DPD: Instrumen Demokrasi Indonesia Baru

Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan dengan dibentuknya institusi baru dalam struktur politik Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan ini merupakan konsekuensi dari proses reformasi politik di Indonesia yang kemudian diwujudkan dalam perubahan UUD 1945 (konstitusi) pada Bab VII A Amandemen III UUD 1945. Dengan adanya amandemen konstitusi ini maka keanggotaan MPR kini terdiri dari DPR sebagai wakil partai politik dan DPD sebagai wakil masyarakat lokal (daerah). Lebih lanjut di sini..

Kejayaan dan Keistimewaan Melayu


DAHULU Melayu dikenal sebagai sebuah peradaban yang agung dan bangsa yang hebat. Pengaruh kekuasaannya yang luas dan hubungannya dengan berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Singasari, Sriwijaya dan Majapahit sampai abad ke-7 telah dicatat oleh I-tsing, sang pengembara dari Cina.

Menurut sejumlah pakar sejarah, istilah Melayu sudah muncul sejak lama. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan keagungan dan kegemilangan sebuah kerajaan-bangsa. Dalam kitab Sejarah Melayu, Sulalatus-Salatin, istilah Melayu adalah nama yang diberikan pada keturunan Sultan Malaka, yang berdasarkan mitologi, merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain.

Menurut catatan sejarah, Raja Melayu pertama turun dari Bukit Siguntang, Palembang yang kemudian berkembang hingga terbentuk Kerajaan Malaka oleh Parameswara. Dengan berkembangnya Islam di kerajaan Malaka maka makin kokohlah kemuliaan serta kejayaan Melayu. Peristiwa peng-Islam-an Raja Malaka yang diawali dengan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW secara tersirat menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tinggi martabatnya. Bangsa yang terangkat kemulian lantaran dimahkotai oleh agama Islam. Kesultanan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah Sultan Muzafar Shah dan Sultan Alaudin Riayat Shah yang arif dan bijak. Di bawah pemerintahan mereka, Kesultanan Melayu memperluas kekuasaannya, termasuk menjalin perdagangan antar bangsa hingga Kepulauan Ryukyu, Jepang.

Laksamana Hang Tuah dan lima sahabatnya, serta Bendahara Tun Perak, merupakan tokoh-tokoh Melayu yang terkenal pada saat itu. Dengan kekuatan perdagangan,pengaruh politik, dan Islam, Kerajaan Cina tertarik menjalin hubungan diplomasi dan perdagangan dengan kesultanan Melayu. Hubungan itu makin dikukuhkan dengan perkawinan puteri Cina, Hang Li Po, dengan Sultan Muzafar Shah. Dasar inilah yang menjadi titik permulaan Kesultanan Melayu menjalin hubungan dengan Cina.

Tak sampai di situ saja, peradaban Melayu semakin gemilang manakala bahasa Melayu menjadi lingua-franca yang dituturkan sebagai bahasa perdagangan dunia. Para pedagang Cina dan India, misalnya, menjadikan bahasa Melayu menjadi medium penuturan yang digunakan tidak saja di Malaka tapi hingga seluruh Nusantara. Sampai saat ini bahasa Melayu sudah menjadi bahasa keempat dunia yang dituturkan lebih kurang 250 juta orang.

Inilah cerminan dari sebuah bangsa yang kuat dan berpengaruh. Di samping itu, bahasa Melayu yang dinamis adalah kelebihan bahasa ini dalam menyerap berbagai pengaruh dan penerapan frase ilmu pengetahuan dari sejak zaman Hindu-Buddha sampai setelah kedatangan Islam, dan semua ini menegaskan kemauan orang Melayu untuk berubah menjadi bangsa yang lebih baik kedudukannya. Sejarah lalu juga telah menunjukkan bagaimana kehebatan bangsa Melayu bukan hanya terletak pada kejayaan material semata-mata, tetapi juga pada sendi budaya dan adat yang bernafaskan Islam. Inilah yang memikat kekuatan kekuasaan asing untuk memperebutkan bumi bertuah.

Jika sampai pada pembahasan sastra Melayu, sampailah kita pada Riau. Hingga saat ini sastra Melayu-Riau telah memoles warnanya yang amat mencolok dalam khazanah sastra Indonesia. Dalam sebuah wawancara di Pekanbaru pada tahun 1999, manakala sejumlah daerah sedang menuntut kemerdekaan dan mempersoalkan otonomi, seorang penyair terkenal Sutardji Colzum Bachri menyatakan bahwa hal yang sangat konkret bagi Riau adalah ‘negara kata-kata’. Menurutnya eksistensi orang Riau adalah katakata. Kosmologi mereka adalah kata, demikian tegas Sutardji. Apa maksudnya? Sutardji mengungkapkan sebuah pernyataan ringkas, “Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa.

Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra. Beranjak dari kenyataan itu, sastra Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan-percobaan dan eksperimentasi.” Raja Ali Haji, tokoh sastrawan dan intelektual Riau memang telah menorehkan bukti sejarah konkrit tentang kontribusi masyarakat Melayu- Riau bukan saja sastra Indonesia tapi juga dunia intelektual. Tengok saja karya-karyanya, mulai dari 'Hikayat Abdul Muluk' (1846), 'Gurindam Dua Belas' (1847), 'Muqaddimah fi Intizam' (1857), 'Kitab Pengetahuan Bahasa' (1869) dan 'Silsilah Melayu dan Bugis' (1865), sampai karyanya yang monumental 'Tuhfat an-Nafis' (1866).

Semua ini menggambarkan tentang Melayu yang begitu intelek yang didukung oleh penyebaran Islam dan dukung pemerintah terhadap pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Sungguh tak heran jika istana kemudian dijadikan sebagai pusat pengajian ilmu dan tempat para ulama berkumpul. Banyak masjid dan sekolah pondok serta madrasah didirikan dengan maksud untuk membina keunggulan bangsa Melayu, dan semua rakyat berpeluang menerima ilmu yang dapat memajukan mereka.

Kemunculan kaum intelektual, cendekiawan, serta ulama yang termasyhur dengan berbagai karyanya di bidang pengetahuan, agama, dan filsafat menjadi ukuran bahwa bangsa ini sebenarnya adalah bangsa yang mementingkan ilmu pengetahuan. Tradisi Melayu ini diwarisi juga oleh Aceh dan Johor yang mengembangkan ilmu dan pengetahuan.Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah karena menjadi pusat pengkajian agama seperti di Malaka. Pusat pengkajian agama ini kemudian melahirkan ulama-ulama seperti Abdul Rauf Singkel dan Samsudin Al-Sumatrani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mereka melanjutkan institusi Baiturahman sehingga banyak melahirkan pemikir Melayu.

Keistimewaan Melayu juga didukung oleh warisan budaya dan adatnya yang kaya, mulai dari syair, pantun, sepak raga, congkak hingga tarian-tarian yang memiliki cita rasa estetis tinggi. Pewarisan ini juga menjadi semacam pesan pada generasi kini bahwa di dalam kesenian itu juga sebenarnya ada unsur nasehat yang menjadi pedoman untuk menjadi bangsa yang hebat. Begitu juga dengan perilaku orang Melayu, semuanya penuh dengan simbol ketinggian pekerti, melalui budi bahasa dan sopan santunnya. Melayu dikenal sebagai bangsa berbudi yang suka menabur budi kepada orang lain. Jiwa gotong-royong dan rasa kekeluargaan apalagi tatkala melihat tetangga dan saudara seagama, mereka bagaikan satu keluarga. Begitu pula dengan sifat hormat-menghormati dan kasih sayang yang diungkapkan dalam pantun, syair dan madah gurindam warisan nenek moyang yang selaras dengan tuntunan Islam itu, bagai kata pepatah, “Yang tua dihormati dan yang muda dikasihi”. Nilai-nilai inilah yang meletakkan Melayu sebagai bangsa besar dimana kebesaran ini telah membedakannya dengan peradaban lain di dunia. Oleh sebab itulah kita perlu membangun setelah jatuh, karena kita percaya untuk menjadi bangsa yang unggul tidak pernah ada titik akhirnya…

Rumpun Melayu Bersatu: Laskar Hulubalang Melayu


Organisasi Rumpun Melayu Bersatu (RMB) digagas pada 17 Juli 2000 dan didirikan dengan Akte No. 95 tanggal 31 Juli 2000 sebagai perkembangan dari Kongres Rakyat Riau II yang melahirkan Opsi Riau Merdeka dan Tabrani Rab sebagai Presiden Riau Merdeka.

Sebagai suatu reaksi spontan atas perlunya kehadiran seorang Panglima Riau Merdeka, ditunjuklah H.Asman Yunus, SH. H. Asman Yunus, SH terinspirasi suatu pemikiran bahwa seorang panglima tentunya harus memiliki pasukan, maka lahirlah Laskar Hulubalang Melayu Riau pada 2 Mei 2001 di Pantai Raja. Nama Hulubalang sebenarnya dicetuskan oleh Dr. Yusmar Yusuf, yang diaminkan Mujtahid Thalib.

Meski nama organisasi yang dipilih adalah Laskar Hulubalang, bukan berarti organisasi ini merupakan pasukan yang disiapkan untuk bertempur ke medan perjuangan. Filosofi yang dikembangkan adalah bahwa Laskar Hulubalang merupakan pengawal negeri dan pendukung kebijakan pemerintah yang sesuai dengan tata aturan pemerintahan dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta sesuai dengan adat-budaya Melayu.

Laskar Hulubalang adalah pengawal, yang dikawal adalah raja. Karena statuta dan sistem kerajaan sudah tiada di Bumi Nusantara, maka dianalogikan bahwa yang patut dianggap raja oleh Laskar Hulubalang adalah Kepala Pemerintahan setempat. Untuk RMB yang berada pada tingkat Dewan Pimpinan Pusat berkedudukan di Riau, maka bagindanya adalah Gubernur Riau. Sedang untuk Pimpinan Wilayah yang berkedudukan di kabupaten dan kota, maka bagindanya adalah bupati atau walikota. Sedangkan untuk Laskar Hulubalang pada tingkat Pimpinan Daerah (kecamatan) bagindanya adalah camat setempat.

Dalam perkembangannya RMB selain menghimpun Laskar Hulubalang Melayu Riau, juga lahir Laskar Melayu Bersatu Kabupaten Siak yang berpusat di Kota Perawang, Laskar Laksmana Melayu Riau Kota Dumai (yang kemudian melebur dan merubah nama menjadi RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau Kota Dumai). Laskar Hulubalang Melayu Riau sampai saat ini telah ada di berbagai kabupaten dan kota di seluruh Provinsi Riau, RMB Provinsi Kepulauan Riau (Batam, Karimun, Kepri dan Natuna) yang meski terpisah secara tata struktur pemerintahan dan geografis, masih menyatakan bergabung bersama RMB Riau.

RMB selain memiliki Laskar Hulubalang Melayu Riau, juga memiliki sayap-sayap, antara lain:

a. Koperasi Rumpun Melayu Bersatu (KOPEREMBE) yang berpusat di Pekanbaru, dan dikembangkan pada tiap-tiap kabupaten dan kota serta kecamatan di mana Laskar Hulubalang Melayu Riau telah terbentuk.

b. Surat kabar mingguan “Suara Hulubalang” yang telah terbit sejak 8 Maret 2003.
Sanggar seni dan budaya Rumpun Melayu Bersatu yang terbentuk pada tanggal 20 Febuari 2003.

c. Lembaga Dakwah Rumpun Melayu Bersatu yang telah diresmikan pada tanggal 11 Febuari 2003.

d. Laskar Mahasiswa Melayu Riau yang berkedudukan di Pekanbaru dan telah tersebar di Universitas Lancang Kuning, Universitas Riau, Universitas Islam Riau dan Universitas Islam Negeri Riau.

Sampai saat ini RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau telah memiliki sebanyak 15 Dewan Pimpinan Wilayah (kabupaten/kota), yaitu: DPW Kota Pekanbaru, DPW Kab.Bengkalis, DPW Kab. Siak, DPW Kab. Pelalawan, DPW Kab. Dumai, DPW Kab. Rokan Hilir, DPW Kab.Kampar, DPW Kab. Kuansing, DPW Khusus Kota Siak, DPW Kota Duri, DPW Kab. Indragiri Hulu, DPW Kab.Indragiri Hilir, DPW Kab. Kepulauan Riau, DPW Kab. Tanjung Pinang dan DPW Kab. Natuna.

Untuk tingkat kecamatan RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau memiliki sebanyak 61 Dewan Pimpinan Daerah, dan pada tingkat desa sebanyak 139 Dewan Pimpinan Cabang. Adapun sebutan untuk DPP Rumpun Melayu Bersatu adalah Datuk Baginda yang saat ini dipegang oleh H. Asman Yunus, SH, kemudian Datuk Panglima untuk tingkat Propinsi. Sebutan untuk DPW RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau pada tingkat kabupaten/kota adalah Panglima Wilayah, untuk DPD adalah Temenggung, dan untuk DPC adalah Batin. Sampai saat ini jumlah anggota RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau berkisar seratus tiga puluh ribu orang, yang tersebar di seluruh Riau dan Kepulauan Riau.

DPD seperti Kini Tak Dibutuhkan, Di Daerah Dianggap Superman atau Sinterklas

Jakarta, Kompas- Dewan Perwakilan Daerah seperti yang ada saat ini tidak dibutuhkan jika benar-benar ingin menciptakan sistem bikameral yang efektif. Kewenangan DPD yang terbatas tidak bisa memaksimalkan check and balance karena pengambilan keputusan tetap berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pendapat tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti dalam diskusi di Kantor DPD, Jumat (9/9). Tampil sebagai pembicara lain dalam diskusi itu adalah peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang dan anggota DPD asal Provinsi Riau Intsiawati Ayus.

Bivitri menunjukkan ironi ketika DPD yang dipilih lewat pemilu yang berbiaya mahal dan relatif lebih susah untuk terpilih, namun justru kewenangannya terbatas. Dalam pandangan ekstrem, DPD dengan kewenangan serba terbatas seperti saat ini harus dibubarkan karena justru menjauh dari posisi DPD sebagai sebuah lembaga perwakilan.

Indra Piliang menilai, dengan posisi yang seperti sekarang, memang wajar muncul pandangan untuk membubarkan saja DPD. Di luar soal kewenangan yang terbatas, DPD juga menghadapi kendala internal, seperti soal kapasitas sumber daya manusianya. DPD merupakan lembaga modern, tetapi terbentuk dan diisi dengan sumber daya manusia yang lebih tradisional dibandingkan dengan DPR. Secara obyektif, belum banyak yang dilakukan DPD.

Prestasi terbesar DPD adalah repertoar Addie MS (saat pidato Presiden di depan Sidang Paripurna DPD, 23 Agustus lalu), sindir Indra. Addie MS bersama Twilite Orchestra yang dipimpinannya diundang DPD untuk mengisi acara saat paripurna itu.

Perbaikan Internal

Indra menilai, saat ini yang lebih mendesak adalah perbaikan internal DPD, baru kemudian berjuang untuk amendemen konstitusi. Senada dengan itu, menurut Bivitri, ketika keinginan amendemen konstitusi belum bisa dipastikan, DPD mesti memaksimalkan kinerja dalam lingkup yang serba terbatas itu. Selain penguatan internal yang meliputi pembuatan prosedur dan struktur kelembagaan, DPD juga mesti menguatkan hubungan dengan lembaga lain dan konstituen. Salah satu perbaikan penting adalah komunikasi publik atas apa saja yang sudah dilakukannya. Kalau cuma main-main di dalam, ya hanya banyak klaimnya saja, kata Bivitri.

Menurut dia, sebagian orang berpandangan, wacana amendemen konstitusi mengenai kewenangan DPD justru seperti membuka kotak pandora. Masalah lain bisa dimunculkan sehingga lahir keengganan luar biasa mengenai perubahan konstitusi ini. Kalaupun sejauh ini ada anggota DPR yang setuju dengan amandemen, tetap saja sikap fraksi di DPR masih menjadi kendala besar.

Intsiawati Ayus mengakui, selama hampir setahun ini pihaknya lebih banyak memfasilitasi komunikasi masyarakat dengan pemerintah daerah. Dia merasa, di daerah mereka dianggap sebagai Superman atau Sinterklas. Namun, ketika di pusat, justru mereka tidak ada apa-apanya. (dik)

Hampir Setahun di MPR, DPD Dianggap Belum Banyak Berinovasi

Jakarta, Kapanlagi.com- Selama hampir satu tahun keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam struktur ketatanegaraan khususnya sebagai bagian dari MPR RI, ternyata lembaga tersebut masih belum banyak melakukan inovasi dalam bidang ketatanegaraan.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi "Eksistensi DPD" di Gedung DPD Jakarta, Jumat, dengan pembicara pengamat politik dari CSIS Indra J Piliang, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan anggota DPD dari daerah pemilihan Provinsi Riau, Intsiawati Ayus.

"Belum banyak inovasi-inovasi yang dilakukan," kata Indra J Piliang.

Hal itu antara lain disebabkan prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam UUD khususnya yang mengatur tugas dan kewenangan DPD.

Menurut dia, sepatutnya anggota-anggota DPD menyusun agenda-agendanya berdasarkan janji-janji kampanyenya, misalnya soal pemekaran daerah.

Indra mengatakan, hubungan antara DPD dengan DPR perlu diperbaiki agar lebih kuat dan mampu bersinergi dengan baik. Demikian pula hubungan DPD dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Ia juga mengingatkan, munculnya lembaga DPD sebenarnya tidak terlepas dari konsekuensi penghapusan Fraksi Utusan Daerah (FUD) dalam MPR, karena selama ini peran parpol dan pemerintah terlalu besar untuk mengisi fraksi itu.

Namun kenyataannya, lanjutnya, ada keinginan kuat dari kalangan parpol untuk masuk ke lembaga DPD tersebut.

Dikatakannya, afiliasi politik yang dilakukan sejumlah anggota DPD memperlihatkan belum adanya keselarasan antara kepentingan kelembagaan dan kepentingan pribadi.

Indra juga menyinggung soal restrukturisasi kepemimpinan DPD di mana perlu adanya pembatasan masa jabatan pimpinan DPD yang bisa saja diukur berdasarkan kinerjanya.

Direktur Eksekutif PSHK Bivitri Susanti menekankan perlunya para anggota DPD untuk lebih mampu menyatukan pendapat, meskipun potensi-potensi ketidaksepahaman antaranggota DPD sangat besar.

"Contohnya soal kenaikan harga BBM, di DPD banyak para anggotanya yang beda pendapat dan terpublikasi secara `telanjang`," katanya.

Ia menyarankan agar apabila DPD ingin memberikan pertimbangan kepada DPR atau pemerintah, maka hal itu harus dipersiapkan secara matang agar bisa menjadi satu suara.

Anggota DPD Intsiawati Ayus mengaku para anggota DPD memang masih belum bisa berbuat banyak mengingat keterbatasan tugas dan kewenangan yang diatur dalam UUD.

"Akhirnya kita hanya bisa memainkan peran sebagai fasilitator yang menjembatani suara masyarakat yang ada di daerah kepada pemerintah daerah setempat," katanya yang dalam kesempatan itu juga meluncurkan buku karyanya berjudul "Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban Kinerja Satu Tahun Masa Sidang".

Ia menambahkan, DPD tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak bersinergi dengan DPR sehingga ada upaya membuat kesepakatan kerja antara DPR dengan DPD.

Dalam kesempatan itu, Intsiawati juga menceritakan sejumlah pengalamannya melakukan kunjungan ke daerah-daerah, khususnya di daerah pemilihannya, Riau.

"Mereka (masyarakat di daerah) menganggap kita ini seperti `superman` atau `sinterklas`, belum tahu dia, padahal di sini kita gak ada apa-apanya," katanya. (*/dar)

Peran DPD Belum Optimal

Jakarta, Suara Merdeka CyberNews. Setelah setahun masa persidangan, 128 anggota DPD RI merasakan fungsi, tugas, dan wewenang sesuai Pasal 22D UUD 1945 belum optimal. Hal antara lain disebabkan sistem bikameralisme hasil amandemen ketiga konstitusi bukanlah bikameralisme murni yang menjamin checks and balances.

Tidak heran, belakangan ini kerapkali bermunculan pertanyaan silih berganti menggugat keberadaan DPD. Gugatan bernama kecaman pun pernah dialamatkan kepada para anggota DPD RI dan lembaga DPD RI sendiri. Masa depan DPD RI kini menjadi taruhan.

Demikian intisari diskusi Satu Tahun Masa Sidang DPD RI: Ke mana arah hendak dituju? dan peluncuran buku "Menapak Tahun Pertama. Laporan Pertanggungjawaban Kinerja Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus, Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Riau".

Narasumber dalam diskusi adalah Bivitri Susanti (Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) dan Indra J Piliang (peneliti Centre for Strategic and International Studies). Intsiawati yang juga Wakil Ketua Panitia Perancangan Undang-Undang DPD serta anggota Panitia Ad Hoc II DPD RI ini turut memberikan tanggapan atas peran DPD selama ini.

Intsiawati mengatakan bahwa pembuatan buku merupakan hasil bincang-bincang dengan Ketua PAH II saat itu itu, Kasmir Tri Putra. Awalnya, laporan tersebut mencoba membuat sebuah buku yang dikemas sebagai informasi, khususunya agenda yang dilakoni seorang anggota DPD. “Masalah ruang lingkup atau agenda kerja dan kegiatan di wilayah kerja. Idealnya dapat diluncurkan satu institusi DPD.”

Bivitri mengatakan jika masih tetap seperti sekarang keadannya, maka DPD memang harus dibubarkan, karena yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukan seperti DPD sekarang. “Yang kita miliki belum merupakan bikameral atau belum bikameral yang efektif karena kata kuncinya adalah kompetisi antara dua dewan,” demikian Bivitri.

Chencks and balances selain terjadi antara dua lembaga, juga dalam parlemen itu sendiri. “Inilah yang dibangun sistem bikameral,” jelasnya. Sistem bikameral bertujuan menciptakan checks and balances untuk keseimbangan kedua lembaga. Ia memisalkan, ketidakseimbangan justru dimulai ketika pemilu di mana biaya yang mahal sekali justru terjadi untuk mengikuti pemilu DPD yang menyebabkan semua calon melarikan semua masalah ke DPR.

Dalam urusan tata negara, lanjut dia, ketidakseimbangan juga terjadi dalam hal usulan rancangan undang-undang. Karena bukan pengambil keputusan, maka sudah seperti menjadi harga mati bahwa setiap pembahasan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan pemerintah. “Harus digantikan dengan DPD yang seimbang dengan DPR,” ujar Bivitri.

Dikatakan, setelah DPD lahir lewat hasil amandemen UUD 1945, jika DPD kembali mengajukan amandemen secara politis akan susah lolos. “Sekali dibuka ia akan seperti kotak pandora, ada fraksi yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam atau federalisme. Mungkin orang per orang di DPR menyatakan setuju amandemen, tetapi fraksi belum tentu setuju.”

Ia menilai, kendala untuk mengajukan amandemen besar sekali kendati Kelompok-kelompok DPD sudah mengumpulkan tanda tangan sejak November tahun lalu. Mereka bahkan menggalang upaya sampai bekerja sama dengan daerah-daerah dengan pertimbangan memenuhi deadline usulan amandemen UUD 1945 menjelang 2007.

Sembari menunggu penjajakan amandemen, menurutnya, laporan tahunan orang per orang anggota DPD harus dilakukan untuk memperkuat posisi DPD. Laporan tahunan orang per orang akan semakin penting dan semakin lebih bagus jika dikeluarkan lembaga DPD.

“Dulu sempat ada laporang tahunan lembaga negara, tetapi sekarang tidak semua lembaga negara mengeluarkan laporan tahunan,” jelas Bivitri. “Sayang sekali DPD tidak mengeluarkan laporan tahunan. Padahal di sinilah letak perlunya penguatan DPD sementara waktu mengingat pembuatan laporan tahunan merupakan salah satu kunci penguatan.“

Penguatan DPD dengan langkah amandemen merupakan tujuan jangka panjang. Yang harus dibuktikan para anggota DPD terlebih dahulu sebelum mengajukan amandemen adalah bekerja optimal karena yang dilakukan selama ini belum berjalan efektif. “Kepemimpinan DPD menjadi kunci lain. Seharusnya kepemimpinan DPD bisa memainkan peranan ke arah mana DPD hendak dibawa,” ungkap Bivitri.

Lebih lanjut dikatakan, keberadaan DPD selama ini tidak diketahui masyarakat karena komuniksasi politik yang jarang dilakukan DPD kepada publik. Ia mencontohkan, DPD mempunyai laporan kunjungan kerja yang tebal dengan standar pelaporan yang baik, sayangnya tidak didiskusikan atau dipilah-pilah sesuai kebutuhan publik. Ini penting untuk mendukung apa pun yang mau dilakukan untuk penguatan DPD termasuk amandemen UUD 1945.

Bivitri menceritakan pengalaman ketika membicarakan amandemen dengan pimpinan komisi DPR. Pada dasarnya pimpinan tersebut menyetujui amandemen tetapi karena ia mengamati DPD belum ngapa-ngapain. “Apa pernah DPD membahas atau mengusulkan RUU? Belum pernah. Kalau sudah kok saya belum dengar.”

Seharusnya, menurut Bivitri, selama setahun ini diperjelas apa yang telah dilakukan DPD dengan memanfaatkan ruang gerak terbatas dengan memaksimalkan prosedur dan mekanisme internal sehingga banyak produk politik yang dihasilkan kemudian membawa segala hasil kerja ke ruang-ruang publik.

“Kalau pun dianggap tidak mempunyai fungsi bikameral yang sesungguhnya, satu hal yang harus diingat, secara rasional DPD bisa berperan. Peran dan fungsi ini harus diambil dengan memanfatkan serta mencoba segala bentuk komunikasi politik kepada konstituen. Ini tantangan peran yang harus dimainkan.”

Indra pun sependapat dengan Bivitri. Kalau kondisi dan situasi DPD masih sepenti sekarang maka lebih baik DPD dibubarkan saja. Mengenai buku laporan pertanggungjawaban, lanjut Indra, isi buku terutama memuat dialog Intsiawati dengan anggota masyarakat di berbagai daerah di Riau. “DPD bisa mendorong elit lokal berdialog dengan masyarakat.”

Menurut dia, DPD merupakan gagasan lama sejak tahun 1960-an seiring dengan munculnya sejumlah dari dewan-dewan di daerah sejenis Dewan Gajah yang memunculkan pemberontakan daerah agar di pusat dibentuk utusan-utusan daerah. “Jangan-jangan kita yang ketinggalan zaman, pikiran itu sudah muncul sejak 60-an. Tuntutan mereka adalah otonomi daerah dan pembentukan senat di tingkat pusat. Ide ini tidak mengemuka karena secara politik kalah. Kalau gagasan itu terlaksana barangkali pusat tidak akan sekuat sekarang,” jelasnya.

Indra mengatakan, persoalan di dalam tubuh DPD terletak pada kapasitas para anggota yang tidak semua seragam karena berasal dari tokoh-tokoh lokal atau kerajaan-kerajaan lokal seperti Pangeran Arief Natadiningrat dari Cirebon dan Ratu Hemas dari Yogjakarta, termasuk tokoh-tokoh agama. “Mereka selama ini bekerja tinggal panggil pesuruh, semua beres. Lembaga modern yang dulu terpikirkan dalam Komisi Konstitusi ternyata diisi sumber daya manusia dengan kapasitas jauh lebih tradisional dari anggota DPR.”

Kapasitas tradisional tersebut, lanjut Indra, terlihat dari sikap ewuh pakewuh kepada mereka apalagi mereka juga elit lokal yang mantan gubernur, bupati, walikota, atau pengusaha yang merasa menjadi anggota DPD hanya sekadar stempel saja. Akibatnya, anggota DPD yang lain bergerak secara individual dengan misalnya membentuk kaukus-kaukus di DPD yang ternyata jauh lebih aktif ketimbang DPD itu sendiri. “Ada situasi individualisme yang kuat di antara anggota DPD,” urai Indra.

Selain itu, struktur internal yang ditandai dengan pembentukan dikotomi antara Indonesia wilayah timur dengan barat justru berdampak negatif. Ia mencontohkan, di tingkat pimpinan DPD, Laode Ida mewakili wilayah timur dan Irman Gusman dari wilayah barat. “Kenapa harus timur-barat, kenapa bukan utara-selatan, kenapa bukan tengah-tengah. Satu DPD terdiri dari empat kamar. Dalam banyangan saya satu ruangan dari empat provinsi berbeda. Bagaimana bisa bersinergi antarmasalah provinsi sementara yang ketemu adalah teman-teman satu provinsi itu sendiri. Bagaimana upaya DPD berhadapan dengan DPR jika di dalam sendiri dikotomi geografi semakin dikentalkan.”

Selain itu, DPD seolah telah menjadi perwakilan provinsi sehingga setiap anggota DPD merasa harus mewakili daerah masing-masing. Daerah yang dimaksud adalah wilayah provinsi tempat anggota DPD berasal. Mekanisme internal seperti ini dapat menyebabkan keterkungkungan bagi anggota DPD. Contohnya, masalah Papua hanya dibicarakan anggota DPD dari Papua, begitupun masalah Aceh hanya menjadi pembicaraan anggota DPD dari Aceh atau Kaukus-kaukus DPD yang dibentuk untuk daerah-daerah konflik.

Dengan keadaan demikian, Indra mengibaratkan DPD seperti orang dengan mulut dikunci tetapi kaki dan tangan terbuka dengan membentuk kotak-kotak sendiri. Kalau DPD bersedia melakukan perubahan maka dapat dilakukan terhadap struktur internal DPD agar setiap anggota bisa berkiprah lebih bebas. “Dari sini barulah melangkah menuju amandemen UUD 1945. Kalau tidak mempunyai pengalaman yang bisa menjadi bahan referensi, susah juga. Kita hanya mengamandemen UUD 1945 hanya berdasarkan emergensi lagi, tidak berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraaan.” (habieb sl/Cn08)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.