Konflik Agraria di Riau Harus Ditangani Serius



Masalah konflik agraria di Riau sangat tinggi. Bila dibiarkan akan pecah menjadi konflik terbuka.

Jurnal Parlemen, Jakarta - Masalah konflik agraria di Riau sangat tinggi. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Riau Intsiawati Ayus sangat peduli dengan masalah itu. Sebab, bila dibiarkan akan pecah menjadi konflik terbuka.

"Masalah utama Riau yang memerlukan penanganan serius dan membutuhkan energi yang tidak sedikit adalah soal penyelesaian konflik agraria," kata Intsiawati kepada Jurnalparlemen.com, Selasa (25/12).

Permasalahan lain, sambung anggota Komite II DPD ini, adalah soal perbaikan tata kelola sumber daya alam, pelestarian hutan dan lingkungan, perbaikan dan peningkatan infrastruktur serta ketahanan energi. "Masalah-masalah tersebut sebagian besar merupakan bidang tugas saya di Komite II DPD," katanya.

Intsiawati juga mengatakan, banyak hal terkait kemitraan pusat dan daerah telah berhasil dijembatani DPD. "Kami di Riau misalnya berhasil menemukan banyak solusi bersama terkait kebutuhan prioritas bagi daerah seperti soal listrik, jaringan jalan, dan infrastruktur lainnya," kata Intsiawati.

"Dalam banyak hal DPD berusaha memudahkan pekerjaan pusat agar berjalan efektif dan tepat sasaran di daerah. DPD tidak segan-segan membantu pusat untuk menyosialisasikan program-program pusat yang efektif bagi peningkatan kesejahteraan daerah, seperti program KUR dan perumahan rakyat," terangnya.

Yang jelas, kata Intsiawati, keberadaan DPD tidak sia-sia. "Posisi tawar daerah terhadap pusat kini sudah jauh lebih baik. DPD banyak mengisi ruang yang tidak diisi oleh DPR," ujarnya.

Bupati Minta Anggota DPD Dukung Teknopolitan dan PLTG


PANGKALAN KERINCI-Haluan Riau . Bupati Pelalawan HM Harris, Senin (12/11), menerima kunjungan tiga anggota DPD RI yakni Dr Hj Maemanah Umar, H. Abdul Gafar Usman, dan Intsiawati Ayus di ruang auditorium kantor bupati. Saat kunjungan itu, Bupati meminta dukungan pembangunan Teknopolitan dan PLTG yang akan dilaksanakan Pemkab Pelalawan. Selain itu juga dibahas berbagai masalah di Pelalawan agar diperjuangkan anggota DPD di level nasional. Ikut hadir pada kesempatan itu, Sekda Zardewan, anggota DPRD, asisten, kepala dinas, badan, camat, kepala desa, tokoh adat, ketua KPUD, tokoh masyarakat dan pemuda.

Bupati juga mengekspos potensi dan pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan di Kabupaten Pelalawan, seperti program pembangunan wisata Bono, MP3EI tentang Teknopolitan dan PLTG. Dalam pelaksanaan program itu terdapat beberapa kendala, seperti pelaksanaan program pembaharuan menuju kemandirian seperti pembebasan lahan Teknopolitan dan program PLTG yang memerlukan dukung dari anggota DPD RI asal Riau agar segera terealisasi. Menurut Bupati, terkait pembangunan PLTG masih terkendala masalah Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang belum tercapai secara konkrit.

“Soal PLTG Langgam Power yang dinantikan masyarakat, masih ada kendala PJBG di BP Migas. Hal itu seharusnya sudah selesai sesuai target PLTG akan di launching akhir tahun 2012. Namun BP Migas sendiri belum mengeluarkan PJBG sehingga dikwatirkan pembangunan PLTG terkendala. Sesuai rencana perkiraan kita seharusnya pada bulan September atau paling lambat Oktober 2012 PJBG selesai. Karena rencana program PLTG dibangun untuk mengatasi persoalan listrik di Riau dengan memakai sumber daya alam gas yang ada di Kabupaten Pelalawan,” papar Bupati.

Dikatakan Bupati, saat ini pemancangan kedudukan mesin genset serta pemasangan mesin akan dilakukan. Karena penimbunan dan pematangan lokasi telah rampung. Namun hal itu dilakukan jika PJBG telah ada maka perusahaan konsorsium dapat melaksanakan pekerjaan. Apabila PJBG dari BP Migas belum keluar, pembangunan PLTG mengalami kendala, kontraktor tak mau kerja karena resiko. "Untuk itu, kita berharap PJBG segera terwujud, karena ini sangat kita butuhkan," tuturnya.

Mendengar permasalahan PJBG BP Migas, anggota DPD Dr Hj Maemanah Umar, H. Abdul Gafar Usman, dan Intsiawati Ayus meminta secara tertulis permasalahan dan data di Kabupaten Pelalawan kepada Bupati untuk dijadikan bahan agar diperjuangkan ke pusat nantinya. “Karena tanpa data yang lengkap, maka perjuangan DPD akan kurang maksimal. Apabila lengkap datanya sesuai kebutuhan masyarakat, kami dari DPD berjanji memperjuangkan semaksimalnya,” ujar ketiga anggota DPD RI itu.

Hj Maemanah Umar, H. Abdul Gafar Usman, dan Intsiawati Ayus mengaku sangat kagum dan salut akan program dan keberanian Bupati HM Harris. Untuk itu mereka meminta semua pihak agar mendukung program tersebut. “Keberanian Pak Bupati melakukan reformasi birokrasi dan programnya untuk membangun Kabupaten Pelalawan dengan pembaharuan dan kemandirian perlu mendapat dukungan. DPD akan siap melaksanakan tugas untuk membantu Riau dan Kabupaten Pelalawan dengan menyampaikan inventarisasi masalah untuk akses ke pusat," ujar Gafar Usman. (SUHERMI)

Kunjungan Anggota DPD RI ke Pelalawan: Bupati Paparkan Sejumlah Persoalan

Pelalawan, Riausidik.com - Senin (12/11) Bupati Pelalawan HM. Harris menerima kunjungan dari anggota DPD RI dari Daerah pemilihan Provinsi Riau, bertempat di Aula Auditorium lantai III kantor Bupati Pelalawan-Riau, dalam pertemuan itu Bupati menyampaikan sejumlah persoalan yang di hadapi Pemerintah Kabupaten Pelalawan.

Pada kunjungan tersebut tampak hadir anggota DPD dari Provinsi Dr. Hj. Maemanah Umar, H. Abdul Gafar Usman MM dan Intsiawati Ayus.

Bupati Pelalawan dalam pemaparannya mengatakan, Kabupaten Pelalawan ada tiga program wisata yang di dalamnya tersebut wisata Bono, MP3El, Teknopolitan dan PLTG. Ia mengatakan dalam tiga Program Kabupaten Pelalawan ini ada beberapa masalah, seperti pembahasan lahan teknopolitan, maka dari itu Kami Daerah Kabupaten Pelalawan memohon dukungan dari DPD RI agar PLTG segera di realisasikan, sebutnya.


Dijelaskannya, perjanjian jual beli terhadap Gas (PJBG) belum tercapai secara konkrit. di karenakan PLTG langgam power sedang dinantikan masyarakat, Kabupaten Pelalawan. Seharusnya masalah yang di temui ini sudah selesai seuai dengan target PLTG yang berakhir tanhun 2012 ini. Namun BP migas sendiri belum mengeluarkan PJBG sehingga hal ini dikhawatirkan pembangunan PLTG terkendala, tandasnya.

"Saat ini pekerjaan pemancangan dudukan serta pemasangan mesin sudah mulai di lakukan, namun hal itu dilakukan jika PJBG telah ada maka perusahaan dapat melaksanakan pekerjaan. Dalam hal ini ia mengatakan seandainya PJBG dari BP migas belum Keluar namun pekerjaan itu akan terkendala", paparnya.

Mendengar perhasalahan itu, PJBG BP migas atau dari pihak DPD RI Dr. Hj. Maemanah Umar, H Abdul Gafar Usman MM, Intsiawati Ayus, meminta secara tertulis permasalahan dan data di Kabupaten Pelalawan untuk bahan diakseskan di pusat. "Kalau permasalahan tidak lengkap datanya maka perjuangan DPD RI kurang maksimal, dan apa bila permaslahan datanya lengkap maka perjuangan DPD RI semaksimal," pinta Intsiawati Ayus.

Sebelumnya para rombongan DPD memberi apresiasi kepada Pemkab Pelalawan. "kami sangat kagum dan salut dengan Program dan keberanian Bupati Pelalawan HM Harris, untuk itu harapan kami dari DPD RI meminta agar semua pihak dapat mendukung program ini," pesannya

"Selain itu juga, keberanian Bupati Pelalawan ini dalam melakukan reformasi birokrasi dan programnya untuk membangun Kabupaten Pelalawan dengan pembaharuan dan kemandirian perlu mendapat dukungan, kami dari DPD Provisi Riau akan siap melaksanakan tugas-tugas mendukung untuk membantu Riau dan termasuk Kabupaten Pelalawan khususnya, jelas Umar. ***

LAM Diminta Ikut Merespon Persoalan

PEKANBARU (RP)- Anggota DPD RI asal wilayah Riau, meminta agar Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau ikut merespon berbagai persoalan yang ada di Riau.

Pasalnya, banyak persoalan yang ada di Riau. Secara kelembagaan, anggota DPD RI pemilihan Riau berkomitmen untuk membantu menyelesaikannya. Tapi tentunya harus digotong secara bersama, termasuk LAM Riau sebagai kelembagaan.

Ini dilontarkan anggota DPD RI Pemilihan Riau, H Gafar Usman dalam pertemuan dengan LAM Riau, di gedung Lembaga Adat Melayu Riau, Kamis (8/11).

Dalam pertemuan itu, turut hadir Hj Maimanah Umar dan Intsiawati Ayus. Mereka diterima unsur Ketua Umum MKA LAM Riau, H Tenas Effendy, Ketua MKA LAM Riau H Marjohan Yusuf, unsur Ketua DPH Tengku Lukman Jaafar, unsur Sekretaris DPH LAM Riau Nasir Penyalai dan sejumlah pengurus lainnya.

Gafar Usman yang sekarang duduk sebagai Wakil Ketua PAP (Panitia Akuntabilitas Publik) DPD RI ini mengatakan, kedatangan mereka ke LAM dalam rangka kunjungan kerja DPD RI ke daerah.

Tujuannya menampung aspirasi, masukan tentang persoalan yang ada di daerah.

Berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat sudah diterima. Namun secara kelembagaan belum. Menyikapi banyaknya persoalan yang diterima DPD RI dari daerah pemilihan Riau, perlu dilakukan koordinasi secara intensif dengan LAM Riau. Sebab, lembaga ini dinilainya masih sangat dihargai oleh masyarakat Riau.

Ini pun diungkapkan dua tokoh perempuan lainnya, Hj Maimanah Umar dan Instiawati Ayus. Persoalan lain yang terjadi dan harus diselesaikan adalah, soal RTRW Riau yang sejak tahun 2008 hingga sekarang belum selesai.

Padahal keberadaannya sangat penting untuk menentukan kawasan atau lahan yang diperuntukkan bagi perusahaan dan masyarakat.(dac)

Dimulai Sidang Judicial Review Tentang DPD


By aluncita, forumkeadilan
Jakarta, FK. Senin, 24 September 2012. Suasana Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) terasa istimewa. Beberapa petinggi Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) dan puluhan anggota DPD dari berbagai daerah duduk menyimak di ruang sidang. Di gedung megah dengan pilar-pilar bercat putih yang kokoh itu, Ketua DPD Irman Gusman, sedang membacakan alasan mengapa anggota DPD dating beramai-ramai ke MK.

Rupanya, hari itu Majelis MK menggelar sidang perdana pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Pemohonan ini diajukan 18 DPD yang menganggap kedua undang-undang itu telah mengebiri kewenangan konstitusionalitasnya.

Dalam sidang itu, secara simbolis DPD RI diwakili Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua DPD La Ode Ida, dan Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Sementara, enam orang pengacara yang dipimpin Todung Mulya Lubis duduk sebagai kuasa hokum DPD. Sedangkan tim litigasi DPD diketuai I Wayan Sudirta dan beranggotakan Intsiawati Ayus, El Nino Husein Mohi, Jacob Jack Ospara, Asri Anas, dan Juniwati Sofwan.

Masuk ke inti persidangan. Dalam kesempatan itu, DPD memohon pengujian Pasal 71 huruf a, d, e, f dan g; Pasal 102 ayat (1) huruf d dan e; Pasal 107 ayat (1) huruf c; Pasal 143 ayat (5); Pasal 144; Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7); Pasal 150 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan Pasal 151 ayat (1) UU MD3.

Selain itu, DPD juga mengujikan Pasal 18 huruf g; Pasal 20 ayat (1); Pasal 21; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 43 ayat (1), ayat (2); Pasal 46 ayat (1); Pasal 48 ayat (2), ayat (3); Pasal 65 ayat (3), ayat (4); Pasal 68 ayat (5); Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b; dan Pasal 70 ayat (1), ayat (2) UU P3 Nomor 12/2011 terhadap UUD 1945.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, DPD lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis meminta MK mempertegas kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah di pusat. Sebab, UU MD3 dan UU PPP ini merugikan beberapa kewenangan DPD yang dijamin UUD 1945 seperti kewenangan mengajukan RUU, ikut serta dalam pembahasan RUU, dan ikut menyetujui RUU menjadi undang-undang.

Undang-undang ini mereduksi kewenangan DPD tanpa mengikutsertakan DPD mulai dari pengajuan RUU hingga persetujuan RUU. Padahal, RUU yang dibahas itu menyangkut kewenangan DPD seperti otonomi daerah, hubungan pemerintahan pusat dan daerah, hingga pertimbangan keuangan pusat dan daerah, ini kewenangan yang dijamin dalam UUD 1945, tetapi DPD ditinggalkan atau tidak terlibat,” kata jelas Todung di ruang sidang MK, Senin, 24 September.

Todung mengatakan tidak diikutsertakan DPD dalam pembahasan atau persetujuan sebuah RUU adalah pelanggaran terhadap konstitusional. “Padahal kan DPD sendiri telah diberikan mandat sesuai dengan UUD untuk mewakili kepentingan daerah, kalau ini diabaikan maka aspirasi rakyat didaerah jadi tidak bisa diakomodir,” lanjut Todung.

Pemohon juga menilai, ketentuan-ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 masih secara sumir mengatur bagaimana hubungan kerja antara DPR dan DPD, baik dalam penyusunan RUU maupun dalam pembahasan RUU, serta pelaksanaan tugas dan kewenangan lainnya.

“Misalnya, Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3, memberikan ’derita’ konstitusional luar biasa kepada DPD,” tandasnya.

Pasal tersebut mengatur bahwa apabila telah disetujui rapat paripurna, maka RUU dari DPD akan menjadi RUU usul dari DPR. Sementara, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 secara jelas DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR sesuai kewenangannya. “Dengan demikian sudah seharusnya usul RUU tersebut tetap menjadi usul dari DPD, tidak menjadi usul dari DPR,” bebernya.



Selain itu, pemohon menguji ketentuan Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1) UU P3 yang mengatur tentang Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menurut Todung, DPD tidak diikutsertakan dalam penyusunan RUU tersebut. ’’Pada tingkat penyusunan RUU, keberadaan DPD dinafikan begitu saja dengan adanya pengaturan UU P3 [Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1)],” terang Pemohon.

Apabila ditinjau dari aspek yuridis konstitusional, kata Todung, keberadaan DPD sebagai lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK. Namun, kesejajaran dalam struktur ketatanegaraan tersebut tidak diimbangi dengan kejajaran fungsi dan kewenangan. “Kewenangan DPD tidak hanya ‘dibonsai’ tapi juga dimarjinalkan secara fungsional dan kelembagaan,” katanya.

Secara kelembagaan, lanjut Todung, kedudukan pemohon hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang fungsinya sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. “Hal demikian ini tentu tidak sesuai jiwa dan semangat dari perubahan UUD 1945 yang bermaksud untuk menciptakan proses checks and balances dalam pembentukan undang-undang melalui sistem bicameral.”

Todung melanjutkan, pengujian undang-undang ini murni untuk mengembalikan kewenangan DPD yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Selama ini, DPD menilai dengan lahirnya beberapa pasal dalam UU MD3 dan PPP ini membuktikan adanya kesalahan tafsir mengenai kewenangan DPD sebagai wakil daerah.

“Dalam UU MD3 dan UU PPP ini dalam beberapa pasalnya mencantumkan kewenangan DPD. Namun, beberapa pasal kedua undang-undang itu kami anggap telah mengkebiri kewenangan DPD. Karena itu, kami minta MK membatalkan pasal-pasal dan minta tafsir konstitusional dengan mengoreksi kesalahan tafsir yang terjadi,” pintanya.

Menanggapi permohonan ini, Anggota Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mempertanyakan apakah permasalahan kewenangan ini pernah dibicarakan dengan DPR sebelum menggugat ke MK. Atas pertanyaan itu, Ketua Tim Litigasi DPD, I Wayan Sudarta mengaku sejak tahun 2007 pihaknya telah intens mengkomunikasikan persoalan ini kepada DPR dengan membentuk Tim 25, tetapi tidak ada kelanjutannya.

“Bahkan sekarang telah dibuat tatib bersama untuk permasalahan ini, seperti tukar info, dan sekjen-sekjen sudah berunding, tetapi itu tidak ada kelanjutan juga. Karena dua cara yang telah kami lakukan terhadap DPR dengan DPD itu tidak berhasil, kami ajukan gugatan ke MK,” terang Wayan.

Anggota panel lainnya, Ahmad Fadlil Sumadi menilai permohonan ini mengesankan ada persoalan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), bukan pengujian undang-undang (PUU). “Dan banyak kalimat senada yang menunjukkan ini seakan-akan seperti SKLN,” jelas Fadlil.

Usai sidang, Todung tetap merasa bahwa permohonan uji materi ini tidak perlu diubah menjadi permohonan SKLN. Sebab, permohonan uji materi ini murni diperuntukkan untuk meluruskan kembali tafsir beberapa pasal dalam MD3 dan UU PPP itu.

“Kami percaya persoalan ini akan bisa diselesaikan jika MK memberi tafsir pasal-pasal itu, sehingga hak kewenangan DPD dalam mengajukan RUU dan ikut membahasnya itu akan bisa terakomodasi. Jadi tidak perlu sampai SKLN dan itu belum waktunya,” tegas Todung.

Pengamat hukum tata negara Refli Harun SH, menyatakan optimismenya upaya uji materi UU MD3 ke MK akan menuai hasil yang positif. ”Melihat substansi UU MD3 yang tidak sesuai dengan Pasal 22D UUD ’45, kita yakin DPD akan menang,” kata dia. Refli mengatakan kemungkinan besar yang akan maju sebagai pemohon uji materi adalah beberapa anggota DPD. Tapi dia berharap elemen-elemen masyarakat yang selama ini mendukung penguatan DPD juga akan ikut mengajukan hal yang sama.



Untuk diketahui, DPD resmi mendaftarkan gugatan uji materi 12 pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan 11 pasal dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke MK. Pengajuan uji materi itu dilayangkan oleh 18 senator untuk mempertegas kewenangan DPD RI sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945.

Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, langkah DPD mengajukan judicial review tidak serta merta dilakukan. Hal ini telah dipikirkan dua tahun sejak DPD dibentuk di tahun 2004, dan merupakan keinginan DPD melakukan perbaikan sistem ketatanegaraan, dalam hubungannya peran DPD mewadahi aspirasi baik yang ada di parpol maupun dari nonparpol.

”Selama 8 tahun DPD berdiri, pelaksanaan konstitusi belum berjalan sebagaimana mestinya. Banyak cara yang telah kami tempuh antara DPD dan DPR. Memang ada perbaikan dalam mekanisme hubungan kerja seperti yang sudah saya lihat sekarang, tapi ada hal-hal yang barangkali DPR tidak tahu bagaimana mencari jawabannya,” ujar dia di lobi ruang kerja pimpinan DPD lantai 8, Gedung Nusantara III DPR, Senayan, Jakarta.

Irman juga berharap judicial review UU MD3 akan dikabulkan MK, sehingga kualitas dan manfaatnya dirasakan masyarakat dan daerah. Dengan kewenangan yang kuat, tutur Irman, maka DPD bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat secara optimal.

”Untuk itu, kami ingin mendorong supaya produk legislasi ini baik dari segi kualitas dan kuantitas, dengan kehadiran DPD. Insya Allah dikabulkan, tergantung bagaimana lawyer kami menghadapi sidang tersebut. Kita harapkan nanti bisa untuk bangsa Indonesia,” pungkasnya.

DPD Harapkan Kesetaraan Dalam Proses Legislasi


Jakarta, Logisnews.com – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menjalani sidang judicial review UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU Pembentukan Peraturan dan Perundang-undangan (P3). Dengan agenda presentasi dari DPD dan keterangan dari Pemerintah DPR serta MPR terkait UU MD3 dan UU P3.

Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Intsiawati Ayus mengatakan, DPD RI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan mendapat hak legislasi yang sama dengan DPR. Pasalnya saat ini DPD di sejajarkan dengan Fraksi.

Sehingga jika ada laporan, maka DPD harus melaporkan ke fraksi, bukan ke DPR. Dengan sistem yang ada, banyak kepentingan daerah yang tidak terakomodir. Pasalnya aspirasi mereka tidak langsung sampai ke DPR.

Untuk itu, akan berbeda halnya jika DPD bisa duduk bersama DPR dan MPR dalam proses legeslasi. “Kami hanya ingin agar dalam proses legeslasi diikutsertakan, sehingga aspirasi dari daerah bisa sampai ke pusat,” ujarnya di Jakarta.

Sementara itu, Pengacara Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Todung Mulya Lubis mengaku optimis MK akan mendengar aspirasi dari DPD. Sebab menurutnya sudah seharusnya DPD bisa duduk bersama dalam proses legeslasi, karena dengan demikian ada kesinambungan antara pusat dan daerah.

Dirinya menjelaskan, tujuan pembentukan DPD adalah memperkuat representasi daerah. Selain juga untuk menjalankan fungsi menguatkan chek and balance. Sedang kedua undang-undang ini berpotensi menghilangkan kewenangan DPD.

“Saya kira MK dapat melihat kekeliruan tafsir konstitusional, pada UU MD3 dan UU P3 sehingga MK akan bisa menyetujui pelurusan kembali tafsir,” ungkapnya

Lebih lanjut Todung mengaku sudah menyiapkan tim ahli yang telah melakukan komparasi terhadadap beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Colombia.[]Rakhman

MK Gelar Sidang Pleno Judicial Review Pasal 22D Ayat 1 dan Ayat 2 yang Diajukan DPD

varianews
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK)besok, Selasa, 23 Oktober, akan menggelar sidang pleno perdana Judicial Review

Pasal 22D ayat 1 dan ayat 2 UUD 45 terkait dengan UU MD3 dan UU P3 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut pengacara DPD Todung Mulya Lubis, sidang pleno ini digelar perdana setelah MK menggelar sidang pendahuluan." Jadi semua panel hakim MK 9 orang itu akan hadir. Dan akan ada presentasi dari Ketua DPD dan akan ada tanggapan dari pemerintah, MPR dan DPR,"kata Todung yang ditemui di Hotel Four Season, Senin, 22 Oktober.

Jelas Todung, Mengenai subtansi judicial review yang diajukan yang bahwa DPD menuntut pemulihan hak konstitusional DPD untuk ikut mengajukan rancangan UU dan ikut membahas semua rancangan UU sampai tercapai persetujuan UU, khususnya yang menyangkut kewenangan-kewenangan DPD dalam pasal 22D ayat 1 dan ayat 2.

Hal hal yang menyangkut otonomi daerah, hal hal perimbangan keuangan pusat dan daerah, hal hal yang menyangkut pengelolan sumber daya alam dan lain-lain, adalah kewenangan kontitusional yang tidak bisa dinegasikan oleh DPR. "Tapi kitakan melihat ada penegasian yang terjadi ketika hak dan kewenangan DPD itu dibonsai dipangkas. Padahal Kalau kita melihat tujua terbentuknya DPD untuk memperkuat representasi daerah, selain itu memperkuat chek and balance. Nah tujuan tujuan ini tergeneasikan oleh UU MD3 dan UU P3,"tutur Todung lagi.

UU MD3 itu yang mengatur MPR, DPR, DPRD dan DPD. Sedangkan UU P3, adalah Peraturan Pembuatan Perundang-undangan

Kedua UU ini, menurut Todung, menghilangkankan hak dan tidak logis. DPD tidak membahas UU yang dia usulkan. "Jadi logika konstitusional dinegasikan, tidak jalan," katanya.

Todung optimis MK bisa melihat kekliruan tafsir konstusional pada UU MD 3 dan UU P3 sehingga MK menurut hemat dia akan bisa menyetujuii pelurusan kembali tafsir pasal 22D ayat dan ayat 1 dan ayat 2 itu.

Sementara itu Intsiawati Ayus, SH, MH, anggota DPD RI asal Riau, Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 mengatakan bahwa judicial review atau uji materi ini bukan sengketa lembaga kewenangan. Tapi untuk meletakkan DPD pada porsinya."Kami ingin ruang proses legislasi itu seimbang dengan DPR,"kata Intsiawati.

DPD RI Harapkan Kesetaraan Dalam Proses Legislasi


Fahmi Firdaus - okezonenews
JAKARTA - Permohonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentang Pengujian UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Peraturan dan Perundang-undangan (P3) di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki agenda presentasi dari DPD dan keterangan dari Pemerintah DPR serta MPR terkait UU MD3 dan UU P3.

"DPD RI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan mendapat hak legislasi yang sama dengan DPR," kata Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3, Intsiawati Ayus dalam keteranganya di Jakarta, Senin (22/10/2012).

Dia mengatakan, DPD juga dapat di sejajarkan dengan fraksi, sehingga jika ada laporan, maka DPD harus melaporkan ke fraksi, bukan ke DPR.

"Dengan sistem seperti ini banyak kepentingan dari daerah yang tidak terakomodir. Karena aspirasi mereka tidak langsung sampai ke DPR," katanya.

Menurutnya akan berbeda jika DPD bisa duduk bersama DPR dan MPR dalam proses legislasi.

 "Kami hanya ingin agar dalam proses legislasi diikut sertakan, sehingga aspirasi dari daerah bisa sampai ke Pusat," tutupnya.(hol)

DPD masuki sidang judicial review

Ridwansyah - Koran Sindo
Sindonews.com - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menjalani sidang judicial review UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU Pembentukan Peraturan dan Perundang-undangan (P3). Dengan agenda presentasi dari DPD dan keterangan dari Pemerintah DPR serta MPR terkait UU MD3 dan UU P3.

Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Intsiawati Ayus mengatakan, DPD RI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan mendapat hak legislasi yang sama dengan DPR. Pasalnya saat ini DPD di sejajarkan dengan Fraksi.

Sehingga jika ada laporan, maka DPD harus melaporkan ke fraksi, bukan ke DPR. Dengan sistem yang ada, banyak kepentingan daerah yang tidak terakomodir. Pasalnya aspirasi mereka tidak langsung sampai ke DPR.

Untuk itu, akan berbeda halnya jika DPD bisa duduk bersama DPR dan MPR dalam proses legeslasi. "Kami hanya ingin agar dalam proses legeslasi diikut sertakan, sehingga aspirasi dari daerah bisa sampai ke pusat," ujarnya di Jakarta, Senin (22/10/2012).

Sementara itu, Pengacara Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Todung Mulya Lubis mengaku optimis MK akan mendengar aspirasi dari DPD. Sebab menurutnya sudah seharusnya DPD bisa duduk bersama dalam proses legeslasi, karena dengan demikian ada kesinambungan antara pusat dan daerah.

Dirinya menjelaskan, tujuan pembentukan DPD adalah memperkuat representasi daerah. Selain juga untuk menjalankan fungsi menguatkan chek and balance. Sedang kedua undang-undang ini berpotensi menghilangkan kewenangan DPD.

"Saya kira MK dapat melihat kekeliruan tafsir konstitusional, pada UU MD3 dan UU P3 sehingga MK akan bisa menyetujui pelurusan kembali tafsir," ungkapnya.  (san)

Intsiawati: Disnaker Jangan Terkesan Condong ke Pengusaha

PEKANBARU, GORIAU.COM - Aksi demo buruh di Disnaker Riau, Rabu (3/10/2012) juga dihadiri anggota DPD RI Intsiawati Ayus. Intsiawati hadir saat perwakilan buruh baru 15 menit diterima oleh Kadisnakertransduk Riau Nazaruddin. Sebelum Instiawati hadir dialog antara Disnakertransduk dan buruh mengalami jalan buntu, karena Disnakretransduk tetap tak bersedia mengirim pernyataan buruh ke Menteri.

Usai pertemuan Intsiawati Ayus kepada wartawan mengatakan, seharusnya ada etikad baik dari instansi pemerintah menangani permasalahanya buruh dan pengusaha secara profesional agar terjalinnya hubungan yang harmonis dan kondusif di Provinsi Riau.

''Saya melihat instansi pemerintah (Disnaker) menangani permasalahan buruh dan pengusaha tidak profesional sehingga wajar jika ada aksi buruh yang menuntut keadilan. Instansi terkait hendaknya dapat memahami tugas dan fungsi, berada di tengah-tengah antara buruh dan pengusaha bukan condong ke pengusaha'' tegasnya seusai ikut pertemuan membahas tuntutan outsourching di aula Kantor Disnakertransduk Riau.

Jika Disnaker arif dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan buruh, tambahnya, maka tidak akan terjadi aksi demo buruh yang menuntut haknya. Tapi saat inikan sambungnya, keberadaan Disnaker ini sudah mendapat kecaman image yang keberpihakan kepada para dunia usaha.

''Seharusnya, sebagai lembaga yang menaungi dua elemen ini hendaknya bersikap dan berbuat tidak berat sebelah. Sebab, saat ini sudah ada saya dengar image dari kalangan buruh. Bahwa keberadaan Disnaker itu lebih berpihak pada dunia usaha, dan buruh dijadikan korban,'' katanya.

Buktinya ujar Inisiawati Ayus, minimnya kontrol yang dilakukan oleh Disnaker terhadap perusahaan-perusahaan dalam menerapkan upah. Ini salah satu keteledoran dari Disnaker. Sehingga tidak jarang hal ini berakibat buruh tetap menderita dan kemiskinan.

''Pengawasan yang dilakukan Disnaker sebagai instansi terkait ini masih sangat minim. Terutama dalam pantauan upah. Kendati sudah ada penetapan, tetapi yang di lapangan itu perusahaan dengan seenaknya saja menerapkan upah. Maka buruh tetap tertindas,'' katanya. (rdc)

Intsiawati: Disnaker Jangan Terkesan Condong ke Pengusaha

PEKANBARU, GORIAU.COM - Aksi demo buruh di Disnaker Riau, Rabu (3/10/2012) juga dihadiri anggota DPD RI Intsiawati Ayus. Intsiawati hadir saat perwakilan buruh baru 15 menit diterima oleh Kadisnakertransduk Riau Nazaruddin. Sebelum Instiawati hadir dialog antara Disnakertransduk dan buruh mengalami jalan buntu, karena Disnakretransduk tetap tak bersedia mengirim pernyataan buruh ke Menteri.

Usai pertemuan Intsiawati Ayus kepada wartawan mengatakan, seharusnya ada etikad baik dari instansi pemerintah menangani permasalahanya buruh dan pengusaha secara profesional agar terjalinnya hubungan yang harmonis dan kondusif di Provinsi Riau.

''Saya melihat instansi pemerintah (Disnaker) menangani permasalahan buruh dan pengusaha tidak profesional sehingga wajar jika ada aksi buruh yang menuntut keadilan. Instansi terkait hendaknya dapat memahami tugas dan fungsi, berada di tengah-tengah antara buruh dan pengusaha bukan condong ke pengusaha'' tegasnya seusai ikut pertemuan membahas tuntutan outsourching di aula Kantor Disnakertransduk Riau.

Jika Disnaker arif dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan buruh, tambahnya, maka tidak akan terjadi aksi demo buruh yang menuntut haknya. Tapi saat inikan sambungnya, keberadaan Disnaker ini sudah mendapat kecaman image yang keberpihakan kepada para dunia usaha.

''Seharusnya, sebagai lembaga yang menaungi dua elemen ini hendaknya bersikap dan berbuat tidak berat sebelah. Sebab, saat ini sudah ada saya dengar image dari kalangan buruh. Bahwa keberadaan Disnaker itu lebih berpihak pada dunia usaha, dan buruh dijadikan korban,'' katanya.

Buktinya ujar Inisiawati Ayus, minimnya kontrol yang dilakukan oleh Disnaker terhadap perusahaan-perusahaan dalam menerapkan upah. Ini salah satu keteledoran dari Disnaker. Sehingga tidak jarang hal ini berakibat buruh tetap menderita dan kemiskinan.

''Pengawasan yang dilakukan Disnaker sebagai instansi terkait ini masih sangat minim. Terutama dalam pantauan upah. Kendati sudah ada penetapan, tetapi yang di lapangan itu perusahaan dengan seenaknya saja menerapkan upah. Maka buruh tetap tertindas,'' katanya. (rdc)

Intsiawati Ayus: Kami Ingin MK Beri Tafsir Jelas Fungsi Legislasi DPD


Politikindonesia - Masih ada yang kurang pas, terkait peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terbentuk pasca reformasi. Lembaga ini dinilai belum banyak berperan membantu pembentukan undang-undang. Padahal, meski terbatas pada UU yang berkaitan dengan daerah, DPD juga memiliki fungsi legislasi. Akan tetapi fungsi tersebut belum dijabarkan dalam mekanisme yang lebih rinci tentang bagaimana pembahasan legislasi antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD.

Kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Tim Litigasi DPD, Intsiawati Ayus, belum adanya mekanisme tentang fungsi legislasi DPD tersebut menjadi satu sumber kelemahan. Itulah salah satu alasan DPD mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK), September lalu. Uji materi ini, ujar dia, merupakan upaya mengembalikan posisi dan peran DPD seperti yang seharusnya sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 22d.

Ada 2 Undang-Undang (UU) yang diujikan DPD ke MK. Kedua UU tersebut, yaitu UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

“Kami sudah menempatkan diri secara santun. Jika ada kesalahan konstitusi di negara ini, hanya MK wadahnya. Jadi kami ingin meminta MK untuk memberikan penafsiran terkait kewenangan DPD dalam menyusun UU,” ujarnya kepada politikindonesia.com, usai perayaan Sewindu DPD di Gedung DPD, Jakarta, Senin (01/10).

Kata Intsiawati, dalam UUD 1945 dengan tegas telah menyatakan setiap Rancangan UU yang berkaitan dengan kewenangan daerah harus dikomunikasikan dengan DPD. RUU yang wajib melibatkan DPD ini berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

“Dalam UUD sudah jelas, bahwa DPD pada bidang tertentu dapat dan ikut membahas UU. Namun, kata "dapat dan ikut" yang ada dalam UUD 1945 itu tidak dapat terealisasikan dengan baik. Artinya, teori yang ada dalam UUD 1945 tidak bisa dipraktekan di dalam kedua UU itu," kata perempuan yang juga Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR ini.

Kepada Elva Setyaningrum, Sekjen Tim Legislasi DPD ini menjelaskan alasan lembaganya mengajukan uji materi ke MK. Ia juga memaparkan adanya pro dan kontra tentang pengajuan itu dan harapan DPD ke depannya. Berikut hasil wawancaranya.

Apa alasan DPD mengajukan uji materi untuk kedua UU tersebut ke MK?

Uji materi yang diajukan DPD tersebut tidak dimaksudkan untuk menambah kewenangan DPD. Kami hanya ingin MK mengeluarkan tafsir yang tepat untuk mengembalikan fungsi DPD, terkait fungsi legislasi yang dimiliki lembaga ini. Setidaknya, kami diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan pandangan dan diajak berdialog untuk memberikan masukan-masukan ide saat ingin melahirkan UU. Sehingga kami bisa bertanggung jawab kepada masyarakat kami di daerah.

Bisa lebih detil, kewenangan DPD yang mana, yang saat ini tidak berfungsi baik?

Salah satu kewenangan DPD dalam UU MD3, ada pada Pasal 102 ayat (1) yang menyatakan RUU yang disiapkan DPD harus tetap melalui pertimbangan dan harmonisasi dari Badan Legislasi. Padahal Badan Legislasi merupakan salah satu alat kelengkapan DPR. Ketentuan ini jelas menurunkan derajat DPD.

Pasal lain yang juga dinilai mengkerdilkan kewenangan DPD yakni Pasal 147 ayat (3) dan (4). Ayat ini menyebutkan, setelah RUU usul DPD disepakati oleh Paripurna maka RUU itu akan menjadi RUU usul DPR. DPR pun akan menugaskan penyempurnaan RUU kepada komisi, gabungan komisi, badan legislasi dan panitia khusus.

Kami berpendapat, pasal-pasal ini telah melanggar UUD 1945 Pasal 22d ayat (1) yang secara tegas menyatakan DPD memiliki kewenangan mengajukan RUU kepada DPR. Dalam UUD 1945 dengan tegas telah menyatakan setiap RUU yang berkaitan dengan kewenangan daerah harus dikomunikasikan dengan DPD.

Jadi selama ini DPD tidak pernah dilibatkan dalam merancang UU?

Saya tidak bilang, tidak pernah. Pernah, yakni saat pembahasan UU Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya anggap itu sebagai sebuah hadiah atau mujizat yang luar biasa. Boeh dibilang ini sebagai hadiah ruang.

Saat penetapan UU Daerah Istimewa Yogyakarta, DPD bisa bekerja sesuai dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 22d. Kami terlibat pada saat pembahasan UU itu.

Sejatinya, DPD mempunyai hak yang sama dengan DPR dalam hal legislasi, namun dalam kenyataannya, justru jarang pernah dilibatkan dalam penyusunan hingga pengesahan RUU.

Sampai sejauh mana proses uji materi yang diajukan ke MK itu?

Saat ini, uji materi tersebut masuk dalam tahap penyempurnaan permohonan. Karena saat kami mengajukan, ada catatan dari MK bagi kami untuk menyempurnakan permohonan itu. Intinya, kami minta diluruskan lagi pada konstitusi yang benar dari kedua UU tersebut.

Anda yakin, putusan MK nantinya bisa memenuhi keinginan DPD?

Kami percaya dan yakin, kalau MK akan memutuskan sesuai dengan permintaan DPD. Alasannya, karena permintaan DPD itu memang sudah seharusnya. Kami hanya memberikan beban kepada MK untuk menguji materi terhadap kedua UU tersebut. Apakah sudah sesuai atau tidak dengan semangat UUD 1945. Kami mempersilahkan MK memberikan interpretasi yang benar terhadap konstitusi.

Apakah langkah uji materi ini menimbulkan pro dan kontra?

Saya rasa, sikap pro dan kotra itu biasa. Setiap kita ingin melakukan sesuatu, pro dan kontra pasti akan muncul. Bukan hanya anggota DPR yang bersikap kontra terhadap pengajuan uji materi ini, bahkan anggota DPD pun ada juga yang bersikap demikian. Bagi saya, mereka yang bersikap kontra itu karena mereka tidak membaca secara utuh permohonan uji materi yang kami ajukan ke MK. Kami bukan ingin menanmbah kewenangan, tapi hanya ingin MK mendudukkan fungsi legislasi DPD pada tafsir yang sebenarnya.

Apa harapan ada terkait peran dan fungsi DPD ke depan?

Kami ingin bagi-bagi tugas dengan DPR. Bagi-bagi tugas di sini, jangan disalah artikan dengan meminta kewenangan DPR. Kami tidak akan meminta kewenangan DPR, tapi kami hanya ingin pembagian tugas yang adil dan bijaksana antara DPD dan DPR seperti yang diamanatkan pada UUD 1945.

Sebab selama Republik ini berjalan, beban legislatif di DPR tidak terpenuhi. Misalnya, dari 70 prolegnas ((Program Legislasi Nasional) yang disusun, yang selesai hanya 11 buah. Ke-11 hasil Prolegnas itu pun bermuara ke MK untuk dilakukan judicial review. Oleh karena itu, kami ingin bagi-bagi tugas dengan DPR agar cita-cita negara ini bisa tercapai. (eva/zel/kap)

Judical Review UU: Koalisi Amankan Pemilu, dan Dukung Penguatan DPD

JAKARTA, Berita HUKUM – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung upaya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk melakukan judicial review terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3. Dukungan tersebut disampaikan aktivis LSM saat audiensi dengan Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 DPD RI yang dipimpin, I Wayan Sudirta di Ruang Rapat Ketua DPD RI, Gedung Nusantara III Lt. 8, Senayan, Jakarta, beberapa pekan lalu.

I Wayan Sudirta didampingi Anggota DPD RI yang juga anggota Tim Judicial Review UU MD3, antara lain Elnino M Husein (Provinsi Gorontalo), Intsiawati Ayus (Riau), Alirman Sori (Sumatera Barat), Juniwati Masjchun Sofwan (Jambi), Zulbahri (Kepulauan Riau), dan Jacob Jack Ospara (Provinsi Maluku).

Aktivis LSM yang bergabung dalam Koalisi Amankan Pemilu terdiri dari Constitutional & Electoral Reform Centre (CORRECT), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi Undang - Undang Politik (Ansipol), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP Indonesia), Indonesia Parlemanteray Center (IPC), Soegeng Sarjadi Syndicate, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

Refly Harun dari CORRECT berharap DPD bisa diberi kewenangan yang lebih signifikan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah.

“Penguatan DPD ini penting agar aspirasi masyarakat bisa diperjuangkan dan disalurkan melalui anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu”, kata Refly Harun.

Sementara itu, Veri Junaidi dari Perludemmengatakan, penguatan DPD melalui Judicial Review UU MD3 bertujuan untuk mengefektifkan perjuangan mandat rakyat melalui anggota DPD.

Yuda Irlang dari Ansipol menambahkan bahwa, sudah sejak lama ia memimpikan DPD bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Menanggapi dukungan aktivis LSM itu, Wayan Sudirta menyampaikan banyak terimakasih. Menurut Wayan, penguatan kewenangan DPD di bidang legislasi dimaksudkan agar aspirasi masyarakat bisa diperjuangkan maksimal oleh anggota DPD. “DPD sudah banyak membuat keputusan, pertimbangan, pendapat dan mengusulkan RUU kepada DPR, tapi kami tidak tahu kemana usulan DPD itu”, kata Wayan Sudirta yang juga Ketua Panitia Perancang Undang - Undang DPD RI ini.

Ketua DPD RI, Irman Gusman menambahkan, dukungan penguatan DPD berasal dari organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat bahkan perguruan tinggi. ”Judicial Review ini merupakan awal untuk menata demokrasi legislatif, sehingga kita bisa melawan tirani politik yang didominasi oleh partai”, harap Irman Gusman.(bhc/dpd/rat)

Gugat UU MD3, Anggota DPD ‘Serbu’ MK

Jakarta – beritaprima. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI secara resmi melayangkan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

Bukti keseriusan gugatan yang didaftarkan DPD RI ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/9/2012), terlihat dari banyaknya anggota DPD yang turut serta ke Gedung MK, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Tampak 18 anggota DPD yang masuk dalam Tim Ligitasi, di antaranya Ketua Tim Ligitasi I Wayan Sudirta, Alirman Sori, John Pieris, Intsiawati, Erma Suryani, Bambang Susilo, Hardi Selamat Hood, Cholid Mahmud, Ferry FX Tinggogoy, Elnino M Husein Mohi dan Muh Asri Anas.

Berikutnya Dani Anwar, Juniwati T Masjchun Sofwan, Jacob Jack Ospara, Bahar Ngitung, Rahmat Shah, Abdurachman Lahabato dan Sulbahri.

Sementara itu dari tim kuasa hukum tercatat Todung Mulya Lubis, Maqdir Ismail, Muspani, Alexander Lay, Aan Eko Widiarto dan Najmu Laila.

Menurut Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, permohonan uji materi ini merupakan langkah terakhir DPD dalam upaya mengembalikan posisi dan peran DPD. “Kami ingin meminta MK untuk memberikan penafsiran terkait kewenangan DPD dalam menyusun UU,” tegasnya dalam konferensi pers di Gedung MK, Jumat (14/9/2012).

Ketua Tim Kuasa Hukum DPD Todung Mulya Lubis, menambahkan, judicial review menyangkut dua Undang-Undang yang disebutnya mengalami anomali konstitusional. Karena DPD yang sejatinya mempunyai hak yang sama dengan DPR dalam hal legislasi, namun dalam kenyataannya justru dikerdilkan oleh DPR.

Hal yang disebutnya bertentangan dengan Pasal 22d ayat (1) UUD 1945, karena dalam pasal tersebut DPD diberikan kewenangan konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU). “Jadi tugas dan wewenang DPD ini harus diluruskan kembali,” kata Todung.

Ia berharap dalam beberapa hari ke depan MK akan segera mengagendakan jalannya persidangan pendahuluan JR UU MD3 dan UU P3. Dengan begitu nantinya ada penyelesaian dan ada solusi serta jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Gugat DPR, Puluhan Anggota DPD Geruduk Kantor MK

INILAH.COM, Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI secara resmi melayangkan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

Bukti keseriusan gugatan yang didaftarkan DPD RI ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/9/2012), terlihat dari banyaknya anggota DPD yang turut serta ke Gedung MK, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Tampak 18 anggota DPD yang masuk dalam Tim Ligitasi, di antaranya Ketua Tim Ligitasi I Wayan Sudirta, Alirman Sori, John Pieris, Intsiawati, Erma Suryani, Bambang Susilo, Hardi Selamat Hood, Cholid Mahmud, Ferry FX Tinggogoy, Elnino M Husein Mohi dan Muh Asri Anas.

Berikutnya Dani Anwar, Juniwati T Masjchun Sofwan, Jacob Jack Ospara, Bahar Ngitung, Rahmat Shah, Abdurachman Lahabato dan Sulbahri. Sementara itu dari tim kuasa hukum tercatat Todung Mulya Lubis, Maqdir Ismail, Muspani, Alexander Lay, Aan Eko Widiarto dan Najmu Laila. [mvi]

Besok, DPD Ajukan Uji Materi UU MD3

Friederich Batari jurnas.com

Dewan Perwakilan Daerah RI akan memastikan waktu pengajuan uji materi (judicial review) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 dilakukan Kamis (13/9) besok.

Hal itu disampaikan Koordinator Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dari DPD RI, I Wayan Sudirta (Provinsi Bali), didampingi Sekretaris Tim Ligitigasi, Intsiawati Ayus (Provinsi Riau), Elnino M Husein (Provinsi Gorontalo), Jacob Jack Ospara (Provinsi Maluku), Juniwati Masjchun Sofwan (Provinsi Jambi), Muh Asri Anas (Provinsi Sulawesi Barat) dan Ahli Tata Negara, Refly Harun di gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (11/9).

Refly mengatakan usulan uji materi UU MD3 harus dilakukan oleh DPD. Meskipun ada kelompok lain maupun perseorangan yang juga mengajukan uji materi UU MD3, tetapi DPD harus yang utama karena berkaitan langsung dengan kewenangannya di bidang legislasi.

Refly juga mengatakan semua Rancangan Undang-Undang yang disahkan oleh DPR tanpa melibatkan DPD RI bisa dianggap inkonstitusional. Sebab mandat konstitusi yang menyebutkan bahwa DPD "ikut membahas" merupakan prosedur konstitusi yang mesti dijalankan. Oleh karena itu, DPD meminta tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan "ikut membahas" dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang. Sejauh mana DPD terlibat dalam pembahasan RUU, menurut Refly, itu tergantung tafsir dan putusan MK ke depan setelah diajukan uji materi UU MD3.

Menurut Refly, ada tiga upaya penguatan kewenangan DPD yaitu melalui amandemen kelima UUD 1945, legislative review UU MD3 dan judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. Ketua DPD RI, Irman Gusman mengharapkan dukungan semua pihak untuk memperkuat kewenangan DPD RI.

"Penguatan kewenangan DPD ini bukan hanya untuk kepentingan DPD saja tapi yang utama untuk kepentingan rakyat dan daerah. Dengan kewenangan yang kuat, maka DPD bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat secara optimal," kata Irman Gusman, senator dari Provinsi Sumatera Barat ini.

Pada Senin (10/9), sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung upaya DPD melakukan judicial review UU MD3.

Dukungan tersebut disampaikan aktivis LSM saat audiensi dengan Tim Legitigasi Judicial Review UU MD3 DPD RI yang dipimpin, I Wayan Sudirta (anggota DPD dari Provinsi Bali). Aktivis LSM yang bergabung dalam Koalisi Amankan Pemilu, berasal dari Constitutional & Electoral Reform Centre/CORRECT, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi Undang-Undang Politik (Ansipol), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP Indonesia), Indonesia Parlemantery Center (IPC), Soegeng Sarjadi Syndicate), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

Friederich Batari/Rhama Deny

Proses Legislasi: DPD Ingin Bahas RUU Bersama DPR

JAKARTA-koran-jakarta.  Upaya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendapatkan haknya berupa kewenangan untuk ikut mambahas sebuah undang-undang (UU) bersama DPR dan pemerintah hingga RUU itu diputuskan menjadi UU tidak pernah berhenti. Langkah amendemen UUD '45 yang pernah sangat serius diperjuangkan, belum menemui titik terang. Kini, DPD menempuh perjuangan politik melalui uji materi UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai Pasal 22D UUD'45.

"Langkah hukum ke MK akan kita lakukan dalam waktu dekat ini. Persiapan sudah matang, tinggal menentukan hari untuk maju ke MK," kata Ketua Tim Litigasi Judicial Review DPD, I Wayan Sudirta, dalam dialog dengan sejumlah wartawan di ruang rapat pimpinan DPD, Selasa (11/9).

Wayan yang didampingi anggota Tim Litigasi yakni Intsiawati Ayus, El Nino Husein Mohi, Jacob Jack Ospara, Asri Anas, dan Juniwati Sofwan, mengatakan tujuan uji materi ke MK tidak lain untuk mengembalikan substansi dari Pasal 22D UUD '45 perihal keikutsertaan DPD dalam membahas sebuah RUU hingga diambil putusan. Selama ini, DPD dikesampingkan dalam soal pembahasan RUU.

Usul RUU dari DPD hanya masuk kotak DPR, padahal persiapan menyusun RUU oleh DPD memakan waktu, tenaga, dan uang yang tidak sedikit. Keseriusan DPD untuk menempuh uji materi ke MK dibuktikan dengan tersusunnya buku kecil berjudul "Merajut Legislasi Merenda Keadilan bagi Daerah" yang berisi upaya-upaya DPD sejak awal untuk memperkuat peran dan kewenangannya serta legal standing bagi uji materi UU MD3.

Dalam dialog yang lebih banyak mendengar masukan dan pemikiran dari para wartawan yang selama ini meliput kegiatan parlemen, banyak usulan dan strategi yang diusulkan bagi upaya DPD ini. Pada saat bersamaan, para wartawan juga menganjurkan agar DPD terus memperkuat kemampuan dan kepeduliannya bagi kepentingan masyarakat yang diwaliki. "Uji materi bertujuan untuk meraih kewenangan DPD. Tapi pada saat yang sama, anggota DPD harus bekerja keras memperjuangan kepentingan masyarakat daerah," ucap seorang wartawan.

Yakin Menang
Sementara itu, tim ahli yang hadir, Refl in Harus SH, menyatakan optimismenya upaya uji materi UU MD3 ke MK akan menuai hasil yang positif. "Melihat substansi UU MD3 yang tidak sesuai dengan Pasal 22D UUD '45, kita yakin DPD akan menang," kata dia. Refli mengatakan kemungkinan besar yang akan maju sebagai pemohon uji materi adalah beberapa anggota DPD. Tapi dia berharap elemen-elemen masyarakat yang selama ini mendukung penguatan DPD juga akan ikut mengajukan hal yang sama. sur/N-1

DPD Siap Uji Materi UU MD3 Kamis Ini


Jurnas.com | HARI Kamis (13/9), Dewan Perwakilan Daerah RI akan memastikan waktu pengajuan uji materi (judicial review) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3. DPD berencana mengajukan uji materi UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) utamanya berkaitan dengan kewenangan DPD di bidang legislasi.

Hal itu disampaikan Koordinator Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dari DPD RI, I Wayan Sudirta (Provinsi Bali), di gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (11/9).

Wayan Sudirta didampingi Sekretaris Tim Ligitigasi, Intsiawati Ayus (Provinsi Riau), bersama anggota Tim, Elnino M Husein (Provinsi Gorontalo), Jacob Jack Ospara (Provinsi Maluku), Juniwati Masjchun Sofwan (Provinsi Jambi), Muh Asri Anas (Provinsi Sulawesi Barat) dan Ahli Tata Negara, Refly Harun.

Refly Harun mengatakan usulan uji materi UU MD3 harus dilakukan oleh DPD. Meskipun ada kelompok lain maupun perseorangan yang juga mengajukan uji materi UU MD3, tetapi DPD harus yang utama karena berkaitan langsung dengan kewenangannya di bidang legislasi.

Refly Harun juga mengatakan semua Rancangan Undang-Undang yang disahkan oleh DPR tanpa melibatkan DPD RI bisa dianggap inkonstitusional. Sebab mandat konstitusi yang menyebutkan bahwa DPD “ikut membahas” merupakan prosedur konstitusi yang mesti dijalankan.

Oleh karena itu, DPD meminta tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan “ikut membahas” dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang.

Menyangkut sejauh mana DPD terlibat dalam pembahasan RUU, menurut Refly Harun, itu tergantung tafsir dan putusan MK ke depan setelah diajukan uji materi UU MD3.

Menurut Refly Harun, ada tiga upaya penguatan DPD yaitu amandemen kelima UUD 1945, legislative review UU MD3 dan judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.

Ketua DPD RI, Irman Gusman mengharapkan dukungan semua pihak untuk memperkuat kewenangan DPD RI. “Penguatan kewenangan DPD ini bukan hanya untuk kepentingan DPD saja tapi yang utama untuk kepentingan rakyat dan daerah. Dengan kewenangan yang kuat, maka DPD bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat secara optimal,” kata Irman Gusman, senator dari Provinsi Sumatera Barat ini.

“Apabila kewenangan DPD tidak diperkuat maka aspirasi rakyat kurang optimal diperjuangkan oleh anggota DPD,” kata Wayan Sudirta menegaskan.

Pada Senin (10/9), sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung upaya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk melakukan judicial review atau uji materi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3.

Dukungan tersebut disampaikan aktivis LSM saat audiensi dengan Tim Legitigasi Judicial Review UU MD3 DPD RI yang dipimpin, I Wayan Sudirta (anggota DPD dari Provinsi Bali). Aktivis LSM yang bergabung dalam Koalisi Amankan Pemilu, berasal dari Constitutional & Electoral Reform Centre/CORRECT, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi Undang-Undang Politik (Ansipol), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP Indonesia), Indonesia Parlemantery Center (IPC), Soegeng Sarjadi Syndicate), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

Koalisi LSM Dukung Uji Materi UU MD3

jurnas.com
SEJUMLAH lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendukung upaya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk melakukan judicial review atau uji materi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3.

Dukungan tersebut disampaikan aktivis LSM saat audiensi dengan Tim Legitigasi Judicial Review UU MD3 DPD RI yang dipimpin, I Wayan Sudirta di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin (10/9).

I Wayan Sudirta didampingi Anggota DPD RI yang juga anggota Tim Judicial Review UU MD3, antara lain Elnino M Husein (Provinsi Gorontalo), Intsiawati Ayus (Riau), Alirman Sori (Sumatera Barat), Zulbahri (Kepulauan Riau), Jacob Jack Ospara (Provinsi Maluku). Aktivis LSM yang bergabung dalam Koalisi Amankan Pemilu, terdiri dari Refley Harun (Constitutional & Electoral Reform Centre/CORRECT), Veri Junaidi dan Devi Darmawan (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi/Perludem), Yuda Irlang (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi Undang-Undang Politik/Ansipol), Pipit Apriani (Komite Independen Pemantau Pemilu/KIPP Indonesia), Sulastio, Ahmad Hanafi dan August M (Indonesia Parlemanteray Center/IPC), Toto Sugiarto (Soegeng Sarjadi Syndicate), Yurist Oloan (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia/Formappi).

Refly Harun berharap DPD bisa diberi kewenangan yang lebih signifikan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah. "Penguatan DPD ini penting agar aspirasi masyarakat bisa diperjuangkan dan disalurkan melalui anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu," kata Refly Harun.

Sementara itu, Veri Junaidi dari Perludem, mengatakan penguatan DPD melalui Judicial Review UU MD3 bertujuan untuk mengefektifkan perjuangan mandat rakyat melalui anggota DPD.

Sedangkan Yurist Oloan berharap DPD tidak berhenti untuk memperjuangkan amandemen Kelima UUD 1945. "DPD tidak hanya Judicial Review UU MD3 tapi harus memperjuangkan amandemen konstitusi," kata Yurist Oloan.

Menanggapi dukungan aktivis LSM itu, Wayan Sudirta mengatakan penguatan kewenangan DPD di bidang legislasi dimaksudkan agar aspirasi masyarakat bisa diperjuangkan maksimal oleh anggota DPD. "DPD sudah banyak membuat keputusan, pertimbangan, pendapat dan mengusulkan RUU kepada DPR, tapi kami tidak tahu ke mana usulan DPD itu," kata Wayan Sudirta yang juga Ketua Panitia Perancang Undang-Undang DPD RI ini.

Wayan menegaskan judicial review UU MD3 akan segera diajukan ke Mahkamah Konstitusi bulan September ini.

Wayan menjelaskan, pasal-pasal dalam UU MD3 yang akan di judicial review adalah Pasal 102 ayat (1), Pasal 147 ayat (3) dan ayat (7), Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 150 ayat (3) dan ayat (5).

Ketua DPD RI, Irman Gusman menambahkan, dukungan penguatan DPD berasal dari organisasi kemasyarakat, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat bahkan perguruan tinggi.

Friederich Batari

Review UU MD3

fy-indonesia. Koordinator Tim Litigasi Dewan Perwakilan Daerah [DPD], Iwayan Sudirta [kiri] didampingi Anggota DPD Intsiawati Ayus [kanan] saat tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang dilaksanakan Kelompok Tim Ligitasi DPD -RI dengan tema Judicial Review UU MD3 di Ruang Rapat Ketua DPD-RI.Selasa [11/9/2012].fyi/Mulkan Salmun.

Banyak RUU Tak Selesai: Ikrar Minta DPR Berbagi Tugas dengan DPD

JAKARTA, batamtoday - Pengamat Politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa saat ini Indonesia berada dalam tahap pematangan demokrasi. Karena itu hubungan antara DPR dan DPR bisa saling melengkapi dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga legilatif.


“Dalam proses pembentukannya, DPD RI sering dianggap sebagai lembaga prematur. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang tugas dan fungsi DPD,” terang Ikrar.

Pernyataan itu disampaikan Ikrar dalam Dialog Perspektif Indonesia dengan tema ”Memecah Kebekuan Hubungan DPR-DPD” di Pressroom DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta kemarin.

Mengenai hubungan kerja DPD dan DPR, Ikrar mengatakan sudah ada kerjasama yang baik antara kedua lembaga tersebut, contohnya dalam pembahasan RUUK DIY, DPD diajak dalam pembahasannya oleh DPR sebagai mitra yang sejajar.

”Hal itu kenapa tidak menjadi suatu yurisprudensi dan bisa menjadi suatu hal yang dibakukan menjadi UU,” kata Ikrar.

Ikrar menganggap bahwa sekarang DPR ’keteteran’ dalam pembuatan RUU dan pembahasan RUU menjadi UU, karena keahlian di DPR sangat terbatas, dibandingkan dengan pemerintah yang lebih terbagi keahliannya. ”Daripada keteteran lebih baik dibagi dengan DPD,” ujar Ikrar.

Senator asal Provinsi Riau, Intsiawati Ayus mengatakan agenda Judicial Review UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang rencananya akan diajukan DPD RI ke MK, bukan semata-mata mengenai sengketa kewenangan legislasi antara DPD RI dengan DPR RI. Intsiawati mengatakan DPD saat ini belum pada posisi dengan tujuan ketatanegaraan yang ideal.

Kegundahan posisi DPD RI dalam konstitusi, lanjut Intsiawati, beban politiknya akan diberikan ke MK dalam bentuk permohonan penafsiran soal pasal 22D ayat 1 dan 2 UUD 1945, khususnya kata ’dapat’ dan ’ikut’ dalam pembahasan UU, yang akan menjadi rujukan dalam revisi UU MD3 dan UU P3.

“Saya sendiri memahami bahwa Undang-undang merupakan produk kompromi politik, maka dari itu kami meminta MK untuk membuatkan tafsir sesuai konstitusi bagaimana sesungguhnya makna dari kata-kata ikut membahas’ dalam UU MD3,” ujar Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR ini.

Taslim Chaniago (Anggota Komisi III DPR RI dari FPAN), mengatakan keberadaan DPD sangat membantu DPR terutama soal daerah, misalnya otonomi daerah, kekayaan alam daerah. ”Kita sangat membutuhkan DPD karena tidak bisa mengawasi daerah”, jelas Taslim.

Selanjutnya, Taslim menyarankan akan lebih baik jika DPD menunggu proses pembahasan revisi UU MD3 di Baleg DPR selesai, baru mengajukan judicial review jika masih terdapat pasal-pasal yang dinilai kurang jelas.

“Pengajuan judicial review ke MK saat ini justru akan kembali membuat hubungan antara kedua lembaga menjadi beku, ” kata Taslim.

Salah satu hal yang harus segera dilakukan menurut Refly Harun adalah mengupayakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Tujuan judicial review ini adalah untuk meminta penafsiran yang jauh lebih fixed ketimbang penafsiran yang dimiliki pembentuk Undang-undang,” jelas Refly.

Selain itu, pengamat Hukum Tata Negara ini juga menegaskan pentingnya kesepakatan bangsa terhadap DPD. “Apakah kita masih butuh DPD atau tidak?” ungkapnya yang kemudian melanjutkan bahwa Indonesia masih membutuhkan DPD yang mewakili daerah.

Pasang Surut Hubungan Antar Lembaga DPR dan DPD RI


Jakarta, dpd.go.id - Dewan Perwakilan Daerah RI dalam waktu dekat akan meminta pendapat Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan beberapa pasal dari UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang terkait dengan wewenang DPD. Dari proses tersebut diharapkan ada tafsir resmi yang mengatur hubungan kelembagaan antara DPR dan DPD RI. Selama ini, DPD merasa DPR telah mengabaikan wewenang DPD untuk ikut serta dalam pembahasan RUU tertentu yang menjadi domain DPD. Hal tersebut menjadi topik bahasan dialog interaktif Perspektif Indonesia dengan tema “Memecah Kebekuan Hubungan DPR-DPD,” Jum’at (07/09/2012) di Pressroom DPD RI.

Hadir sebagai wakil DPD, Senator asal Provisi Riau, Intsiawati Ayus, menyatakan bahwa dalam judicial reiview ini DPD RI berada dalam posisi meminta MK menafsirkan bukan melakukan gugatan kewenangan antar lembaga Negara. “Saya sendiri memahami bahwa Undang-undang merupakan produk kompromi politik, maka dari itu kami meminta MK untuk membuatkan tafsir sesuai konstitusi bagaimana sesungguhnya makna dari kata-kata “ikut membahas” dalam UU MD3,” ujar Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR ini.

Di DPR RI sendiri, saat ini sedang dibahas RUU revisi atas UU MD3. Menurut anggota Komisi III DPR RI dari FPAN, Taslim Chaniago, akan lebih baik jika DPD menunggu proses pembahasan revisi UU MD3 ini selesai baru mengajukan judicial review jika masih terdapat pasal-pasal yang dinilai kurang jelas. “Pengajuan judicial review ke MK saat ini justru akan kembali membuat hubungan antara kedua lembaga menjadi beku, ” kata Taslim.

Sebagai lembaga perwakilan, baik DPD maupun DPR seharusnya menjadi mitra yang sejajar (equivalent partner). Namun jika satu pihak memiliki kewenangan sangat besar sementara pihak lain hanya diberi kewenangan yang sangat terbatas, maka akan sulit terjadi check and balances antar kamar dalam parlemen. Pengamat Politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa saat ini Indonesia berada dalam tahap pematangan demokrasi. “Dalam proses pembentukannya, DPD RI sering dianggap sebagai lembaga premature. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang tugas dan fungsi DPD,” terang Ikrar. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada penjelasan yang memperjelas posisi DPD.

Salah satu hal yang harus segera dilakukan menurut Refly Harun adalah mengupayakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Tujuan judicial review ini adalah untuk meminta penafsiran yang jauh lebih fixed ketimbang penafsiran yang dimiliki pembentuk Undang-undang,” jelas Refly. Selain itu, pengamat Hukum Tata Negara ini juga menegaskan pentingnya kesepakatan bangsa terhadap DPD. “Apakah kita masih butuh DPD atau tidak?” ungkapnya yang kemudian melanjutkan bahwa Indonesia masih membutuhkan DPD yang mewakili daerah. (af/saf)

Kerusakan Jalintim Capai 48 Km


Laporan Kasmedi, Rengat redaksi@riaupos.co
Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Pelaksana Jalan Nasional Wilayah I Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional, menyatakan Jalan Lintas Timur (Jalintim) Pekanbaru-Jambi masih terdapat kerusakan sepanjang 48 Km dari 295 Km.

Namun demikian, menghadapi arus mudik dan arus balik Idul Fitri 1433 H, ini telah dilakukan penanganan sementara di sejumlah titik yang rusak terutama dari Kecamatan Seberida, Inhu batas Jambi.

Intsiawati Ayus didampingi Sekda Inhu dan pihak Kementrian PU
Mengadakan Peninjauan Lapangan ke Jalintim di Perbatasan Riau-Jambi
Sementara penanganan berkala terhadap 48 Km Jalintim yang rusak, terutama dalam wilayah Inhu pada tahun ini telah dilakukan peningkatan jalan sepanjang 20 Km dari Tugu Patin Pematang Reba arah batas Jambi. Proyek melalui tahun jamak itu akan tuntas pada 2013.

”Untuk arus mudik dan arus balik Idul Fitri tidak ada kendala. Karena Jalintim yang mengalami rusak parah sudah dilakukan perbaikan sementara,” ujar Kasatker Pelaksana Jalan Nasional Wilayah II Pekanbaru Jambi Dedi Mandawa didampingi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Jalintim Emri Ritongo, tinjau lapangan bersama anggota DPD RI Hj Intsiawati Ayus SH MH akhir pekan lalu.

Perbaikan atas kerusana Jalintim dalam wilayah Inhu sejak 2011 lalu telah dimulai. Hanya saja perbaikan itu belum tuntas sesuai kontrak dan pada Agustus 2013 yang dianggarkan melalui proyek multiyears baru akan tuntas secara keseluruhan.

Saat ini sebutnya, sebagian pekerjaan sudah dapat menuntaskan beberapa bagian drainase. Bahkan beberapa titik di sepanjang Jalintim terutama dari Tugu Patin Pematang Reba arah batas Jambi sudah dilaksanakan pengaspalan lapis pertama dari tiga lapis yang direncanakan.

Ia juga tidak memampik penanganan Jalintim terkesan lambat. Hal salah faktornya yakni tidak adanya kontrok muatan barang bagi truk yang melintas. Sehingga kelas jalan Jalintim yang kelas III dengan berat beban untuk 8 ton.

”Kenyataan yang ada saat ini, mobil yang melintas pada Jalintim tersebut masih banyak bermuatan di atas 8 ton. Akibatnya kerusakan Jalintim setiap saat akan terus mengancam. Jembatan timbang sangat menentukan ketahan jalan,” imbuhnya.

Selain itu sebutnya sepajang Jalintim masih ada sepanjang 40 Km dengan lebar 6 meter. Sementara sesuai standar lebar Jalan Nasional itu yakni untuk badan jalan dengan lebar 7 meter dan bahu jalan 2 meter. Tentunya kondisi itu menambah PR untuk pekerjaan Jalintim.

Menanggapi hal itu anggota DPD RI Hj Intsiawati Ayus SH MH meminta Pemkab segera mungkin merancang dan mempercepat pengesahan Perda tentang jembatan timbang. Ia juga menyebutkan, kerusakan jalan juga terjadi di setiap SPBU di Jalintim.

Hal itu dikarenakan, SPBU membuang air ke jalan, sementara jalan tidak tersedia drainase.

Sementara itu Wakil Ketua DPRD Arwan Citra Jaya yang juga hadir dalam kesempatan itu mengatakan, dalam waktu dekat akan merekomendasikan kepada Badan Legislasi (Banleg) untuk merancang perda jembatan timbang.

”Ini prioritas, saya akan rekomendasikan kepada Baleg,” sebutnya.(rpg/ade)

DPD RI: Penanganan Kasus Simulator SIM Wewenang KPK


Jakarta, analisadaily.com. 
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai penyelidikan kasus Simulator SIM oleh Kepolisian cacat hukum. DPD RI mendesak kepolisian menghentikan kasus tersebut dan menyerahkan penuntasan kasus ini ke KPK. Demikian pernyataan resmi Kaukus Antikorupsi DPD RI melalui konferensi pers di gedung DPD RI Senayan Jakarta, Selasa (7/8).

Kepolisian dinilai berupaya merintangi langkah KPK dalam penegakan hukum dengan menahan sejumlah alat bukti KPK. Sementara rekam jejak polisi dalam kasus korupsi seperti rekening gendut, mafia hukum dan mafia pajak, juga tidak maksimal.

"Sikap Polri dinilai bertentangan dengan Ketentuan pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) UU tentang KPK. Dalam hal KPK melakukan penyidikan maka Kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan (pasal 3), dalam penyidikan dilakukan bersamaan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK, penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dihentikan.

Oleh karena itu otomatis tindakan penyidik yang dilakukan polisi adalah cacat hukum," tegas anggota kaukus, Wayan Sudirta.

Pernyataan Resmi
Berikut pernyataan resmi DPD terkait penanganan kasus simulator SIM: Sesuai dengan UU KPK, KPK yang berwenang menangani kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat ujian simulasi SIM. Kepolisian harus menghentikan penyelidikan kasus ini karena cacat hukum. Kepolisian harus mendukung upaya KPK untuk menangani kasus ini dan menyerahkan semua bukti-bukti yang terkait dengan kasus ini kepada KPK;

DPR agar berperan menengahi konflik antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus ini; Presiden harus turun tangan agar Polri menaati segala kentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK’

DPD menghimbau peranserta masyarakat, pers dan organisasi masyarakat lainnya untuk bersama-sama dengan DPD RI dalam mendukung dan mengawasi proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK.

Turut hadir anggota kaukus antikorupsi DPD RI seperti Dr. H. Rahmat Shah, Intsiawati Ayus, H. Pardi,SH, Juniwati Masjchum Sofwan, Jack Ospara, Ferry FX Tinggogoy, dan Abdul Aziz, SH.

Dr.H.Rahmat Shah yang juga adalah anggota DPD RI dari Provinsi Sumatera Utara menyampaikan sikap kaukus antikorupsi DPD RI bukan menyoroti kasus yang terjadi di Kepolisian semata, akan tetapi semua instansi, jika terdapat laporan masyarakat didukung dengan fakta hukum yang lengkap, juga akan disikapi.

DPD RI akan memerangi korupsi bukan saja di tubuh Polri tetapi di semua instansi lain yang memang tercium adanya kasus korupsi. DPD RI tidak akan pernah takut dalam memerangi dan memberantas korupsi di manapun berada, kami tidak akan takut dalam hal ini sama siapa saja, kami hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Kami bukan berasal dari partai politik yang sewaktu-waktu bisa direcall atau diberhentikan, dan jangan pernah menganggap sepele terhadap DPD karena kita bersama-sama melawan korupsi karena kami di sini memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah. Pandangan yang rusak itu harus diperbaiki apa bila tidak diperbaiki tidak akan selesai masalah bangsa Indonesia. DPD RI tidak akan pernah bisa dipengaruhi pihak lain untuk masuk dalam hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani serta rasa keadilan," ujar pendiri Monas Keadilan, di Medan ini. (rel/hers)

Kasus Simulator SIM Wewenang KPK

*Polisi Langgar UU

MEDAN (Beritasore.com) 
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menilai penyelidikan kasus simulator SIM oleh Kepolisian cacat hukum. DPD RI mendesak kepolisian menghentikan kasus tersebut dan menyerahkan penuntasan kasus ini ke Komisi Pemberantas Korupsi.

Demikian pernyataan resmi Kaukus Antikorupsi DPD RI melalui konferensi pers di gedung DPD RI Senayan Jakarta, Selasa (7/8). Kepolisian dinilai berupaya merintangi langkah KPK dalam penegakan hukum dengan menahan sejumlah alat bukti KPK. Sementara rekam jejak polisi dalam menangani kasus dugaan korupsi seperti rekening gendut, mafia hukum dan mafia pajak, juga tidak maksimal.

“Sikap Polri tersebut bertentangan dengan Ketentuan pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) UU tentang KPK. Dalam hal KPK melakukan penyidikan maka Kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan (pasal 3), dalam penyidikan dilakukan bersamaan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK, maka penyelidikan oleh kepolisian dan kejaksaan dihentikan. Oleh karena itu otomatis tindakan penyidik yang dilakukan polisi adalah cacat hukum,” tegas anggota kaukus, Wayan Sudirta.
Berikut beberapa pernyataan resmi DPD terkait penanganan kasus simulator SIM, yakni sesuai dengan UU KPK, KPK yang berwenang menangani kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat ujian simulasi SIM. Kepolisian diminta menghentikan penyelidikan kasus ini karena cacat hukum.

Kepolisian juga harus mendukung upaya KPK untuk menangani kasus ini dan menyerahkan semua bukti-bukti yang terkait dengan kasus ini kepada KPK, DPR agar berperan menengahi konflik antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus ini.

Presiden harus turun tangan agar Polri menaati segala kentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, serta mengimbau peran serta masyarakat, pers dan organisasi masyarakat lainnya untuk bersama-sama dengan DPD RI dalam mendukung dan mengawasi proses hukum yang sedang dilakukan KPK.

Turut hadir anggota kaukus antikorupsi DPD RI seperti DR.H.Rahmat Shah, Intsiawati Ayus, H.Pardi,SH, Juniwati Masjchum Sofwan, jack Ospara, Ferry FX Tinggogoy, dan Abdul Aziz,SH.

Dalam bagian akhir konfrensi pers, DR.H.Rahmat Shah yang juga adalah anggota DPD RI dari Provinsi Sumatera Utara menyampaikan bahwa sikap kaukus antikorupsi DPD RI bukan menyoroti kasus yang terjadi di kepolisian semata, akan tetapi semua instansi, jika terdapat laporan masyarakat didukung dengan fakta hukum yang lengkap, juga akan disikapi.

“Kami DPD RI akan memerangi korupsi bukan saja di tubuh Polri tetapi di semua instansi lain yang memang tercium adanya kasus korupsi, kami tidak akan pernah takut dalam memerangi dan memberantas korupsi di manapun berada, kami tidak akan takut dalam hal ini sama siapa saja, kami hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kami bukan dari partai politik yang sewaktu-waktu bisa direcall atau diberhentikan,” tegasnya.(irm/rel)

DPD Ajukan Judicial Review UU MD3 ke MK, DPR Jadi Bingung


Ralian Jawalsen Manurung
JAKARTA, Jaringnews.com - Rencana pengajuan judicial review Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) oleh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) ke Mahkamah Konstitusi membuat bingung anggota Komisi III DPR RI, Taslim Chaniago.

"Saya jadi risih nih, UU MD3 mau direvisi tapi kok kawan-kawan DPD mau ngajukan judicial review," ujar Taslim, dalam Persfektif "Memecah Kebekuan DPD dan DPR, di gedung Pressroom DPD RI, di Senayan, Jakarta, Jumat (7/8).

Menurutnya, DPR saja mau merevisi UU MD3 ini, mengapa DPD RI mau mengajukan judicial review. "Kalau sudah dirampungkan UU MD3 gak masalah mau diajukan ke MK, tapi kan DPR sedang merevisi UU ini," ujar anggota DPR Fraksi PAN ini.

Taslim mengatakan, DPD mengajukan judicial review UU MD3 ke MK akan sama saja membawa kasus ini ke kutub dan mendatangkan kebekuan.

Sementara itu, Anggota DPD RI Intsiawati Ayu mengatakan, dalam pembuatan undang-undang DPD hanya diberi peran pendapat dan pandangan dalam pembuatan dalam undang-undang.

"Sementara masalah inventaris daftar masalah (DIM) DPD tidak diberi tempat dalam pembuatan undang-undang ini," ujarnya.

Katanya, peran DPD hanya sebagai simbol saja di parlemen. Fungsi dan kewenangannya tidak seperti DPR.
(Ral / Ara)

DPD: Polri Tak Berwenang Tangani Kasus Simulator

Pertemuan Polri–KPK Berakhir Buntu


Jakarta-harianandalas.com
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai penyelidikan kasus Simulator SIM oleh kepolisian cacat hukum. DPD RI mendesak kepolisian menghentikan kasus tersebut dan menyerahkan penuntasan kasus ini ke KPK.

Demikian pernyataan resmi Kaukus Antikorupsi DPD RI melalui konferensi pers di Gedung DPD RI Senayan, Jakarta, Selasa (7/8).

Kepolisian dinilai berupaya merintangi langkah KPK dalam penegakan hukum dengan menahan sejumlah alat bukti KPK. Sementara rekam jejak polisi dalam kasus korupsi seperti rekening gendut, mafia hukum, dan mafia pajak, juga tidak maksimal.

“Sikap Polri tersebut bertentangan dengan Ketentuan pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) UU tentang KPK. Dalam hal KPK melakukan penyidikan maka Kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan (pasal 3), dalam penyidikan dilakukan bersamaan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK, penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dihentikan. Oleh karena itu otomatis tindakan penyidik yang dilakukan polisi adalah cacat hukum,” tegas anggota kaukus, Wayan Sudirta.

Dalam pernyataan resminya terkait penanganan kasus simulator SIM, DPD menyatakan sesuai dengan UU KPK, KPK yang berwenang menangani kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat ujian simulasi SIM.

Kepolisian harus menghentikan penyelidikan kasus ini karena cacat hukum. Kepolisian juga harus mendukung upaya KPK untuk menangani kasus ini dan menyerahkan semua bukti-bukti yang terkait dengan kasus ini kepada KPK.

Kepada DPR juga diminta berperan menengahi konflik antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus ini. Selain itu Presiden SBY harus turun tangan agar Polri menaati segala kentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Turut hadir dalam konfrensi pers itu anggota kaukus antikorupsi DPD RI di antaranya Dr H Rahmat Shah, Intsiawati Ayus, H Pardi SH, Juniwati Masjchum Sofwan, Jack Ospara, Ferry FX Tinggogoy, dan Abdul Aziz SH.

Di akhir konfrensi pers, Rahmat Shah yang juga Anggota DPD RI dari Sumatera Utara menyampaikan bahwa sikap kaukus antikorupsi DPD RI bukan menyoroti kasus yang terjadi di kepolisian semata, tetapi semua instansi.

“Kami DPD RI akan memerangi korupsi bukan saja di tubuh Polri tetapi di semua instansi yang memang tercium adanya kasus korupsi, kami tidak akan pernah takut dalam memerangi dan memberantas korupsi di manapun berada. Kami tidak akan takut dalam hal ini sama siapa saja.

Kami hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kami bukan dari partai politik yang sewaktu-waktu bisa di-recall atau diberhentikan," ujar pendiri Monas Keadilan di Medan ini.

Berakhir Buntu

Sementara itu Pimpinan KPK dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo telah mencoba bertemu untuk mendinginkan suasana terkait rebutan perkara Simulator SIM. Sayangnya, dalam pertemuan sampai subuh itu, tak ada hasil signifikan yang didapatkan.

Pimpinan KPK yang hadir adalah Ketua Abraham Samad dan Wakil Ketua Busyro Muqoddas. Sedangkan pihak Polri diwakili langsung oleh Jenderal Timur dan Kabareksrim Komjen Pol Sutarman.

Pertemuan itu dimulai sekitar pukul Senin (6/7) 23.00 WIB. Sampai subuh menjelang, tak ada hasil besar yang dapat disimpulkan. "Kami sampai makan sahur di sana," ujar Abraham Samad di Jakarta, Selasa (7/8).

Namun pertemuan berjalan buntu. Pertemuan pun akan dilakukan lagi dalam beberapa waktu ke depan. "Masih akan dilanjutkan lagi," ujar pria asal Makassar ini.(Gus/BS/Dtc)

Sikap DPD Terhadap Pengadaan Driving Simulator


fy-indonesia.com
Ketua Kaukus Anti Korupsi DPD RI, I Wayan Sudirta (ke-2 kanan) didampingi anggota Kaukus lainnya, Intsiawati Ayus (kanan), Juniwati Maschun Sofwan (ke-2 kiri) dan Jack Ospora (kiri) dengan tegas dan lugas menyatakan bahwa sesuai UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, KPK lah yang berwenang menangani kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat simulasi ujian SIM yang melibatkan beberapa pejabat di lingkungan Mabes Polri pada saat menyampaikan pernyataan sikap DPD RI berkaitan dengan dualisme penyidikan driving simulator oleh KPK dan Kepolisian pada Selasa, 07/08/2012 di gedung Parlemen RI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan Jakarta Pusat. Dalam kesempatan itu, beliau pun menegaskan bahwa Kepolisian harus menghentikan penyelidikan kasus ini, karena cacat hukum. justru sebaliknya Kepolisian harus mendukung upaya KPK untuk menangani kasus ini dan menyerahkan semua bukti-bukti yang terkait dengan kasus ini kepada KPK. Selanjutnya Presiden harus turun tangan agar POLRI menaati segala ketentuan undang2 nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Fyi/Mulkan Salmun.

Kaukus Anti Korupsi DPD Nilai Polri Gagal Bersih-Bersih


JAKARTA, PedomanNEWS
Kaukus Anti Korupsi Dewan Pimpinan Daerah RI, mengaku kecewa dengan lembaga hukum Kepolisian Negara RI. Menurutnya, keseriusan Polisi untuk melakukan pembersihan diri dari jerat korupsi, masih belum berhasil dibuktikan.

Sebelumnya, kinerja Polri dalam menangani beberapa kasus korupsi seperti rekening gendut Jenderal Polisi, mafia hukum dan pajak, kasus proyek pengadaan jaringan radio dan alat komunikasi Mabes Polri (2002-2005), memiliki rekam jejak yang buruk bagi Polri.

Kasus yang mencuat akhir-akhir ini adalah kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri, yang telah ditetapkan tersangka oleh KPK yaitu Jenderal bintang dua Irjen Djoko Susilo. Pada kasus ini, Kaukus Anti Korupsi DPD, melihat upaya Kepolisian yang bermaksud ingin merintangi langkah KPK dalam menegakkan hukum.

Sikap Polri justru mendorong institusi Polri untuk melanggar hukum dan dapat menurunkan pamor kepolisian lebih rendah lagi. Sikap Polri ini harus dihentikan dan menyerahkan kasus itu kepada KPK.

Oleh karena itu, menurut Kaukus Anti Korupsi DPD, DPR harus turun tangan untuk menyelesaikan kasus ini. Tak hanya DPR, Presiden juga harus turun tangan, karena Polri di bawah Presiden.

Oleh karenanya, Kaukus Anti Korupsi DPD, dengan tegas menyatakan sebagai berikut:
1. Sesuai dengan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, KPK yang berwenang menangani kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat simulator SIM.
2. Kepolisian harus menghentikan penyelidikan kasus ini, karena cacat huku.
3. Kepolisian harus mendukung upaya KPK untuk menangani kasus ini dan menyerahkan semua bukti-bukti yang terkait dengan kasus ini kepada KPK.
4. DPR agar berperan menengahi konflik antara KPK dan Polri dalam penanganan kasus ini.
5. Presiden harus turun tangan agar Polri menaati segala ketentuan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
6. Mengimbau peran serta masyarakat, pers, dan organisasi masyarakat lainnya untuk bersama-sama dengan DPD RI dalam mendukung dan amengawasi proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK.

Pernyataan tegas tersebut, disepakati oleh Tim Kaukus Anti Korupsi DPD RI yaitu I Wayan Sudirta (Bali), Intsiawati Ayus (Riau), Pardi (DKI Jakarta), Jack Ospara (Maluku), Juniwati Masjchun Sofwan (Jambi), Rahmat Shah (Sumut), Ferry Tinggogoy (Sulut) dan ABdul Aziz (Sumsel), di gedung DPD RI Senayan, Jakarta, Selasa (7/8).

Nurrina Desiani

Setiap Hari 4 Jiwa Meninggal Akibat Lakalantas


Medan-@harianandalas.
Permasalahan lalu lintas terus berkembang secara dinamis dan kompleks seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan mobilitas yang terus meningkat, sementara kapasitas jalan cenderung statis. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara supply dan demand.

Hal ini dikatakan Plt Gubsu H Gatot Pujo Nugroho diwakili Sekdaprovsu H Nurdin Lubis saat menerima rombongan Kunjungan Kerja (Kunker) Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Jumat (6/7) di Ruang Beringin Lt VIII Kantor Gubsu.

Menurut data Ditlantas Polda Sumut Tahun 2011, kata Nurdin, tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang salah satu pemicunya adalah keterbatasan anggaran pengadaan fasilitas keselamatan jalan khususnya di jalan nasional dan provinsi mencapai 1600 jiwa.

"Artinya 4 jiwa per hari meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, dan 55,2 persen di antaranya usia produktif," urai Sekdaprovsu yang didampingi Assisten Administrasi Umum dan Aset H Hasban Ritonga SH, Kadis dan Perhubungan Provsu Anthony Siahaan SE ATD MT.

Dia mengatakan, dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat mewujudkan lalu lintas yang aman, selamat, tertib, lancar.

"Diharapkan agar tingkat kecelakaan lalu lintas bisa menurun nantinya," ungkap Nurdin.

Sementara itu, Ketua Komite II DPD RI H Bambang Susilo mengatakan, kunjungan kerja Komite II DPD RI ke Provinsi Sumatera Utara yang dijadwalkan 7-9 Juli 2012, untuk melakukan pengawasan terhadap UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dan undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan di Sumatera Utara serta menyerap asipirasi dan juga melakukan pengawasan yang difokuskan ke Bandara Kuala Namu.

"Kita akan meninjau ke Bandara Kuala Namu," ujar Bambang yang hadir beserta rombongan dari Komite II DPD RI Wakil Ketua Komite II Intsiawati Aysu SH, MH (Riau), Parlindungan Purba, SH, MM (Sumut), Mursyid (Aceh), M Syukur SH (Jambi), Abdul Aziz (Sumatera Selatan), Iswandi, AMd (Lampung), Muhammad Afnan Hadikusumo (DI Yogyakarta), H Ahmad Subadri (Banten), Ir Abraham Liyanto (NTT), Ahmad Syaifullah Malonda, SP (Sulawesi Tengah), Etha Aisyah Hentihu (Maluku) dan Pdt Elion Numberi, STh (Papua).

Turut Hadir pertemuan tersebut, mewakili Kapolda Sumatera Utara Karo Ops Poldasu Kombes Pol Drs Iwan Hari Sugiarto, dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Risman Sibarani, GM PT Angkasa Pura II Bandara Polonia Medan, Satker Bandar Udara Baru Medan, mewakili Kadis Kanla Provsu.

Sekdaprovsu Terima Rombongan Kunker Komite II DPD RI


boa-boa.com – MEDAN 
Permasalahan lalu lintas terus berkembang secara dinamis dan kompleks seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan mobilitas yang terus meningkat, sementara kapasitas jalan cenderung statis yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara supply dan demand.

Hal ini dikatakan Plt Gubsu H Gatot Pujo Nugroho ST dalam sambutannya yang dibacakan Sekdaprovsu H Nurdin Lubis SH MM saat menerima Rombongan Kunjungan Kerja Komite II DPD RI di Provinsi Sumatera Utara, Jumat (6/7) di Ruang Beringin Lt. VIII Kantor Gubsu.

Menurut data Ditlantas Polda Sumut Tahun 2011, kata Nurdin tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas yang salah satu pemicunya keterbatasan anggaran pengadaan fasilitas keselamatan jalan khususnya di jalan nasional dan provinsi mencapai 1600 jiwa. “Artinya 4 jiwa perhari meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, dan 55,2 persen diantaranya usia produktif,” urai Sekdaprovsu yang didampingi Assisten Administrasi Umum dan Aset H Hasban Ritonga SH, Kadis dan Perhubungan Provsu Anthony Siahaan SE ATD MT.

Dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dengan semangat bahwa penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan bersifat lintas sektor dan dengan koordinasi oleh para pembina dan para pemangku kepentingan lainnya dapat mewujudkan lalu lintas yang aman, selamat, tertib, lancar.

“Diharapkan agar tingkat kecelakaan lalu lintas bisa menurun nantinya”, ungkap Nurdin dan menambahkan bahwa Pemerintah Provinsi dan Instansi penyelenggara LLAJ terus berupaya untuk mengatasi permasalahan lalu lintas selain peningkatan sarana dan prasarana dan peningkatan pelayanan angkutan umum serta mensosialisasikan keselamatan lalu lintas dan penegakan hukum serta sanksi hukum terhadap pelanggar lalu lintas.

Degan hadirnya undang-undang nomor 45 Tahun 2009 sebagai pengganti undang-undang nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan dapat mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang sangat besar di bidang perikanan. Baik yang berkaitan dengan ketersediaan dan kelestarian lingkungan sumber daya ikan maupun berkembangnya metode pengelolaan perikanan.

Permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan saat ini diantaranya adalah penangkapan ikan yang berlebih, pencurian ikan dan illegal fishing lainnya yang menimbulkan kerugian bukan hanya bagi negara tetapi juga mengancam kepentingan nelayan dan pembudi daya ikan dan usaha perikanan nasional. Oleh karenanya selain kesiapan sistem sarana dan prasaran dan pengawasan juga diperlukan peningkatan dan penegakan hukum dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. “Penegakkan hukum di bidang perikanan dan kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana dibidang perikanan sangat diperlukan”, ujar Sekdaprovsu.

Pada kesempatan itu, Sekdaprovsu juga mengharapkan agar pertemuan ini bermanfaat dan sebagai wahana konsultasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan undang-undang dan kepada SKPD dan instansi terkait dapat memanfaatkan kesempatan menyampaikan permasalahan, masukan atau saran hal-hal bersifat teknis terkait pelaksanaan undang-undang lalu lintas dan perikanan.

Sementara itu Ketua Komite II DPD RI Ir H Bambang Susilo MM mengatakan Tugas dan Fungsi DPD RI sesuai Ketentuan UUD 1945, Undang-undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Peraturan Tata Tertib DPD RI bahwa DPD RI dapat mengajukan, memberikan pandangan dan pendapat, memberikan pertimbangan dan melakukan pengawasan terhadap rancangan undang-undang tertentu.

Oleh karenanya Kunjungan kerja Komite II DPD RI ke Provinsi Sumatera Utara yang direncanakan 7-9 Juli 2012, kata Bambang untuk melakukan pengawasan terhadap UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dan undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan di Sumatera Utara serta menyerap asipirasi dan juga melakukan pengawasan yang difokuskan ke Bandara Kuala Namu.”Kita akan meninjau ke Bandara Kuala Namu”, ujar Bambang yang hadir beserta rombongan dari Komite II DPD RI Wakil Ketua Komite II Intsiawati Aysu SH, MH (Riau), Parlindungan Purba, SH, MM (Sumut), Mursyid (Aceh), M Syukur SH (Jambi), Abdul Aziz (Sumatera Selatan), Iswandi, AMd (Lampung), Muhammad Afnan Hadikusumo (DI Yogyakarta), H Ahmad Subadri (Banten), Ir Abraham Liyanto (NTT), Ahmad Syaifullah
Malonda, SP (Sulawesi Tengah), Etha Aisyah Hentihu (Maluku) dan Pdt Elion Numberi, STh (Papua).

Turut Hadir pertemuan tersebut, mewakili Kapolda Sumatera Utara Karo Ops Poldasu Kombes Pol. Drs. Iwan Hari Sugiarto, dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Risman Sibarani, GM PT Angkasa Pura II Bandara Polonia Medan, Satker Bandar Udara Baru Medan, mewakili Kadis Kanla Provsu. (MUL)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.