Membangun Kesiagaan Daerah
Oleh: Intsiawati Ayus, SH, MH
Resesi Uni Eropa dan bayangan kelam ekonomi Amerika Serikat (AS) yang kemudian diikuti gejala stagnasi di kawasan Asia telah menciptakan iklim masa depan ekonomi dunia yang serba tak pasti. Meski banyak analis menganggap Indonesia memiliki daya tahan ekonomi yang kuat, namun pada kenyataannya Indonesia selama ini lebih banyak digerakkan oleh sektor makro finansial dan bukan pada sektor riil.
Sebagaimana diungkapkan Ketua DPD RI, Irman Gusman dalam refleksi Akhir Tahun 2011 (22/12/11), kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih rawan karena potensi besarnya ‘bubble economy’ atau pergerakan ekonomi semu. Dengan begitu, skenario terburuk terjadinya rembetan dampak resesi global tetap menghantui negeri ini.
Terutama bagi daerah, di tengah berbagai kesenjangan yang kian menganga, resesi global jelas menjadi ancaman nyata. Daerah penghasil SDA seperti Riau, ke depan PAD-nya tentu akan melorot. Harga-harga kebutuhan pokok juga akan naik tajam karena selama ini sebagian besar kebutuhan pokok kita masih mengandalkan keran impor. Sektor pertanian dan perkebunan juga harus siap mengantisipasi jebakan kredit seraya siap berjibaku menerima pukulan harga internasional karena ekonomi dunia diperkirakan berjalan merayap. Dan, yang fenomenal, kemungkinan terjadinya booming penganggur baru dari sektor-sektor yang langsung dihantam krisis.
Ketahanan Pangan dan Energi
Sementara itu, ancaman yang tak kalah seriusnya terkait resesi ini bagi daerah adalah situasi rawan pangan. Gagal panen di hampir semua sentra penghasil pangan pada tahun 2011 ini, termasuk di berbagai daerah di Riau yang diakibatkan cuaca ekstrim tentunya secara simultan akan menggerogoti ketahanan pangan daerah.
Kementrian Pertanian pernah mencatat bahwa sekitar 100 dari 349 Kabupaten di Indonesia saat ini berpotensi rawan pangan. Daerah-daerah tersebut menurut Kementrian memiliki kebutuhan pangan yang tinggi namun dukungan tanaman dan akses terhadap pangan begitu rendah.
Konversi lahan pertanian yang masif, ketergantungan yang tinggi terhhadap daerah lain, ditambah kegagalan program K2i dan program Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) cukup menjadi peringatan bahwa di tahun depan jumlah desa yang kesulitan pangan di Riau akan membludak. Sebagaimana data Dewan Ketahanan Pangan Riau, 663 desa (dari sekitar 1600 desa) di Riau saat ini berstatus rawan pangan.
Namun, harapan itu sedikit tersisa, jika Ranperda tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan yang draftnya sudah disiapkan oleh Pemprov, bisa segera disahkan di awal tahun 2012. Di samping harus tuntasnya RTRWN-RTRWP, Impementasi UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) kita harapkan bisa mengatasi carut marutnya manajemen lahan pertanian di Riau dan ke depannya menjamin ketersediaan lahan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan daerah.
Ancaman lain yang memperburuk kondisi ekonomi daerah adalah soal krisis energi. Riau adalah bank energi nasional tapi sekaligus fakir dengan listrik. Di tengah kelimpahan minyak yang menghidupi republik ini dan gas yang dialirkan melalui pipa-pipa besar ke Singapura, Riau harus membayar ongkos penerangan dan penggerak mesin ekonomi dengan cara yang mahal; diesel-diesel kecil yang dialirkan dari kecamatan atau genset-genset kecil yang berisik di depan rumah. Gedung-gedung dan masjid nan megah, jembatan besar, dan jalan-jalan baru di berbagai Kabupaten/Kota di Riau hingga kini listriknya masih on/off.
Mengingat kebutuhan listrik yang demikian besar. Prioritas Kami, anggota DPD Riau hingga tahun depan, tetap akan melanjutkan upaya yang telah dirintis sepanjang tahun 2011, yaitu untuk menjadi katalisator dalam proses realisasi pengadaan sumber-sumber listrik di daerah, terutama untuk daerah-daerah yang miskin listrik. Kemitraan harmonis antara DPD dengan BP Migas, PLN, dan Pemerintah Daerah menjadi modal penting upaya ini. Salah satu contoh kecil, kemarin, telah diperoleh persetujuan BP Migas untuk Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara Petroselat dan PT. Siak Pertambangan & Energi (SPE). Insya Allah setahun ke depan Siak sudah memiliki PLTG sendiri yang memasok kebutuhan listrik domestiknya.
Tahun 2011 DPD telah merampungkan RUU Perubahan untuk UU No.22/2001 tentang Migas dan mengusulkan banyak perubahan penting dari pasal-pasal kontroversial. Kemudian pada tahun 2012 DPD siap menggodok UU tentang BUMD. Di antara concern Kami, anggota DPD asal Riau adalah terkait soal itu adalah salah satu aset energi dan ekonomi Riau yang kini tampak terlunta-lunta pengelolaannya. Selama kurun hampir 10 tahun produksi Blok CPP terus menurun secara drastis. Dari 22.000 barel per hari (bph) dari produksi awalnya hingga target lifting yang kini hanya 16.500 bph untuk tahun 2012.
Blok CPP adalah amanah dari Kongres Rakyat Riau II yang diperoleh dengan perjuangan berat, namun demikian, hingga kini belum tampak kontribusi nyata bagi peningkatan PAD, pemberdayaan potensi lokal ataupun transfer keahlian bagi SDM daerah. Dominasi Pertamina yang mengelola secara sentralistik Blok CPP dari Jakarta jelas menjadi penghambat kinerja produksi Badan Operasi Bersama (BOB) tersebut. Saat ini masih ada anggapan bahwa sebagai Perusahaan Nasional, Pertamina berhak diutamakan, namun nyatanya tidak tampak performa yang membanggakan.
Saat ini sumur yang masih aktif berjumlah 416 buah sedangkan 144 sumur lainnya sudah tidak diaktifkan. Sebagaimana diketahui, untuk pengaktifan sumur-sumur dibutuhkan investasi dan kemampuan teknologi yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, sungguh tidak berlebihan rasanya jika kemitraan BOB selama 10 tahun ini perlu dilakukan peninjauan kembali.
Ketahanan Infrastruktur dan Ekonomi
Ancaman lain yang melemahkan daerah adalah minimnya panjang jalan yang diperparah dengan kerusakan sistem jaringan jalan. Kondisi ini secara langsung akan berimbas pada ketimpangan pembangunan antar wilayah dan laju pemiskinan masyarakat. Tingginya ongkos angkut, di satu sisi menaikkan harga kebutuhan pokok masyarakat sekaligus menurunkan harga jual produk pertanian/perkebunan. Pil pahit ini terutama harus ditelan oleh masyarakat di daerah terpencil. Menjadi wajib ke depan dorongan percepatan infrastruktur daerah menjadi menjadi agenda Kami, anggota DPD sebagai garansi bagi ketahanan ekonomi daerah.
Pada tahun 2011 DPD RI juga telah menyelesaikan RUU Perubahan UU No.38/2004 tentang Jalan. Jalan adalah salah satu unsur vital untuk mencapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan daerah. Ironisnya pemerintah pusat masih menyediakan dana yang sangat terbatas untuk pembangunan infrastruktur. Saat ini rasio panjang jalan arteri per sejuta orang Indonesia hanya 121 km, jauh tertinggal dari Jepang (9.422 km), Malaysia (3227 km), Korea (1986 km), China (1384 km). Rasio ini terkait erat dengan potensi mobilitas penduduk dan perkembangan ekonomi.
Sistem hierarki penyelenggaraan jalan melalui pengelompokan dan klasifikasi jalan telah menciptakan pola yang njelimet untuk perawatan jalan. Jika kita pulang menuju rumah, masuk dari jalan nasional kemudian masuk jalan propinsi, masuk jalan kabupaten, kemudian masuk jalan kecamatan, dan salah satu ruas rusak maka harus menunggu birokrasi yang lama untuk perbaikannya, kenapa tidak dikonsentrasikan pada satu penyelenggara pemerintahan saja di daerah? Ke depan kita berharap berbagai ketimpangan tersebut dibenahi.
Di sisi lain, selama tahun 2011, Kami dari Komite II DPD RI juga aktif mensosialisasikan dan mengkampanyekan pemanfaatan aspal Buton sebagai salah satu terobosan alternatif untuk menutupi kebutuhan infrastruktur nasional. Dalam konteks pemberdayaan potensi nasional dan daerah, dengan aspal buton Indonesia bisa berswasembada aspal alam, yang diperkirakan memiliki kandungan 650 juta ton dan bisa dimanfaatkan sampai 200 tahun ke depan.
Tahun depan penguatan ekonomi daerah harus tetap menjadi prioritas karena ketahanan ekonomi daerah menentukan ketahanan ekonomi nasional. Saat ini perekonomian daerah ditopang oleh kegiatan ekonomi berskala kecil dan menengah oleh karena itu maka penguatan sektor UMKM tetap harus menjadi prioritas di tahun 2012. Di samping bisa berkembang lebih pesat, sektor ini telah terbukti tahan banting terhadap berbagai krisis. Pemberdayaan sektor riil juga terbukti meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi kita.
Penyelesaian konflik lahan dan percepatan pembagian lahan, pembangunan infrastruktur pertanian, serta relaksasi modal bagi petani kecil di daerah merupakan kunci penting untuk meredam gejolak sosial sekaligus dampak krisis di daerah. Kita tidak ingin konflik-konflik agraria yang meningkat dan menguat di tahun 2011 membesar menjadi gejolak nasional di tahun 2012. Keserakahan jangan sampai membutakan hati, dengan sedikit lahan pun rakyat kecil bisa mandiri dan bertahan. Saat ini disparitas pendapatan di Indonesia sudah mencapai titik puncaknya.
Dalam munas APPSI (9/12/11), Presiden SBY menekankan kepada seluruh pimpinan daerah agar meningkatkan sinergitas antara pusat dan daerah dalam hal ekonomi dan dunia usaha untuk menghadapi dampak krisis ekonomi global. Di tahun depan semoga Riau bisa bersiaga dan bertahan. Amiin. Selamat Tahun Baru 2012.
(Tulisan ini juga dimuat di Riau Pos edisi 2 Januari 2012