Guru SMU Fave

Guru itu walo galak, but sebenarnya mereka chayang ama kita. Tanpa mereka kita ’gak bakal seperti sekarang,minimal ngasih tau ilmu. Aku cih ngerasain guru2 di SMUN 1 Pekanbaru dulu selalu fair. Buktinya aku punya guru2 fave, misalnya Pak V Nol (guru fisika) dan Pak Manurung (guru matematika, dengan celetukan “kambing” untuk siswa yang “bego”, hwe, hee, ...!).

Walo mereka ngajar bidang yang katanya susah, tapi mereka ngajarnya gak bikin bete alias kocak. Sayangnya, mereka berdua udah meninggal, semoga mereka diterima di sisi-Nya. Amiiin ... Juga ada Pak Bustami, yang biasa dipanggil dengan "Uda Bus". T’rus ada Pak Krismantoro, guru sejarah, yang banyak memberikan inspirasi drama. Bu Normalia Harahap (kepala sekolah), yang rumahnya persis di belakang rumah orang tuaku, dan Ibu GR (guru Bahasa Indonesia) calon mertua, tapi gak jadi he, he, he ... sst, sst (Tagor anak laki Beliau yang menjadi kekasihku saat itu ”berpulang” terlalu cepat). Serta Ibu Nurhayati Sigalingging wali kelasku. Mereka guru-guru yang penuh pengertian. Thank's buangeets.

Dengan Pak Kris, ada pengalaman yang berkesan ketika kami mengadakan sosio drama. Aku berperan jadi mbok jamu yang jadi mata-mata pejuang, Di situ teman-teman bisa menyalurkan kebisaan mereka, seperti membuat ilustrasi musik (dimana 'Hey Jude' dan 'Gugur Bunga' jadi lagu pamungkas pementasan) dan berteater ’en ngedisain panggung. Kira-kira sekarang masih gak ya?

*(dikutip dari Buku Panduan Kunjungan Ke SMANSA Pekanbaru 9 Desember 2006)

Prestasi SMU*


Prestasi sekolahku gak jelek-jelek amat tuh. Aku dulu murid kelas biologi (waktu itu pembagiannya A1 fisika, A2 biologi 'en A3 ilmu sosial), karena aku suka pelajaran biologi 'en bahasa Indonesia. Kecintaan pada pelajaran Bahasa Indonesia cukup besar, apalagi pada sastra terutama puisi, 'en akhirnya membawaku menjadi juara dua Lomba Baca Puisi se-Kotamadya Pekanbaru.

Walo belum pernah menang, aku sering ikut lomba dakwah ‘en saritilawah yang diselenggarakan Kanwil Departemen Agama Riau. Aku pun sering ikut lomba dan pentas musik, tari ‘en nyanyi, lumayan juga cih prestasinya. Kata orang aku ini tomboy, makanya gak salah kalo kegiatan yang diikuti lebih banyak cowoknya ’en hobinya pun karate. Aku pernah ikut Kejurda Karate antar distrik se-Riau yang diadain Caltex, ‘en juara tiga kugondol pulang.

Untuk upacara hari Senin, aku sering menjadi petugas upacara, mulai dari pengibar bendera hingga pembaca teks UUD 1945 dan Pancasila, tapi yang sering menjadi dirigen. Ada hal yang membanggakanku hingga kini, aku pernah menjadi komandan upacara. Buatku ini kali pertama seorang anak perempuan menjadi komandan, ’en konon hingga kini belum ada anak perempuan lain yang menjadi komandan. Wuih ... senangnya.


*(dikutip dari Buku Panduan Kunjungan Ke SMANSA Pekanbaru 9 Desember 2006)

Happy Buangeeets!


Kalo ada yang nanya gimana masa sekolahku dulu, hanya ada satu kata, happy buangeeetss! Rasanya tak ada masa yang paling indah selain masa SMU.

Hemm, … masuk kelas lewat jendela, merupakan story yang gak bakal aku lupain. Gejolak emosi muda terasa menggelegak, 'en enerji rasanya gak ada habisnya. Aktivitas seni sampe beladiri banyak kulakukan, ‘en gak ketinggalan ngeceng layaknya remaja di usiaku, yang sampai sekarang masih terwariskan pada remaja Pekanbaru, jalan Diponegoro.

Prestasi? Ya, cukup lumayan. Gimana dengan pelajaran sekolah? Bukannya nyombong, aku tak pernah di bawah 6 besar. Prestasi ‘en aktif berkegiatan itu yang selalu aku lakoni, ya enjoy aja ngejalaninnya. Walo aku sering bikin aksi iseng, tapi ada batesnya. Yang jelas Bonyokku selalu ngedukung aja apa yang aku lakuin, selama itu aku bisa nunjukin bahwa aku bisa berprestasi. Pokoke main ’en belajar imbanglah.

*(dikutip dari Buku Panduan Kunjungan Ke SMANSA Pekanbaru 9 Desember 2006)

'In Bintan'


In Bintan, begitu panggilan sayang sohib2ku. But, ada juga yang iseng memanggil dengan “Nurlela“, sebuah nama yang dicuplik dari tembang populer di masaku, or “Chicha”, seorang penyanyi anak-anak yang cukup populer kala itu. Ah..., gak ngerti mengapa aku dijadikan ”Nurlela” or “Chicha”, maybe gaya, bawaan or gaulku.

Masa bodo, emang gua pikirin. Tapi kini aku lebih banyak dipanggil dengan nama asliku, Iin or Datin, yang kusebut sebagai panggilan sayang dari mereka. Aku lahir sebagai sulung dari pasangan Asman Yunus dan Asnidar Yusuf, yang semuanya berjumlah 5, hari lahirku tanggal 4 Mei 1968, di Desa Teluk Belitung, Kecamatan Merbau, Kabupaten Bengkalis, Riau.


*(dikutip dari Buku Panduan Kunjungan Ke SMANSA Pekanbaru 9 Desember 2006)

Kemandirian ‘en Tanggung Jawab*

Menjelang kelulusan SMU, kecuali anak-anak yang mendapat PMDK, kami semua gamang dengan pilihan. Tak ada arahan ’en informasi yang cukup tentang dunia perguruan tinggi. Akhirnya banyak teman2ku yang berkuliah karena asal kuliah saja. Sekedar memenuhi alur ‘en tahapan pendidikan.

Memang idealnya kita bisa ngerti pilihan kita sendiri. Aku sendiri akhirnya masuk fakultas hukum Universitas Islam Riau (UIR). Alhamdullilah, masa kuliah aku lewati dengan mudah. Aku pun sudah selesai dari jenjang pendidikan S2 di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dengan bidang yang sama. Meski orangtuaku terhitung berkecukupan, namun selepas SMU aku ingin berusaha mendapat penghasilan sendiri. Dengan penghasilan itulah aku bisa membiayai kuliahku sendiri. Aku pernah terjun di dunia entertaint dan membuat event organizer.

Banyak pelajaran berharga yang aku petik selama bekerja, namun yang penting bagiku adalah MANDIRI. Sebab di dalam kemandirian itu ada TANGUNG JAWAB. Terlepas baik ‘en buruk, siapa menebar benih, maka akan menuai buahnya kelak. Dan kini Erwin suamiku yang juga alumnus SMUN 1, ’en dua orang anak cewe', Opie ‘en Sarah. Mereka semua melengkapi perjalanan hidupku.

*(dikutip dari Buku Panduan Kunjungan Ke SMANSA Pekanbaru 9 Desember 2006)

Terpilih Menjadi Anggota DPD-RI*


PEMILU 2004 telah menjadi pintu masuk keterlibatanku dalam kancah politik praktis. Dari kerja keras timku membangun dukungan masyarakat dari berbagai daerah Riau, akhirnya aku berhasil mengumpulkan suara sebanyak 125.890. Artinya, aku termasuk di antara 4 orang yang dipercaya untuk mewakili lebih dari 4 juta penduduk Riau sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dari 29 orang calon anggota DPD dari Riau, 3 orang di antaranya adalah perempuan, dan uniknya, ketiga perempuan itupun terpilih. Alhamdulillah, salah satunya adalah aku. Secara pribadi aku berterimakasih atas segala dukungan dan doa dari masyarakat Riau selama ini.

Tanggung jawab di pundakku pun menjadi bertambah berat. Di samping kesibukan berprofesi sebagai pengacara, memimpin organisasi Rumpun Melayu Bersatu (RMB), mengurus suami, dan membesarkan dua orang anak, kini muncul lagi sebuah tantangan untuk mewakili masyarakat dan daerah yang kucintai, Riau. Meski banyak ujian, semua tugas ini kujalani dengan sikap tawakal, sebagai bagian dari amanah Allah SWT.

Menjadi wakil daerah memang sebuah pengalaman baru. Tentu bukan bagi aku saja
tetapi juga bagi 127 anggota lainnya dari seluruh Indonesia. Bagaimanapun DPD adalah sebuah lembaga tinggi yang sama sekali baru dalam sejarah tata negara di RepubIik ini. Di lembaga ini pula aku banyak mendapat pengetahuan serta pengalaman baru dan juga akses yang lebih besar terhadap para penentu kebijakan di negeri ini.

Dalam sistem demokrasi, parlemen adalah lembaga yang mewakili kepentingan rakyat. Nah, bentuk parlemen negara kita saat ini setelah Amandemen UUD 1945, menganut sistem bikameral atau sistem dua kamar. Di samping ada lembaga yang mewakili kepentingan nasional melalui partai politik, yang disebut DPR sebagai kamar pertama, kini ada juga lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat daerah, yaitu DPD sebagai kamar kedua.

Alhamdulillah, di DPD aku terpilih menjadi salah satu anggota perempuan yang dipercaya duduk di kursi pimpinan. Ketika itu aku diangkat menjadi Wakil Ketua Panitia Perancang Undang-undang (PPUU) dan menjadi anggota Panitia Ad Hoc (PAH) II yang membidangi pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi, perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta pajak. Oh iya, perlu diketahui ada tiga kewajiban utama DPD menurut UU, yaitu: (1) Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah; (2) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya; dan (3) Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan kiprah di DPD, kami telah membidani lahirnya sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil pengawasan, serta berbagai rekomendasi yang menjadi bahan bagi penentuan kebijakan di tingkat nasional. Sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, kiprah awalku itu kutuangkan dalam sebuah buku berjudul "Menapak Tahun Pertama:Laporan Pertangungjawaban Intsiawati Ayus, AnggotaDPD Daerah Pemilihan Riau". Buku ini merupakan satu-satunya pertanggungjawaban dan pertama kali dibuat oleh seorang anggota DPD, DPR dan MPR di Republik ini hingga saat ini. Dan saat ini aku juga sedang menyelesaikan buku berjudul, "Mengeja Bikameral: Dari Tabrani ke Intsiawati".

Dengan independensi yang dimilikinya, anggota DPD lebih bebas bergerak menjalankan fungsinya menjembatani kepentingan daerah di tingkat pusat karena anggota DPD merupakan representasi daerah, dan bukan representasi partai politik sebagaimana DPR. Dari segi nominal pun sebenarnya legitimasi anggota DPD di mata rakyat lebih kuat karena jumlah pemilihnya jauh lebih banyak ketimbang anggota DPR. Namun demikian, dari sejumlah peran dan kewenangan yang seharusnya dimiliki DPD masih dibatasi oleh UU. Dan, keterbatasan ini sedang diperjuangkan terus. Aku berdoa agar lembaga ini kelak menjadi lembaga yang kuat dan sanggup memperjuangkan secara konkret kepentingan daerah demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Dan, dengan segala kerendahan hati aku memohon dukungan dan doa dari adik-adikku sekalian.

Kelak, beberapa tahun ke depan, Pemilu 2009, Pemilu 2014, kesempatan yang sama terbuka bagi adik-adikku sekalian. Siapa mau menyusul?


*(dikutip dari Buku Panduan Kunjungan Ke SMANSA Pekanbaru 9 Desember 2006)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.