Dimulai Sidang Judicial Review Tentang DPD


By aluncita, forumkeadilan
Jakarta, FK. Senin, 24 September 2012. Suasana Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) terasa istimewa. Beberapa petinggi Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) dan puluhan anggota DPD dari berbagai daerah duduk menyimak di ruang sidang. Di gedung megah dengan pilar-pilar bercat putih yang kokoh itu, Ketua DPD Irman Gusman, sedang membacakan alasan mengapa anggota DPD dating beramai-ramai ke MK.

Rupanya, hari itu Majelis MK menggelar sidang perdana pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Pemohonan ini diajukan 18 DPD yang menganggap kedua undang-undang itu telah mengebiri kewenangan konstitusionalitasnya.

Dalam sidang itu, secara simbolis DPD RI diwakili Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua DPD La Ode Ida, dan Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Sementara, enam orang pengacara yang dipimpin Todung Mulya Lubis duduk sebagai kuasa hokum DPD. Sedangkan tim litigasi DPD diketuai I Wayan Sudirta dan beranggotakan Intsiawati Ayus, El Nino Husein Mohi, Jacob Jack Ospara, Asri Anas, dan Juniwati Sofwan.

Masuk ke inti persidangan. Dalam kesempatan itu, DPD memohon pengujian Pasal 71 huruf a, d, e, f dan g; Pasal 102 ayat (1) huruf d dan e; Pasal 107 ayat (1) huruf c; Pasal 143 ayat (5); Pasal 144; Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (7); Pasal 150 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan Pasal 151 ayat (1) UU MD3.

Selain itu, DPD juga mengujikan Pasal 18 huruf g; Pasal 20 ayat (1); Pasal 21; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 43 ayat (1), ayat (2); Pasal 46 ayat (1); Pasal 48 ayat (2), ayat (3); Pasal 65 ayat (3), ayat (4); Pasal 68 ayat (5); Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b; dan Pasal 70 ayat (1), ayat (2) UU P3 Nomor 12/2011 terhadap UUD 1945.

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, DPD lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis meminta MK mempertegas kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah di pusat. Sebab, UU MD3 dan UU PPP ini merugikan beberapa kewenangan DPD yang dijamin UUD 1945 seperti kewenangan mengajukan RUU, ikut serta dalam pembahasan RUU, dan ikut menyetujui RUU menjadi undang-undang.

Undang-undang ini mereduksi kewenangan DPD tanpa mengikutsertakan DPD mulai dari pengajuan RUU hingga persetujuan RUU. Padahal, RUU yang dibahas itu menyangkut kewenangan DPD seperti otonomi daerah, hubungan pemerintahan pusat dan daerah, hingga pertimbangan keuangan pusat dan daerah, ini kewenangan yang dijamin dalam UUD 1945, tetapi DPD ditinggalkan atau tidak terlibat,” kata jelas Todung di ruang sidang MK, Senin, 24 September.

Todung mengatakan tidak diikutsertakan DPD dalam pembahasan atau persetujuan sebuah RUU adalah pelanggaran terhadap konstitusional. “Padahal kan DPD sendiri telah diberikan mandat sesuai dengan UUD untuk mewakili kepentingan daerah, kalau ini diabaikan maka aspirasi rakyat didaerah jadi tidak bisa diakomodir,” lanjut Todung.

Pemohon juga menilai, ketentuan-ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 masih secara sumir mengatur bagaimana hubungan kerja antara DPR dan DPD, baik dalam penyusunan RUU maupun dalam pembahasan RUU, serta pelaksanaan tugas dan kewenangan lainnya.

“Misalnya, Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3, memberikan ’derita’ konstitusional luar biasa kepada DPD,” tandasnya.

Pasal tersebut mengatur bahwa apabila telah disetujui rapat paripurna, maka RUU dari DPD akan menjadi RUU usul dari DPR. Sementara, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 secara jelas DPD mempunyai kewenangan untuk mengajukan RUU kepada DPR sesuai kewenangannya. “Dengan demikian sudah seharusnya usul RUU tersebut tetap menjadi usul dari DPD, tidak menjadi usul dari DPR,” bebernya.



Selain itu, pemohon menguji ketentuan Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1) UU P3 yang mengatur tentang Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menurut Todung, DPD tidak diikutsertakan dalam penyusunan RUU tersebut. ’’Pada tingkat penyusunan RUU, keberadaan DPD dinafikan begitu saja dengan adanya pengaturan UU P3 [Pasal 18 huruf g dan Pasal 20 ayat (1)],” terang Pemohon.

Apabila ditinjau dari aspek yuridis konstitusional, kata Todung, keberadaan DPD sebagai lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK. Namun, kesejajaran dalam struktur ketatanegaraan tersebut tidak diimbangi dengan kejajaran fungsi dan kewenangan. “Kewenangan DPD tidak hanya ‘dibonsai’ tapi juga dimarjinalkan secara fungsional dan kelembagaan,” katanya.

Secara kelembagaan, lanjut Todung, kedudukan pemohon hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang fungsinya sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. “Hal demikian ini tentu tidak sesuai jiwa dan semangat dari perubahan UUD 1945 yang bermaksud untuk menciptakan proses checks and balances dalam pembentukan undang-undang melalui sistem bicameral.”

Todung melanjutkan, pengujian undang-undang ini murni untuk mengembalikan kewenangan DPD yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Selama ini, DPD menilai dengan lahirnya beberapa pasal dalam UU MD3 dan PPP ini membuktikan adanya kesalahan tafsir mengenai kewenangan DPD sebagai wakil daerah.

“Dalam UU MD3 dan UU PPP ini dalam beberapa pasalnya mencantumkan kewenangan DPD. Namun, beberapa pasal kedua undang-undang itu kami anggap telah mengkebiri kewenangan DPD. Karena itu, kami minta MK membatalkan pasal-pasal dan minta tafsir konstitusional dengan mengoreksi kesalahan tafsir yang terjadi,” pintanya.

Menanggapi permohonan ini, Anggota Panel Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mempertanyakan apakah permasalahan kewenangan ini pernah dibicarakan dengan DPR sebelum menggugat ke MK. Atas pertanyaan itu, Ketua Tim Litigasi DPD, I Wayan Sudarta mengaku sejak tahun 2007 pihaknya telah intens mengkomunikasikan persoalan ini kepada DPR dengan membentuk Tim 25, tetapi tidak ada kelanjutannya.

“Bahkan sekarang telah dibuat tatib bersama untuk permasalahan ini, seperti tukar info, dan sekjen-sekjen sudah berunding, tetapi itu tidak ada kelanjutan juga. Karena dua cara yang telah kami lakukan terhadap DPR dengan DPD itu tidak berhasil, kami ajukan gugatan ke MK,” terang Wayan.

Anggota panel lainnya, Ahmad Fadlil Sumadi menilai permohonan ini mengesankan ada persoalan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), bukan pengujian undang-undang (PUU). “Dan banyak kalimat senada yang menunjukkan ini seakan-akan seperti SKLN,” jelas Fadlil.

Usai sidang, Todung tetap merasa bahwa permohonan uji materi ini tidak perlu diubah menjadi permohonan SKLN. Sebab, permohonan uji materi ini murni diperuntukkan untuk meluruskan kembali tafsir beberapa pasal dalam MD3 dan UU PPP itu.

“Kami percaya persoalan ini akan bisa diselesaikan jika MK memberi tafsir pasal-pasal itu, sehingga hak kewenangan DPD dalam mengajukan RUU dan ikut membahasnya itu akan bisa terakomodasi. Jadi tidak perlu sampai SKLN dan itu belum waktunya,” tegas Todung.

Pengamat hukum tata negara Refli Harun SH, menyatakan optimismenya upaya uji materi UU MD3 ke MK akan menuai hasil yang positif. ”Melihat substansi UU MD3 yang tidak sesuai dengan Pasal 22D UUD ’45, kita yakin DPD akan menang,” kata dia. Refli mengatakan kemungkinan besar yang akan maju sebagai pemohon uji materi adalah beberapa anggota DPD. Tapi dia berharap elemen-elemen masyarakat yang selama ini mendukung penguatan DPD juga akan ikut mengajukan hal yang sama.



Untuk diketahui, DPD resmi mendaftarkan gugatan uji materi 12 pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan 11 pasal dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke MK. Pengajuan uji materi itu dilayangkan oleh 18 senator untuk mempertegas kewenangan DPD RI sebagaimana diatur dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945.

Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, langkah DPD mengajukan judicial review tidak serta merta dilakukan. Hal ini telah dipikirkan dua tahun sejak DPD dibentuk di tahun 2004, dan merupakan keinginan DPD melakukan perbaikan sistem ketatanegaraan, dalam hubungannya peran DPD mewadahi aspirasi baik yang ada di parpol maupun dari nonparpol.

”Selama 8 tahun DPD berdiri, pelaksanaan konstitusi belum berjalan sebagaimana mestinya. Banyak cara yang telah kami tempuh antara DPD dan DPR. Memang ada perbaikan dalam mekanisme hubungan kerja seperti yang sudah saya lihat sekarang, tapi ada hal-hal yang barangkali DPR tidak tahu bagaimana mencari jawabannya,” ujar dia di lobi ruang kerja pimpinan DPD lantai 8, Gedung Nusantara III DPR, Senayan, Jakarta.

Irman juga berharap judicial review UU MD3 akan dikabulkan MK, sehingga kualitas dan manfaatnya dirasakan masyarakat dan daerah. Dengan kewenangan yang kuat, tutur Irman, maka DPD bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat secara optimal.

”Untuk itu, kami ingin mendorong supaya produk legislasi ini baik dari segi kualitas dan kuantitas, dengan kehadiran DPD. Insya Allah dikabulkan, tergantung bagaimana lawyer kami menghadapi sidang tersebut. Kita harapkan nanti bisa untuk bangsa Indonesia,” pungkasnya.

DPD Harapkan Kesetaraan Dalam Proses Legislasi


Jakarta, Logisnews.com – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menjalani sidang judicial review UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU Pembentukan Peraturan dan Perundang-undangan (P3). Dengan agenda presentasi dari DPD dan keterangan dari Pemerintah DPR serta MPR terkait UU MD3 dan UU P3.

Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Intsiawati Ayus mengatakan, DPD RI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan mendapat hak legislasi yang sama dengan DPR. Pasalnya saat ini DPD di sejajarkan dengan Fraksi.

Sehingga jika ada laporan, maka DPD harus melaporkan ke fraksi, bukan ke DPR. Dengan sistem yang ada, banyak kepentingan daerah yang tidak terakomodir. Pasalnya aspirasi mereka tidak langsung sampai ke DPR.

Untuk itu, akan berbeda halnya jika DPD bisa duduk bersama DPR dan MPR dalam proses legeslasi. “Kami hanya ingin agar dalam proses legeslasi diikutsertakan, sehingga aspirasi dari daerah bisa sampai ke pusat,” ujarnya di Jakarta.

Sementara itu, Pengacara Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Todung Mulya Lubis mengaku optimis MK akan mendengar aspirasi dari DPD. Sebab menurutnya sudah seharusnya DPD bisa duduk bersama dalam proses legeslasi, karena dengan demikian ada kesinambungan antara pusat dan daerah.

Dirinya menjelaskan, tujuan pembentukan DPD adalah memperkuat representasi daerah. Selain juga untuk menjalankan fungsi menguatkan chek and balance. Sedang kedua undang-undang ini berpotensi menghilangkan kewenangan DPD.

“Saya kira MK dapat melihat kekeliruan tafsir konstitusional, pada UU MD3 dan UU P3 sehingga MK akan bisa menyetujui pelurusan kembali tafsir,” ungkapnya

Lebih lanjut Todung mengaku sudah menyiapkan tim ahli yang telah melakukan komparasi terhadadap beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Colombia.[]Rakhman

MK Gelar Sidang Pleno Judicial Review Pasal 22D Ayat 1 dan Ayat 2 yang Diajukan DPD

varianews
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK)besok, Selasa, 23 Oktober, akan menggelar sidang pleno perdana Judicial Review

Pasal 22D ayat 1 dan ayat 2 UUD 45 terkait dengan UU MD3 dan UU P3 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut pengacara DPD Todung Mulya Lubis, sidang pleno ini digelar perdana setelah MK menggelar sidang pendahuluan." Jadi semua panel hakim MK 9 orang itu akan hadir. Dan akan ada presentasi dari Ketua DPD dan akan ada tanggapan dari pemerintah, MPR dan DPR,"kata Todung yang ditemui di Hotel Four Season, Senin, 22 Oktober.

Jelas Todung, Mengenai subtansi judicial review yang diajukan yang bahwa DPD menuntut pemulihan hak konstitusional DPD untuk ikut mengajukan rancangan UU dan ikut membahas semua rancangan UU sampai tercapai persetujuan UU, khususnya yang menyangkut kewenangan-kewenangan DPD dalam pasal 22D ayat 1 dan ayat 2.

Hal hal yang menyangkut otonomi daerah, hal hal perimbangan keuangan pusat dan daerah, hal hal yang menyangkut pengelolan sumber daya alam dan lain-lain, adalah kewenangan kontitusional yang tidak bisa dinegasikan oleh DPR. "Tapi kitakan melihat ada penegasian yang terjadi ketika hak dan kewenangan DPD itu dibonsai dipangkas. Padahal Kalau kita melihat tujua terbentuknya DPD untuk memperkuat representasi daerah, selain itu memperkuat chek and balance. Nah tujuan tujuan ini tergeneasikan oleh UU MD3 dan UU P3,"tutur Todung lagi.

UU MD3 itu yang mengatur MPR, DPR, DPRD dan DPD. Sedangkan UU P3, adalah Peraturan Pembuatan Perundang-undangan

Kedua UU ini, menurut Todung, menghilangkankan hak dan tidak logis. DPD tidak membahas UU yang dia usulkan. "Jadi logika konstitusional dinegasikan, tidak jalan," katanya.

Todung optimis MK bisa melihat kekliruan tafsir konstusional pada UU MD 3 dan UU P3 sehingga MK menurut hemat dia akan bisa menyetujuii pelurusan kembali tafsir pasal 22D ayat dan ayat 1 dan ayat 2 itu.

Sementara itu Intsiawati Ayus, SH, MH, anggota DPD RI asal Riau, Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 mengatakan bahwa judicial review atau uji materi ini bukan sengketa lembaga kewenangan. Tapi untuk meletakkan DPD pada porsinya."Kami ingin ruang proses legislasi itu seimbang dengan DPR,"kata Intsiawati.

DPD RI Harapkan Kesetaraan Dalam Proses Legislasi


Fahmi Firdaus - okezonenews
JAKARTA - Permohonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tentang Pengujian UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Peraturan dan Perundang-undangan (P3) di Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki agenda presentasi dari DPD dan keterangan dari Pemerintah DPR serta MPR terkait UU MD3 dan UU P3.

"DPD RI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan mendapat hak legislasi yang sama dengan DPR," kata Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3, Intsiawati Ayus dalam keteranganya di Jakarta, Senin (22/10/2012).

Dia mengatakan, DPD juga dapat di sejajarkan dengan fraksi, sehingga jika ada laporan, maka DPD harus melaporkan ke fraksi, bukan ke DPR.

"Dengan sistem seperti ini banyak kepentingan dari daerah yang tidak terakomodir. Karena aspirasi mereka tidak langsung sampai ke DPR," katanya.

Menurutnya akan berbeda jika DPD bisa duduk bersama DPR dan MPR dalam proses legislasi.

 "Kami hanya ingin agar dalam proses legislasi diikut sertakan, sehingga aspirasi dari daerah bisa sampai ke Pusat," tutupnya.(hol)

DPD masuki sidang judicial review

Ridwansyah - Koran Sindo
Sindonews.com - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menjalani sidang judicial review UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU Pembentukan Peraturan dan Perundang-undangan (P3). Dengan agenda presentasi dari DPD dan keterangan dari Pemerintah DPR serta MPR terkait UU MD3 dan UU P3.

Sekretaris Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Intsiawati Ayus mengatakan, DPD RI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan mendapat hak legislasi yang sama dengan DPR. Pasalnya saat ini DPD di sejajarkan dengan Fraksi.

Sehingga jika ada laporan, maka DPD harus melaporkan ke fraksi, bukan ke DPR. Dengan sistem yang ada, banyak kepentingan daerah yang tidak terakomodir. Pasalnya aspirasi mereka tidak langsung sampai ke DPR.

Untuk itu, akan berbeda halnya jika DPD bisa duduk bersama DPR dan MPR dalam proses legeslasi. "Kami hanya ingin agar dalam proses legeslasi diikut sertakan, sehingga aspirasi dari daerah bisa sampai ke pusat," ujarnya di Jakarta, Senin (22/10/2012).

Sementara itu, Pengacara Tim Litigasi Judicial Review UU MD3 dan UU P3 Todung Mulya Lubis mengaku optimis MK akan mendengar aspirasi dari DPD. Sebab menurutnya sudah seharusnya DPD bisa duduk bersama dalam proses legeslasi, karena dengan demikian ada kesinambungan antara pusat dan daerah.

Dirinya menjelaskan, tujuan pembentukan DPD adalah memperkuat representasi daerah. Selain juga untuk menjalankan fungsi menguatkan chek and balance. Sedang kedua undang-undang ini berpotensi menghilangkan kewenangan DPD.

"Saya kira MK dapat melihat kekeliruan tafsir konstitusional, pada UU MD3 dan UU P3 sehingga MK akan bisa menyetujui pelurusan kembali tafsir," ungkapnya.  (san)

Intsiawati: Disnaker Jangan Terkesan Condong ke Pengusaha

PEKANBARU, GORIAU.COM - Aksi demo buruh di Disnaker Riau, Rabu (3/10/2012) juga dihadiri anggota DPD RI Intsiawati Ayus. Intsiawati hadir saat perwakilan buruh baru 15 menit diterima oleh Kadisnakertransduk Riau Nazaruddin. Sebelum Instiawati hadir dialog antara Disnakertransduk dan buruh mengalami jalan buntu, karena Disnakretransduk tetap tak bersedia mengirim pernyataan buruh ke Menteri.

Usai pertemuan Intsiawati Ayus kepada wartawan mengatakan, seharusnya ada etikad baik dari instansi pemerintah menangani permasalahanya buruh dan pengusaha secara profesional agar terjalinnya hubungan yang harmonis dan kondusif di Provinsi Riau.

''Saya melihat instansi pemerintah (Disnaker) menangani permasalahan buruh dan pengusaha tidak profesional sehingga wajar jika ada aksi buruh yang menuntut keadilan. Instansi terkait hendaknya dapat memahami tugas dan fungsi, berada di tengah-tengah antara buruh dan pengusaha bukan condong ke pengusaha'' tegasnya seusai ikut pertemuan membahas tuntutan outsourching di aula Kantor Disnakertransduk Riau.

Jika Disnaker arif dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan buruh, tambahnya, maka tidak akan terjadi aksi demo buruh yang menuntut haknya. Tapi saat inikan sambungnya, keberadaan Disnaker ini sudah mendapat kecaman image yang keberpihakan kepada para dunia usaha.

''Seharusnya, sebagai lembaga yang menaungi dua elemen ini hendaknya bersikap dan berbuat tidak berat sebelah. Sebab, saat ini sudah ada saya dengar image dari kalangan buruh. Bahwa keberadaan Disnaker itu lebih berpihak pada dunia usaha, dan buruh dijadikan korban,'' katanya.

Buktinya ujar Inisiawati Ayus, minimnya kontrol yang dilakukan oleh Disnaker terhadap perusahaan-perusahaan dalam menerapkan upah. Ini salah satu keteledoran dari Disnaker. Sehingga tidak jarang hal ini berakibat buruh tetap menderita dan kemiskinan.

''Pengawasan yang dilakukan Disnaker sebagai instansi terkait ini masih sangat minim. Terutama dalam pantauan upah. Kendati sudah ada penetapan, tetapi yang di lapangan itu perusahaan dengan seenaknya saja menerapkan upah. Maka buruh tetap tertindas,'' katanya. (rdc)

Intsiawati: Disnaker Jangan Terkesan Condong ke Pengusaha

PEKANBARU, GORIAU.COM - Aksi demo buruh di Disnaker Riau, Rabu (3/10/2012) juga dihadiri anggota DPD RI Intsiawati Ayus. Intsiawati hadir saat perwakilan buruh baru 15 menit diterima oleh Kadisnakertransduk Riau Nazaruddin. Sebelum Instiawati hadir dialog antara Disnakertransduk dan buruh mengalami jalan buntu, karena Disnakretransduk tetap tak bersedia mengirim pernyataan buruh ke Menteri.

Usai pertemuan Intsiawati Ayus kepada wartawan mengatakan, seharusnya ada etikad baik dari instansi pemerintah menangani permasalahanya buruh dan pengusaha secara profesional agar terjalinnya hubungan yang harmonis dan kondusif di Provinsi Riau.

''Saya melihat instansi pemerintah (Disnaker) menangani permasalahan buruh dan pengusaha tidak profesional sehingga wajar jika ada aksi buruh yang menuntut keadilan. Instansi terkait hendaknya dapat memahami tugas dan fungsi, berada di tengah-tengah antara buruh dan pengusaha bukan condong ke pengusaha'' tegasnya seusai ikut pertemuan membahas tuntutan outsourching di aula Kantor Disnakertransduk Riau.

Jika Disnaker arif dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan buruh, tambahnya, maka tidak akan terjadi aksi demo buruh yang menuntut haknya. Tapi saat inikan sambungnya, keberadaan Disnaker ini sudah mendapat kecaman image yang keberpihakan kepada para dunia usaha.

''Seharusnya, sebagai lembaga yang menaungi dua elemen ini hendaknya bersikap dan berbuat tidak berat sebelah. Sebab, saat ini sudah ada saya dengar image dari kalangan buruh. Bahwa keberadaan Disnaker itu lebih berpihak pada dunia usaha, dan buruh dijadikan korban,'' katanya.

Buktinya ujar Inisiawati Ayus, minimnya kontrol yang dilakukan oleh Disnaker terhadap perusahaan-perusahaan dalam menerapkan upah. Ini salah satu keteledoran dari Disnaker. Sehingga tidak jarang hal ini berakibat buruh tetap menderita dan kemiskinan.

''Pengawasan yang dilakukan Disnaker sebagai instansi terkait ini masih sangat minim. Terutama dalam pantauan upah. Kendati sudah ada penetapan, tetapi yang di lapangan itu perusahaan dengan seenaknya saja menerapkan upah. Maka buruh tetap tertindas,'' katanya. (rdc)

Intsiawati Ayus: Kami Ingin MK Beri Tafsir Jelas Fungsi Legislasi DPD


Politikindonesia - Masih ada yang kurang pas, terkait peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terbentuk pasca reformasi. Lembaga ini dinilai belum banyak berperan membantu pembentukan undang-undang. Padahal, meski terbatas pada UU yang berkaitan dengan daerah, DPD juga memiliki fungsi legislasi. Akan tetapi fungsi tersebut belum dijabarkan dalam mekanisme yang lebih rinci tentang bagaimana pembahasan legislasi antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD.

Kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Tim Litigasi DPD, Intsiawati Ayus, belum adanya mekanisme tentang fungsi legislasi DPD tersebut menjadi satu sumber kelemahan. Itulah salah satu alasan DPD mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK), September lalu. Uji materi ini, ujar dia, merupakan upaya mengembalikan posisi dan peran DPD seperti yang seharusnya sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 22d.

Ada 2 Undang-Undang (UU) yang diujikan DPD ke MK. Kedua UU tersebut, yaitu UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

“Kami sudah menempatkan diri secara santun. Jika ada kesalahan konstitusi di negara ini, hanya MK wadahnya. Jadi kami ingin meminta MK untuk memberikan penafsiran terkait kewenangan DPD dalam menyusun UU,” ujarnya kepada politikindonesia.com, usai perayaan Sewindu DPD di Gedung DPD, Jakarta, Senin (01/10).

Kata Intsiawati, dalam UUD 1945 dengan tegas telah menyatakan setiap Rancangan UU yang berkaitan dengan kewenangan daerah harus dikomunikasikan dengan DPD. RUU yang wajib melibatkan DPD ini berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

“Dalam UUD sudah jelas, bahwa DPD pada bidang tertentu dapat dan ikut membahas UU. Namun, kata "dapat dan ikut" yang ada dalam UUD 1945 itu tidak dapat terealisasikan dengan baik. Artinya, teori yang ada dalam UUD 1945 tidak bisa dipraktekan di dalam kedua UU itu," kata perempuan yang juga Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR ini.

Kepada Elva Setyaningrum, Sekjen Tim Legislasi DPD ini menjelaskan alasan lembaganya mengajukan uji materi ke MK. Ia juga memaparkan adanya pro dan kontra tentang pengajuan itu dan harapan DPD ke depannya. Berikut hasil wawancaranya.

Apa alasan DPD mengajukan uji materi untuk kedua UU tersebut ke MK?

Uji materi yang diajukan DPD tersebut tidak dimaksudkan untuk menambah kewenangan DPD. Kami hanya ingin MK mengeluarkan tafsir yang tepat untuk mengembalikan fungsi DPD, terkait fungsi legislasi yang dimiliki lembaga ini. Setidaknya, kami diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan pandangan dan diajak berdialog untuk memberikan masukan-masukan ide saat ingin melahirkan UU. Sehingga kami bisa bertanggung jawab kepada masyarakat kami di daerah.

Bisa lebih detil, kewenangan DPD yang mana, yang saat ini tidak berfungsi baik?

Salah satu kewenangan DPD dalam UU MD3, ada pada Pasal 102 ayat (1) yang menyatakan RUU yang disiapkan DPD harus tetap melalui pertimbangan dan harmonisasi dari Badan Legislasi. Padahal Badan Legislasi merupakan salah satu alat kelengkapan DPR. Ketentuan ini jelas menurunkan derajat DPD.

Pasal lain yang juga dinilai mengkerdilkan kewenangan DPD yakni Pasal 147 ayat (3) dan (4). Ayat ini menyebutkan, setelah RUU usul DPD disepakati oleh Paripurna maka RUU itu akan menjadi RUU usul DPR. DPR pun akan menugaskan penyempurnaan RUU kepada komisi, gabungan komisi, badan legislasi dan panitia khusus.

Kami berpendapat, pasal-pasal ini telah melanggar UUD 1945 Pasal 22d ayat (1) yang secara tegas menyatakan DPD memiliki kewenangan mengajukan RUU kepada DPR. Dalam UUD 1945 dengan tegas telah menyatakan setiap RUU yang berkaitan dengan kewenangan daerah harus dikomunikasikan dengan DPD.

Jadi selama ini DPD tidak pernah dilibatkan dalam merancang UU?

Saya tidak bilang, tidak pernah. Pernah, yakni saat pembahasan UU Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya anggap itu sebagai sebuah hadiah atau mujizat yang luar biasa. Boeh dibilang ini sebagai hadiah ruang.

Saat penetapan UU Daerah Istimewa Yogyakarta, DPD bisa bekerja sesuai dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 22d. Kami terlibat pada saat pembahasan UU itu.

Sejatinya, DPD mempunyai hak yang sama dengan DPR dalam hal legislasi, namun dalam kenyataannya, justru jarang pernah dilibatkan dalam penyusunan hingga pengesahan RUU.

Sampai sejauh mana proses uji materi yang diajukan ke MK itu?

Saat ini, uji materi tersebut masuk dalam tahap penyempurnaan permohonan. Karena saat kami mengajukan, ada catatan dari MK bagi kami untuk menyempurnakan permohonan itu. Intinya, kami minta diluruskan lagi pada konstitusi yang benar dari kedua UU tersebut.

Anda yakin, putusan MK nantinya bisa memenuhi keinginan DPD?

Kami percaya dan yakin, kalau MK akan memutuskan sesuai dengan permintaan DPD. Alasannya, karena permintaan DPD itu memang sudah seharusnya. Kami hanya memberikan beban kepada MK untuk menguji materi terhadap kedua UU tersebut. Apakah sudah sesuai atau tidak dengan semangat UUD 1945. Kami mempersilahkan MK memberikan interpretasi yang benar terhadap konstitusi.

Apakah langkah uji materi ini menimbulkan pro dan kontra?

Saya rasa, sikap pro dan kotra itu biasa. Setiap kita ingin melakukan sesuatu, pro dan kontra pasti akan muncul. Bukan hanya anggota DPR yang bersikap kontra terhadap pengajuan uji materi ini, bahkan anggota DPD pun ada juga yang bersikap demikian. Bagi saya, mereka yang bersikap kontra itu karena mereka tidak membaca secara utuh permohonan uji materi yang kami ajukan ke MK. Kami bukan ingin menanmbah kewenangan, tapi hanya ingin MK mendudukkan fungsi legislasi DPD pada tafsir yang sebenarnya.

Apa harapan ada terkait peran dan fungsi DPD ke depan?

Kami ingin bagi-bagi tugas dengan DPR. Bagi-bagi tugas di sini, jangan disalah artikan dengan meminta kewenangan DPR. Kami tidak akan meminta kewenangan DPR, tapi kami hanya ingin pembagian tugas yang adil dan bijaksana antara DPD dan DPR seperti yang diamanatkan pada UUD 1945.

Sebab selama Republik ini berjalan, beban legislatif di DPR tidak terpenuhi. Misalnya, dari 70 prolegnas ((Program Legislasi Nasional) yang disusun, yang selesai hanya 11 buah. Ke-11 hasil Prolegnas itu pun bermuara ke MK untuk dilakukan judicial review. Oleh karena itu, kami ingin bagi-bagi tugas dengan DPR agar cita-cita negara ini bisa tercapai. (eva/zel/kap)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.