'Jembatan' Asap Malaysia-Indonesia (Koran Tempo)
Oleh: Karim Raslan
Selama beberapa minggu ini, saya bolak-balik antara Kuala Lumpur dan Jakarta dengan waktu tempuh dua jam. Perbedaan lingkungan antara kedua kota ini menakjubkan. Sementara langit di atas ibu kota Indonesia begitu jernih, kota terbesar Malaysia (dan juga sebagian Sumatera Utara dan tengah) terjangkit kabut bercampur asap yang berbau angus. Ketika pejalan kaki di Jakarta bisa berceloteh riang sambil tertawa, penduduk Malaysia harus menutup hidung dan mulutnya dengan saputangan atau masker.
Bagian Malaysia paling padat dan paling aktif secara ekonomis yang dikenal sebagai Klang Valley merupakan negara bagian yang paling parah terkena asap. Rumah-rumah sakit melaporkan peningkatan tajam penyakit radang pernapasan, dermaga laut terlihat sepi, dan sekolah-sekolah ditutup. Sejujurnya, pada saat saya di sana, tidak ada seorang pun yang saya temui bertutur positif tentang negeri Indonesia ataupun tentang penduduknya. Mereka tampak tidak bisa menutupi rasa santun dan semangat serumpun.
Tetap saja, bila dibandingkan dengan gangguan besar yang ditimbulkan dalam kehidupan sehari-hari seputar ibu kota Malaysia, tanggapan publik seperti dibungkam. Tutur negatif itu tidak bisa ditemukan di halaman-halaman koran.
Tidak seperti di Indonesia, media di Malaysia biasanya diarahkan oleh elite politik dan dalam hal ini administrasi kantor Perdana Menteri Abdullah Badawi, yang mewakili kepentingan hubungan bilateral. Pak Lah, panggilannya, secara jelas memilih untuk mengecilkan perasaan frustrasi dan iritasi publik terhadap kabut campur asap yang sangat mengganggu yang datang sebagai "tamu tak diundang" dari Indonesia.
Reaksi Malaysia yang lunak itu merupakan kombinasi rasa solidaritas ASEAN serta tercampur dengan persahabatan erat antara Perdana Menteri Malaysia dan partner Indonesianya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pastilah keduanya telah membicarakan isu ini berkali-kali lewat hubungan telepon dan mendelegasikan kepada para menteri mereka untuk menindaklanjutinya. Puncaknya adalah pengiriman pasukan Bomba, petugas pemadam kebakaran terkenal Malaysia, ke Sumatera, minggu lalu.
Namun, harus dibayangkan apa yang mungkin terjadi apabila Jakarta yang mengalami tragedi semacam ini sebagai akibat kebakaran hutan di Malaysia. Saya sama sekali tidak meragukan bahwa sentimen masyarakat Jakarta akan tak terkontrol. Barangkali akan muncul letupan dan liputan anti-Malaysia ataupun demonstrasi "ganyang Malaysia". Krisis Blok Ambalat beberapa waktu lalu memperlihatkan sentimen itu. Media di Indonesia lebih bebas memuat perasaan negatif penduduknya terhadap saudara mudanya itu. Seorang kakak biasanya memang lebih mudah menyatakan kemarahan kepada adiknya.
Walaupun kita mengetahui rasa amarah yang sebenarnya di sepanjang negeri Malaysia, sentimen populer di Malaysia masih bisa dikontrol. Namun, kesabaran dan kontrol diri tidak akan bertahan selamanya. Pemerintahan dari kedua belah pihak harus berupaya lebih keras untuk mengatasi isu ini guna menghindari memburuknya hubungan bilateral, minimal sentimen negatif antarpenduduk. Baik Indonesia maupun Malaysia tentu sangat terganggu dengan kehadiran kabut asap akibat kebakaran dan pembakaran lahan-lahan perkebunan, semak belukar, serta hutan.
Salah satu kunci untuk mengatasi isu ini--terutama mengingat bahwa kebakaran bersifat regional--adalah lebih memfokuskan diri pada bagian Indonesia tempat kebakaran hutan paling lazim terjadi, yakni Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Utara. Sejumlah titik api yang bisa dipantau lewat satelit itu harus betul-betul bisa dipadamkan. Langkah-langkah ke arah itu sudah mulai ditempuh, termasuk dengan menggunakan hujan buatan. Di masa depan, pasukan pemadam kebakaran terlatih perlu lebih banyak dibentuk; kalau perlu, lewat latihan rutin sebagaimana terjadi di bidang militer.
Sejujurnya, dalam berbagai perjalanan saya ke Jakarta, sangat sulit menemukan seseorang yang bersimpati terhadap kepedihan Malaysia. Lagi pula, memang sulit untuk membayangkan gentingnya situasi ini apabila tinggal di Jakarta, yang terletak beratus-ratus mil jauhnya dari asap ini. Walau begitu, ini bukan berarti Jakarta tidak pernah mengalaminya. Misalnya saja ketika hutan di Kalimantan, Lampung, dan Sumatera Selatan terbakar, lalu asap diembuskan oleh angin dari utara.
Sejalan dengan percobaan luar biasa politik Indonesia dalam mempraktekkan otonomi regional, kebakaran hutan dan asap seharusnya ditanggapi di tingkat provinsi dan antarprovinsi. Sejumlah dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah patut dialokasikan secara proporsional.
Intsiawati Ayus, anggota Dewan Perwakilan Daerah dan juga anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Provinsi Riau, secara tegas menjelaskan kepada saya, "Kami tidak bisa menunggu 'pusat' untuk bertindak. Ini bukan merupakan persoalan baru, melainkan muncul setiap tahun. Kami di Riau memiliki pengetahuan lokal dan seharusnya kami bertindak, bekerja sama dengan teman kami di Malaysia. Kami perlu duduk bersama dengan mereka yang benar-benar berkomitmen untuk mengatasi isu ini."
Penduduk Malaysia memiliki kepentingan sama untuk bekerja sama dengan partner di seberang Selat Malaka yang langsung terlibat dalam permasalahan ini. Datuk Hishammuddin Aun, editor dari harian berpengaruh Berita Harian berbahasa Malaysia, menyetujuinya. "Kita tidak memiliki pengetahuan cukup tentang kondisi dan keadaan penduduk di seberang Selat Malaka, tapi sangat vital bagi kita untuk menjalin hubungan tersebut untuk mencegah asap muncul kembali," katanya.
Sebenarnya, upaya mengatasi masalah asap bisa saja menjadi format dasar dari penyelesaian banyak permasalahan bilateral lainnya. Daripada membiarkan isu semacam ini membesar dan menjadi bahan bagi para politikus tak bertanggung jawab serta wartawan dan editor yang sekadar mau menjual cerita sensasional di Jakarta, para pemimpin regional dan provinsi harusnya belajar untuk bekerja sama langsung dengan tetangganya. Kita perlu mengembangkan kontak antarindividu secara langsung, sehingga bisa bertindak lewat sistem pencegahan dini untuk mengatasi isu perbatasan.
Sebaliknya, warga Malaysia harus mengakui nilai dan pentingnya slogan yang kerap dikutip Dr Mahathir, "prospering thy neighbour" ("memakmurkan tetanggamu"). Agar persoalan asap dapat diselesaikan secara efektif, para pemimpin dan birokrat Malaysia harus bekerja sama dengan pemimpin dari Pekanbaru, Jambi, dan Medan serta mencoba mengerti perbedaan peta perpolitikan yang tercipta oleh otonomi daerah.
Pada saat yang bersamaan, tidak terelakkan bahwa hubungan antarsisi Selat Malaka akan meningkatkan investasi asing terhadap provinsi yang paling membutuhkan, sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal itu secara perlahan diharapkan mampu menghapuskan kemiskinan dan tindakan yang memicu pembakaran hutan, misalnya lewat pembakaran lahan pertanian yang menjalar menjadi kebakaran hutan secara luas.
Pada saat bersamaan, investor Malaysia, terutama yang bergerak di sektor kelapa sawit, harus sadar bahwa mereka patut bertindak secara penuh tanggung jawab. Standar lingkungan dan perusahaan yang mereka terapkan di Malaysia juga harus diterapkan di Indonesia. Mengambil jalan pintas, lewat pembakaran lahan, misalnya, justru akan berakibat pada hukuman berat bagi kedua belah sisi dari Selat Malaka ini, berupa datangnya kabut asap yang turut menghitamkan hubungan bilateral kedua negara.
Karim Raslan, Kolumnis, tinggal di Malaysia