Sempalan DPD Pilih Dukung Mega-Prabowo

JPNN.COM

JAKARTA – Pemilihan Presiden (Pilpres) telah membuat Dewan perwakilan Daerah (DPD) terbelah. Upaya pihak tertentu untuk mengarahkan lembaga yang diisi senator asal daerah untuk mendukung pasangan SBY-Boediono ternyata tak efekif.

Bahkan lebih dari 30 anggota dari lintas provinsi meberikan dukungan ke pasangan Prabowo-Megawati. Sabtu (13/6) malam lalu, para senator itu melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan Taufiq Kiemas dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Suhardi, Sabtu malam (13/6), di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Menteng Jakarta Pusat.

Anggota-anggota DPD yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Lundu Panjaitan dan Yopie S Batubara (Sumatera Utara), Idris Zaini dan Benny Horas Panjaitan (Kepulauan Riau), Djamila S dan Rosman Djohan (Bangka Belitung), Muhamad Jun (Sumatera Selatan).

Nampak pula Biem Benyamin dari DKI Jakarta, Renny Pudjiati dan. Ratu Cicih (Banten), Pangeran Arief Natakusumah dan M. Surya (Jawa Barat) dan beberapa anggota DPD dari Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur seperti Aspar dan Hj. Sri Kadarwati (Kalimantan Barat), Wayan Sudirta (Bali), Pariama Mbyo (Sultra), Charles Sunarjo (Maluku Utara ), Louis Zonggonao (Papua), serta HAM Killian (Papua Barat).

Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung selama selama satu setengah jam yang berakhir pukul 20.30 WIB itu, sekitar 30 anggota DPD sepakat untuk mendukung pasangan capres-cawapres Mega-Prabowo dalam pilpres 8 Juli mendatang. Selain itu, para anggota DPD yang hadir dalam pertemuan itu sepakat membentuk sebuah tim pemenangan yang bernama Tim Bhinneka Tunggal Ika.

Anggota DPD asal Bengkulu yang ditunjuk menjadi Koordinator Tim Bhinneka Tunggal Ika, Muspani, mengatakan bahwa para anggota DPD yang hadir di pertemuan tersebut sangat konsen dengan visi dan misi pasangan Mega-Prabowo. “Kami yakin visi dan misi yang dimiliki pasangan ini mampu membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Kami yakin Mega-Prabowo adalah harapan baru Indonesia,” jelas Muspani.

Soal dukungan terhadap pasangan Megawati-Prabowo, kata Muspani, bukan omong kosong belaka. Sebab, para anggota DPD memiliki basis masa di daerah masing-masing.

“Bayangkan saja kalau seorang anggota DPD memiliki minimal dukungan 40 ribu suara. Kami akan mengerahkan segala dukungan basis massa di daerah kami masing-masing. Kami yakin, dukungan basis massa yang kami miliki akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pasangan Mega-Prabowo dalam Pilpres 8 Juli nanti,” papar Muspani.

Pada kesempatan sama, anggota DPD dari provinsi Riau, Intsiawati Ayus (Riau) mengatakan, setiap anggota DPD memiliki hak politik untuk menjatuhkan pilihan kepada pasangan capres-cawapres dalam pilpres mendatang. “Jadi, tidak ada itu yang namanya dukungan atas nama lembaga karena setiap anggota DPD punya hak politik masing-masing. Ini adalah dukungan pribadi kami sebagai anggota DPD kepada pasangan Mega-Prabowo,” tukasnya.

Senada dengan Muspani, Intsiawati juga menegaskan, setiap anggota DPD yang tergabung dalam Tim Bhinneka Tunggal Ika siap menggerakkan gerbong massa yang dimiliki di setiap daerah untuk mendukung pasangan Mega-Prabowo. “Anggota DPD itu gerbongnya macam-macam. Ada gerbong yang isinya kiai, ada gerbong yang isinya pendeta. Ada juga gerbong yang isinya pengusaha kecil dan menengah. Jadi, kita ini satu rasa dan satu tujuan. Gerbong massa itu tinggal menungguh komando dari kita,” tandas Intsiawati.

Menanggapi dukungan DPD, Ketua Deperpu PDI Perjuangan Taufiq Kiemas dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Suhardi merasa kagum dengan sikap para anggota DPD yang tergabung dalam Tim Bhinneka Tunggal Ika itu.

“Saya kagum dengan sikap anggota DPD yang secara pribadi mau mendukung pasangan Mega-Prabowo dalam Pilpres nanti. Bahkan mereka berjanji akan menarik 40 anggota DPD lainnya masuk dalam Tim Bhinneka Tunggal Ika. Keputusan politik itu patut kita hargai,” ujar Taufiq Kiemas singkat.(aj/jpnn)

AGAR TRANSMIGRASI TIDAK DIANGGAP PROYEK PUSAT, DAERAH HARUS BERPERAN

sumber: www.dpd.go.id

Wewenang pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) sebagai daerah tempatan transmigrasi harus diperjelas dan dipertegas. Agar, penyelenggaraan transmigrasi tidak dianggap sebagai proyek pemerintah pusat yang mengabaikan peran pemerintah daerah sejak perencanaan hingga pembinaan transmigran.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja (Raker) Panitia Ad Hoc (PAH) II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan beberapa Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Disnakertrans) provinsi di lantai 3 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Selasa (9/6). Dipimpin Wakil Ketua PAH II DPD Intsiawati Ayus, raker membahas materi Rancangan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Transmigrasi dan Naskah Akademik.

“Muhah-mudahan, transmigrasi ke depan semakin mantap dan semakin bisa berperan aktif dalam pembangunan daerah,” demikian harapan Rapotan Tambunan, Kepala Disnakertrans Sumatera Utara (Sumut). “Sebelum penempatan, transmigran harus dipilih lebih selektif. Selektiflah mengirim transmigran, agar mereka jangan menjadi transmigran ulang-alik,” jelasnya.

Agus Patria, Kadisnakertrans Nusa Tenggara Barat (NTB), menyambut naskah akademik RUU yang membatasi wewenang antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tetapi, materi RUU-nya justru menimbulkan multitafsir. “Kalau sebuah UU multitafsir, bisa terjadi saling gesek wewenang antar-institusi. Naskah akademiknya bagus, tapi materi RUU-nya tidak bagus.”

Atau diistilahkan Adrian Lahayi, Kadisnakertrans Gorontalo, “Kurang terbaca bagus.” Harus dipertegas pembagian wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Agus memisalkan, pembagian urusan ketransmigrasian sering menimbulkan kerancuan. Pengaturan tentang penyerahan permukiman transmigrasi setelah sasaran tercapai atau paling lambat lima tahun sejak penempatan transmigran sering dipersepsikan seolah-olah pemerintah daerah kurang terlibat sejak perencanaan.

Sri Wuryadi, mewakili Kadisnakertrans Kalimantan Selatan (Kalsel), mengatakan, penyerahan permukiman transmigrasi dari Pemerintah kepada pemerintah daerah seharusnya tidak terkendala asalkan pemerintah daerah terlibat sejak perencanaan hingga pembinaan. “Tapi, kadang-kadang setelah lima tahun tersendat-sendat,” kata Sri.

Biasanya, pengakhiran status terkendala karena tanpa penyerahan sertifikat tanah dan bangunan serta pendapatan (income) transmigran yang tidak sesuai dengan persyaratan pemerintah daerah penempatan. Padahal, jika pengakhiran status terkendala maka pembinaan dilanjutkan pemerintah daerah.

Adrian juga menganggap RUU masih sentralistik. Karena perencanaan hingga pembinaan transmigrasi masih top-down seperti penyelenggaraan di masa lalu sementara aspirasi pemerintah daerah sebagai tujuan penempatan kurang terakomodasi. Peran pemerintah daerah harus diperkuat terutama sejak perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, hingga pengawasan, termasuk mengembangkan investasi.

Karena ketidakjelasan peran tersebut, pemerintah daerah dibebani keharusan mengalokasikan anggaran belanja daerah untuk pembinaan transmigran. Padahal, dana untuk membina transmigrasi tidak cukup jika mengandalkan dana dekonsentrasi tanpa didukung dana alokasi khusus.

Anak Agung Gede Anom Wartawan, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan (Kadisnakertransduk), menekankan kerjasama antardaerah agar lokasi transmigrasi yang berhasil tidak diklaim penduduk asli sebagai tanah warisan leluhur. “Hak-hak transmigran jangan kabur,” ujarnya.

Intsiawati Mempertanyakan Spirit Revisi UU Susduk

PEKANBARU (RiauInfo) - Perkembangan terakhir seputar pembahasan revisi Undang-Undang No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU Susduk) yang berjalan alot saat ini menunjukkan bahwa DPR belum menunjukkan komitmen sungguh-sungguh dalam menata sistem ketatanegaraan yang baik.

Demikian diungkapkan Intsiawati Ayus SH., MH, anggota DPD RI asal Riau sebagai pembicara dalam Dialog Kenegaraan, yang bertajuk “Pertarungan Politik dalam RUU Susduk, ” di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (3/06/09).

Dalam forum yang dihadiri para pejabat, staf, dan kalangan pers dari kompleks parlemen tersebut Intsiawati memberikan sejumlah catatan penting terkait aturan keanggotaan, pimpinan MPR dan DPD, politik legislasi terkait RUU tertentu, tugas dan wewenang DPD, tatib DPD, hingga kantor DPD di daerah.

Dari sejumlah substansi yang dihasilkan Pansus Susduk tersebut menurutnya muncul kesan bahwa DPR telah berlaku arogan atau superior. Dalam hal kewenangan misalnya, --Intsiawati memberikan contoh--DPR tampak sekali tidak memperhatikan azas keseimbangan kekuasaan (check and balances) dengan DPD sebagai lembaga parlemen yang setara, bahkan Penghapusan Panitia Kerjasama Antar Parlemen sebagai bagian dari alat kelengkapan DPD bertendensi menghilangkan eksistensi DPD sebagai lembaga Parlemen.

Bagi Intsiawati ini merupakan ancaman terjadinya kembali kegagalan institusional. Di balik itu semua timbul pertanyaan besar, “Apa sesungguhnya spirit di balik revisi UU Susduk ini?” Ungkapnya retoris.

Hal senada diungkapkan pembicara lain, Prof. Dr. Syamsuddin Haris, pengamat politik yang juga peneliti dari LIPI. Syamsuddin mempertanyakan tentang titik tolak DPR dalam menyusun revisi ini. Sejauh ini menurutnya materi-materi yang dibahas masih belum menunjukkan semangat untuk membangun parlemen yang efektif dan akuntabel, bahkan belum terlihat aturan untuk mensinergiskan lembaga-lembaga perwakilan yang ada .

Antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya tampak masih terlepas-lepas. Syamsuddin juga menyoroti tentang ranah kewenangan DPR yang saat ini sudah telampau luas bahkan telah merambah ke ranah eksekutif. Bagi Syamsuddin jika tidak ada pencapaian yang berarti dari Pansus Susduk ini, maka apa yang dilakukan DPR saat ini hanya sekadar ritual atau rutinitas 5 ( lima ) tahunan saja.

Terkait dengan eksistensi DPD Syamsudin menegaskan bahwa saat ini desain konstitusi kita masih ambivalen, sehingga RUU Susduk ini harus disusun dalam konteks visi amandemen konstitusi ke depan . Syamsudin sempat menuding bahwa DPR saat ini ‘miskin ide’ dan tidak berpolitik jangka panjang itu menyodorkan dua pilhan kepada DPR untuk memposisikan DPD secara jelas.

“Ini merupakan momentum yang tepat, pilihannya jelas antara dua, apakah DPD ini diperkuat ataukah dibubarkan!” Tegasnya. Dalam hal penguatan DPD ini Syamsudin lebih sepakat untuk memberikan wewenang kepada DPD, sesuai konstitusi yang ada, yakni tidak seluas otoritas DPR agar nantinya tidak ada ancaman deadlock.

Dalam pembelaannya Ganjar Pranowo SH., Ketua Pansus Susduk DPR, yang juga menjadi pembicara pada forum tersebut mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan DPR saat ini selalu dalam kerangka dan landasan konstitusi yang jelas. Dasar pansus DPR dalam melakukan revisi ini berangkat dari semangat untuk melakukan reformasi lembaga perwakilan. Dalam kesempatan tersebut Ganjar menyampaikan perkembangan terakhir seputar pembahasan UU tersebut yang banyak pasal di antaranya kini terpaksa harus dipending.

Ganjar juga mengungkapkan otokritik terkait kelemahan di tubuh DPR sendiri, termasuk kemampuan kapasitas personal DPR yang masih terbatas dan sistem pengambilan keputusan yang berbelit-belit dan melelahkan. Ganjar berharap ke depan DPR dan DPD bisa bekerja secara harmonis dengan supporting tim ahli yang mumpuni sehingga pekerjaan anggota parlemen lebih pada kebijakan politisnya, bukan lagi soal pembahasan teknis Undang-Undang.(ad)

INTSIAWATI AYUS BICARA DI SENAYAN


PotretNews.com-Intsiawati Ayus Anggota DPD RI asal Riau Intsiawati Ayus SH MH tatkala menjadi pembicara ”Dialog Kenegaraan” dengan topik "Pertarungan Politik Dalam RUU Susduk" di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin. Narasumber lain yang tampil adalah Ganjar Pranowo SH (Ketua Pansus RUU Susduk DPr-RI yang juga Pimpinan Fraksi PDI-P dan Prof Dr Syamsuddin Haris (pengamat politik, Peneliti LIPI), dengan moderator, Suradi. Dalam forum yang dihadiri para pejabat, staf, dan kalangan pers dari kompleks parlemen tersebut Intsiawati memberikan sejumlah catatan penting terkait aturan keanggotaan, pimpinan MPR dan DPD, politik legislasi terkait RUU tertentu, tugas dan wewenang DPD, tatib DPD, hingga kantor DPD di daerah. (f-ist)

RUU Susduk: Pansus Targetkan Akhir Juni Selesai

HUKUMONLINE.COM--Posisi panja terakhir memutus pimpinan MPR terdiri dari dua orang DPR dan satu orang dari DPD. Anggota DPD keberatan, mereka tetap meminta jatah dua.

Proses pembahasan RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (susduk) masih menyisakan banyak persoalan. Persoalan tenggat waktu penyelesaian RUU menjadi satu hal yang dipersoalkan. Menjawab hal ini, Panitia Khusus (Pansus) optimis RUU akan kelar pada akhir Juni 2009 ini. Hal tersebut diutarakan Ketua Pansus RUU Susduk Ganjar Pranowo dalam sebuah diskusi di Komplek Parlemen, Rabu (3/6).

Ganjar beralasan percepatan dilakukan karena anggota DPRD akan segera dilantik. Ia menegaskan, jangan sampai saat pelantikan, DPRD belum memiliki payung hukum karena RUU belum selesai. Melalui RUU Susduk yang baru, kedudukan DPRD akan dipertegas sehingga sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). “Jika tidak selesai menjelang pelantikan anggota DPRD baru, mau tidak mau payung hukum yang menaungi mereka (anggota DPRD) adalah UU Susduk yang lama,” ujarnya.

Ganjar optimis pembahasan bisa cepat karena model pembahasan RUU Susduk dilakukan per cluster (bagian). Menurutnya, dari lima bagian pembahasan yakni MPR, DPR, DPD, DPRD dan Kesekjenan tinggal sedikit lagi yang belum kelar. “Walaupun banyak substansi yang cukup alot diperdebatkan, tapi saya yakin substansi yang dibahas dapat segera diselesaikan,” Ganjar menambahkan.

Substansi yang sudah diputus di panitia kerja (panja) adalah jumlah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pimpinan MPR, papar Ganjar, yang sudah diputus berjumlah tiga orang. Rumusan ini sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan di MPR, yakni satu pertiga dari jumlah anggota DPR dan DPD. “Jadinya kita (panja) putuskan pimpinan MPR itu dua dari anggota DPR dan satu dari anggota DPD,” ujar politisi dari PDIP ini.

Ganjar menjelaskan bahwa molornya waktu penyelesaian diakibatkan berubahnya konstelasi politik yang terjadi setelah pemilu legislatif kemarin. Hal ini dikarenakan, setelah tangal 9 April lalu, telah diketahui partai mana yang menang dan kalah dalam perolehan suara. “Sehingga rumusan yang dibuat sebelum pemilu sudah disepakati, berubah lagi setelah hasil pemilu keluar,” katanya.


Keberatan DPD
Nada keberatan datang dari Anggota Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD, Intsiawati Ayus. Menurutnya, dua banding satu jumlah pimpinan MPR tidak sesuai dengan amanah UUD 1945. Intsiawati berargumen, dalam konstitusi pengakuan terhadap DPD sangatlah kuat sehingga perbandingan dalam mengisi pimpinan MPR haruslah sama dengan jumlah dari DPR.

“DPD merupakan lembaga negara yang diakui konstitusi, jumlah pimpinan MPR 2:1 kami sangat keberatan, itu saya lihat sangat 'genit', dengan perbandingan seperti itu kami merasa dilecehkan, maka itu kami tetap ingin dua dari anggota DPR dan dua lagi dari anggota DPD,” ujar anggota DPD asal Riau ini.

Terkait fungsi legislasi, ia meminta DPD diberi peranan yakni dengan mengikutsertakan DPD dalam setiap pembahasan RUU. Bahkan, ia meminta agar ada pengakuan usul insiatif sebuah RUU dari DPD yang dicantumkan dalam RUU. Ia menjelaskan, selama ini DPD dianggap tidak pernah ikut melahirkan UU. Padahal sudah banyak UU yang turut dilahirkan dari usul DPD. “Seperti, usul inisiatif tentang perubahan UU Pelayaran, itu merupakan usul DPD, tapi saat disahkan, RUU tersebut menjadi usul DPR,” tukasnya.

Molornya waktu pembahasan RUU disayangkan oleh Pengamat Politik Syamsuddin Haris. Ia mengatakan penyelesaian pembahasan RUU seyogyanya sebelum pemilu. Karena jika setelah pemilu, konstelasi hasil suara menjadikan perubahan politik dari berbagai partai. “Partai yang sebelumnya mendukung substansi RUU bisa jadi menolak, karena setelah pileg, politiking RUU ini jauh lebih besar,” ujarnya.

Walaupun begitu, Syamsuddin mengusulkan harus ada titik tolak yang menjadi acuan untuk mencari jalan keluar dalam alotnya pembahasan. Desain acuan yang disarankan oleh Syamsuddin ada tiga yakni menuju parlemen yang efektif, parlemen lebih akuntabel dan parlemen lebih sinergis satu dengan yang lain. Efektif yang dimaksud yaitu kebijakan yang dihasilkan selalu mengacu pada kepentingan publik, agar ada check and balances. Bukan hanya itu, akuntabilitas juga sangat diperlukan. Mengingat DPR dan DPD secara institusi akan lebih tanggung jawab untuk menjalankan mandatnya secara adil. “Maka itu, tiga kata kunci ini jadi titik tolak desain RUU Susduk ini,” katanya.

(Fat)

DPD Minta Tetap Ngantor di Jakarta

JPPN.COM--JAKARTA – Tampaknya, para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih suka tinggal di Jakarta. Anggota DPD asal Riau, Intsiawati Ayus menentang ketentuan di Rancangan Undang-Undang Susunan Kedudukan (RUU Susduk) MPR, DPR,DPR, dan DPRD yang mengatur anggota DPD berkedudukan di daerahnya masing-masing.

“DPD merupakan lembaga negara yang levelnya nasional. Jadi, memang sudah semestinya berkedudukan di Jakarta,” ucapnya kepada JPNN usai diskusi bertema ‘Pertarungan Politik Dalam RUU Susduk’ di gedung DPD, Senayan, Rabu (3/6).

Kalau anggota DPD berkedudukan di daerah,katanya, maka akan mengganggu fungsi dan kewenangan DPD. “Kalau sedang ikut membahas proses legislasi, apa harus mondar-mandir ke Jakarta. Itu kan biayanya jadi mahal,” ujarnya. Alasan lain, kalau harus di daerah, maka mesti dibangun gedung baru.

Bukankah sesuai UU Susduk yang berlaku saat ini DPD harus di daerah? Ayus membenarkan. Karenanya, dia berharap Pansus RUU Susduk yang sedang bekerja saat ini mengubah ketentuan itu dan mencantumkan aturan bahwa DPD berkedudukan di Jakarta.

Dia menanggapi Ketua Pansus RUU Susduk, Ganjar Pranowo yang menjelaskan, para anggota DPD itu memang harus di daerah karena mereka wakil daerah. “Mereka harus di daerah dan setiap tiga bulan baru ke Jakarta untuk rapat-rapat atau sidang,” ujar Ganjar di tempat yang sama. (sam/JPNN)

Dialog Kenegaraan



Pengamat Politik LIPI, Syamsuddin Haris (kanan) didampingi Ketua Pansus RUU Susduk DPR RI, Ganjar Pranowo (tengah) dan anggota DPD RI, Intsiawati Ayus (kiri) dengan lugas menyampaikan pandangan dan pemikirannya mengenai idealnya dan keinginan para anggota dewan tentang susunan kedudukan dan kelembagaan Parlemen Indonesia pada saat berlangsung dialog kenegaraan berthema "Pertarungan Politik Dalam RUU Susduk", Rabu, 03/06/2009 di gedung Parlemen RI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan Jakarta Pusat. Sementara ini susunan dan kedudukan kelembagaan Parlemen di Indonesia masih terpecah dan belum optimal. fy-ina/Mulkan Salmun

Source http://www.fy-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1698:pertarungan-dalam-ruu-susduk&catid=37:national-news&Itemid=265

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.