Senator Without Right!

Prof. Dr. H. Tabrani Rab (Tokoh Riau Merdeka)





Menurut Tabrani, negara kita saat ini berada dalam kondisi yang sangat kritis. Sama kritisnya ketika tahun 1958 dan akhir tahun 1998, saat gerakan-ge¬rak¬an separatis ramai bermunculan. Ini semua tak lain disebabkan karena akses daerah ke pusat masih tersumbat.



Pada prinsipnya, Undang-undang No.32 tahun 2004 menurut Tabrani masih mengebiri fungsi DPD sebagai saluran daerah. Tak salah jika lembaga yang mewakili daerah disebutnya sebagai ‘lembaga mandul’.Meskipun rajin ke daerah-daerah di manapun, akan tetapi hasil konsultasi DPD itu tetap tak dapat tersalurkan alias tersumbat. Perjuangan DPD untuk daerah tak bisa lebih karena tidak mempunyai hak yang cukup. Mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat yang selama ini dilakukan DPD memang baik tapi tidak berguna, --sekali lagi--oleh karena keterbatasan institusi.



Saat ini DPD sudah cukup dikenal masyarakat, akan tetapi lebih dikenal di luar negeri dengan sebutan Senator without Right, Senat yang tidak punya hak apa-apa. Dan inilah yang dihembus-hembuskan oleh DPR Amerika (House of Representative). Akibatnya, negara ini, menurut Tabrani, akan berkecai (pecah - red.) paling sedikit menjadi 15 negara yang compang-camping seperti Uni Sovyet.



Kinerja Intsiawati bagi Tabrani termasuk cukup bagus, bahkan terbagus untuk Riau. Tabrani sempat mengulang kata sangat tiga kali, “Sangat, sangat, sangat.” Akan tetapi, menurutnya, usaha Instiawati akan berujung pada nihilis karena institusinya lemah. Upaya Iin katanya hanya akan terbentur tembok. DPD ini ibarat ‘Lembaga Mentimun Bungkuk,’ tegasnya. Padahal lewat Intsiawati inilah dulu SBY menggelengkan kepala “Kok begitu ya?” kata SBY.



Demikian pula tentang kemitraan yang dibangun Intsiawati dengan pemerintah lokal, Tabrani menilai cukup bagus meski tidak sistematis. Dan ini, menurutnya, sekali lagi, tetap tak berguna karena keterbatasan lembaga DPD.



Mengenai bagaimana membangun lembaga DPD Tabrani mengajak DPD agar mempelajari Senat di Amerika. Institusi DPD sendiri harus seperti Senat di Amerika yang kedudukannya lebih tinggi dari DPR. Tabrani mengambil contoh kasus Clinton dengan Monica yang menyebabkan Clinton diimpeach oleh House of Representative. Akan tetapi, ia selamat oleh Senat. Walaupun tidak terdapat Undang-undang tapi yang menjadi konvensi umum apabila Partai Republik ber-kuasa pastilah dari California dan sebaliknya, Demokrat dari berbagai negara lainnya. Yang ini hampir mirip dengan Indonesia. Dengan nada sindiran Tabrani sempat mengutip kata-kata Theys dan Tiro, “Kalau kesempatan orang luar Jawa menjadi Presiden sama dengan orang Jawa apa gunanya kita memisahkan diri?”



Tabrani berharap agar lembaga DPD menjadi seperti Senat di Amerika sehingga Papua tidak perlu lepas dari Indonesia sebagai teori catur dari Eisenhower. Timor-Timur diikuti Irian dan diikuti Maluku oleh karena lobi gereja yang kuat baik di DPR maupun di Senat Amerika.



“Menerima masukan harus lebih penting daripada memberikan gambaran,” demikian pesan Tabrani kepada Intsiawati. Artinya, dalam politik diperlukan cara lobi yang baik. Sebagai pesan akhir, Tabrani mengungkapkan sebuah kata bijak dalam tradisi politik Eropa..



Khusus untuk intsiawati sayang..

Kebiasaan di Eropa untuk menjadi politisi senior, 'Guide by the leader, mature is due to conflict and good background education.'

Selamat Berjuang Sayang...




Dikutip dari 'Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban Kinerja

'Jembatan' Asap Malaysia-Indonesia (Koran Tempo)

Oleh: Karim Raslan



Selama beberapa minggu ini, saya bolak-balik antara Kuala Lumpur dan Jakarta dengan waktu tempuh dua jam. Perbedaan lingkungan antara kedua kota ini menakjubkan. Sementara langit di atas ibu kota Indonesia begitu jernih, kota terbesar Malaysia (dan juga sebagian Sumatera Utara dan tengah) terjangkit kabut bercampur asap yang berbau angus. Ketika pejalan kaki di Jakarta bisa berceloteh riang sambil tertawa, penduduk Malaysia harus menutup hidung dan mulutnya dengan saputangan atau masker.





Bagian Malaysia paling padat dan paling aktif secara ekonomis yang dikenal sebagai Klang Valley merupakan negara bagian yang paling parah terkena asap. Rumah-rumah sakit melaporkan peningkatan tajam penyakit radang pernapasan, dermaga laut terlihat sepi, dan sekolah-sekolah ditutup. Sejujurnya, pada saat saya di sana, tidak ada seorang pun yang saya temui bertutur positif tentang negeri Indonesia ataupun tentang penduduknya. Mereka tampak tidak bisa menutupi rasa santun dan semangat serumpun.





Tetap saja, bila dibandingkan dengan gangguan besar yang ditimbulkan dalam kehidupan sehari-hari seputar ibu kota Malaysia, tanggapan publik seperti dibungkam. Tutur negatif itu tidak bisa ditemukan di halaman-halaman koran.





Tidak seperti di Indonesia, media di Malaysia biasanya diarahkan oleh elite politik dan dalam hal ini administrasi kantor Perdana Menteri Abdullah Badawi, yang mewakili kepentingan hubungan bilateral. Pak Lah, panggilannya, secara jelas memilih untuk mengecilkan perasaan frustrasi dan iritasi publik terhadap kabut campur asap yang sangat mengganggu yang datang sebagai "tamu tak diundang" dari Indonesia.





Reaksi Malaysia yang lunak itu merupakan kombinasi rasa solidaritas ASEAN serta tercampur dengan persahabatan erat antara Perdana Menteri Malaysia dan partner Indonesianya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pastilah keduanya telah membicarakan isu ini berkali-kali lewat hubungan telepon dan mendelegasikan kepada para menteri mereka untuk menindaklanjutinya. Puncaknya adalah pengiriman pasukan Bomba, petugas pemadam kebakaran terkenal Malaysia, ke Sumatera, minggu lalu.





Namun, harus dibayangkan apa yang mungkin terjadi apabila Jakarta yang mengalami tragedi semacam ini sebagai akibat kebakaran hutan di Malaysia. Saya sama sekali tidak meragukan bahwa sentimen masyarakat Jakarta akan tak terkontrol. Barangkali akan muncul letupan dan liputan anti-Malaysia ataupun demonstrasi "ganyang Malaysia". Krisis Blok Ambalat beberapa waktu lalu memperlihatkan sentimen itu. Media di Indonesia lebih bebas memuat perasaan negatif penduduknya terhadap saudara mudanya itu. Seorang kakak biasanya memang lebih mudah menyatakan kemarahan kepada adiknya.





Walaupun kita mengetahui rasa amarah yang sebenarnya di sepanjang negeri Malaysia, sentimen populer di Malaysia masih bisa dikontrol. Namun, kesabaran dan kontrol diri tidak akan bertahan selamanya. Pemerintahan dari kedua belah pihak harus berupaya lebih keras untuk mengatasi isu ini guna menghindari memburuknya hubungan bilateral, minimal sentimen negatif antarpenduduk. Baik Indonesia maupun Malaysia tentu sangat terganggu dengan kehadiran kabut asap akibat kebakaran dan pembakaran lahan-lahan perkebunan, semak belukar, serta hutan.





Salah satu kunci untuk mengatasi isu ini--terutama mengingat bahwa kebakaran bersifat regional--adalah lebih memfokuskan diri pada bagian Indonesia tempat kebakaran hutan paling lazim terjadi, yakni Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Utara. Sejumlah titik api yang bisa dipantau lewat satelit itu harus betul-betul bisa dipadamkan. Langkah-langkah ke arah itu sudah mulai ditempuh, termasuk dengan menggunakan hujan buatan. Di masa depan, pasukan pemadam kebakaran terlatih perlu lebih banyak dibentuk; kalau perlu, lewat latihan rutin sebagaimana terjadi di bidang militer.





Sejujurnya, dalam berbagai perjalanan saya ke Jakarta, sangat sulit menemukan seseorang yang bersimpati terhadap kepedihan Malaysia. Lagi pula, memang sulit untuk membayangkan gentingnya situasi ini apabila tinggal di Jakarta, yang terletak beratus-ratus mil jauhnya dari asap ini. Walau begitu, ini bukan berarti Jakarta tidak pernah mengalaminya. Misalnya saja ketika hutan di Kalimantan, Lampung, dan Sumatera Selatan terbakar, lalu asap diembuskan oleh angin dari utara.





Sejalan dengan percobaan luar biasa politik Indonesia dalam mempraktekkan otonomi regional, kebakaran hutan dan asap seharusnya ditanggapi di tingkat provinsi dan antarprovinsi. Sejumlah dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah patut dialokasikan secara proporsional.





Intsiawati Ayus, anggota Dewan Perwakilan Daerah dan juga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Provinsi Riau, secara tegas menjelaskan kepada saya, "Kami tidak bisa menunggu 'pusat' untuk bertindak. Ini bukan merupakan persoalan baru, melainkan muncul setiap tahun. Kami di Riau memiliki pengetahuan lokal dan seharusnya kami bertindak, bekerja sama dengan teman kami di Malaysia. Kami perlu duduk bersama dengan mereka yang benar-benar berkomitmen untuk mengatasi isu ini."





Penduduk Malaysia memiliki kepentingan sama untuk bekerja sama dengan partner di seberang Selat Malaka yang langsung terlibat dalam permasalahan ini. Datuk Hishammuddin Aun, editor dari harian berpengaruh Berita Harian berbahasa Malaysia, menyetujuinya. "Kita tidak memiliki pengetahuan cukup tentang kondisi dan keadaan penduduk di seberang Selat Malaka, tapi sangat vital bagi kita untuk menjalin hubungan tersebut untuk mencegah asap muncul kembali," katanya.





Sebenarnya, upaya mengatasi masalah asap bisa saja menjadi format dasar dari penyelesaian banyak permasalahan bilateral lainnya. Daripada membiarkan isu semacam ini membesar dan menjadi bahan bagi para politikus tak bertanggung jawab serta wartawan dan editor yang sekadar mau menjual cerita sensasional di Jakarta, para pemimpin regional dan provinsi harusnya belajar untuk bekerja sama langsung dengan tetangganya. Kita perlu mengembangkan kontak antarindividu secara langsung, sehingga bisa bertindak lewat sistem pencegahan dini untuk mengatasi isu perbatasan.





Sebaliknya, warga Malaysia harus mengakui nilai dan pentingnya slogan yang kerap dikutip Dr Mahathir, "prospering thy neighbour" ("memakmurkan tetanggamu"). Agar persoalan asap dapat diselesaikan secara efektif, para pemimpin dan birokrat Malaysia harus bekerja sama dengan pemimpin dari Pekanbaru, Jambi, dan Medan serta mencoba mengerti perbedaan peta perpolitikan yang tercipta oleh otonomi daerah.





Pada saat yang bersamaan, tidak terelakkan bahwa hubungan antarsisi Selat Malaka akan meningkatkan investasi asing terhadap provinsi yang paling membutuhkan, sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal itu secara perlahan diharapkan mampu menghapuskan kemiskinan dan tindakan yang memicu pembakaran hutan, misalnya lewat pembakaran lahan pertanian yang menjalar menjadi kebakaran hutan secara luas.





Pada saat bersamaan, investor Malaysia, terutama yang bergerak di sektor kelapa sawit, harus sadar bahwa mereka patut bertindak secara penuh tanggung jawab. Standar lingkungan dan perusahaan yang mereka terapkan di Malaysia juga harus diterapkan di Indonesia. Mengambil jalan pintas, lewat pembakaran lahan, misalnya, justru akan berakibat pada hukuman berat bagi kedua belah sisi dari Selat Malaka ini, berupa datangnya kabut asap yang turut menghitamkan hubungan bilateral kedua negara.



Karim Raslan, Kolumnis, tinggal di Malaysia

Amandemen Komprehensif UUD 1945

Konstitusi UUD 1945 adalah milik rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan, sehingga keterlibatan rakyat dalam ikut menyusun naskah amandemen konstitusi menjadi keniscayaan.

Keterlibatan rakyat memungkinkan sebuah konstitusi sebagai “produk kedaulatan rakyat atas kehendak rakyat sendiri, ketimbang sebuah pernyataan kepentingan- kepentingan penguasa mereka”.

Buku “Jalan Berliku Amandemen Komprehensif. Dari Pakar, Politisi, hingga Selibriti” memuat naskah usul amandemen komprehensif; UUD 1945 yang disusun melalui perjalanan panjang mengakomodasikan pandangan dan pendapat para pakar konstitusi, prominen ahli dan akademisi dari 59 perguruan tinggi serta tokoh masyarakat, pemimpin daerah di seluruh wilayah Indonesia dan tokoh-tokoh politik di tingkat nasional maupun daerah.

Mari Kita Dukung!

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.