Konsep Penataan Kota, Tidak Jelas


Politikindonesia - Belum dilaksanakannya, model pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, mengakibatkan kota menjadi semrawut dan cenderung menyalahi penataan ruang yang sebelumnya telah ditetapkan bersama antara eksekutif dan legilatif. Butuh waktu lama untuk mendesain kembali (redesign) karena banyaknya bangunan yang telah berdiri.

Hal itu dikemukakan Instiawati Ayus SH MH, Anggota DPD asal Riau kepada politikindonesia.com, usai mengikuti dialog “Suara Daerah” di Gedung DPD, Jakarta, Kamis (22/03).

Lebih jauh lagi, Intsiawati yang akrab dipanggil Iin itu menilai, semrawutnya pembangunan perkotaan juga diakibatkan tidak konsekwennya eksekutif dan legislatif dalam penerapan kebijakan. “Mereka yang menyusun perencanaan tata ruang, tetapi mereka pula yang melanggarnya,” ujar Iin.

Kondisi ini diperparah, katanya, karena UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tidak memberikan sanksi tegas terhadap aparat pemerintah yang melanggarnya. Akibatnya, kesemrawutan pembangunan perkotaan tak dapat dihindarkan. “Ini terjadi di hampir semua kota di Indonesia.”

Mantan Ketua Bidang Hukum dan HAM Persatuan Perempuan Peduli Melayu, Riau itu, melihat konsep pembangunan antarkota belum terintegrasi. Idealnya, satu kota dibangun, tidak mengesampingkan atau bahkan mengabaikan pembangunan di wilayah sebelahnya. Wanita kelahiran Bengkalis, Riau 4 Mei 1968 itu menyontohkan, banjir di Jakarta diakibatkan konsep pembangunan di kawasan Jabodetabek (Jakarta Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi) yang tidak terintegrasi dengan baik.

Senator perempuan selama dua periode itu menambahkan, pasca pengesahan UU Penataan Ruang, DPD telah merekomendasikan 12 Peraturan Pelaksanan (PP). Namun hingga saat ini belum seluruhnya direalisir. Karena itu tak mengherankan jika antara perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seringkali tidak nyambung.

Lulusan S-2 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia itu juga mengingatkan RUU tentang Perumahan dan Permukiman, juga tidak dapat dilepaskan dengan implementasi UU Penataan Ruang. Karena itu ia meminta agar penerapan sanksi terhadap pelanggar UU Penataan Ruang harus benar-benar efektif. Pemerintah juga perlu terus didorong untuk membuat grand design Penataan Ruang.

Sulit dan Kompleks

Yasti S Mokoagow, Ketua Komisi V DPR dalam wawancara khusus dengan politikindonesia.com pada Selasa (08/06) lalu mengakui menerapkan penataan ruang di Indonesia ibarat mengurai benang kusut. Sulit dan kompleks.

Yang paling krusial menurutnya adalah sinkronisasi terhadap pelaksanaan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.26/2007. Pasal itu mensyaratkan, penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana. “Itu yang susah,” ujarnya.

Soalnya, banyak sekali pembangunan infrastruktur yang tidak mengacu pada ketentuan dimaksud. Dan jika ketentuan tersebut diterapkan secara tegas, maka bangunan-bangunan yang tidak sesuai, harus dibongkar. “Ini bukan pekerjaan mudah. Tugas Kementerian Pekerjaan Umum, sangat berat,” ujar wanita kelahiran Manado, 8 Maret 1986 itu.

Yasti menegaskan, penataan ruang memiliki peran strategis dalam penanggulangan dan mitigasi bencana. Terkait hal itu, lulusan S-1 FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado itu menekankan perlunya koordinasi antara Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian PU dengan pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota.

Koordinasi tersebut menjadi penting mengingat masih banyak kabupaten/kota yang belum melakukan revisi tata ruang. Beberapa diantaranya sedang melakukan revisi. Sebagian lainnya, dalam tahap persetujuan.

DPD ingatkan perumahan untuk Masyarakat Adat

dpd.go.id. Anggota Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengingatkan Pemerintah cq Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemnegpera) agar memperhatikan perumahan bagi masyarakat adat dan masyarakat terpencil serta menyediakan perumahan di wilayah perbatasan. Pemerintah diharapkan memberi kemudahan kepemilikan rumah bagi masyarakat adat, masyarakat terpencil, dan masyarakat di wilayah perbatasan.

Etha Aisyah Hentihu (Maluku) menyinggung perumahan untuk masyarakat adat. “Bagaimana tanggung jawab membangun perumahan untuk masyarakat adat? Kalau lokasi perumahannya di atas tanah adat, bagaimana?” Ia berharap, Pemerintah memberi kemudahan kepemilikan rumah bagi masyarakat adat, selain masyarakat berpenghasilan rendah melalui perencanaan pembangunan yang bertahap.

Persoalan perumahan untuk masyarakat adat Suku Kubu (dikenal dengan nama Suku Anak Dalam atau Orang Rimba) juga diungkap Muhammad Syukur (Jambi). “Bagaimana perumahan untuk suku Anak Dalam di pedalaman hutan Jambi?”

Tak ketinggalan, Bambang Susilo (Kalimantan Timur) mengingatkan, 2.764 jiwa warga suku Korowai di hutan-hutan pedalaman Papua, seperti di Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, mendiami rumah di atas pohon. “Kita sibuk membahas rancangan undang-undang, real estate, apartemen, rumah susun, tapi kita masih memiliki saudara yang rumahnya di atas pohon.”

Selain itu, ia meminta Pemerintah membangun perumahan di wilayah perbatasan, seperti wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak (Malaysia) dan Kalimantan Timur – Sabah (Malaysia). Misalnya, di masing-masing wilayah perbatasan dibantun 1000 rumah.

Intsiawati Ayus (Riau) menekankan, jaminan bagi masyarakat untuk memperoleh perumahan merupakan permasalahan yang sensitif, apalagi jika mengaitkannya dengan hak asasi. “Bagaimana kementerian ini membagi jatah 80 untuk provinsi atau kabupaten/kota yang berhak dan membutuhkan, ada tuntutan konsistensi dan konsekuensi agar kementerian tidak pilih kasih.”
Pembangian tersebut juga bersinggungan dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi. Jika rancangan undang-undang merekomendasi pendirian lembaga/badan penyelenggaraan pembangunan perumahan. “Lembaga/badan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi sangat riskan. Kalau di lapangan, bagi-baginya tidak adil, kali-kalinya tinggi.”

Muhammad Asri Anas (Sulawesi Barat) mendukung jika Pemerintah menambah dana alokasi khusus dan dana dekonsentrasi untuk pembangunan perumahan. Apalagi, PP 38/2007 menyatakan perumahan merupakan tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang dapat menugaskan atau membentuk lembaga/badan.

“Di kampung saya, pemerintah daerah tidak merespon perumahan sebagai kebutuhan. Malahan, saya simpulkan, tidak ada provinsi yang serius bicara perumahan. Pemerintah daerah hanya asyik bicara 20% dana pendidikan.”

Parlindungan Purba (anggota DPD asal Sumatera Utara) mempertanyakan benchmark pembangunan perumahan dalam rancangan undang-undang perumahan dan permukiman. “Negara mana benchmark-nya? Apakah seperti Singapura yang menjamin masyarakat memiliki perumahann sekian tahun?” tanyanya.
Ia juga menyoal pembiayaan yang menyulitkan pembangunan perumahan. “Kenapa di Indonesia kesulitan pembiayaan? Karena uang yang tersedia jangka pendek dan mahal, sementara yang dibutuhkan untuk jangka panjang dan murah.”

Budi Doku (Gorontalo) menyinggung dana alokasi khusus dan dana dekonsentrasi yang sebelumnya tidak dialokasikan. Di tahun 2011, ia mencatat 80 kabupaten/kota masing-masing akan memperoleh anggaran Rp 6,6 miliar untuk pembangunan perumahan. Sayangnya, anggaran tersebut hanya dikucurkan untuk 20 kabupaten/kota dan 5 provinsi yang memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Ahmad Subadri (Banten) mengingatkan kemungkinan dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk penyediaan lahan perumahan dan permukiman dikorupsi oleh pejabat pemerintah daerah.

Supartono (Jawa Timur) mengatakan, belum jelas aturan perumahan dan permukiman. Sedangkan Gusti Farid Hasan Aman (Kalimatan Selatan) mendukung sosialisasi aturan perumahan dan permukiman.
Menanggapi berbagai pertanyaan dan pernyataan tersebut, Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menegpera) Suharso Manoarfa mengatakan, “Untuk masyarakat adat dan daerah tertinggal, kami memiliki program rumah swadaya,” ujarnya. “Kami mengarah ke kawasan timur.”

“Sayangnya, anggaran kami tidak banyak, karena kami di cluster tiga, bukan di cluster dua,” katanya saat rapat kerja (raker) dengan Komite II DPD yang dipimpin ketuanya, Bambang Susilo (Kalimantan Timur), didampingi Wakil Ketua Komite II DPD Djasarmen Purba (Kepulauan Riau) di Ruang Rapat Komite II DPD lantai 3 Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (19/7).

Ia juga menyetujui, program pembangunan perumahan di wilayah perbatasan. “Saya setuju sekali. Dari sisi pertahanan keamanan, kami telah menawarkan kepada kabupaten-kabupaten di sekitar perbatasan,” ujarnya. Tidak hanya itu, pihaknya mengajak Kementerian Sosial, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan pemerintah kabupaten di sekitar perbatasan negara untuk membangun perumahan swadaya.
Untuk daerah-daerah yang padat seperti Kota Bogor, karena 80% kawasannya termasuk terbangun, sisanya kawasan terbuka. Dibanding dengan 20 tahun yang lalu masih 65%. “Cepat sekali pertambahannya. Kalau dibiarkan, kita tidak lagi melihat Kota Bogor yang dingin dan hijau. Kekumuhan mudah ditemui, sperti di bantaran sungai.”

7,4 juga rakyat Indonesia
Di bagian lain, Suharso mengatakan, 7,4 juta rakyat Indonesia membutuhkan perumahan, sedangkan yang terpenuhi hanya 710 ribu tiap tahun. Jumlah 7,4 juta yang dibutuhkan tersebut berdasarkan Sensus Pendudukan 10 tahun sebelumnya (2000) yang dikoreksi oleh Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 5 tahun sesudahnya (2005).

“Kita tidak tahu persis angkanya berapa,” akunya. Sebagai rujukan menyusun perencanaan pembangunan perumahan maka Pemerintah menggunakan angka 2,4 juta dan 710 ribu. Bagaimana posisi Pemerintah?
Ia menyatakan, perumahan merupakan common goods yang strategis karena menyangkut pemenuhan kebutuhan manusia yang asasi. Oleh karena itu, perumahan termasuk isu yang diatur Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Sebenarnya, penyediaan rumah itu menyangkut kepentingan yang asasi dan universal.”
Dari sisi permintaan, 7,4 juta merupakan permintaan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah. Lalu, Pemerintah menyediakan rumah yang harganya terjangkau seperti Perumnas yang berharga rata-rata Rp 55 juta atau rumah susun yang berharga rata-rata Rp 144 juta. “Padahal, tidak mungkin kita menjumpai sebuah rumah di Papua seharga Rp 55 juta. Dan, rumah seharga Rp 144 juta pun tidak bisa berlaku umum dari waktu ke waktu.”

Suharso mengatakan, Pemerintah mengintervensi bursa permintaan dan penawaran perumahan melalui pembiayaan, seperti subsidi yang terbatas untuk uang muka atau suku bunga selama jangka waktu tertentu.
Berdasarkan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, perumahan merupakan urusan wajib daerah. Karena keuangan pemerintah daerah yang tidak memadai, pemerintah daerah dituntut memiliki kebijakan pembangunan perumahan sebagai bagian kebijakan pembangunan daerah. “Tetapi apa boleh buat, tidak dilakukan.”

Karena tidak dilakukan, UU 27/2007 tentang Penataan Ruang membagi tata ruang wilayah di Indonesia. Untuk memastikan ketersediaan areal perumahan maka disiapkan dana alokasi khusus yang mensyaratkan daerah bersangkutan memiliki rencana tata ruang dan zonasi perumahan. “Tujuannya, merangsang daerah-daerah memiliki kebijakan perumahan sebagai bagian kebijakan pembangunan daerah.”
Sesuai dengan UU 33/2004, Suharso melanjutkan, dana alokasi khusus disiapkan berdasarkan tiga kriteria, yakni kriteria umum, khusus, dan teknis. Berdasarkan kriteria umum, akan dijumpai daerah-daerah yang semestinya mendapat dana alokasi khusus tetapi ternyata tidak.

Melalui pertemuan tripartit antara Kemenegpera, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) untuk mengecualikannya kriteria umum, termasuk dalam RUU APBN 2011.

Dana alokasi khusus untuk perumahan tersebut bertujuan untuk memastikan ketersediaan lahan dan mengembalikan perencanaan daerah. “Hampir semua kabupaten/kota di Indonesia tidak memiliki detail plan, termasuk master plan membangun kabupaten/kotanya, sehingga tidak diketahui bentuknya.”
Selain dana alokasi khusus, tahun ini untuk pertama kalinya Pemerintah mengalokasikan dana dekonsentrasi ke pemerintah provinsi agar pemerintah provinsi memberikan perhatian yang seksama kepada pembangunan perumahan. “Oleh karena itu, kami berharap DPD mendorong 33 pemerintah provinsi untuk benar-benar memberikan,” kata Suharso

Pembiayaan perumahan
Dalam APBN, Suharso menyambung, pembiayaan pembangunan perumahan telah berubah. Jika sebelumnya dimasukkan sebagai subsidi atau belanja maka sekarang diubah menjadi pembiayaan. Tujuannya, agar diperoleh dana murah jangka panjang. “Hari ini, perbankan tidak bisa membiayai perumahan yang murah. Kenapa? Karena dana yang tersedia adalah jangka pendek dan mahal.”

Misalnya, PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Astek diminta menjaga suku bunga dananya tidak sama dengan suku bunga deposito satu tahun di bank Pemerintah. “Artinya, kita sendiri menciptakan dana yang mahal. Kalau bunga deposito harus 6% atau 7% berarti tidak mungkin bisa didapat dana yang murah.”
Bandingkan dengan Singapura yang menyediakan suku bunga untuk pembiayaan perumahan hanya 0,5 atau 0,6%. Jadi, mereka yang kaya membayar rumahnya dengan biaya yang murah, tapi kita yang miskin membayarnya mahal. Ke depan, kita harus menyediakan dana jangka panjang yang murah.

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.