masyarakat.

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD agar mendorong pemerintah mengukur ulang semua lahan-lahan konsensi perkebunan di Riau.

Keempat, dunia anak yang makin memprihatinkan akibat peningkatan jumlah pekerja anak dan anak korban eksploitasi seks. Anggota DPD asal Riau mengutip Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Riau yang mencatat kasus pekerja anak yang tahun demi tahun meningkat. “Dari tahun ke tahun belakangan semakin memprihatinkan,” jelasnya.

Tahun 2006, pekerja anak tercatat 264 kasus, tahun 2007 menjadi 409 kasus, dan tahun 2008 639 kasus. “Yang lebih mengerikan adalah kasus anak korban eksploitasi seks yang perkembangannya semakin mengkhawatirkan,” ujarnya. Jika tahun 2006 tercatat 243 kasus, tahun 2007 menjadi 463 kasus, dan tahun 2008 858 kasus.

Konstituen anggota DPD asal Riau mendesak DPD agar mendorong Pemerintah dan KPAID mengambil kebijakan yang proaktik untuk menyelamatkan anak Indonesia sebagai generasi penerus.

Kelima, kesulitan mendapat sekolah gratis. “Di Riau susah mendapat sekolah gratis, kecuali di teve, iklan,” tukasnya.

Sempalan DPD Pilih Dukung Mega-Prabowo

JPNN.COM

JAKARTA – Pemilihan Presiden (Pilpres) telah membuat Dewan perwakilan Daerah (DPD) terbelah. Upaya pihak tertentu untuk mengarahkan lembaga yang diisi senator asal daerah untuk mendukung pasangan SBY-Boediono ternyata tak efekif.

Bahkan lebih dari 30 anggota dari lintas provinsi meberikan dukungan ke pasangan Prabowo-Megawati. Sabtu (13/6) malam lalu, para senator itu melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan Taufiq Kiemas dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Suhardi, Sabtu malam (13/6), di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Menteng Jakarta Pusat.

Anggota-anggota DPD yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Lundu Panjaitan dan Yopie S Batubara (Sumatera Utara), Idris Zaini dan Benny Horas Panjaitan (Kepulauan Riau), Djamila S dan Rosman Djohan (Bangka Belitung), Muhamad Jun (Sumatera Selatan).

Nampak pula Biem Benyamin dari DKI Jakarta, Renny Pudjiati dan. Ratu Cicih (Banten), Pangeran Arief Natakusumah dan M. Surya (Jawa Barat) dan beberapa anggota DPD dari Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur seperti Aspar dan Hj. Sri Kadarwati (Kalimantan Barat), Wayan Sudirta (Bali), Pariama Mbyo (Sultra), Charles Sunarjo (Maluku Utara ), Louis Zonggonao (Papua), serta HAM Killian (Papua Barat).

Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung selama selama satu setengah jam yang berakhir pukul 20.30 WIB itu, sekitar 30 anggota DPD sepakat untuk mendukung pasangan capres-cawapres Mega-Prabowo dalam pilpres 8 Juli mendatang. Selain itu, para anggota DPD yang hadir dalam pertemuan itu sepakat membentuk sebuah tim pemenangan yang bernama Tim Bhinneka Tunggal Ika.

Anggota DPD asal Bengkulu yang ditunjuk menjadi Koordinator Tim Bhinneka Tunggal Ika, Muspani, mengatakan bahwa para anggota DPD yang hadir di pertemuan tersebut sangat konsen dengan visi dan misi pasangan Mega-Prabowo. “Kami yakin visi dan misi yang dimiliki pasangan ini mampu membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Kami yakin Mega-Prabowo adalah harapan baru Indonesia,” jelas Muspani.

Soal dukungan terhadap pasangan Megawati-Prabowo, kata Muspani, bukan omong kosong belaka. Sebab, para anggota DPD memiliki basis masa di daerah masing-masing.

“Bayangkan saja kalau seorang anggota DPD memiliki minimal dukungan 40 ribu suara. Kami akan mengerahkan segala dukungan basis massa di daerah kami masing-masing. Kami yakin, dukungan basis massa yang kami miliki akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pasangan Mega-Prabowo dalam Pilpres 8 Juli nanti,” papar Muspani.

Pada kesempatan sama, anggota DPD dari provinsi Riau, Intsiawati Ayus (Riau) mengatakan, setiap anggota DPD memiliki hak politik untuk menjatuhkan pilihan kepada pasangan capres-cawapres dalam pilpres mendatang. “Jadi, tidak ada itu yang namanya dukungan atas nama lembaga karena setiap anggota DPD punya hak politik masing-masing. Ini adalah dukungan pribadi kami sebagai anggota DPD kepada pasangan Mega-Prabowo,” tukasnya.

Senada dengan Muspani, Intsiawati juga menegaskan, setiap anggota DPD yang tergabung dalam Tim Bhinneka Tunggal Ika siap menggerakkan gerbong massa yang dimiliki di setiap daerah untuk mendukung pasangan Mega-Prabowo. “Anggota DPD itu gerbongnya macam-macam. Ada gerbong yang isinya kiai, ada gerbong yang isinya pendeta. Ada juga gerbong yang isinya pengusaha kecil dan menengah. Jadi, kita ini satu rasa dan satu tujuan. Gerbong massa itu tinggal menungguh komando dari kita,” tandas Intsiawati.

Menanggapi dukungan DPD, Ketua Deperpu PDI Perjuangan Taufiq Kiemas dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Suhardi merasa kagum dengan sikap para anggota DPD yang tergabung dalam Tim Bhinneka Tunggal Ika itu.

“Saya kagum dengan sikap anggota DPD yang secara pribadi mau mendukung pasangan Mega-Prabowo dalam Pilpres nanti. Bahkan mereka berjanji akan menarik 40 anggota DPD lainnya masuk dalam Tim Bhinneka Tunggal Ika. Keputusan politik itu patut kita hargai,” ujar Taufiq Kiemas singkat.(aj/jpnn)

AGAR TRANSMIGRASI TIDAK DIANGGAP PROYEK PUSAT, DAERAH HARUS BERPERAN

sumber: www.dpd.go.id

Wewenang pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) sebagai daerah tempatan transmigrasi harus diperjelas dan dipertegas. Agar, penyelenggaraan transmigrasi tidak dianggap sebagai proyek pemerintah pusat yang mengabaikan peran pemerintah daerah sejak perencanaan hingga pembinaan transmigran.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja (Raker) Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan beberapa Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Disnakertrans) provinsi di lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Selasa (9/6). Dipimpin Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus, raker membahas materi Rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Transmigrasi dan Naskah Akademik.

“Muhah-mudahan, transmigrasi ke depan semakin mantap dan semakin bisa berperan aktif dalam pembangunan daerah,” demikian harapan Rapotan Tambunan, Kepala Disnakertrans Sumatera Utara (Sumut). “Sebelum penempatan, transmigran harus dipilih lebih selektif. Selektiflah mengirim transmigran, agar mereka jangan menjadi transmigran ulang-alik,” jelasnya.

Agus Patria, Kadisnakertrans Nusa Tenggara Barat (NTB), menyambut naskah akademik RUU yang membatasi wewenang antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tetapi, materi RUU-nya justru menimbulkan multitafsir. “Kalau sebuah UU multitafsir, bisa terjadi saling gesek wewenang antar-institusi. Naskah akademiknya bagus, tapi materi RUU-nya tidak bagus.”

Atau diistilahkan Adrian Lahayi, Kadisnakertrans Gorontalo, “Kurang terbaca bagus.” Harus dipertegas pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Agus memisalkan, pembagian urusan ketransmigrasian sering menimbulkan kerancuan. Pengaturan tentang penyerahan permukiman transmigrasi setelah sasaran tercapai atau paling lambat lima tahun sejak penempatan transmigran sering dipersepsikan seolah-olah pemerintah daerah kurang terlibat sejak perencanaan.

Sri Wuryadi, mewakili Kadisnakertrans Kalimantan Selatan (Kalsel), mengatakan, penyerahan permukiman transmigrasi dari Pemerintah kepada pemerintah daerah seharusnya tidak terkendala asalkan pemerintah daerah terlibat sejak perencanaan hingga pembinaan. “Tapi, kadang-kadang setelah lima tahun tersendat-sendat,” kata Sri.

Biasanya, pengakhiran status terkendala karena tanpa penyerahan sertifikat tanah dan bangunan serta pendapatan (income) transmigran yang tidak sesuai dengan persyaratan pemerintah daerah penempatan. Padahal, jika pengakhiran status terkendala maka pembinaan dilanjutkan pemerintah daerah.

Adrian juga menganggap RUU masih sentralistik. Karena perencanaan hingga pembinaan transmigrasi masih top-down seperti penyelenggaraan di masa lalu sementara aspirasi pemerintah daerah sebagai tujuan penempatan kurang terakomodasi. Peran pemerintah daerah harus diperkuat terutama sejak perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, hingga pengawasan, termasuk mengembangkan investasi.

Karena ketidakjelasan peran tersebut, pemerintah daerah dibebani keharusan mengalokasikan anggaran belanja daerah untuk pembinaan transmigran. Padahal, dana untuk membina transmigrasi tidak cukup jika mengandalkan dana dekonsentrasi tanpa didukung dana alokasi khusus.

Anak Agung Gede Anom Wartawan, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan (Kadisnakertransduk), menekankan kerjasama antardaerah agar lokasi transmigrasi yang berhasil tidak diklaim penduduk asli sebagai tanah warisan leluhur. “Hak-hak transmigran jangan kabur,” ujarnya.

Intsiawati Mempertanyakan Spirit Revisi UU Susduk

PEKANBARU (RiauInfo) - Perkembangan terakhir seputar pembahasan revisi Undang-Undang No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU Susduk) yang berjalan alot saat ini menunjukkan bahwa DPR belum menunjukkan komitmen sungguh-sungguh dalam menata sistem ketatanegaraan yang baik.

Demikian diungkapkan Intsiawati Ayus SH., MH, anggota DPD RI asal Riau sebagai pembicara dalam Dialog Kenegaraan, yang bertajuk “Pertarungan Politik dalam RUU Susduk, ” di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (3/06/09).

Dalam forum yang dihadiri para pejabat, staf, dan kalangan pers dari kompleks parlemen tersebut Intsiawati memberikan sejumlah catatan penting terkait aturan keanggotaan, pimpinan MPR dan DPD, politik legislasi terkait RUU tertentu, tugas dan wewenang DPD, tatib DPD, hingga kantor DPD di daerah.

Dari sejumlah substansi yang dihasilkan Pansus Susduk tersebut menurutnya muncul kesan bahwa DPR telah berlaku arogan atau superior. Dalam hal kewenangan misalnya, --Intsiawati memberikan contoh--DPR tampak sekali tidak memperhatikan azas keseimbangan kekuasaan (check and balances) dengan DPD sebagai lembaga parlemen yang setara, bahkan Penghapusan Panitia Kerjasama Antar Parlemen sebagai bagian dari alat kelengkapan DPD bertendensi menghilangkan eksistensi DPD sebagai lembaga Parlemen.

Bagi Intsiawati ini merupakan ancaman terjadinya kembali kegagalan institusional. Di balik itu semua timbul pertanyaan besar, “Apa sesungguhnya spirit di balik revisi UU Susduk ini?” Ungkapnya retoris.

Hal senada diungkapkan pembicara lain, Prof. Dr. Syamsuddin Haris, pengamat politik yang juga peneliti dari LIPI. Syamsuddin mempertanyakan tentang titik tolak DPR dalam menyusun revisi ini. Sejauh ini menurutnya materi-materi yang dibahas masih belum menunjukkan semangat untuk membangun parlemen yang efektif dan akuntabel, bahkan belum terlihat aturan untuk mensinergiskan lembaga-lembaga perwakilan yang ada .

Antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya tampak masih terlepas-lepas. Syamsuddin juga menyoroti tentang ranah kewenangan DPR yang saat ini sudah telampau luas bahkan telah merambah ke ranah eksekutif. Bagi Syamsuddin jika tidak ada pencapaian yang berarti dari Pansus Susduk ini, maka apa yang dilakukan DPR saat ini hanya sekadar ritual atau rutinitas 5 ( lima ) tahunan saja.

Terkait dengan eksistensi DPD Syamsudin menegaskan bahwa saat ini desain konstitusi kita masih ambivalen, sehingga RUU Susduk ini harus disusun dalam konteks visi amandemen konstitusi ke depan . Syamsudin sempat menuding bahwa DPR saat ini ‘miskin ide’ dan tidak berpolitik jangka panjang itu menyodorkan dua pilhan kepada DPR untuk memposisikan DPD secara jelas.

“Ini merupakan momentum yang tepat, pilihannya jelas antara dua, apakah DPD ini diperkuat ataukah dibubarkan!” Tegasnya. Dalam hal penguatan DPD ini Syamsudin lebih sepakat untuk memberikan wewenang kepada DPD, sesuai konstitusi yang ada, yakni tidak seluas otoritas DPR agar nantinya tidak ada ancaman deadlock.

Dalam pembelaannya Ganjar Pranowo SH., Ketua Pansus Susduk DPR, yang juga menjadi pembicara pada forum tersebut mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan DPR saat ini selalu dalam kerangka dan landasan konstitusi yang jelas. Dasar pansus DPR dalam melakukan revisi ini berangkat dari semangat untuk melakukan reformasi lembaga perwakilan. Dalam kesempatan tersebut Ganjar menyampaikan perkembangan terakhir seputar pembahasan UU tersebut yang banyak pasal di antaranya kini terpaksa harus dipending.

Ganjar juga mengungkapkan otokritik terkait kelemahan di tubuh DPR sendiri, termasuk kemampuan kapasitas personal DPR yang masih terbatas dan sistem pengambilan keputusan yang berbelit-belit dan melelahkan. Ganjar berharap ke depan DPR dan DPD bisa bekerja secara harmonis dengan supporting tim ahli yang mumpuni sehingga pekerjaan anggota parlemen lebih pada kebijakan politisnya, bukan lagi soal pembahasan teknis Undang-Undang.(ad)

INTSIAWATI AYUS BICARA DI SENAYAN


PotretNews.com-Intsiawati Ayus Anggota DPD RI asal Riau Intsiawati Ayus SH MH tatkala menjadi pembicara ”Dialog Kenegaraan” dengan topik "Pertarungan Politik Dalam RUU Susduk" di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin. Narasumber lain yang tampil adalah Ganjar Pranowo SH (Ketua Pansus RUU Susduk DPr-RI yang juga Pimpinan Fraksi PDI-P dan Prof Dr Syamsuddin Haris (pengamat politik, Peneliti LIPI), dengan moderator, Suradi. Dalam forum yang dihadiri para pejabat, staf, dan kalangan pers dari kompleks parlemen tersebut Intsiawati memberikan sejumlah catatan penting terkait aturan keanggotaan, pimpinan MPR dan DPD, politik legislasi terkait RUU tertentu, tugas dan wewenang DPD, tatib DPD, hingga kantor DPD di daerah. (f-ist)

RUU Susduk: Pansus Targetkan Akhir Juni Selesai

HUKUMONLINE.COM--Posisi panja terakhir memutus pimpinan MPR terdiri dari dua orang DPR dan satu orang dari DPD. Anggota DPD keberatan, mereka tetap meminta jatah dua.

Proses pembahasan RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (susduk) masih menyisakan banyak persoalan. Persoalan tenggat waktu penyelesaian RUU menjadi satu hal yang dipersoalkan. Menjawab hal ini, Panitia Khusus (Pansus) optimis RUU akan kelar pada akhir Juni 2009 ini. Hal tersebut diutarakan Ketua Pansus RUU Susduk Ganjar Pranowo dalam sebuah diskusi di Komplek Parlemen, Rabu (3/6).

Ganjar beralasan percepatan dilakukan karena anggota DPRD akan segera dilantik. Ia menegaskan, jangan sampai saat pelantikan, DPRD belum memiliki payung hukum karena RUU belum selesai. Melalui RUU Susduk yang baru, kedudukan DPRD akan dipertegas sehingga sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). “Jika tidak selesai menjelang pelantikan anggota DPRD baru, mau tidak mau payung hukum yang menaungi mereka (anggota DPRD) adalah UU Susduk yang lama,” ujarnya.

Ganjar optimis pembahasan bisa cepat karena model pembahasan RUU Susduk dilakukan per cluster (bagian). Menurutnya, dari lima bagian pembahasan yakni MPR, DPR, DPD, DPRD dan Kesekjenan tinggal sedikit lagi yang belum kelar. “Walaupun banyak substansi yang cukup alot diperdebatkan, tapi saya yakin substansi yang dibahas dapat segera diselesaikan,” Ganjar menambahkan.

Substansi yang sudah diputus di panitia kerja (panja) adalah jumlah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pimpinan MPR, papar Ganjar, yang sudah diputus berjumlah tiga orang. Rumusan ini sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan di MPR, yakni satu pertiga dari jumlah anggota DPR dan DPD. “Jadinya kita (panja) putuskan pimpinan MPR itu dua dari anggota DPR dan satu dari anggota DPD,” ujar politisi dari PDIP ini.

Ganjar menjelaskan bahwa molornya waktu penyelesaian diakibatkan berubahnya konstelasi politik yang terjadi setelah pemilu legislatif kemarin. Hal ini dikarenakan, setelah tangal 9 April lalu, telah diketahui partai mana yang menang dan kalah dalam perolehan suara. “Sehingga rumusan yang dibuat sebelum pemilu sudah disepakati, berubah lagi setelah hasil pemilu keluar,” katanya.


Keberatan DPD
Nada keberatan datang dari Anggota Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD, Intsiawati Ayus. Menurutnya, dua banding satu jumlah pimpinan MPR tidak sesuai dengan amanah UUD 1945. Intsiawati berargumen, dalam konstitusi pengakuan terhadap DPD sangatlah kuat sehingga perbandingan dalam mengisi pimpinan MPR haruslah sama dengan jumlah dari DPR.

“DPD merupakan lembaga negara yang diakui konstitusi, jumlah pimpinan MPR 2:1 kami sangat keberatan, itu saya lihat sangat 'genit', dengan perbandingan seperti itu kami merasa dilecehkan, maka itu kami tetap ingin dua dari anggota DPR dan dua lagi dari anggota DPD,” ujar anggota DPD asal Riau ini.

Terkait fungsi legislasi, ia meminta DPD diberi peranan yakni dengan mengikutsertakan DPD dalam setiap pembahasan RUU. Bahkan, ia meminta agar ada pengakuan usul insiatif sebuah RUU dari DPD yang dicantumkan dalam RUU. Ia menjelaskan, selama ini DPD dianggap tidak pernah ikut melahirkan UU. Padahal sudah banyak UU yang turut dilahirkan dari usul DPD. “Seperti, usul inisiatif tentang perubahan UU Pelayaran, itu merupakan usul DPD, tapi saat disahkan, RUU tersebut menjadi usul DPR,” tukasnya.

Molornya waktu pembahasan RUU disayangkan oleh Pengamat Politik Syamsuddin Haris. Ia mengatakan penyelesaian pembahasan RUU seyogyanya sebelum pemilu. Karena jika setelah pemilu, konstelasi hasil suara menjadikan perubahan politik dari berbagai partai. “Partai yang sebelumnya mendukung substansi RUU bisa jadi menolak, karena setelah pileg, politiking RUU ini jauh lebih besar,” ujarnya.

Walaupun begitu, Syamsuddin mengusulkan harus ada titik tolak yang menjadi acuan untuk mencari jalan keluar dalam alotnya pembahasan. Desain acuan yang disarankan oleh Syamsuddin ada tiga yakni menuju parlemen yang efektif, parlemen lebih akuntabel dan parlemen lebih sinergis satu dengan yang lain. Efektif yang dimaksud yaitu kebijakan yang dihasilkan selalu mengacu pada kepentingan publik, agar ada check and balances. Bukan hanya itu, akuntabilitas juga sangat diperlukan. Mengingat DPR dan DPD secara institusi akan lebih tanggung jawab untuk menjalankan mandatnya secara adil. “Maka itu, tiga kata kunci ini jadi titik tolak desain RUU Susduk ini,” katanya.

(Fat)

DPD Minta Tetap Ngantor di Jakarta

JPPN.COM--JAKARTA – Tampaknya, para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih suka tinggal di Jakarta. Anggota DPD asal Riau, Intsiawati Ayus menentang ketentuan di Rancangan Undang-Undang Susunan Kedudukan (RUU Susduk) MPR, DPR,DPR, dan DPRD yang mengatur anggota DPD berkedudukan di daerahnya masing-masing.

“DPD merupakan lembaga negara yang levelnya nasional. Jadi, memang sudah semestinya berkedudukan di Jakarta,” ucapnya kepada JPNN usai diskusi bertema ‘Pertarungan Politik Dalam RUU Susduk’ di gedung DPD, Senayan, Rabu (3/6).

Kalau anggota DPD berkedudukan di daerah,katanya, maka akan mengganggu fungsi dan kewenangan DPD. “Kalau sedang ikut membahas proses legislasi, apa harus mondar-mandir ke Jakarta. Itu kan biayanya jadi mahal,” ujarnya. Alasan lain, kalau harus di daerah, maka mesti dibangun gedung baru.

Bukankah sesuai UU Susduk yang berlaku saat ini DPD harus di daerah? Ayus membenarkan. Karenanya, dia berharap Pansus RUU Susduk yang sedang bekerja saat ini mengubah ketentuan itu dan mencantumkan aturan bahwa DPD berkedudukan di Jakarta.

Dia menanggapi Ketua Pansus RUU Susduk, Ganjar Pranowo yang menjelaskan, para anggota DPD itu memang harus di daerah karena mereka wakil daerah. “Mereka harus di daerah dan setiap tiga bulan baru ke Jakarta untuk rapat-rapat atau sidang,” ujar Ganjar di tempat yang sama. (sam/JPNN)

Dialog Kenegaraan



Pengamat Politik LIPI, Syamsuddin Haris (kanan) didampingi Ketua Pansus RUU Susduk DPR RI, Ganjar Pranowo (tengah) dan anggota DPD RI, Intsiawati Ayus (kiri) dengan lugas menyampaikan pandangan dan pemikirannya mengenai idealnya dan keinginan para anggota dewan tentang susunan kedudukan dan kelembagaan Parlemen Indonesia pada saat berlangsung dialog kenegaraan berthema "Pertarungan Politik Dalam RUU Susduk", Rabu, 03/06/2009 di gedung Parlemen RI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan Jakarta Pusat. Sementara ini susunan dan kedudukan kelembagaan Parlemen di Indonesia masih terpecah dan belum optimal. fy-ina/Mulkan Salmun

Source http://www.fy-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1698:pertarungan-dalam-ruu-susduk&catid=37:national-news&Itemid=265

Sengketa Wilayah Tanggungjawab Gubernur

Batam Cyber Zone

Jakarta (BCZ) Masalah sengketa wilayah kabupaten/kota merupakan kewenangan gubernur.
Jika tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut, gubernur yang bersangkutan disarankan sebaiknya mundur saja. Penegasan tersebut disampaikan Mendagri Mardiyanto saat rapat dengan Panitia Ad Hoc II DPD RI, Selasa (19/5).

"Pengaduan sengketa wilayah kabupaten/kota jangan langsung ke pemerintah pusat, tapi harus ke gubernur. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur harus mampu menyelesaikan masalah tersebut. Kalau masih berharap ke pusat, jangan jadi gubernur," ujarnya.

Sengketa wilayah terutama sering terjadi untuk daerah pemekaran baru. Hal ini, menurut Wakil Ketua PAH II DPD RI, Intsiawati Ayus, karena tidak ada tata ruang yang jelas mengenai batas wilayah masing-masing daerah.

"Mendagri harusnya lebih selektif untuk menggolkan daerah pemekaran baru, karena konflik lahan terjadi akibat tingginya pemekaran," ujar Intsiawati anggota DPD dari Riau ini.

Mendagri sendiri mengaku, pihaknya sekarang lebih selektif untuk meloloskan daerah otonomi baru. "Salah satu yang jadi syarat adalah tentang batas wilayahnya. Selain itu, ada aturan jika dalam jangka waktu tertentu daerah pemekarannya tidak berkembang, maka akan dikembalikan ke daerah induknya," pungkasnya. (esy/JPNN)

Mendagri: Sengketa Wilayah Tanggungjawab Gubernur

JPNN.COM


JAKARTA - Masalah sengketa wilayah kabupaten/kota merupakan kewenangan gubernur. Jika tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut, gubernur yang bersangkutan disarankan sebaiknya mundur saja. Penegasan tersebut disampaikan Mendagri Mardiyanto saat rapat dengan Panitia Ad Hoc II DPD RI, Selasa (19/5).

"Pengaduan sengketa wilayah kabupaten/kota jangan langsung ke pemerintah pusat, tapi harus ke gubernur. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur harus mampu menyelesaikan masalah tersebut. Kalau masih berharap ke pusat, jangan jadi gubernur," ujarnya.

Sengketa wilayah terutama sering terjadi untuk daerah pemekaran baru. Hal ini, menurut Wakil Ketua PAH II DPD RI, Intsiawati Ayus, karena tidak ada tata ruang yang jelas mengenai batas wilayah masing-masing daerah.

"Mendagri harusnya lebih selektif untuk menggolkan daerah pemekaran baru, karena konflik lahan terjadi akibat tingginya pemekaran," ujar Intsiawati anggota DPD dari Riau ini.

Mendagri sendiri mengaku, pihaknya sekarang lebih selektif untuk meloloskan daerah otonomi baru. "Salah satu yang jadi syarat adalah tentang batas wilayahnya. Selain itu, ada aturan jika dalam jangka waktu tertentu daerah pemekarannya tidak berkembang, maka akan dikembalikan ke daerah induknya," pungkasnya. (esy/JPNN)

Rincian Perolehan Suara Sah dan Tidak Sah Calon, Anggota DPD RI 2009 Daerah Pemilihan Riau

Bisa Anda ungguh di sini

Pleno untuk DPD Tuntas: Ghafar, Intsiawati, Maimanah dan Ghazali Pemenangnya

Pleno KPU Riau untuk calon anggota DPD RI tuntas sudah. Hasilnya Abdul Ghafar Usman, Intsiawati Ayus, Maimanah Umar dan M Ghazali melenggang ke Senayan.


Riauterkini-PEKANBARU- Setelah sempat terkenda karena ada suara dari lima desa di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis belum dihitung, akhirnya rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau untuk suara calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tuntas sekitar pukul 20.30 WIB, Jumat (1/5/09).

Hasil resmi KPU Riau untuk anggota DPD asal Riau memutuskan sebanyak 1.991.601 suara sah. Perolehan suara terbanyak menempatkan Abdul Ghafar Usman, calon nomor urut 2, sebagai juara dengan dukungan sebanyak 172.961 suara, disusul dua incumbent, yakni Intsiawati Ayus dengan perolehan 144.559 suara, Maimanah Umar dengan 121.832 suara dan wajah baru Muhammad Ghazali yang mengantongi 101.959 suara.

Sementara untuk urutan lima hingga sepuluh adalah Khairudin dengan 94.887 suara, Agustiar dengan 88.719 suara, Haris Jumadi dengan 76.397 suara, Amer Hamzah dengan 76.091 suara, Arbi dengan 69.041 suara, dan Wide Wirawaty dengan 64.368 suara.

Dengan tuntasnya pleno KPU Riau untuk suara DPD, maka tuntas sudah tugas berat serta rumit yang diemban KPU Riau. Sebelumnya, sekitar pukul 16.20 WIB, Jumat (1/5/09) KPU lebih dahulu menuntaskan pleno untuk suara legislatif, mulai dari DPRD kabupaten/kota, provinsi sampai DPR RI.

Sayangnya, meskipun sudah tuntas terlebih dahulu, namun sampai saat ini hasil rekapitulasi suara legislatif hasil pleno KPU belum bisa didapat wartawan.***(mad/tam)

Protes, 4 Calon DPD ke Panwaslu

Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru

Riaupos.com, Pekanbaru--EMPAT calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tergabung dalam Majelis Perjuangan Rakyat (MPR) Riau, Senin (4/5) mendatangi Panwaslu Riau. Keempat calon DPD tersebut Haris Jumadi, Wide, Marmaga Tampubolon dan Amril Piliang. Kehadiran mereka untuk mempertanyakan sikap Panwas atas pleno KPU yang buka-tutup lalu.

Keempat calon DPD melaporkan temuan tentang kecurangan di lapangan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Apalagi pleno buka-tutup tersebut jelas merupakan pelanggaran UU Pemilu Nomor 10/2007. Kondisi itulah yang memunculkan indikasi-indikasi kecurangan yang dilakukan KPU pada Pemilu saat ini.

''Artinya, KPU tidak mampu melaksanakan pleno yang bersih dan bertanggung jawab sama sekali. Apalagi, setelah dibuka diumumkan melalui via telepon kepada para Caleg. Seharusnya hal itu dijelaskan langsung, bukan malah setelah beberapa hari berlalu,'' ujar Haris yang diiyakan Marmaga kepada Riau Pos.

Selain itu, MPR Riau juga mempertanyakan pembentukan tim investigasi KPU yang jelas-jelas mengangkangi tugas dan fungsi Panwaslu, selaku pengawas pemilu. Lantas jika tim investigasi sudah dibentuk sudah sejauh mana kerjanya. Bisa jadi pembentukan tim itu karena KPU sudah melihat kecurangan dalam kubunya sendiri.

''Kalau KPU membentuk tim investigasi, maka apa gunanya Panwaslu. Kami tidak mau menyalahkan siapapun dan tidak menuntut harus menang dalam pertarungan ini. Tapi ini sebuah pembelajaran untuk kemajuan demokrasi di negeri ini,'' ulas Wide.

Sementara itu Ketua Panwaslu Riau, Syafrul Rajab mengakui hal serupa. Bahkan sejak awal Pemilu bergulir, pihaknya sudah berselisih tafsir dengan KPU. Selain tidak bisa mendapatkan data Caleg, Panwas juga kesulitan melakukan pengawasan karena KPU cenderung menutup diri. Soal pleno KPU buka-tutup, Panwaslu juga diberitahukan memlalui via telepon, sama halnya dengan para Caleg.

Karena itu, pihaknya segera akan menindaklanjuti kasus itu ke KPU Riau dan memintanya untuk menjelaskan pleno buka-tutup yang tidak seharusnya terjadi itu. Selain itu, Panwaslu juga akan melaporkan ke Bawaslu dan ditembuskan ke Kapolda serta Kajari.

Sementara itu, anggota KPU Riau, T Edy Sabli mengakui memang ada pemberitahuan kepada Caleg via telepon terkait pengadaan pleno. Meski tidak ada dalam UU 10/2007, undangan melalui telepon itu tidak menyalahi aturan. Pasalnya, itu merupakan kesepakatan bersama antara KPU dengan saksi.

''Jika masalah pleno buka-tutup itu memang diatur dalam UU. Dan menginformasikan Caleg terkait pleno memang tidak ada.(cr2/eca)

Inilah Anggota DPRD Riau dan DPR RI Hasil Pemilu 2009

KPU Riau telah menetapkan hasil Pemilu 2009. Berikut ini nama-nama anggota DPRD Riau dan DPR RI yang dipilih rakyat.

Riauterkini-PEKANBARU- Rapat pleno terakhir Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau berakhir tadi malam, Jumat (1/5/09) sekitar pukul 21.30 WIB. Berikut ini nama-nama anggota DPRD Riau dan DPR RI yang menjadi pilihan rakyat.

Dapil I Pekanbaru
DPP=31.505
1. Ayat Cahyadi (PKS) 14.543 Suara
2. Muhniarti (Demokrat) 12.193 Suara
3. Iwa Sirwani Birba (Golkar) 11.350 Suara
4. Noviwaldy Jusman (Demokrat) 7.262 Suara
5. M Faisal Aswan (Golkar) 6.492 Suara
6. Ramli Sahur (PAN) 5.690 Suara
7. Robin P Hutagalung (PDIP) 3.364 Suara
8. M Roem Zen (PPP) 2.354 Suara

Dapil II Kampar
DPP=38.263
1. Jefry Noer (Demokrat) 26.227 Suara
2. Rosvanilda Zulher (Golkar) 20.289 Suara
3. Aziz Zaenal (PPP) 16.843 Suara
4. Masnur (Golkar) 16.542 Suara
5. Taufan Andoso Yakin (PAN) 7.441 Suara
6. AB Purba (PDIP) 4.595 Suara
7. Darisman Ahmad (PKS) 3.464 Suara

Dapil III Rokan Hulu-Rokan Hilir
1. Tabrani Makmun (Partai Golkar) 49.617 suara
2. Suparman (Partai Golkar) 15.133 suara
3. Johar Firdaus (Partai Golkar) 12.499 suara
4. Tengku Azuwir (Partai Demokrat) 39.977 suara.
5. Rusli Ahmad (PDIP) 32.057 suara.
6. Syafrudin Sa'an (PKS) 22.489 suara.
7. H. Kijuhari (PAN) 21.521 suara.
8. Rusli Effendi (PPP) 20.397 suara.
9. Sahut Sihaloho (PPRN) 17.513 suara.

Dapil IV Bengkalis-Dumai.
1. Zulfan Heri (Partai Golkar) 26.388 suara
2. Ilyas Labay (Partai Golkar) 6.669 suara
3. Mahdinur (PKS) 17.839 suara
4. Raja Thamsir Rachman (Partai Demokrat) 14.239 suara
5. Bagus Susanto (PAN) 10.910 suara
6. Nazlan K (PPP) 8.075 suara
7. Almanis (PDIP) 6.587 suara
8. Nurzaman (Partai Gerindra) 8.835 suara
9. Solihin (PBR) 6.351 suara
10. Zulkarnain Nurdin (PBB) 6.240 suara.

Dapil V Siak-Pelelawan
DPP=22.928
1. Zukri (PDIP) 16.042 Suara
2. Sumiyanti (Golkar) 9.531 Suara
3. T Muhazza (Demokrat) 9.305 Suara
4. Rizky Hariansya (PKB) 7.577 Suara
5. Indra Isnaini (PKS) 5.120 Suara
6. Hazmi Setiadi (PAN) 4.135 Suara

Dapil VI Inhil
DPP=34.705
1. Syamsuri Latief (Golkar) 23.485 Suara
2. Abdul Wahid (PKB) 12.996 Suara
3. Ruslan Jaya (Golkar) 11.485 Suara
4. Rita Zahara (Demokrat) 11.090 Suara
5. James Pasaribu (PDIP) 8.150 Suara
6. Ramli (PBR) 6.820 Suara
7. Elly Suryani (Golkar) 6.721 Suara
8. Jabarullah (PPP) 5.918 Suara

Dapil VI Inhu-Kuansing
DPP=38.453
1. Yopi Arianto (Golkar) 21.128 Suara
2. Asrul Jafar (Demokrata) 13.090 Suara
3. Supriati (Golkar) 11.311 Suara
4. Syarif Hidayat (PPP) 9.565 Suara
5. Muhammad Duhir (PKB) 5.980 Suara
6. Adrian Ali (PAN) 5.531 Suara
7. Turoechan Asy’ari (PDIP) 4.075 Suara

Nama-nama Anggota DPR RI Hasil Pemilu 2009 dari Riau
Dapil I (Pekanbaru, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak, Dumai dan Bengkalis)
1. Arsyad Yuliandi Rachman (Partai Golkar) 54.611 suara
2. Sutan Sukarmotomo (Partai Demokrat) 49.937 suara
3. Chairul Anwar (PKS) 50.914
4. Wan Abubakar (PPP) 55.030 suara
5. Ian Siagian (PDIP) 16.775 suara
6. Asman Abnur (PAN) 42.174 suara

Dapil II (Kampar, Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir)
1. Idris Laena (Partai Golkar) 96.521 suara
2. Nurliah (Partai Golkar) 38.534 suara
3. M Nasir (Partai Demokrat) 52.926 suara
4. Marsiaman (PDIP) 18.162 suara
5. M Lukman Edi (PKB) 42.849 suara.***(mad)

Intsiawati Ayus Prihatinkan Kondisi Nelayan Purnama

--
Pekanbaru Pos-DUMAI-Intsiawati Ayus SH MH, anggota DPD RI mengunjungi kamp Nelayan Purnama di Kecamatan Dumai Barat, Dumai, belum lama ini. Wakil rakyat asal Riau ini, langsung bertatap muka dan melakukan dialog dengan warga nelayan.

Kehadiran Iin, panggilan Intsiawati, ke Dumai bertepatan dengan masa kunjung ke daerah anggota DPD RI khususnya Panitia Ad Hoc II. Pada ada pertemuan tersebut, warga mengeluhkan tentang pemberdayaan ekonomi dan penyuluhan bidang kesehatan seperti yang disampaikan kaum ibu.

Sementara para nelayan sangat mengeluhkan perhatian dari pemerintah daerah dan pusat tentang nasib mereka. Di antaranya meliputi bantuan modernisasi alat-alat tangkap sampai ke permasalahan lingkungan yang berasal dari kapal yang bersandar atau lego jangkar di laut Dumai.

Menurut mereka, bantuan yang diberikan oleh pemerintah untuk alat-alat tangkapan bisa dikatakan tidak ada. Kalaupun ada itu tidak menyentuh nelayan pada umumnya. Nelayan-nelayan juga menyebutkan, program dari pemerintah pusat untuk membantu masyarakat hanya dilakukan 2 kali alias tidak tidak berlanjut secara berkala.

Hingga kini, menurut mereka pada pertemuan tadi, produksi ikan para nelayan tidak dapat menopang hidup. Inipun dapat terlihat dari observasi yang dilakukan oleh Intsiawati langsung ke lapangan. Ia pun menyatakan prihatin tehadap kondisi para nelayan.

‘’Alat-alat dari para nelayan perlu mendapat bantuan modernisasi dari pemerintah Kota Dumai supaya terciptanya kemandirian. Sehingga masyarakat nelayan dapat menopang beban ekonomi mereka sehari-hari,’’ ujar Iin dalam rilisnya.

Para Nelayan juga mengeluhkan pencemaran terhadap laut Dumai. Akibatnya menjadi luas (multieffect) yang ditimbulkan kerugian terhadap para nelayan seperti finansial (pendapatan) maupun keadaan lingkungan yang tidak sehat.

Intsiawati ingin melakukan tindak lanjut terhadap laporan dari masyarakat seperti melakukan observasi yang lebih mendalam dan melakukan percobaan laboratorium. ‘’Sehingga didapat hasil yang benar-benar akurat,’’ papar Iin.

Dalam pertemuan tersebut, Caleg DPD RI untuk periode kedua ini, juga melakukan penyuluhan pemberdayaan ekonomi. Ia menyatakan, perlu adanya usaha dari masyarakat sendiri untuk mandiri secara ekonomi. Tidak bergantung kepada pemerintah sepenuhnya. Misalnya, agar masyarakat terpacu untuk menimbulkan semangat pemberdayaan ekonomi rumah tangga. Paparan ia lanjutkan tentang kredit usaha rakyat (KUR).(zed)

Data Hasil Pemilu Riau Paling Lelet di Tabulasi Nasional

Kinerja seluruh KPU di Riau terus dikritik. Data hasil Pemilu dari Riau yang masih di tabulasi nasional jumlahnya paling minim.





Riauterkini-PEKANBARU- Hampir sepekan pasca Pemilu masyarakat di Riau belum juga bisa mendapatkan gambaran mengenai hasil Pemilu. Pasalnya sampai sekarang tidak ada data yang representatif dan signifikan sebagai acuan. Lemahnya kinerja seluruh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Riau membuat data hasil Pemilu dari Riau paling minim di tabulasi nasional yang dikelola KPU pusat.



Berdasarkan data tabulasi naional di situs resmi KPU, www.kpu.go.id hingga pukul 8.30 WIB, Rabu (15/4/09) dari total 7.807.113 suara yang masuk, sumbangsih data dari Riau paling lelet. Baru 57.095 suara. Bandingkan dengan Sumatera Barat yang sudah stor data 326.131 suara, Sumatera Utaa 262.120 suara, Sumatera Selatan 220.121 suara. Bahkan Nangroe Aceh Darussalam sudah stor data 92.240 suara.



Leletnya rekapitualsi data hasil Pemilu oleh seluruh KPU di Riau terus mengundang kritik dari banyak kalangan, terutama dari sejumlah Caleg. Riauterkini sudah menerima rilis pers resmi dari dua Caleg yang kecewa pada lemahnya kinerja KPU di Riau. Caleg Golkar untuk DPR RI Idris Laena dan Caleg DPD Intsiawati Ayus adalah yang kecewa pada buruknya kinerja KPU di Riau.



Masyarakat Riau semakin merana karena tak punya rujukan data hasil Pemilu, pasalnya data rekapitalasi pembanding yang diolah Tim Pendukung Kelancaran Pelaksanaan Pemilu oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Riau sejak kemarin tertutup untuk umum. Pemicunya adalah pernyataan Ketua KPU Riau Raja Syofyan Samad dan Ketau Panwaslu Riau Syafrul Rajab di sejumlah media massa yang mengatakan tim tersebut tak berhak melansir data hasil Pemilu.



Sikap KPU dan Panwaslu Riau tersebut dikecam Ketau Perhimpunan Jurnalistik Indonesia (PJI) Riau yang juga Caleg untuk DPRD Riau dari Partai Demokrat Tony Hidayat. "KPU mestinya tak sekedar melarang, tetapi memberikan pilihan. Tingkatkan kinerja agar perhitungan hasil Pemilu bisa segera diketahui masyarakat. Sekarang, kan yang susah masyarakat, tak bisa lagi mendapatkan data pembanding hasil Pemilu," runtuknya saat berbincang dengan riauterkini kemarin.***(mad)

Data Hasil Pemilu Riau Paling Lelet di Tabulasi Nasional

Kinerja seluruh KPU di Riau terus dikritik. Data hasil Pemilu dari Riau yang masih di tabulasi nasional jumlahnya paling minim.


Riauterkini-PEKANBARU- Hampir sepekan pasca Pemilu masyarakat di Riau belum juga bisa mendapatkan gambaran mengenai hasil Pemilu. Pasalnya sampai sekarang tidak ada data yang representatif dan signifikan sebagai acuan. Lemahnya kinerja seluruh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Riau membuat data hasil Pemilu dari Riau paling minim di tabulasi nasional yang dikelola KPU pusat.

Berdasarkan data tabulasi naional di situs resmi KPU, www.kpu.go.id hingga pukul 8.30 WIB, Rabu (15/4/09) dari total 7.807.113 suara yang masuk, sumbangsih data dari Riau paling lelet. Baru 57.095 suara. Bandingkan dengan Sumatera Barat yang sudah stor data 326.131 suara, Sumatera Utaa 262.120 suara, Sumatera Selatan 220.121 suara. Bahkan Nangroe Aceh Darussalam sudah stor data 92.240 suara.

Leletnya rekapitualsi data hasil Pemilu oleh seluruh KPU di Riau terus mengundang kritik dari banyak kalangan, terutama dari sejumlah Caleg. Riauterkini sudah menerima rilis pers resmi dari dua Caleg yang kecewa pada lemahnya kinerja KPU di Riau. Caleg Golkar untuk DPR RI Idris Laena dan Caleg DPD Intsiawati Ayus adalah yang kecewa pada buruknya kinerja KPU di Riau.

Masyarakat Riau semakin merana karena tak punya rujukan data hasil Pemilu, pasalnya data rekapitalasi pembanding yang diolah Tim Pendukung Kelancaran Pelaksanaan Pemilu oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Riau sejak kemarin tertutup untuk umum. Pemicunya adalah pernyataan Ketua KPU Riau Raja Syofyan Samad dan Ketau Panwaslu Riau Syafrul Rajab di sejumlah media massa yang mengatakan tim tersebut tak berhak melansir data hasil Pemilu.

Sikap KPU dan Panwaslu Riau tersebut dikecam Ketau Perhimpunan Jurnalistik Indonesia (PJI) Riau yang juga Caleg untuk DPRD Riau dari Partai Demokrat Tony Hidayat. "KPU mestinya tak sekedar melarang, tetapi memberikan pilihan. Tingkatkan kinerja agar perhitungan hasil Pemilu bisa segera diketahui masyarakat. Sekarang, kan yang susah masyarakat, tak bisa lagi mendapatkan data pembanding hasil Pemilu," runtuknya saat berbincang dengan riauterkini kemarin.***(mad)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.