Intsiawati Ayus: “Perempuan Melayu dengan Segudang Inisiatif dan Antusiasme III”*


PERJUANGAN TANPA HENTI

"Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia"

Dua larik gurindam pasal kelima dalam Gurindam Dua Belas, karya monumental Raja Ali Haji tersebut sangat tepat untuk menggambarkan kehidupan perempuan Melayu yang bergelar ‘Datin’ ini. Sang ‘Datin’ memang memaknai dan memelihara hidupnya dari kesia-siaan. Selalu bergerak dan berkreasi tanpa pernah berpikir untuk berhenti adalah jalan hidupnya.

Beragam aktifitas organisasi telah dijalani sejak Ia menjabat Sekretaris Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UIR. Selepas kuliah, sejak memulai karir kepengacaraannya, Iin aktif di dunia NGOs sehingga terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Riau (1997-sekarang) dan menjadi bendahara Riau Corruption Watch (2000-sekarang).

Sederet kepercayaan terkait profesinya di bidang hukum disandang Iin sejak tahun 2000, mulai dari anggota Dewan Komisaris Asosiasi Advokat Indonesia (2000-2005), Bidang Hukum Perhimpunan Masyarakat Madani Riau (2000-sekarang), Direktur Bidang Hukum TOPPAN-RI (2001-2003), Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Perempuan Peduli Melayu-Riau (2002-2006), Bidang Hukum dan HAM Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (2003-sekarang), sampai mendirikan Riau Lawyer Club pada tahun 2004. Di kalangan Ikatan Alumni UIR sendiri, Iin mengurusi Divisi Kerjasama antar bangsa (2000-2005) serta Bendahara KB ALDAMA FH UIR (2000). Sedangkan di Riau Tourism Board Iin terpilih sebagai Wakil Kepala Bidang Kajian Strategi Industri Pariwisata pada (2003-sekarang).
Dalam dunia profesi, segudang pengalaman kerja telah dilakoni Iin. Sejak akhir masa studi hingga meraih gelar sarjana tahun 1992 Iin sudah merintis profesinya di dunia kerja. Pada tahun 1991-1993, Iin sudah mendapat kepercayaan sebagai Kepala Bagian Penanggungjawab Piutang Pelanggan pada PT Anugrah Permindo Lestari. Kemudian pada tahun 1993 Iin diangkat sebagai Kepala Personalia dan Umum PT Duta Palma Nusantara. Tak puas dengan tantangan kerjanya, pada tahun 1996 Iin mulai menggeluti bidangnya dengan menjadi pengacara pada kantor hukum Srikandi. Dari pengalamannya itu Iin mendirikan kantor hukum sendiri, Intsiawati Ayus dan Rekan, pada tahun 2002. Dan pada saat yang sama Iin juga memimpin perusahaannya PT. Melayu Teknologi Mandiri sebagai Direktur Utama.

Di antara titik ujian terberat dalam mengayuh biduk amanah adalah ketika Iin terpilih menjadi Ketua Utama Rumpun Melayu Bersatu-Laskar Hulubalang Melayu Riau pada tahun 2001. Organisasi yang lahir dari rahim Kongres Rakyat Riau II ini menghimpun anggota lebih dari seratus tiga puluh ribu orang yang tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Betapa ketika itu tanggungjawab besar dan kesibukan luar biasa menderanya, namun itu semua diterimanya sebagai panggilan hidup. Baginya, kesibukan dan tanggung jawab baginya bukanlah beban, tetapi suatu kebahagiaan tersendiri.

Maka sungguhlah tak heran apabila beragam peran dan tanggung jawab di DPD senantiasa seolah menantikan inisiatif serta upaya proaktifnya yang tak kenal lelah. Seringkali waktu liburnya ia korbankan untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan di Senayan yang harus selesai tepat waktu. Saat ini, di samping menjadi anggota PAH II, Wakil PPUU, Iin juga aktif dalam perumusan RUU Susduk, dan diserahi tanggungjawab sebagai sekretaris tim RUU Kepelabuhan dan Revisi Undang-undang Ketenagalistrikan.

Di sela-sela kesibukannya yang segudang itu, Iin tak ingin terjebak pada streotip perempuan super yang kehilangan sentuhannya dalam keluarga. Ia lebih senang mengutip ungkapan sederhana RA Kartini bahwa “perempuan melahirkan peradaban”. Dengan demikian peran seorang perempuan tak berhenti pada satu bidang. Sungguh tak heran, jika kita akan menyaksikan betapa ia begitu menikmati aktivitas kesehariannya dalam mengatur rumah tangga dari memasak sampai membimbing dua puterinya yang jelita. Dengan memasak, ia tidak sekedar melayani suami tercinta, Erwin S, tetapi juga belajar tentang bagaimana melayani aspirasi masyarakat. Kadang, Iin sengaja membawa makanan hasil masakannya ke kantornya di Senayan untuk dinikmati oleh teman-teman dan para stafnya.

Sementara itu, di waktu luangnya, Iin senang mengisinya dengan membaca. Melalui keakrabannya dengan buku, ia tidak sekadar menjadi gudang ilmu bagi dua orang anak tercinta, Hopea Ingvirnia Erwin dan Sarah Syahirah Erwin, tapi juga menjadi pelita bagi masyarakat yang diwakilinya. Mengingat rasam Melayunya yang kental, Iin sepertinya senang berlabuh dalam kearifan kalimat bijak dan karya sastra Melayu. Deretan buku mulai dari karya-karya kitab klasik, seperti ‘Tunjuk Ajar Melayu’, buku-buku politik modern, sampai buku-buku kajian akademis menjadi daras utama dalam meningkatkan kecendekiaannya. Lewat pergaulannya yang intens dan akrab dengan Tokoh Legendaris Politik Riau, Prof. Dr. Tabrani Rab, selaksa pencerahan tentang arah perjuangannya kian jelas tergambar dalam pikirannya. Dan ini termanifestasi lewat tulisan-tulisan Iin yang sering dimuat media lokal Riau.

Intsiawati Ayus adalah sebuah fenomena di antara beragam gejala kehadiran seorang tokoh lokal yang menyeruak ke pentas nasional. Ia tidak muncul begitu saja dalam panggung politik bangsa ini. Melalui antusiasme dan perjuangan tanpa henti ia melukis jejak hidupnya. Segudang inisiatif, dengan tumpukan pengalaman dan aktivitas yang mengisi agenda hidupnya adalah penegas eksistensinya. Ia tidak mudah membiarkan dirinya untuk berleha-leha dan menikmati jeda. Setiap kali ia menyelesaikan sebuah titik dalam paragraf kesehariannya, ia pun menyusun gagasan baru untuk mencatatkan kalimat yang lebih bermakna dalam alinea hari-hari berikutnya. (adr/ltf)


*(Kutipan Buku ‘Biografi Perempuan Parlemen’, Diterbitkan Kaukus Perempuan Parlemen, 2007)

Intsiawati Ayus: “Perempuan Melayu dengan Segudang Inisiatif dan Antusiasme II”*


DI BAWAH TIMBANGAN KEADILAN

SEBAGAI politisi Iin memiliki keyakinan terhadap prinsip-prinsip kebenaran. Alih-alih tawar-menawar Iin lebih memilih berteriak lantang. Iin sepertinya tak pandai bersandiwara, acapkali dalam berbagai sidang ataupun forum, Ia berkata apa adanya. Inilah kelebihan perempuan Melayu ini, sekaligus juga peluang untuk melemahkannya. Ketika banyak elit mencoba untuk "bermain amanat", Iin berani mengungkapkan sebuah fakta secara terbuka.

Ia percaya bahwa hidup adalah rangkaian keputusan yang selalu mengandung pro dan kontra dan setiap orang wajib mempertahankan keyakinannya masing-masing. Hal ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari latar belakang profesinya sebagai pengacara. Dengan bekal pendidikan dan pengalaman hukum ini pulalah yang menjelaskan mengapa Wakil Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD-RI (2005-2006) ini begitu teliti dan fasih tatkala menelisik suatu aturan dan Undang-Undang serta mengemukakan argumentasinya.

Di bawah timbangan keadilan, perempuan Melayu ini terus bergerak, berpikir, berjalan, tanpa harus menimbang-nimbang apakah akan merugikan kepentingan diri sendiri ataukah akan berbuah kepercayaan publik dalam level politik yang lebih tinggi. Bagaimanapun, kebenaran adalah tujuannya dan bukan persepsi umum. Ia tahu, mengerjakan tanggungjawab publik hari ini jauh lebih penting ketimbang memikirkan kepentingan pribadi di masa depan.

Sebuah terobosan yang jitu pun ia lakukan. Ketidakjelasan konstitusi tentang mekanisme pertanggungjawaban Anggota DPD justru malah melahirkan sebuah inovasi yang brilian. Pada tahun pertama mengemban amanah sebagai wakil daerah, Iin menerbitkan sebuah buku pertanggungjawaban politik yang bisa jadi merupakan sebuah tradisi baru dalam jagad perpolitikan nasional. ˜Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus, SH., MH., Anggota DPD-RI Daerah Pemilihan Riau Periode 2004-2009", begitulah judul panjang buku tersebut. Setahun yang pendek tapi membuahkan catatan panjang tentang inisiasinya dengan lembaga baru dan komitmennya terhadap aspirasi daerah.

Di samping terus memperjuangkan aspirasi daerahnya Intsiawati juga senantiasa turut bahu-membahu dan berbagi dengan wakil daerah lainnya untuk kepentingan yang jauh lebih besar. Pada tahun kedua, konsentrasi Iin banyak tercurah pada upaya untuk memperkuat lembaga tinggi negara yang lahir dari Amandemen Ketiga UUD 1945 pada bulan Agustus 2001 ini. Iin masih belum puas dengan kewenangan sempit yang dimiliki oleh DPD. Ia melihat DPD seperti bintang yang bersinar terang di daerah. Tetapi di Jakarta nyaris tak terlihat, dikalahkan oleh cahaya matahari kekuasaan yang lebih besar. Dalam kaitannya dengan itu, Iin berperan penting dalam penyusunan rumusan RUU Susunan dan kedudukan DPD yang terpisah dari MPR dan DPR. Kelak UU ini akan memperkuat peran DPD sebagai representasi daerah di Jakarta.

Tidak hanya itu, Iin juga menorehkan tinta merah kepada pemerintah daerah yang tidak memfasilitasi dengan optimal aspirasi masyarakat dengan anggota DPD. Sebagai seorang wakil daerah, empati Iin terhadap wakil daerah lainnya tampak jelas dalam sikapnya. Anggota PAH II DPD-RI ini tidak pernah percaya dengan adagium, pulchrum est paucerum hominum, keindahan hanya untuk segelintir orang. Iin percaya, keindahan adalah untuk semua anak bangsa dalam hamparan kepulauan dari Sabang sampai Merauke. Sebagai anak bangsa yang berdarah Melayu, Iin menolak etnosentrisme sempit dan mengaminkan takrif Melayu dalam petikan puisi "Melayu" yang ditulis Usman Awang, 27 Oktober 1996, di Mingguan Malaysia:

Melayu di tanah Semenanjung luas maknanya:
Jawa itu Melayu,
Bugis itu Melayu
Banjar juga disebut Melayu,
Minangkabau memang Melayu,
Keturunan Aceh adalah Melayu,
Jakun dan Sakai asli Melayu,
Arab dan Pakistani, semua Melayu
Mamak dan Malbari serap ke Melayu
Malah mua'alaf bertakrif Melayu .....


*(Kutipan Buku ‘Biografi Perempuan Parlemen’, Diterbitkan Kaukus Perempuan Parlemen, 2007)

Intsiawati Ayus: “Perempuan Melayu dengan Segudang Inisiatif dan Antusiasme I”*


MERETAS KEMANDIRIAN

TELUK Belitung pada tahun 1968 adalah pedesaan yang sepi di Kabupaten Bengkalis, Riau. Sebuah daerah yang jauh dari hingar bingar politik dan pertarungan elit kekuasaan. Di lingkungan masyarakat petani karet dan sagu serta nelayan, pada tanggal 4 Mei tahun itu, Intsiawati Ayus dilahirkan. Lamat-lamat, peristiwa pergantian kekuasaan di Jakarta sampai juga di tanah itu. Intsiawati kecil memasuki zaman peralihan, tatkala masyarakat mulai menghirup atmosfir baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam suasana zaman seperti itulah, Iin, sebagaimana ia akrab disapa, menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri Pematang Peranap (1981), Indragiri Hulu. Menjelang dewasa Iin meluaskan pergaulannya di Ibukota Pekanbaru dengan melanjutkan pendidikan menengah di SMP Negeri 5 (1984) dan SMA Negeri 1 (1987). Tanpa menunggu terlalu lama, Iin meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Islam Riau (UIR) pada tahun 1992. Tak berhenti sampai situ, putri H. Asman Yunus dan Hj. Asnidar Yusuf ini kemudian menuntaskan Magister Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta pada tahun 2004.

Olahan pengalaman organisasi yang diracik dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari dunia pendidikan telah membangun sebuah kesadaran dalam diri Iin. Ia menatap Riau dan masyarakatnya. Baginya Riau bukan saja dikaruniai dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tetapi juga khazanah kekayaan budaya yang tinggi. Namun, itu semua ternyata tidak berkolerasi dengan tingkat kesejahteraan dan kemajuan peradaban masyarakatnya. Ia acapkali menyimak kata ˜keadilan sosial" atau ˜pemerataan ekonomi" serta berbagai jargon pembangunan yang diusung oleh pemerintah pusat kala itu. Tapi jargon itu ternyata kosong, bahkan tenggelam diterkam dengung mesin gergaji dan suara bor minyak yang bertalu-talu. Masyarakat Riau nyaris tidak merasakan hasilnya. Bahkan hak-hak masyarakat lokal pun dikebiri. Semua kekayaan SDA itu harus diterajui oleh Consensus Sapientum, kesepakatan orang-orang yang duduk di kursi empuk kekuasaan Pusat. Akibatnya, masyarakat yang aslinya sangat dinamis itu secara perlahan-lahan dilemahkan potensinya. Masalah minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai akibat dari lemahnya perekonomian dihantui oleh dalih untuk membenarkan stigma 'malas' yang melekat pada masyarakat Melayu.

Dari Kongres Rakyat Riau II Iin menangkap kegelisahan masyarakat atas segala ketidakadilan pusat di bumi lancang kuning itu. Opsi kemerdekaan adalah suatu keinginan yang sungguh amat wajar. Di samping kekayaannya yang melimpah ruah, Riau adalah jantung kebudayaan Melayu di Indonesia yang memiliki latar sosio-kultur-historis yang begitu teramat penting. Ikon kesusasteraan, keagamaan, dan intelektual yang tinggi serta bahasa standar lingua franca Nusantara tumbuh berkembang di bumi bertuah ini. Apalagi ikatan sejarah dan intensitas pergaulan masyarakat Riau dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia demikian tinggi. Dari dua negara itu saja masyarakat Riau dapat bercermin akan segala kekuatan, kemampuan, dan potensi yang dimilikinya.

Kata 'kemandirian' menjadi titik tolak kesadaran politik Iin. Dari sinilah Iin mengawali geraknya untuk menghimpun dukungan dari bawah dengan membawa sebuah visi, 'Riau Menuju Otonomi Khusus'. Ia tentu tidak sedang terjebak dalam primordialisme semu, sebab visi ini berangkat dari prinsip keadilan dan hak azasi sebuah komunitas. Masyarakat Riau harus memiliki kesempatan untuk memutuskan sendiri pengelolaan sumber daya alam mereka dalam sistem bagi hasil yang adil. Perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam proporsi yang lebih seimbang dan adil adalah program pertama yang diusung oleh Iin.

Tetapi program itu tentu tidak cukup untuk menghadapi dilema masyarakat Riau. Pengelolaan SDA yang melimpah haruslah dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM. Peningkatan porsi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD Riau adalah program yang juga ia desakkan. Jalan menuju kemakmuran akan terbentang ketika keputusan-keputusan ekonomi Riau dilakukan lewat partisipasi penuh masyarakat Riau. Conditio sine qua non-nya adalah perimbangan keuangan dan peningkatan anggaran pendidikan.

Ketika syarat mutlak itu telah terpenuhi. Maka pola terpadu untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan SDA harus dijalankan di bawah satu payung hukum. Program ketiga ini berorientasi pada pemerataaan kesempatan ekonomi untuk seluruh masyarakat Riau. Sehingga penguasaan ekonomi tidak terkosentrasi pada segelintir elit dan pemilik modal. UKM dan penggunaan teknologi tepat guna untuk mengangkat potensi masyarakat bawah menurutnya perlu digalakkan. Untuk memastikan semua ini, maka jembatan komunikasi antara masyarakat daerah dengan wakil mereka di DPD harus terjalin dengan baik. Untuk itulah Iin mendesakkan urgensi program keempatnya, yaitu mendirikan kantor perwakilan DPD di setiap propinsi di Indonesia.


*(Kutipan Buku ‘Biografi Perempuan Parlemen’, Diterbitkan Kaukus Perempuan Parlemen, 2007)

Daerah Sangsikan Kebijakan Energi

JAKARTA, KOMPAS - Kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menerapkan kebijakan energi, karena dalam beberapa kebijakan yang sudah dikeluarkan tidak ada yang tuntas. Kesangsian itu mulai timbul sejak pemerintah mencanangkan konversi bahan bakar minyak ke batubara yang saat ini tidak juga muncul.

Hal tersebut muncul dalam Rapat Dengar Pendapat antara Panitia Adhoc II dan IV DPD di Jakarta, Senin (12/11). Semua keluhan DPD disampaikan kepada Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hilir Migas Tubagus Haryono dan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Kardaya Warnika.

Anggota DPD dari daerah pemilihan Sumatera Utara Yoppie Sangkot Batubara mempertanyakan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan biodiesel yang sebenarnya sudah dikembangkan sejak lama oleh negara lain. Ini dipertanyakan karena Indonesia merupakan penghasilan minyak kelapa sawit mentah (CPO), sa;ah satu bahan bakar biodiesel, terbesar kedua setelah Malaysia.

“Namun, kebijakan ini seperti hilang begitu saja. Kemudian ada biodiesel berbasis tanaman jarak, itu pun tidak jelas. Kita kalah dengan India yang sudah menanam jarak di dua juta hektar lahan tetapi Indonesia hanya wacana. Begitu pun bahan yang diambil dari tebu,” katanya.

Anggota DPD asal Riau Intsiawati Ayus menuntut penjelasan pemerintah terkait tiga hal, yakni kelangkaan minyak di daerah, kenaikan harga minyak di dunia, dan keharusan masyarakat menerima program konversi minyak tanah ke gas. “Semuanya itu datang tiba-tiba, dan kami di daerah sepertinya harus menelan begitu saja. Pemerintah tidak menjelaskan dengan terang tentang semua itu,” katanya.

Atas dasar itu, Anggota DPD asal Daerah Istimewa Yogyakarta Hafidh Asrom mempertanyakan jaminan pemerintah atas pasokan gas yang akan digunakan dalam program konversi minyak tanah tersebut. Jaminan itu sangat penting bagi seluruh masyarakat karena program ini akan mengubah kebiasaan yang sudah berjalan sangat lama.

“Pengecer itu bahkan masih saja mengeluhkan, karena tadinya hanya menyalurkan minyak tanah tiba-tiba harus ditambah dengan gas,” katanya. (OIN)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.