Intsiawati: Anggota DPD Berhak Dipilih Jadi Ketua MPR

POTRETNEWS
JAKARTA-Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bukan hendak mengejar kekuasaan. Judicial review terhadap ketentuan Pimpinan MPR bertujuan untuk menegakkan keadilan dan marwah anggota DPD RI. Demikian diungkapkan Intsiawati Ayus kepada pers seusai menjadi pembicara pada sebuah acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan DPD RI bertajuk ”Pro-Kontra Pimpinan MPR” yang dipandu oleh presenter kondang Elprisdat di Jakarta, Jumat (21/8/2009) lalu.

Sebagai salah satu pihak pemohon uji materi Pasal 14 UU tentang MPR, DPR, DPD, dan MPR (UU Susduk baru) Intsiawati menyatakan bahwa anggota DPR dan dan anggota DPD memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.

Sebagaimana diketahui, UU yang disahkan DPR beberapa waktu lalu itu langsung mengundang reaksi keras dari para anggota DPD dan para pakar hukum setelah sejumlah pasalnya dinilai bermasalah dan rancu. Oleh banyak pakar dan pengamat pasal 14 UU tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal di konstitusi (pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan dianggap telah merugikan hak-hak konstitusional para anggota DPD sebagai anggota MPR RI.

”Kami hanya ingin menegakkan equality, persamaan hak,” tegas Intsiawati. “Keanggotaan DPD di MPR RI adalah sebagai individu-individu. Dan, MPR adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan tersendiri. Jadi tak ada kaitannya antara kewenangan DPD saat ini yang tak setara dengan DPR ataupun jumlah anggota DPD yang lebih sedikit dari DPR. Hak-hak sebagai anggota MPR haruslah sama, karena itu sudah secara jelas dinyatakan Undang-Undang Dasar,” tandas anggota DPD asal Riau yang terpilih kembali untuk periode 2009-2014 itu.

Siti Zuhro, peneliti LIPI, yang juga menjadi pembicara dalam acara Dialog tersebut tersebut mengungkapkan pendapatnya bahwa secara kasat mata DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan politisnya dalam UU Susduk baru. Menurutnya, dengan menerapkan oligarki parlemen, anggota DPR bisa leluasa melindungi dan mengamankan kepentingannya untuk menjadi ketua MPR. “Ini upaya sistematis dari politisi DPR untuk membonsai hak politik dan melumpuhkan peran DPD sebagai representasi daerah,” tambah Zuhro.

Farhan Hamid, anggota DPR yang kini terpilih sebagai anggota DPD mengemukakan pembelaannya bahwa DPR sebenarnya tidak berniat melakukan monopoli legislasi, tapi UUD 1945 secara eksplisit telah menyatakan bahwa DPR merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Menurutnya, saat ini tak ada jalan lain selain membangun gerakan untuk melakukan amandemen yang bersifat jangka panjang. ”Masalahnya kan di hulu, bukan hilir,“ kata Farhan. “Ada mekanisme politik dan kita perlu strategi khusus untuk memuluskan amandemen.” (Mukhlis/Rel)

DPD Bukan Mengejar Kekuasaan

Sumber: www.riaupos.com


PEKANBARU (RP) - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bukan hendak mengejar kekuasaan. Judicial Review terhadap ketentuan pimpinan MPR bertujuan untuk menegakkan keadilan dan marwah anggota DPD RI.

Demikian diungkapkan anggota DPD Intsiawati Ayus kepada pers seusai menjadi pembicara pada sebuah acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan DPD RI bertajuk ‘’Pro-Kontra Pimpinan MPR’’ yang dipandu oleh presenter kondang Elprisdat, di Jakarta, Ahad (23/8).

Sebagai salah satu pihak pemohon uji materi Pasal 14 UU tentang MPR, DPR, DPD, dan MPR (UU Susduk baru) Intsiawati menyatakan bahwa anggota DPR dan dan anggota DPD memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.

Sebagaimana diketahui, UU yang disahkan DPR beberapa waktu lalu itu langsung mengundang reaksi keras dari para anggota DPD dan para pakar hukum setelah sejumlah pasalnya dinilai bermasalah dan rancu. Oleh banyak pakar dan pengamat pasal 14 UU tersebut bertentangan dengan sejumlah pasal di konstitusi (pasal 27 ayat (1), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan dianggap telah merugikan hak-hak konstitusional para anggota DPD sebagai anggota MPR RI.

‘’Kami hanya ingin menegakkan equality, persamaan hak,’’ tegas Intsiawati. Keanggotaan DPD di MPR RI adalah sebagai individu-individu dan MPR adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan tersendiri. Jadi tak ada kaitannya antara kewenangan DPD saat ini yang tak setara dengan DPR ataupun jumlah anggota DPD yang lebih sedikit dari DPR. Hak-hak sebagai anggota MPR haruslah sama, karena itu sudah secara jelas dinyatakan Undang-undang Dasar.

Siti Zuhro, peneliti LIPI, yang juga menjadi pembicara dalam acara dialog tersebut tersebut mengungkapkan pendapatnya bahwa secara kasat mata DPR telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan politisnya dalam UU Susduk baru. Menurutnya, dengan menerapkan oligarki parlemen, anggota DPR bisa leluasa melindungi dan mengamankan kepentingannya untuk menjadi ketua MPR. ‘’Ini upaya sistematis dari politisi DPR untuk membonsai hak politik dan melumpuhkan peran DPD sebagai representasi daerah,’’ tambah Zuhro.

Farhan Hamid, anggota DPR yang kini terpilih sebagai anggota DPD mengemukakan pembelaannya bahwa DPR sebenarnya tidak berniat melakukan monopoli legislasi, tapi UUD 1945 secara eksplisit telah menyatakan bahwa DPR merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Menurutnya, saat ini tak ada jalan lain selain membangun gerakan untuk melakukan amandemen yang bersifat jangka panjang. ‘’Masalahnya kan di hulu, bukan hilir. Ada mekanisme politik dan kita perlu strategi khusus untuk memuluskan amandemen,’’ ujar Farhan.(jrr)

Kavling Ketua MPR oleh DPR Ancam Demokrasi

Sumber: detikNews, Jumat, 21/08/2009 14:10 WIB


Jakarta - Posisi Ketua MPR yang harus berasal dari anggota DPR sebagaimana diatur dalam UU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD akan melahirkan sistem oligkarhi baru. Cara seperti ini dinilai akan mengancam sistem demokrasi yang sedang dibangun.

Anggota DPD yang merupakan bagian dari MPR seharusnya memiliki hak yang sama untuk menempati posisi Ketua MPR. Demikian dikatakan pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, dalam diskusi bertajuk 'Pro-Kontra Pimpinan MPR' di Gedung DPD, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (21/8/2009).

"Bagaimana itu demokrasi kalau hak anggota lain sudah dihabisi terlebih dahulu," kata Zuhroh.

Pengamat berkacamata ini juga menengarai UU Susduk dibuat dengan memperhatikan konteks politik yang ada sekarang. Apalagi, pengesahan UU Susduk ini dilakukan setelah hasil pemilu legislatif diketahui.

"Oleh karenanya Ketua MPR sudah bisa diprediksi. Undang-undnag ini dibuat untuk konteks tertentu. Bukan rahasia lagi Pak Taufiq Kiemas mau diplot di situ," ungkapnya.

Menurut Anggota DPD Intsiawati Ayus, UUD 1945 menyebut MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD sehingga kedudukan kedua lembaga perwakilan tesebut di MPR juga seharusnya sama.

"Kalau jatah pimpinan dari DPR 3 orang dan dari DPD 2 orang silakan. Tapi yang mencubit itu ketua sudah dikavling sama DPR," sesalnya.

Sementara, Anggota DPR dari FPAN Ahmad Farhan Hamid mengatakan, ditetapkannya secara otomatis Ketua MPR berasal dari anggota DPR, akan menorehkan sejarah baru. "MPR satu-satunya lembaga yang pemimpinnya tidak dipilih oleh lembaga itu sendiri," pungkasnya. (lrn/yid)

RUU Pembangunan Perdesaan Tidak Komprehensif dan Sentralistik

Sumber: PotretNews, Kamis, 20/08/2009 22:02 WIB


PEKANBARU-Pengaturan tentang desa seharusnya diatur dalam formula UU yang tunggal, jangan sampai terpisah-pisah. Seluruh aspek tentang desa, mulai dari pembangunan desa, pemerintahan desa, pengelolaan SDA desa, keuangan desa, kemasyarakatan desa, pemberdayaan desa, dan lain-lain harus terintegrasi dalam satu kesatuan utuh sehingga nantinya tidak timbul ambiguitas dan kerancuan dalam implementasi, demikian diungkapkan Intsiawati Ayus, anggota DPD asal Riau seusai memimpin rapat Pansus DPD RI untuk RUU Perdesaan beberapa waktu yang lalu (15/8/2009).

Dalam pandangan pendapatnya, DPD RI menyatakan keberatannya baik secara formil maupun materil atas RUU Pembangunan Perdesaan yang disusun oleh DPR RI. Bagi DPD, RUU tentang Pembangunan Desa belum mengatur dan mengakomodir kepentingan desa secara komprehensif sesuai dengan perkembangan otonomi yang dinamis.

Pembangunan Pedesaan, menurut DPD, hanyalah merupakan satu bagian parsial saja dari kerangka besar pengaturan tentang Desa. Pengaturan tentang desa seharusnya mencakup empat aspek utama, yaitu tentang pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, serta kemasyarakatan.

DPD RI juga berpandangan dan berpendapat bahwa RUU Pembangunan Perdesaan selayaknya menjadi obyek kebijakan yang melibatkan partisipasi publik, jangan sampai hanya dijadikan komoditas politik sesaat yang menjadi ajang kontestasi kepentingan elite belaka. Jika tidak demikian maka tujuan akhir dari aturan hukum akan terancam. Karena itulah, DPD RI menyarankan agar RUU Pembangunan Perdesaan ditangguhkan pembahasannya menunggu pengajuan RUU tentang Desa yang lebih komprehensif.

Intsiawati yang didapuk sebagai Ketua Pansus RUU tentang Desa ini, juga menekankan tentang pentingnya dimensi kearifan lokal dan eksistensi masyarakat adat sebagai bagian yang paling substansial dari RUU yang mengatur tentang desa. Ia melihat soal pengaturan tentang organisasi kelembagaan desa, misalnya, terlihat masih sentralistik. Menurutnya, Pemerintahan Desa sudah sewajarnya mendapat pendelegasian kewenangan sesuai ruang lingkupnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa.

”Desa itu lebih dulu ada, jauh sebelum ada pemerintahan di atasnya,” ungkap Intsiawati. ”Ada ikatan-ikatan sosial dan kelembagaan asli yang mengatur kesatuan masyarakat terkecil ini,” ”Jadi desa itulah yang harusnya menjadi basis atau landasan bahkan ujung tombak bagi tata pemerintahan secara umum,” tegasnya.(Mukhlis/Rel)

DPR-DPD Mulai "Berebut" Kursi "Seksi"

JAKARTA, KOMPAS.com — UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau sering disebut UU Parlemen belum lagi diundangkan di lembaran negara. Namun, kontroversi pengaturan pimpinan MPR sudah mengemuka. Dua lembaga perwakilan, DPR dan DPD, mulai ribut berebut kursi yang cukup seksi itu.

Aturan Pasal 14 Ayat 1 berbunyi, "Pimpinan MPR terdiri atas 1 orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 orang wakil ketua yang terdiri atas 2 orang wakil ketua dari anggota DPR dan 2 orang berasal dari anggota DPD yang ditetapkan dalam sidang paripurna".

Bagi DPD, aturan ini sudah mengebiri hak anggota DPD untuk mendapatkan kesempatan menempati kursi Ketua MPR. Sebab, pasal tersebut mengatakan Ketua MPR berasal dari DPR. "Kenapa tidak menempatkan hak yang sama sebagai anggota MPR? Ini yang 'mencubit' DPD karena posisi ketua sudah dikapling DPR. Padahal, ada hak yang sama bagi anggota DPR dan DPD untuk menjadi ketua MPR," kata anggota DPD, Intsiawati Ayus, pada diskusi "Pro Kontra Pimpinan MPR", di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (21/8).

Intsiawati mengatakan, ketentuan tersebut menunjukkan monopoli kekuasaan oleh DPR. "Harusnya dibebaskan saja, mau dari DPR atau DPD. Walau nanti ketika pemilihan kami (DPD) kalah, tidak apa-apa. Paling tidak kalah secara manis," ujar wakil dari Provinsi Riau ini.

Anggota Pansus RUU Parlemen, Ahmad Farhan Hamid, mengutarakan, pertimbangan ketentuan pasal tersebut berdasarkan logika politik. Secara kuantitas, anggota DPR jauh lebih banyak dibandingkan anggota DPD. Menurutnya, berdasarkan hasil lobi ketentuan tersebut disepakati. Komposisi anggota DPD pun hanya sepertiga dari jumlah anggota DPR. "UU ini sebenarnya sudah memberikan pengakuan bikameral dan memberikan jaminan semua pihak terwakili," ujar anggota Fraksi PAN ini.

Sejak awal, ia sendiri sudah menyadari bahwa aturan mengenai kepemimpinan MPR ini akan menimbulkan kontroversi. DPD sudah ancang-ancang untuk mengajukan judicial review begitu UU tersebut diundangkan. "Silakan lah, kalau mau diuji ke MK. Tapi jangan ada pernyataan yang membuat hubungan dua lembaga tidak harmonis," kata dia.

Tak Diberi Kesempatan Menjadi Ketua MPR: Senator Gugat UU Parlemen

Sumber: Timor Express


JAKARTA,Timex-Baru tiga hari disahkan DPR melalui paripurna luar biasa, ancaman judicial review terhadap UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU Parlemen, Red) sudah muncul. Tak jauh-jauh, protes itu datang dari para anggota DPD yang menghuni kamar sebelah.
Para anggota DPD yang dikenal sebagi senator itu menilai, pasal 14 ayat 1 UU Parlemen bertentangan dengan konstitusi. Disebutkan, pimpinan MPR terdiri atas ketua yang berasal dari DPR dan empat wakil ketua yang berasal dari dua anggota DPR dan dua anggota DPD.

Pasal itu dianggap telah menghilangkan kesempatan anggota DPD untuk bisa dipilih sebagai ketua MPR. "Seharusnya ada kesamaan hak sebagai anggota MPR," kata Wakil Ketua DPD Irman Gusman kepada pers di gedung parlemen, Senayan, kemarin (5/8).

Dia mengingatkan, pasal 2 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu. Selanjutnya, pasal 28D ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah.

Bahkan, imbuh Irman, dalam pasal 9 ayat c UU Parlemen yang dulu populer disebut UU Susduk dengan tegas mengatur anggota MPR mempunyai hak dipilih dan memilih. Karena sudah dipastikan ketua MPR berasal dari DPR, hak dipilih bagi anggota DPD menjadi hilang.

"Begitu diundangkan oleh pemerintah, kami akan mengajukan judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi, Red)," kata Irman.
Uji materiil itu akan diajukan sejumlah anggota DPD yang terpilih kembali.

Di antaranya, Intsiawati Ayus (Riau), Kanjeng Ratu Hemas (Jogjakarta), I Wayan Sudirta (Bali), Marhani V.P. Pua (Sulawesi Utara), Sri Kadarwati (Kalimantan Barat), dan Wahidin Ismail (Papua Barat).

Yang bertindak sebagai kuasa hukum mereka adalah pengacara Todung Mulya Lubis. Turut serta menguatkan tim hukum DPD, peneliti LIPI Siti Zuhro serta dua pakar hukum tata negara, yaitu Fadjroel Falakh dan Iman Putra Sidin.

Todung Mulya Lubis mengatakan, banyak poin di UU Parlemen yang tidak bisa diterima. Di tengah komitmen menjadikan DPD sebagai lembaga negara yang setara dengan DPR, UU tersebut secara kasatmata justru mendegradasi DPD.

"Ada alasan konstitusional untuk mempertanyakan banyak hal yang ditulis di UU tersebut. Tapi, karena jangka waktu yang pendek (sampai pemilihan pimpinan MPR, Red), kami akan fokus pada pasal 14 ayat 1 dulu. Akan ada waktunya mempertanyakan hal lain. Main goal-nya ke UUD 1945," ujarnya.

Terkait pasal 14 ayat 1, Todung menegaskan, setiap anggota MPR seharusnya memang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ketua MPR. Tidak peduli, dia anggota DPR ataupun DPD. Sekalipun faktanya anggota DPR (560) lebih banyak daripada DPD (132).

Menanggapi ancaman gugatan dari DPD itu, mantan Ketua Pansus RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD Ganjar Pranowo mempersilakan setiap warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu produk UU mengadukan ke MK.

"Saya menghormati teman-teman DPD. Tapi, sabar dulu, biar UU itu diberi nomor," katanya dengan nada menyindir. Ganjar meyakini tidak ada materi di UU Parlemen yang melanggar konstitusi.

Apakah keberatan DPD itu pernah muncul saat pembahasan RUU? "Seingat saya kok tidak," jawab politikus PDIP itu. Ganjar mengakui, pertimbangan utama ketua MPR berasal dari anggota DPR adalah rasio jumlah anggota. (pri/jpnn)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.