Dimulai Sidang Judicial Review Tentang DPD
By aluncita,
forumkeadilanJakarta, FK. Senin, 24 September 2012. Suasana Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) terasa istimewa. Beberapa petinggi Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) dan puluhan anggota DPD dari berbagai daerah duduk menyimak di ruang sidang. Di gedung megah dengan pilar-pilar bercat putih yang kokoh itu, Ketua DPD Irman Gusman, sedang membacakan alasan mengapa anggota DPD dating beramai-ramai ke MK.
Rupanya, hari itu Majelis MK menggelar sidang perdana pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Pemohonan ini diajukan 18 DPD yang menganggap kedua undang-undang itu telah mengebiri kewenangan konstitusionalitasnya.
Dalam sidang itu, secara simbolis DPD RI diwakili Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua DPD La Ode Ida, dan Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Sementara, enam orang pengacara yang dipimpin Todung Mulya Lubis duduk sebagai kuasa hokum DPD. Sedangkan tim litigasi DPD diketuai I Wayan Sudirta dan beranggotakan Intsiawati Ayus, El Nino Husein Mohi, Jacob Jack Ospara, Asri Anas, dan Juniwati Sofwan.
Masuk ke inti persidangan. Dalam kesempatan itu, DPD memohon pengujian Pasal 71 huruf a, d, e, f dan g; Pasal 102 ayat (1) huruf d dan e; Pasal 107 ayat (1) huruf c; Pasal 143 ayat (5); Pasal 144; Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7); Pasal 150 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan Pasal 151 ayat (1) UU MD3.
Selain itu, DPD juga mengujikan Pasal 18 huruf g; Pasal 20 ayat (1); Pasal 21; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 43 ayat (1), ayat (2); Pasal 46 ayat (1); Pasal 48 ayat (2), ayat (3); Pasal 65 ayat (3), ayat (4); Pasal 68 ayat (5); Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b; dan Pasal 70 ayat (1), ayat (2) UU P3 Nomor 12/2011 terhadap UUD 1945.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, DPD lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis meminta MK mempertegas kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah di pusat. Sebab, UU MD3 dan UU PPP ini merugikan beberapa kewenangan DPD yang dijamin UUD 1945 seperti kewenangan mengajukan RUU, ikut serta dalam pembahasan RUU, dan ikut menyetujui RUU menjadi undang-undang.
Undang-undang ini mereduksi kewenangan DPD tanpa mengikutsertakan DPD mulai dari pengajuan RUU hingga persetujuan RUU. Padahal, RUU yang dibahas itu menyangkut kewenangan DPD seperti otonomi daerah, hubungan pemerintahan pusat dan daerah, hingga pertimbangan keuangan pusat dan daerah, ini kewenangan yang dijamin dalam UUD 1945, tetapi DPD ditinggalkan atau tidak terlibat,” kata jelas Todung di ruang sidang MK, Senin, 24 September.
Todung mengatakan tidak diikutsertakan DPD dalam pembahasan atau persetujuan sebuah RUU adalah pelanggaran terhadap konstitusional. “Padahal kan DPD sendiri telah diberikan mandat sesuai dengan UUD untuk mewakili kepentingan daerah, kalau ini diabaikan maka aspirasi rakyat didaerah jadi tidak bisa diakomodir,” lanjut Todung.
Pemohon juga menilai, ketentuan-ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 masih secara sumir mengatur bagaimana hubungan kerja antara DPR dan DPD, baik dalam penyusunan RUU maupun dalam pembahasan RUU, serta pelaksanaan tugas dan kewenangan lainnya.
“Misalnya, Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3, memberikan ’derita’ konstitusional luar biasa kepada DPD,” tandasnya.
Pasal tersebut mengatur bahwa apabila telah disetujui rapat paripurna, maka RUU dari DPD akan menjadi RUU usul dari DPR. Sementara, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 secara jelas DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR sesuai kewenangannya. “Dengan demikian sudah seharusnya usul RUU tersebut tetap menjadi usul dari DPD, tidak menjadi usul dari DPR,” bebernya.
Selain itu, pemohon menguji ketentuan Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1) UU P3 yang mengatur tentang Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menurut Todung, DPD tidak diikutsertakan dalam penyusunan RUU tersebut. ’’Pada tingkat penyusunan RUU, keberadaan DPD dinafikan begitu saja dengan adanya pengaturan UU P3 [Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1)],” terang Pemohon.
Apabila ditinjau dari aspek yuridis konstitusional, kata Todung, keberadaan DPD sebagai lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK. Namun, kesejajaran dalam struktur ketatanegaraan tersebut tidak diimbangi dengan kejajaran fungsi dan kewenangan. “Kewenangan DPD tidak hanya ‘dibonsai’ tapi juga dimarjinalkan secara fungsional dan kelembagaan,” katanya.
Secara kelembagaan, lanjut Todung, kedudukan pemohon hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang fungsinya sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. “Hal demikian ini tentu tidak sesuai jiwa dan semangat dari perubahan UUD 1945 yang bermaksud untuk menciptakan proses checks and balances dalam pembentukan undang-undang melalui sistem bicameral.”
Todung melanjutkan, pengujian undang-undang ini murni untuk mengembalikan kewenangan DPD yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Selama ini, DPD menilai dengan lahirnya beberapa pasal dalam UU MD3 dan PPP ini membuktikan adanya kesalahan tafsir mengenai kewenangan DPD sebagai wakil daerah.
“Dalam UU MD3 dan UU PPP ini dalam beberapa pasalnya mencantumkan kewenangan DPD. Namun, beberapa pasal kedua undang-undang itu kami anggap telah mengkebiri kewenangan DPD. Karena itu, kami minta MK membatalkan pasal-pasal dan minta tafsir konstitusional dengan mengoreksi kesalahan tafsir yang terjadi,” pintanya.
Menanggapi permohonan ini, Anggota Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mempertanyakan apakah permasalahan kewenangan ini pernah dibicarakan dengan DPR sebelum menggugat ke MK. Atas pertanyaan itu, Ketua Tim Litigasi DPD, I Wayan Sudarta mengaku sejak tahun 2007 pihaknya telah intens mengkomunikasikan persoalan ini kepada DPR dengan membentuk Tim 25, tetapi tidak ada kelanjutannya.
“Bahkan sekarang telah dibuat tatib bersama untuk permasalahan ini, seperti tukar info, dan sekjen-sekjen sudah berunding, tetapi itu tidak ada kelanjutan juga. Karena dua cara yang telah kami lakukan terhadap DPR dengan DPD itu tidak berhasil, kami ajukan gugatan ke MK,” terang Wayan.
Anggota panel lainnya, Ahmad Fadlil Sumadi menilai permohonan ini mengesankan ada persoalan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), bukan pengujian undang-undang (PUU). “Dan banyak kalimat senada yang menunjukkan ini seakan-akan seperti SKLN,” jelas Fadlil.
Usai sidang, Todung tetap merasa bahwa permohonan uji materi ini tidak perlu diubah menjadi permohonan SKLN. Sebab, permohonan uji materi ini murni diperuntukkan untuk meluruskan kembali tafsir beberapa pasal dalam MD3 dan UU PPP itu.
“Kami percaya persoalan ini akan bisa diselesaikan jika MK memberi tafsir pasal-pasal itu, sehingga hak kewenangan DPD dalam mengajukan RUU dan ikut membahasnya itu akan bisa terakomodasi. Jadi tidak perlu sampai SKLN dan itu belum waktunya,” tegas Todung.
Pengamat hukum tata negara Refli Harun SH, menyatakan optimismenya upaya uji materi UU MD3 ke MK akan menuai hasil yang positif. ”Melihat substansi UU MD3 yang tidak sesuai dengan Pasal 22D UUD ’45, kita yakin DPD akan menang,” kata dia. Refli mengatakan kemungkinan besar yang akan maju sebagai pemohon uji materi adalah beberapa anggota DPD. Tapi dia berharap elemen-elemen masyarakat yang selama ini mendukung penguatan DPD juga akan ikut mengajukan hal yang sama.
Untuk diketahui, DPD resmi mendaftarkan gugatan uji materi 12 pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan 11 pasal dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke MK. Pengajuan uji materi itu dilayangkan oleh 18 senator untuk mempertegas kewenangan DPD RI sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945.
Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, langkah DPD mengajukan judicial review tidak serta merta dilakukan. Hal ini telah dipikirkan dua tahun sejak DPD dibentuk di tahun 2004, dan merupakan keinginan DPD melakukan perbaikan sistem ketatanegaraan, dalam hubungannya peran DPD mewadahi aspirasi baik yang ada di parpol maupun dari nonparpol.
”Selama 8 tahun DPD berdiri, pelaksanaan konstitusi belum berjalan sebagaimana mestinya. Banyak cara yang telah kami tempuh antara DPD dan DPR. Memang ada perbaikan dalam mekanisme hubungan kerja seperti yang sudah saya lihat sekarang, tapi ada hal-hal yang barangkali DPR tidak tahu bagaimana mencari jawabannya,” ujar dia di lobi ruang kerja pimpinan DPD lantai 8, Gedung Nusantara III DPR, Senayan, Jakarta.
Irman juga berharap judicial review UU MD3 akan dikabulkan MK, sehingga kualitas dan manfaatnya dirasakan masyarakat dan daerah. Dengan kewenangan yang kuat, tutur Irman, maka DPD bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat secara optimal.
”Untuk itu, kami ingin mendorong supaya produk legislasi ini baik dari segi kualitas dan kuantitas, dengan kehadiran DPD. Insya Allah dikabulkan, tergantung bagaimana lawyer kami menghadapi sidang tersebut. Kita harapkan nanti bisa untuk bangsa Indonesia,” pungkasnya.