Miliki Kewenangan Legislasi, Kini DPD Setara DPR

Konperensi pers DPD menyikapi keputusan MK terkait uji materi UU MD3 dan UU PPP terhadap UUD 1945 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/3). (foto:jurnalparlemen)
Konperensi pers DPD menyikapi keputusan MK terkait uji materi UU MD3 dan UU PPP terhadap UUD 1945 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/3). (foto:jurnalparlemen)
Berita, 28 March 2013 09:27
Miliki Kewenangan Legislasi, Kini DPD Setara DPR

JAKARTA, KOMPAS.com - Menyusul dimilikinya kewenangan legislasi pasca-putusan Mahkamah Konstitusi, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman segera akan menemui pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas hal tersebut. Ia akan meminta segera diadakannya rapat konsultasi.

Hal itu diungkapkan Irman, Rabu (27/3/2013) usai menghadiri pembacaan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. MK mengabulkan seluruh permohonan DPD terkait pengujian pasal-pasal di dalam UU tersebut yang mereduksi kewenangan legislasi yang diberikan pasal 22 D UUD 1945 kepada DPD.

Ketua Tim Litigasi DPD I Wayan Sudirta mengungkapkan, putusan ini menjadikan posisi DPD setara dengan DPR. DPD menjadi punya hak dan kewenangan untuk mengusulkan RUU, membahas UU serta menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas). "Jangan ada lagi istilah DPD itu lemah. DPD telah menemukan jati dirinya sesuai dengan pasal 22 D UUD 1945," ungkapnya.

Sementara itu kuasa hukum DPD, Todung Mulya Lubis mengungkapkan, putusan MK tentang kewenangan legislasi DPD tersebut telah menjadi sejarah besar untuk DPD. Proses legislasi ke depan harus disesuaikan dengan putusan MK. "Yang jelas, proses legislasi di DPR tidak lagi menjadi monopoli DPR," ungkapnya.



Source: nasional.kompas.com

Gaffar Usman : Intsiawati Ayus Calon Kuat

Pekanbaru, utusanriau.com -Peluang Perempuan untuk berpasangan dengan sejumlah kandidat yang akan maju menjadi Cagubri terbuka lebar, demikian dikatakan Gaffar Usman Anggota DPD RI, saat ditemui kemarin di kompleks Parlemen Senayan.  Menurutnya faktor keseimbangan gender menjadi salah satu pertimbangan utama di samping akan memperkuat magnet pasangan yang akan bertarung pada Pilgub September nanti.


Dikatakannya pula bahwa sosok perempuan yang muncul nantinya diharapkan juga bisa memenuhi  keterwakilan aspek geografis dan etnis. Jika Cagubnya berasal dari Pesisir, maka dia harus berasal dari daratan. Jika Cagubnya etnis Melayu maka pasangannya dari  Minang, atau Jawa, demikian pula sebaliknya. Menurut Gaffar kedua aspek ini tidak dapat dipungkiri karena merupakan realitas di masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan dan menciptakan stabilitas  dalam menjalankan roda pemerintahan nanti.

Ketika ditanya tentang siapa saja yang pantas, Gaffar mengungkapkan bahwa saat ini sudah banyak nama calon perempuan beredar media dan nama-nama tersebut menurutnya sudah memadai untuk maju baik sebagai Cagub ataupun Cawagub.  Sebagaimana diketahui saat ini sudah beredar sejumlah nama, seperti  Hj. Nurliah, Anggota DPR dari Golkar, Intsiawati Ayus, Anggota DPD RI,  Anggota DPRD Riau Iwa Sirwani Bibra, dan Hj. Septina Rusli.


Hj Nurliah pada bulan Februari lalu menyatakan siap menjadi pasangan alternatif bersama Ian Siagian, Anggota DPR dari PDIP tapi berdasarkan sebuah sumber info di parlemen, Intsiawati Ayus, merupakan salah satu calon kuat yang dinilai paling cocok dipasangkan dengan Anas Mamun.

Usai RDP antara Partai Golkar dengan DPD RI terkait dukungan Amandemen UUD 1945 akhir Oktober 2012, Intsiawati dikabarkan semakin akrab dengan ARB dan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham.  Menurut sumber tersebut dikatakan ARB senang dengan sosok Intsiawati yang menjadi salahsatu motor penting DPD RI.  ARB juga terkesan dengan program Sosialisasi KUR  yang dilaksanakan Intsiawati sejak tahun 2008 di Riau. Sebagaimana diketahui program pengembangan UMKM tersebut berasal dari gagasan ARB ketika menjabat sebagai Menkokesra dan sejalan dengan kampanye ARB sebagai Capres.

Di samping itu, keanggotaan Intsiawati di DPD RI menjadi salah satu indikator penting terkait dukungan yang lebih luas dari masyarakat. Hingga saat inipun dikabarkan Intsiawati aktif yang akrab dengan sejumlah petinggi Golkar, seperti Rully Chairul Azwar, Idrus Marham, Priyo Budi Santoso, dan Indra Jaya Piliang ini mulai tampak aktif membangun dukungan baik di tingkat elit maupun akar rumput. Menurut sejumlah pengamat, pertarungan Golkar di Pilgubri kali dianggap sangat penting untuk mempertahankan posisi Golkar karena Riau merupakan basis kultural suara Golkar. Jika gubernurnya bukan dari Golkar itu artinya kehilangan suara signifikan (rls)

"Word Forest Day” Instiawati Ayus Kritik Kinerja Pemerintah


PEKANBARU (lensariau.com)- Tanggal 20 Maret 2013 bertepatan Hari Hutan Sedunia (World Forest Day). Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) perwakilan Riau, Instiawati Ayus mengkritik kinerja Pemerintah Provinsi Riau.

Hal itu dikumandangkan Instiawati Ayus lewat akun facebook nya, pada 20 Maret 2013. Dia menyindir dan mengkritik kinerja Pemerintah sebagai penghancur hutan tercepat dan terhebat di dunia.

“Selamat pagi Sahabat. Selamat Hari Hutan Sedunia (World Forest Day) 20 Maret 2013. Dan Selamat kepada Riau yang telah berhasil meraih prestasi sebagai daerah penghancur hutan tercepat dan terhebat di dunia,” katanya lewat akun facebook, Rabu (20/3).

Instiawati  Ayus juga mengirim pesan, mengajak seluruh masyarakat agar peduli dengan hutan. “Sahabat, Ayo Kita peduli sejauh kesanggupan masing-masing untuk menyelamatkan bumi ini. Selamat Beraktifitas,” ajaknya dengan penuh semangat.

Selain itu, ketika berbincang-bincang dengan Lensariau.com. Instiawati Ayus mengatakan Pemerintah Provinsi Riau lalai dalam menjaga kelestarian hutan. “Cukup sudah korupsi berjamaah terjadi di Riau, dan jangan sampai juga pelanggaran berjamaah terjadi. Jika ini terjadi, tentu kepercayaan masyarakat akan semakin berkurang dengan Pemerintah.” Katanya via telepon seluler kepada Lensariau.com.

Menanggapi banyaknya tempat pengolahan kayu Ilegal, Instiawati Ayus mengingatkan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota harus jeli mengeluarkan izin.

“Pemerintah, baik Kabupaten/Kota harus jeli dalam mengeluarkan izin usaha tempat pengolahan kayu. Karena jangan hanya memperhatikan izin tempat usaha saja, tapi kayu apa yang diolah dan jenis apa ?. Oleh sebab itu peran Pemerintah Kabupaten/Kota, Dinas Kehutan, serta kepolisian sangat berpengaruh menjaga kelestarian hutan,” paparnya.

Anggota DPD RI asal Riau itu juga mengingatkan dan berjanji apabila pihaknya secara instansi menerima pengaduan dari masyarakat terkait informasi kerusakan hutan yang menjamur di kubu pemerintah, maka pihaknya akan terjun untuk menangani.

“Jika ada pengaduan, maka kita pasti akan tindaklanjuti. Mengenai informasi somel illegal, bahkan informasi setoran kepada instansi pemerintah, terkait membekingi hal itu juga akan kita terima untuk di tindak lanjuti. Karena itulah fungsi kita sebagai Legislator,” tegasnya.

Sementara itu berdasarkan informasi yang diperoleh Instiawati Ayus dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). Dalam tiga tahun terkahir 2009 sampai 2012 laju deforestasi hutan Riau meningkat tajam menjadi 188 ribu hektar per tahun, atau penghancuran yang setara dengan 10 ribu lapangan bola setiap hari.

Kehancuran hutan Riau dalam tiga tahun terakhir paling banyak terjadi di lahan gambut yang harus dilindungi, yaitu sebesar 73,5 persen. Sisa hutan alam Riau saat ini diperkirakan tinggal sekitar 2 juta ha atau sekitar 22,5 persen luas daratan dan lebih dari 60 persen di antaranya adalah hutan gambut yang harus dilindungi.

Kerugian Sumber Daya Alam (SDA) atas penyempitan hutan Riau dikalkulasikan mencapai lebih dari Rp 1.500 triliun. Diperkirakan pada tahun 2018, hutan alam Riau akan habis, atau kurang dari 7 persen luas daratan provinsi ini. Fakta Penghancuran Hutan Alam Riau ini jelas bertentangan dengan komitmen pemerintahan SBY untuk mengurangi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan, yang selalu digembar-gemborkan ke dunia internasional.

Ditambahkan Instiawati Ayus, dia meminta terutama pihak kepolisian sebagai garda terdepan agar cepat tanggap dan serius menangani pembalakan hutan. “Dimulai dari yang kecil, seperti keberadaan somel-somel tanpa izin. Juga memeriksa mobil angkutan yang membawa muatan kayu serta menindak lanjuti mafia kayu yang ada di Riau,” pintanya.(Lens/gga)

Tabrani Gelar Diskusi terbuka, Peringatan 14 Tahun Riau Berdaulat


Tabrani Gelar Diskusi  terbuka
Peringatan 14 Tahun Riau Berdaulat


Pekanbaru- Prof. Dr.Tabrani Rab, tokoh  Riau, kembali mendeklarasikan tuntutan Riau Merdeka. Deklarasi ini sebagai peringatan ke empat belas atas deklarasi pertama yang dia rilis pada 15 Maret 1999 silam.

Acara ini  digelar di kediaman Presiden Riau Merdeka Trabani Rab, di Jl KH Ahmad Dahlan, Pekanbaru, Jumat (15/3/2013). Kegiatan ini hanya dihadiri beberapa mahasiswa anggota BEM dari beberapa perguruan tinggi di Pekanbaru. Selain itu hadir juga sejumlah wartawan media cetak dan elektronik.

Jumlah undangan yang hadir sekitar 40 orang. Hari ulang tahun Riau Merdeka ini diadakan sangat sederhana yang dimulai sejak pukul 14.00 WIB.

Tak ada acara khusus dalam dek larasi yang bertajuk "Melawan Lupa, Mengenang 14 tahun Daulat Riau" Hanya saja, Tabrani Rab, Anggota DPD RI Intsiawati Ayus  dan Aktifis 1998, sekedar bercerita mengenang jalan panjang tentang tuntutan Riau merdeka.

Jhoni Mundung selaku aktifis yang waktu itu mendampingi deklarasi Riau Merdeka kembali meluapkan kegelisahanya lewat puisi karangan Ws. Rendra sambil meneteskan airmata.

Sembari menikmati makanan ringan, utusan mahasiswa dan aktivis lingkungan saling berdiskusi. Intinya, para mahasiwa dan aktivis lingkungan mengharapkan gerakan Riau Merdeka harus tetap berlanjut dengan jalan damai. Minimal, Memerdekan diri dari kebodohan dan kemiskinan.

Para undangan yang datang diberi lembar foto kopi petikan  sejarah tentang Menuju Riau Berdaulat yang  ditulis Tabrani Rab atau yang akrab disapa Ongah.

Yang mana isi petikan tersebut

"Sudah lebih setengah abad kami menggantungkan hidup pada republik ini. Selama itu pula minyak kami dijarah. Tak setitik pun menetes di tanah kami. Sungai dan tanah kami tak lagi memberi hidup karena polusi. Sudah lebih seperempat abad tanah kami dijarah sebagai konspirasi pusat dan konglomerat. Maka hari ini, kami putuskan untuk mementukan nasib kami sendiri. Kami telah m
ulai menukilkan sejarah kami dalam lembaran yang baru akan hak-hak kami, indentitas dan tradisi kami dengan jalan damai. We are beginning to think, we are writing the new chapter of history, to demmand our right, take on our duties, and defend our identity and our tradition, with Peace. Pekanbaru 15 Maret 1999"

Di akhir acara, Intsiawati Ayus  yang akrab disapa Datin mengungkapkan kekecewaanya kepada awak media terhadap pemda yang tidak pro terhadap rakyat. "Ini moment yang pas untuk bertanya kepada diri kita masing masing, seperti apa figur pemimpin Riau mendatang, apakah benar benar mewakili aspirasi masyarakat atau tidak. Jangan sampai,  Kekayaan alam yang ada di Riau tidak sepenuhnya dinikmati masyarakat " Tutupnya

Alotnya RTRWP Bumi Lancang Kuning

Catatan Akhir Tahun 2010: Menyoroti Karut Marut Masalah Riau

Tumpang tindihnya Peraturan Pemerintah (Pusat-Daerah) yang berkaitan dengan kehutanan, perkebunan dan tata ruang menjadikan Riau menjadi salah satu propinsi yang berlarut-larut penyelesaian RTRW-nya. Hingga akhir 2010 RTRWP Riau yang dibahas tim terpadu yang terdiri dari utusan Pemprov Riau, Kementrian Kehutanan, Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Pekerjaan Umum berjalan dengan alot dan belum ada kepastian pengesahannya.

Sebelumnya perbedaan krusial antara daerah dengan Pemprov Riau juga sulit didamaikan. Permintaan Bupati Rohul untuk melepaskan kawasan di areal hutan yang telah jadi pemukiman ditolak Pemprov. Saat ini puluhan desa di lima kecamatan Rohul kawasannya tetap disebut sebagai hutan lindung. Hal ini kemudian memicu demo ratusan warga Rohul ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Riau. Warga Rohul khawatir akan banyak desa hilang, jika RTRWP Riau disahkan, tanpa adanya pelepasan kawasan. Hal yang sama juga mengancam sejumlah desa di Kabupaten Pelalawan.

Sementara itu, pihak Menhut sendiri yang semula menolak dengan tegas pelepasan kawasan karena dianggap melanggar undang-undang saat ini mulai melunak. Usulan pengalihfungsian lahan oleh Pemprov Riau seluas 400 ribu hektare yang sebelumnya merupakan hutan lindung akan dipertimbangkan.

Memang sebuah dilema, di satu sisi, kawasan hutan lindung memang harus dipertahankan, tetapi tidak mungkin juga menghapuskan keberadaan sebuah kampung atau pemukiman demi RTRWP. Mudah-mudahan dalam pembahasannya dapat diambil jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak.

Jika RTRWP Riau selesai, sebagian permasalahan kehutanan di Riau akan bisa diselesaikan karena selama ini RTWRP Riau tidak jelas dan tidak sinkron dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Tidak sinkronnya antara RTRWN-RTRWP maupun RTRWK selama ini juga telah menciptakan perizinan yang rawan korupsi. Adanya rekomendasi berjenjang untuk penerbitan konsesi maka masing-masing tingkat mengeluarkan kebijakan berdasarkan kepentingannya masing-masing.

Kahutla dan Kabut Asap

Catatan Akhir Tahun 2010: Menyoroti Karut Marut Masalah Riau

Meski sudah jauh menurun, kasus kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi sepanjang 2010 ini. Pada empat bulan pertama tahun 2010 berdasarkan data BLH terdapat sebaran sekitar 400 titik api yang pada periode sama tahun sebelumnya (2009) ditemukan lebih dari 4.600 titik api di seluruh wilayah Riau. Menurun hampir seribu persen. Sementara itu, pada bulan-bulan selanjutnya titik api tetap ada di berbagai tempat dan mengalami naik turun.

Selama beberapa bulan hampir seluruh wilayah Riau diselimut kabut asap. Titik api terbanyak ditemukan di Rokan Hilir disusul Bengkalis, Dumai, Inhil, Pelalawan, Rohul, Siak, Inhu, Kuansing, dan Pekanbaru.

Sebagaimana biasa, kebakaran hutan dan lahan memicu banyak masalah. Akibat kabut asap ratusan warga di berbagai kabupaten/kota terkana infeksi saluran pernapasan dan iritasi mata. Jarak pandang yang terbatas menyebabkan jadwal penerbangan sejumlah pesawat di Pekanbaru acapkali harus ditunda. Kabut asap juga membuat para nelayan takut melaut karena jarak pandang yang terbatas.

Kebakaran hutan dan lahan memang harus mendapatkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah. Kondisi lahan gambut yang mudah terbakar dan sulitnya mengungkap pelaku karena titik api yang jauh di tengah hutan tentu dibutuhkan bantuan pro aktif dari masyarakat dan aparat di tingkat kecamatan dan desa.

Di sisi penanggulangan, pemerintah daerah sudah selayaknya membangun tim penanggulangan kebakaran yang profesional dan mendesak agar janji pusat untuk pengadaan helikopter pembom air direalisasikan segera.

Nasib Hutan Lindung Riau

Catatan Akhir Tahun 2010: Menyoroti Karut Marut Masalah Riau

Sang penerima Kalpataru, Patih Laman sudah begitu frustasi mempertahankan sekitar 2.000 hektar hutan alam di Durian Cacar yang tak jauh dari dari kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Inhu. Dengan dukungan sejumlah LSM lingkungan penghargaan yang diterima dari presiden Megawati itu dikembalikannya melalui Gubernur Riau.

Patih merasa gagal karena 60 persen kawasan yang sejak dulu dijaganya kini rusak parah akibat para perambah, pembalak liar dan kegiatan industri. Kawasan kalpataru itu kini diperjualbelikan oknum pemerintah desa dan kecamatan sehingga berubah menjadi kawasan perkebunan.

Patih pastinya lebih sedih lagi karena fenomena itu kini hampir terjadi di semua hutan lindung Riau. Ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menghancurkan satu persatu kawasan pertahanan alam di Riau.

Taman Nasional Tesso Nilo misalnya, kawasan yang dirambah untuk perkebunan kini sudah mencapai 24 ribu hektar. Hal yang sama terjadi pada kawasan hutan lindung Bukit Batabuh yang berada antara kawasan Suaka Margasatwa Bukit Tigapuluh dan Rimbang Baling tempat habitat asli Harimau Sumatera. Di Bukit Batabuh kini hanya tersisa 25 ribu hektar setelah dirambah untuk kebun seluas 150 ribu hektar.

Nasib serupa juga dialami hutan lindung Mahato di Rohul. Dari 28 ribu hektar kini berubah fungsi menjadi perkebunan sawit dengan hanya menyisakan 8 ribu hektar untuk hutan alam. Akibatnya, Rohul kini mendapat kiriman banjir bandang. Sementara itu, sisa tutupan hutan alam di Tahura kini hanya tersisa 40 persen saja karena yang 60 persen sudah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan.

Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan kelestarian Alam (Dirjen PHKA) Departemen Kehutanan RI, pernah merilis laporan tentang pelanggaran adanya 300 ribu lahan perkebunan sawit di Riau bermasalah karena pengalihan kawasan dilakukan tanpa perijinan Menteri Kehutanan RI.

Sementara itu, Transperancy International(TI) Indonesia, pada pertengahan tahun 2010 ini melakukan pemetaan tentang korupsi Industri kehutanan di Riau yang jumlahnya mencapai 2,3 triliun. Menurut TI jumlah tersebut merupakan akumulasi lahan konsesi seluas 2,3 juta hektar dengan perkiraan korupsi Rp 1 juta perhektarnya.

Sepanjang tahun 2010 kasus pembalakan liar kembali marak. Bahkan banyak di antaranya yang dilakukan secara terang-terangan dengan melibatkan masyarakat. Adanya perlindungan dari aparat, belum tuntasnya tata batas wilayah antar provinsi dan kabupaten dan RTRWP menciptakan peluang terbuka bagi kejahatan kehutanan ini.

Jeda tebang sudah didengungkan sejak lima tahun lalu namun hingga saat ini di tataran pemerintah masih sebatas wacana saja. Penerbitan izin HPH dan HTI telah melegalisasi pembalakan di berbagai tempat. Tak jarang perusahaan pemegang izin HPH dan HTI melanggar batas areal konsesi dan menciptakan konflik dengan masyarakat. Terbitnya Permenhut no.14/Menhut-II/2009 dianggap berbagai kalangan sebagai upaya pusat 'menguasai' kawasan hutan daerah karena penerbitan RKT menjadi wewenang pusat dan bukan lagi Dinas Kehutanan.

Kasus Semenanjung Kampar sempat tenggelam setelah pembentukan Pansus di DPRD Propinsi gagal. Pada bulan Maret 2010, Komisi IV DPR RI setelah melakukan kunjungan langsung ke lapangan akhirnya merekomendasikan pencabutan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) empat perusahaan yang konsesi lahannya berada di kawasan kubah gambut, kawasan yang harus dilestarikan. Dari total 700 ribu hektar kawasan Semenanjung Kampar, terdapat 215.370 hektar kawasan yang masuk kubah gambut. Kawasan inilah yang harus dilestarikan dengan membentuk badan khusus pengelolaan yang dipimpin oleh pemerintah.

Bagaimanapun tanggungjawab kelestarian lahan gambut yang paling utama adalah di tangan pemerintah. Perbaikan pengelolaan lahan gambut dapat dilakukan dengan mengedepankan cara pemanfaatan yang bijak, termasuk pengelolaan ekosistem secara partisipatif melalui kemitraan bersama para pemangku kepentingan (stakeholder).

Konflik Lahan di Riau

Catatan Akhir Tahun 2010: Menyoroti Karut Marut Masalah Riau

Konflik lahan di Riau terus meningkat drastis dari tahun ke tahun. Tak terkecuali tahun 2010 ini, konflik lahan yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu hektar merupakan masalah serius yang harus ditangani secara khusus oleh pemerintah.

Banyaknya konflik yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian masyarakat ini merupakan akibat dari kebijakan pemberian izin oleh pemerintah (pusat maupun daerah) yang dilakukan tanpa meminta persetujuan dari masyarakat.

Tak dihormatinya hak ulayat dan tidak jelasnya status kawasan (produksi, lindung, atau konservasi) menjadikan banyaknya wilayah yang tumpang tindih dan klaim hak yang berujung pada kekerasan.

Saat ini Pemerintah belum memiliki mekanisme yang memadai dan SDM yang baik dalam mengupayakan mediasi dan penyelesaian konflik yang ada. Baik eksekutif maupun legislatif acapkali gagal mengantisipasi dan menuntaskan konflik yang ada. Untuk itu, mengingat cakupan dan sebaran kasus yang luas, perlu dibuat satuan tugas pemerintah yang memiliki protokol standar dan SDM profesional dalam penyelesaian konflik-konflik tersebut.

Selain itu, faktor penegakan hukum sangat penting dalam menghapuskan korupsi pejabat dan mafia yang melakukan pelanggaran pemanfaatan kawasan melalui perijinan-perijinan atau surat keterangan di kawasan masyarakat dan atau kawasan hutan.

Kinerja APBD Rendah

Catatan Akhir Tahun 2010: Menyoroti Karut Marut Masalah Riau

Mulai tahun 2008 terjadi kecenderungan penurunan APBD di seluruh Riau setiap tahunnya. Tahun 2007, misalnya, total APBD se-Riau mencapai Rp 21.580 trilyun kemudian pada 2008, turun menjadi 19.036 trilyun dan pada tahun 2009 turun lagi menjadi Rp 18.986 trilyun.

Pada tahun 2010 APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota se-Riau jika dijumlahkan total hanya mencapai Rp 18.754 trilyun. Jumlah tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan total APBD se-Riau pada tahun-tahun sebelumnya.

Jika kita evaluasi pelaksanaan APBD Propinsi Riau 2010 maka kinerja tahun ini menunjukkan penurunan di banding tahun lalu. Tahun lalu Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) APBD 2009 hanya Rp 114 miliar, maka tahun ini melonjak lebih dari dua kali lipat. APBD Riau 2010 yang tak terpakai mencapai Rp 250 miliar dari totalpagu anggaran Rp 4,350 triliun pasca APBD perubahan.

Naiknya Silpa Riau tahun 2010 menunjukkan tidak atau belum berjalannya program yang sudah direncanakan di sejumlah satker. Ada juga sejumlah Satker yang memiliki anggaran besar tetapi kegiatan tidak berjalan optimal. Seperti Dinas Perkebunan yang mengembalikan anggaran Rp 74 miliar yang tidak dapat digunakan untuk kelanjutan pembangunan lahan kebun K2i.

Sedangkan anggaran tak terserap dari seluruh pemerintahan daerah yang meliputi Pemkab, Pemko dan Pemprov Riau, pada tahun 2007 dan 2008 total mencapai Rp 12,2 triliun. Silpa 2007 total Rp. 5,7 triliun sedangkan tahun 2008 meningkat menjadi Rp 6,5 triliun. Besarnya anggaran yang tak terserap di pemerintahan seluruh Provinsi Riau tergolong sangat besar dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Membangun Kesiagaan Daerah

Oleh: Intsiawati Ayus, SH, MH

Resesi Uni Eropa dan bayangan kelam ekonomi Amerika Serikat (AS) yang kemudian diikuti gejala stagnasi di kawasan Asia telah menciptakan iklim masa depan ekonomi dunia yang serba tak pasti. Meski banyak analis menganggap Indonesia memiliki daya tahan ekonomi yang kuat, namun pada kenyataannya Indonesia selama ini lebih banyak digerakkan oleh sektor makro finansial dan bukan pada sektor riil.

Sebagaimana diungkapkan Ketua DPD RI, Irman Gusman dalam refleksi Akhir Tahun 2011 (22/12/11), kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih rawan karena potensi besarnya ‘bubble economy’ atau pergerakan ekonomi semu. Dengan begitu, skenario terburuk terjadinya rembetan dampak resesi global tetap menghantui negeri ini.

Terutama bagi daerah, di tengah berbagai kesenjangan yang kian menganga, resesi global jelas menjadi ancaman nyata. Daerah penghasil SDA seperti Riau, ke depan PAD-nya tentu akan melorot. Harga-harga kebutuhan pokok juga akan naik tajam karena selama ini sebagian besar kebutuhan pokok kita masih mengandalkan keran impor. Sektor pertanian dan perkebunan juga harus siap mengantisipasi jebakan kredit seraya siap berjibaku menerima pukulan harga internasional karena ekonomi dunia diperkirakan berjalan merayap. Dan, yang fenomenal, kemungkinan terjadinya booming penganggur baru dari sektor-sektor yang langsung dihantam krisis.



Ketahanan Pangan dan Energi

Sementara itu, ancaman yang tak kalah seriusnya terkait resesi ini bagi daerah adalah situasi rawan pangan. Gagal panen di hampir semua sentra penghasil pangan pada tahun 2011 ini, termasuk di berbagai daerah di Riau yang diakibatkan cuaca ekstrim tentunya secara simultan akan menggerogoti ketahanan pangan daerah.

Kementrian Pertanian pernah mencatat bahwa sekitar 100 dari 349 Kabupaten di Indonesia saat ini berpotensi rawan pangan. Daerah-daerah tersebut menurut Kementrian memiliki kebutuhan pangan yang tinggi namun dukungan tanaman dan akses terhadap pangan begitu rendah.

Konversi lahan pertanian yang masif, ketergantungan yang tinggi terhhadap daerah lain, ditambah kegagalan program K2i dan program Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) cukup menjadi peringatan bahwa di tahun depan jumlah desa yang kesulitan pangan di Riau akan membludak. Sebagaimana data Dewan Ketahanan Pangan Riau, 663 desa (dari sekitar 1600 desa) di Riau saat ini berstatus rawan pangan.

Namun, harapan itu sedikit tersisa, jika Ranperda tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan yang draftnya sudah disiapkan oleh Pemprov, bisa segera disahkan di awal tahun 2012. Di samping harus tuntasnya RTRWN-RTRWP, Impementasi UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) kita harapkan bisa mengatasi carut marutnya manajemen lahan pertanian di Riau dan ke depannya menjamin ketersediaan lahan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan daerah.

Ancaman lain yang memperburuk kondisi ekonomi daerah adalah soal krisis energi. Riau adalah bank energi nasional tapi sekaligus fakir dengan listrik. Di tengah kelimpahan minyak yang menghidupi republik ini dan gas yang dialirkan melalui pipa-pipa besar ke Singapura, Riau harus membayar ongkos penerangan dan penggerak mesin ekonomi dengan cara yang mahal; diesel-diesel kecil yang dialirkan dari kecamatan atau genset-genset kecil yang berisik di depan rumah. Gedung-gedung dan masjid nan megah, jembatan besar, dan jalan-jalan baru di berbagai Kabupaten/Kota di Riau hingga kini listriknya masih on/off.

Mengingat kebutuhan listrik yang demikian besar. Prioritas Kami, anggota DPD Riau hingga tahun depan, tetap akan melanjutkan upaya yang telah dirintis sepanjang tahun 2011, yaitu untuk menjadi katalisator dalam proses realisasi pengadaan sumber-sumber listrik di daerah, terutama untuk daerah-daerah yang miskin listrik. Kemitraan harmonis antara DPD dengan BP Migas, PLN, dan Pemerintah Daerah menjadi modal penting upaya ini. Salah satu contoh kecil, kemarin, telah diperoleh persetujuan BP Migas untuk Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara Petroselat dan PT. Siak Pertambangan & Energi (SPE). Insya Allah setahun ke depan Siak sudah memiliki PLTG sendiri yang memasok kebutuhan listrik domestiknya.

Tahun 2011 DPD telah merampungkan RUU Perubahan untuk UU No.22/2001 tentang Migas dan mengusulkan banyak perubahan penting dari pasal-pasal kontroversial. Kemudian pada tahun 2012 DPD siap menggodok UU tentang BUMD. Di antara concern Kami, anggota DPD asal Riau adalah terkait soal itu adalah salah satu aset energi dan ekonomi Riau yang kini tampak terlunta-lunta pengelolaannya. Selama kurun hampir 10 tahun produksi Blok CPP terus menurun secara drastis. Dari 22.000 barel per hari (bph) dari produksi awalnya hingga target lifting yang kini hanya 16.500 bph untuk tahun 2012.

Blok CPP adalah amanah dari Kongres Rakyat Riau II yang diperoleh dengan perjuangan berat, namun demikian, hingga kini belum tampak kontribusi nyata bagi peningkatan PAD, pemberdayaan potensi lokal ataupun transfer keahlian bagi SDM daerah. Dominasi Pertamina yang mengelola secara sentralistik Blok CPP dari Jakarta jelas menjadi penghambat kinerja produksi Badan Operasi Bersama (BOB) tersebut. Saat ini masih ada anggapan bahwa sebagai Perusahaan Nasional, Pertamina berhak diutamakan, namun nyatanya tidak tampak performa yang membanggakan.

Saat ini sumur yang masih aktif berjumlah 416 buah sedangkan 144 sumur lainnya sudah tidak diaktifkan. Sebagaimana diketahui, untuk pengaktifan sumur-sumur dibutuhkan investasi dan kemampuan teknologi yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, sungguh tidak berlebihan rasanya jika kemitraan BOB selama 10 tahun ini perlu dilakukan peninjauan kembali.



Ketahanan Infrastruktur dan Ekonomi

Ancaman lain yang melemahkan daerah adalah minimnya panjang jalan yang diperparah dengan kerusakan sistem jaringan jalan. Kondisi ini secara langsung akan berimbas pada ketimpangan pembangunan antar wilayah dan laju pemiskinan masyarakat. Tingginya ongkos angkut, di satu sisi menaikkan harga kebutuhan pokok masyarakat sekaligus menurunkan harga jual produk pertanian/perkebunan. Pil pahit ini terutama harus ditelan oleh masyarakat di daerah terpencil. Menjadi wajib ke depan dorongan percepatan infrastruktur daerah menjadi menjadi agenda Kami, anggota DPD sebagai garansi bagi ketahanan ekonomi daerah.

Pada tahun 2011 DPD RI juga telah menyelesaikan RUU Perubahan UU No.38/2004 tentang Jalan. Jalan adalah salah satu unsur vital untuk mencapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan daerah. Ironisnya pemerintah pusat masih menyediakan dana yang sangat terbatas untuk pembangunan infrastruktur. Saat ini rasio panjang jalan arteri per sejuta orang Indonesia hanya 121 km, jauh tertinggal dari Jepang (9.422 km), Malaysia (3227 km), Korea (1986 km), China (1384 km). Rasio ini terkait erat dengan potensi mobilitas penduduk dan perkembangan ekonomi.

Sistem hierarki penyelenggaraan jalan melalui pengelompokan dan klasifikasi jalan telah menciptakan pola yang njelimet untuk perawatan jalan. Jika kita pulang menuju rumah, masuk dari jalan nasional kemudian masuk jalan propinsi, masuk jalan kabupaten, kemudian masuk jalan kecamatan, dan salah satu ruas rusak maka harus menunggu birokrasi yang lama untuk perbaikannya, kenapa tidak dikonsentrasikan pada satu penyelenggara pemerintahan saja di daerah? Ke depan kita berharap berbagai ketimpangan tersebut dibenahi.

Di sisi lain, selama tahun 2011, Kami dari Komite II DPD RI juga aktif mensosialisasikan dan mengkampanyekan pemanfaatan aspal Buton sebagai salah satu terobosan alternatif untuk menutupi kebutuhan infrastruktur nasional. Dalam konteks pemberdayaan potensi nasional dan daerah, dengan aspal buton Indonesia bisa berswasembada aspal alam, yang diperkirakan memiliki kandungan 650 juta ton dan bisa dimanfaatkan sampai 200 tahun ke depan.

Tahun depan penguatan ekonomi daerah harus tetap menjadi prioritas karena ketahanan ekonomi daerah menentukan ketahanan ekonomi nasional. Saat ini perekonomian daerah ditopang oleh kegiatan ekonomi berskala kecil dan menengah oleh karena itu maka penguatan sektor UMKM tetap harus menjadi prioritas di tahun 2012. Di samping bisa berkembang lebih pesat, sektor ini telah terbukti tahan banting terhadap berbagai krisis. Pemberdayaan sektor riil juga terbukti meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi kita.

Penyelesaian konflik lahan dan percepatan pembagian lahan, pembangunan infrastruktur pertanian, serta relaksasi modal bagi petani kecil di daerah merupakan kunci penting untuk meredam gejolak sosial sekaligus dampak krisis di daerah. Kita tidak ingin konflik-konflik agraria yang meningkat dan menguat di tahun 2011 membesar menjadi gejolak nasional di tahun 2012. Keserakahan jangan sampai membutakan hati, dengan sedikit lahan pun rakyat kecil bisa mandiri dan bertahan. Saat ini disparitas pendapatan di Indonesia sudah mencapai titik puncaknya.

Dalam munas APPSI (9/12/11), Presiden SBY menekankan kepada seluruh pimpinan daerah agar meningkatkan sinergitas antara pusat dan daerah dalam hal ekonomi dan dunia usaha untuk menghadapi dampak krisis ekonomi global. Di tahun depan semoga Riau bisa bersiaga dan bertahan. Amiin. Selamat Tahun Baru 2012.

(Tulisan ini juga dimuat di Riau Pos edisi 2 Januari 2012

Nasib Gajah dan Harimau Sumatera

Sepanjang tahun 2010 konflik antara manusia-gajah terus terjadi dan memakan korban dari kedua belah pihak. Perluasan izin HTI yang menggerus kawasan konservasi dan habitat asli telah mengakibatkan sumber-sumber makanan dan homerange (lintasan) gajah berubah menjadi kebun-kebun sehingga ruang hidupnya semakin terdesak.

Perburuan gading gajah juga turut menambah turunnya populasi Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrae) yang telah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi sejak tahun 1931. Kini gajah sumatera telah dinyatakan sebagai satwa yang terancam punah.

Saat ini menurut data BKSDA Riau dari 12 kantong gajah, 8 di antaranya sudah rusak berat dan 3 mengalami kepunahan. Tiga kantong gajah di Riau yang sudah punah antara lain di Kuntu, Siabu, dan Rambah Hilir. Sementara itu, kantong gajah yang rusak seluruhnya bermasalah. Sebagai ilustrasi, dari 16 ribu hektar luas kawasan Suaka Margasatwa Balairaja Kampar misalnya, kini tersisa hanya tersisa 300 hektar saja. Akibatnya, gajah yang berhabitat di Suaka Margasatwa tersebut sering berkeliaran ke luar dari hutan.

Taman Nasional Tesso Nilo adalah satu-satunya habitat gajah yang masih bisa diharapkan. Namun relokasi dari kawasan lain ke TNTN yang pernah dilakukan BKSDA ternyata mengalami kegagalan.

Pihak Kemenhut RI sendiri menolak adanya pengajuan relokasi gajah yang sempat diajukan oleh Pemkab Rohul untuk meminimalisir konflik gajah dengan manusia. Bagi Kemenhut habitat gajah-gajah tersebut sudah berada di kawasan konservasi dan bukan berada di kawasan peruntukan lain. Di samping biaya relokasi yang tak sedikit, setiap kelompok gajah masing-masing memiliki teritorial yang berbeda sehingga kelompok lainnya bisa terdesak dan merusak kawasan di luar konservasi.

Di Riau ada 6 kabupaten yaitu Inhu, Kuansing, Pelalawan, Kampar, Bengkalis dan Rokan Hulu yang memiliki habitat asli gajah sumatera (Elephas Maximus Sumatrae) yang dipastikan semuanya rawan konflik.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan sepanjang tahun 2010 sebanyak 13 ekor gajah mati akibat diracun dan diburu. Awal tahun 2010, di Mandau Bengkalis ditemukan gajah yang sudah membusuk akibat diracun. Disusul pada bulan November 5 ekor gajah mati dengan cara serupa dan 2 ekor gajah yang berada di TNTN.

Pada bulan Maret kawanan gajah berjumlah sekitar 40 ekor, menyerang dua perkampungan di Mandau, Bengkalis. Karena jumlahnya yang begitu banyak, warga ketakutan dan memilih untuk mengungsi ke kampung tetangga.

Pada bulan November tiga kawanan gajah melakukan serangan di tiga kabupaten, 15 ekor gajah di Sungai Mandau, Siak, 20 ekor mengamuk di Logas Tanah Darat, Kuantan Singingi, dan puluhan gajah liar juga mengamuk di Pauh Ranap Inhu. Selama sepekan kawanan Gajah juga menguasai perkebunanan masyarakat di Langgam. Akibat amukan Gajah liar tersebut paling tidak puluhan hektar kebun dan pemukiman warga luluh lantak.

Ke depan untuk menanggulangi masalah ini perlu dilakukan berbagai upaya. Di samping melakukan rehabilitasi kawasan dan melatih gajah yang tersisa di tempat semula rekomendasi kawasan konservasi gajah dalam RTRWP perlu menjadi prioritas untuk diperjuangkan.

Selain dengan gajah, konflik dengan harimau pada tahun 2010 telah memakan korban kedua pihak. Pada bulan November seorang warga di Bukit Batu Bengkalis meregang nyawa diterkam harimau dan seekor harimau mati terjerat di Inhil. Teror harimau sepanjang 2010 ini muncul di banyak daerah, memakan ternak warga.

Sepanjang 12 tahun terakhir ini sampai tahun 2010 tercatat lebih dari 47 ekor harimau mati. Harimau sumatera (panthera tigris sumatrea) merupakan species yang terancam punah dan dilindungi. Populasi satwa belang itu yang berhasil diidentifikasi di Riau pada tahun 2009 tersisa sebanyak 30 ekor dan kawasan yang menjadi habitat aslinya setiap harinya semakin mengecil akibat ulah pembalak liar dan pengalihfungsian hutan menjadi perkebunan.

Habitat asli harimau Sumatera yang berada di kawasan hutan lindung Bukit Batabuh Kampar dan Kuala Cenaku, Inhu kini tengah terancam oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab.

Pada tahun 2010 ini Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan populasi harimau Sumatera menjadi dua kali lipat pada tahun 2022 di enam lansekap prioritas konservasi harimau di Sumatera, yaitu Lansekap Ulu Masen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan. Semoga dengan adanya kesepakatan 13 negara untuk mengambil langkah pemulihan harimau secara global berdampak langsung pada pelestarian harimau Sumatera di Riau.

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.