Kejayaan dan Keistimewaan Melayu

DAHULU Melayu dikenal sebagai sebuah peradaban yang agung dan bangsa yang hebat. Pengaruh kekuasaannya yang luas dan hubungannya dengan berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Singasari, Sriwijaya dan Majapahit sampai abad ke-7 telah dicatat oleh I-tsing, sang pengembara dari Cina.
Tertarik? Teruskan di sini..

DPD: Instrumen Demokrasi Indonesia Baru

Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan dengan dibentuknya institusi baru dalam struktur politik Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan ini merupakan konsekuensi dari proses reformasi politik di Indonesia yang kemudian diwujudkan dalam perubahan UUD 1945 (konstitusi) pada Bab VII A Amandemen III UUD 1945. Dengan adanya amandemen konstitusi ini maka keanggotaan MPR kini terdiri dari DPR sebagai wakil partai politik dan DPD sebagai wakil masyarakat lokal (daerah). Lebih lanjut di sini..

Kejayaan dan Keistimewaan Melayu


DAHULU Melayu dikenal sebagai sebuah peradaban yang agung dan bangsa yang hebat. Pengaruh kekuasaannya yang luas dan hubungannya dengan berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Singasari, Sriwijaya dan Majapahit sampai abad ke-7 telah dicatat oleh I-tsing, sang pengembara dari Cina.

Menurut sejumlah pakar sejarah, istilah Melayu sudah muncul sejak lama. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan keagungan dan kegemilangan sebuah kerajaan-bangsa. Dalam kitab Sejarah Melayu, Sulalatus-Salatin, istilah Melayu adalah nama yang diberikan pada keturunan Sultan Malaka, yang berdasarkan mitologi, merupakan keturunan Iskandar Zulkarnain.

Menurut catatan sejarah, Raja Melayu pertama turun dari Bukit Siguntang, Palembang yang kemudian berkembang hingga terbentuk Kerajaan Malaka oleh Parameswara. Dengan berkembangnya Islam di kerajaan Malaka maka makin kokohlah kemuliaan serta kejayaan Melayu. Peristiwa peng-Islam-an Raja Malaka yang diawali dengan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW secara tersirat menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tinggi martabatnya. Bangsa yang terangkat kemulian lantaran dimahkotai oleh agama Islam. Kesultanan Melayu Malaka mencapai puncak kejayaannya tatkala diperintah Sultan Muzafar Shah dan Sultan Alaudin Riayat Shah yang arif dan bijak. Di bawah pemerintahan mereka, Kesultanan Melayu memperluas kekuasaannya, termasuk menjalin perdagangan antar bangsa hingga Kepulauan Ryukyu, Jepang.

Laksamana Hang Tuah dan lima sahabatnya, serta Bendahara Tun Perak, merupakan tokoh-tokoh Melayu yang terkenal pada saat itu. Dengan kekuatan perdagangan,pengaruh politik, dan Islam, Kerajaan Cina tertarik menjalin hubungan diplomasi dan perdagangan dengan kesultanan Melayu. Hubungan itu makin dikukuhkan dengan perkawinan puteri Cina, Hang Li Po, dengan Sultan Muzafar Shah. Dasar inilah yang menjadi titik permulaan Kesultanan Melayu menjalin hubungan dengan Cina.

Tak sampai di situ saja, peradaban Melayu semakin gemilang manakala bahasa Melayu menjadi lingua-franca yang dituturkan sebagai bahasa perdagangan dunia. Para pedagang Cina dan India, misalnya, menjadikan bahasa Melayu menjadi medium penuturan yang digunakan tidak saja di Malaka tapi hingga seluruh Nusantara. Sampai saat ini bahasa Melayu sudah menjadi bahasa keempat dunia yang dituturkan lebih kurang 250 juta orang.

Inilah cerminan dari sebuah bangsa yang kuat dan berpengaruh. Di samping itu, bahasa Melayu yang dinamis adalah kelebihan bahasa ini dalam menyerap berbagai pengaruh dan penerapan frase ilmu pengetahuan dari sejak zaman Hindu-Buddha sampai setelah kedatangan Islam, dan semua ini menegaskan kemauan orang Melayu untuk berubah menjadi bangsa yang lebih baik kedudukannya. Sejarah lalu juga telah menunjukkan bagaimana kehebatan bangsa Melayu bukan hanya terletak pada kejayaan material semata-mata, tetapi juga pada sendi budaya dan adat yang bernafaskan Islam. Inilah yang memikat kekuatan kekuasaan asing untuk memperebutkan bumi bertuah.

Jika sampai pada pembahasan sastra Melayu, sampailah kita pada Riau. Hingga saat ini sastra Melayu-Riau telah memoles warnanya yang amat mencolok dalam khazanah sastra Indonesia. Dalam sebuah wawancara di Pekanbaru pada tahun 1999, manakala sejumlah daerah sedang menuntut kemerdekaan dan mempersoalkan otonomi, seorang penyair terkenal Sutardji Colzum Bachri menyatakan bahwa hal yang sangat konkret bagi Riau adalah ‘negara kata-kata’. Menurutnya eksistensi orang Riau adalah katakata. Kosmologi mereka adalah kata, demikian tegas Sutardji. Apa maksudnya? Sutardji mengungkapkan sebuah pernyataan ringkas, “Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa.

Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra. Beranjak dari kenyataan itu, sastra Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan-percobaan dan eksperimentasi.” Raja Ali Haji, tokoh sastrawan dan intelektual Riau memang telah menorehkan bukti sejarah konkrit tentang kontribusi masyarakat Melayu- Riau bukan saja sastra Indonesia tapi juga dunia intelektual. Tengok saja karya-karyanya, mulai dari 'Hikayat Abdul Muluk' (1846), 'Gurindam Dua Belas' (1847), 'Muqaddimah fi Intizam' (1857), 'Kitab Pengetahuan Bahasa' (1869) dan 'Silsilah Melayu dan Bugis' (1865), sampai karyanya yang monumental 'Tuhfat an-Nafis' (1866).

Semua ini menggambarkan tentang Melayu yang begitu intelek yang didukung oleh penyebaran Islam dan dukung pemerintah terhadap pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Sungguh tak heran jika istana kemudian dijadikan sebagai pusat pengajian ilmu dan tempat para ulama berkumpul. Banyak masjid dan sekolah pondok serta madrasah didirikan dengan maksud untuk membina keunggulan bangsa Melayu, dan semua rakyat berpeluang menerima ilmu yang dapat memajukan mereka.

Kemunculan kaum intelektual, cendekiawan, serta ulama yang termasyhur dengan berbagai karyanya di bidang pengetahuan, agama, dan filsafat menjadi ukuran bahwa bangsa ini sebenarnya adalah bangsa yang mementingkan ilmu pengetahuan. Tradisi Melayu ini diwarisi juga oleh Aceh dan Johor yang mengembangkan ilmu dan pengetahuan.Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Mekah karena menjadi pusat pengkajian agama seperti di Malaka. Pusat pengkajian agama ini kemudian melahirkan ulama-ulama seperti Abdul Rauf Singkel dan Samsudin Al-Sumatrani. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda mereka melanjutkan institusi Baiturahman sehingga banyak melahirkan pemikir Melayu.

Keistimewaan Melayu juga didukung oleh warisan budaya dan adatnya yang kaya, mulai dari syair, pantun, sepak raga, congkak hingga tarian-tarian yang memiliki cita rasa estetis tinggi. Pewarisan ini juga menjadi semacam pesan pada generasi kini bahwa di dalam kesenian itu juga sebenarnya ada unsur nasehat yang menjadi pedoman untuk menjadi bangsa yang hebat. Begitu juga dengan perilaku orang Melayu, semuanya penuh dengan simbol ketinggian pekerti, melalui budi bahasa dan sopan santunnya. Melayu dikenal sebagai bangsa berbudi yang suka menabur budi kepada orang lain. Jiwa gotong-royong dan rasa kekeluargaan apalagi tatkala melihat tetangga dan saudara seagama, mereka bagaikan satu keluarga. Begitu pula dengan sifat hormat-menghormati dan kasih sayang yang diungkapkan dalam pantun, syair dan madah gurindam warisan nenek moyang yang selaras dengan tuntunan Islam itu, bagai kata pepatah, “Yang tua dihormati dan yang muda dikasihi”. Nilai-nilai inilah yang meletakkan Melayu sebagai bangsa besar dimana kebesaran ini telah membedakannya dengan peradaban lain di dunia. Oleh sebab itulah kita perlu membangun setelah jatuh, karena kita percaya untuk menjadi bangsa yang unggul tidak pernah ada titik akhirnya…

Rumpun Melayu Bersatu: Laskar Hulubalang Melayu


Organisasi Rumpun Melayu Bersatu (RMB) digagas pada 17 Juli 2000 dan didirikan dengan Akte No. 95 tanggal 31 Juli 2000 sebagai perkembangan dari Kongres Rakyat Riau II yang melahirkan Opsi Riau Merdeka dan Tabrani Rab sebagai Presiden Riau Merdeka.

Sebagai suatu reaksi spontan atas perlunya kehadiran seorang Panglima Riau Merdeka, ditunjuklah H.Asman Yunus, SH. H. Asman Yunus, SH terinspirasi suatu pemikiran bahwa seorang panglima tentunya harus memiliki pasukan, maka lahirlah Laskar Hulubalang Melayu Riau pada 2 Mei 2001 di Pantai Raja. Nama Hulubalang sebenarnya dicetuskan oleh Dr. Yusmar Yusuf, yang diaminkan Mujtahid Thalib.

Meski nama organisasi yang dipilih adalah Laskar Hulubalang, bukan berarti organisasi ini merupakan pasukan yang disiapkan untuk bertempur ke medan perjuangan. Filosofi yang dikembangkan adalah bahwa Laskar Hulubalang merupakan pengawal negeri dan pendukung kebijakan pemerintah yang sesuai dengan tata aturan pemerintahan dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta sesuai dengan adat-budaya Melayu.

Laskar Hulubalang adalah pengawal, yang dikawal adalah raja. Karena statuta dan sistem kerajaan sudah tiada di Bumi Nusantara, maka dianalogikan bahwa yang patut dianggap raja oleh Laskar Hulubalang adalah Kepala Pemerintahan setempat. Untuk RMB yang berada pada tingkat Dewan Pimpinan Pusat berkedudukan di Riau, maka bagindanya adalah Gubernur Riau. Sedang untuk Pimpinan Wilayah yang berkedudukan di kabupaten dan kota, maka bagindanya adalah bupati atau walikota. Sedangkan untuk Laskar Hulubalang pada tingkat Pimpinan Daerah (kecamatan) bagindanya adalah camat setempat.

Dalam perkembangannya RMB selain menghimpun Laskar Hulubalang Melayu Riau, juga lahir Laskar Melayu Bersatu Kabupaten Siak yang berpusat di Kota Perawang, Laskar Laksmana Melayu Riau Kota Dumai (yang kemudian melebur dan merubah nama menjadi RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau Kota Dumai). Laskar Hulubalang Melayu Riau sampai saat ini telah ada di berbagai kabupaten dan kota di seluruh Provinsi Riau, RMB Provinsi Kepulauan Riau (Batam, Karimun, Kepri dan Natuna) yang meski terpisah secara tata struktur pemerintahan dan geografis, masih menyatakan bergabung bersama RMB Riau.

RMB selain memiliki Laskar Hulubalang Melayu Riau, juga memiliki sayap-sayap, antara lain:

a. Koperasi Rumpun Melayu Bersatu (KOPEREMBE) yang berpusat di Pekanbaru, dan dikembangkan pada tiap-tiap kabupaten dan kota serta kecamatan di mana Laskar Hulubalang Melayu Riau telah terbentuk.

b. Surat kabar mingguan “Suara Hulubalang” yang telah terbit sejak 8 Maret 2003.
Sanggar seni dan budaya Rumpun Melayu Bersatu yang terbentuk pada tanggal 20 Febuari 2003.

c. Lembaga Dakwah Rumpun Melayu Bersatu yang telah diresmikan pada tanggal 11 Febuari 2003.

d. Laskar Mahasiswa Melayu Riau yang berkedudukan di Pekanbaru dan telah tersebar di Universitas Lancang Kuning, Universitas Riau, Universitas Islam Riau dan Universitas Islam Negeri Riau.

Sampai saat ini RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau telah memiliki sebanyak 15 Dewan Pimpinan Wilayah (kabupaten/kota), yaitu: DPW Kota Pekanbaru, DPW Kab.Bengkalis, DPW Kab. Siak, DPW Kab. Pelalawan, DPW Kab. Dumai, DPW Kab. Rokan Hilir, DPW Kab.Kampar, DPW Kab. Kuansing, DPW Khusus Kota Siak, DPW Kota Duri, DPW Kab. Indragiri Hulu, DPW Kab.Indragiri Hilir, DPW Kab. Kepulauan Riau, DPW Kab. Tanjung Pinang dan DPW Kab. Natuna.

Untuk tingkat kecamatan RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau memiliki sebanyak 61 Dewan Pimpinan Daerah, dan pada tingkat desa sebanyak 139 Dewan Pimpinan Cabang. Adapun sebutan untuk DPP Rumpun Melayu Bersatu adalah Datuk Baginda yang saat ini dipegang oleh H. Asman Yunus, SH, kemudian Datuk Panglima untuk tingkat Propinsi. Sebutan untuk DPW RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau pada tingkat kabupaten/kota adalah Panglima Wilayah, untuk DPD adalah Temenggung, dan untuk DPC adalah Batin. Sampai saat ini jumlah anggota RMB Laskar Hulubalang Melayu Riau berkisar seratus tiga puluh ribu orang, yang tersebar di seluruh Riau dan Kepulauan Riau.

DPD seperti Kini Tak Dibutuhkan, Di Daerah Dianggap Superman atau Sinterklas

Jakarta, Kompas- Dewan Perwakilan Daerah seperti yang ada saat ini tidak dibutuhkan jika benar-benar ingin menciptakan sistem bikameral yang efektif. Kewenangan DPD yang terbatas tidak bisa memaksimalkan check and balance karena pengambilan keputusan tetap berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pendapat tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti dalam diskusi di Kantor DPD, Jumat (9/9). Tampil sebagai pembicara lain dalam diskusi itu adalah peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J Piliang dan anggota DPD asal Provinsi Riau Intsiawati Ayus.

Bivitri menunjukkan ironi ketika DPD yang dipilih lewat pemilu yang berbiaya mahal dan relatif lebih susah untuk terpilih, namun justru kewenangannya terbatas. Dalam pandangan ekstrem, DPD dengan kewenangan serba terbatas seperti saat ini harus dibubarkan karena justru menjauh dari posisi DPD sebagai sebuah lembaga perwakilan.

Indra Piliang menilai, dengan posisi yang seperti sekarang, memang wajar muncul pandangan untuk membubarkan saja DPD. Di luar soal kewenangan yang terbatas, DPD juga menghadapi kendala internal, seperti soal kapasitas sumber daya manusianya. DPD merupakan lembaga modern, tetapi terbentuk dan diisi dengan sumber daya manusia yang lebih tradisional dibandingkan dengan DPR. Secara obyektif, belum banyak yang dilakukan DPD.

Prestasi terbesar DPD adalah repertoar Addie MS (saat pidato Presiden di depan Sidang Paripurna DPD, 23 Agustus lalu), sindir Indra. Addie MS bersama Twilite Orchestra yang dipimpinannya diundang DPD untuk mengisi acara saat paripurna itu.

Perbaikan Internal

Indra menilai, saat ini yang lebih mendesak adalah perbaikan internal DPD, baru kemudian berjuang untuk amendemen konstitusi. Senada dengan itu, menurut Bivitri, ketika keinginan amendemen konstitusi belum bisa dipastikan, DPD mesti memaksimalkan kinerja dalam lingkup yang serba terbatas itu. Selain penguatan internal yang meliputi pembuatan prosedur dan struktur kelembagaan, DPD juga mesti menguatkan hubungan dengan lembaga lain dan konstituen. Salah satu perbaikan penting adalah komunikasi publik atas apa saja yang sudah dilakukannya. Kalau cuma main-main di dalam, ya hanya banyak klaimnya saja, kata Bivitri.

Menurut dia, sebagian orang berpandangan, wacana amendemen konstitusi mengenai kewenangan DPD justru seperti membuka kotak pandora. Masalah lain bisa dimunculkan sehingga lahir keengganan luar biasa mengenai perubahan konstitusi ini. Kalaupun sejauh ini ada anggota DPR yang setuju dengan amandemen, tetap saja sikap fraksi di DPR masih menjadi kendala besar.

Intsiawati Ayus mengakui, selama hampir setahun ini pihaknya lebih banyak memfasilitasi komunikasi masyarakat dengan pemerintah daerah. Dia merasa, di daerah mereka dianggap sebagai Superman atau Sinterklas. Namun, ketika di pusat, justru mereka tidak ada apa-apanya. (dik)

Hampir Setahun di MPR, DPD Dianggap Belum Banyak Berinovasi

Jakarta, Kapanlagi.com- Selama hampir satu tahun keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam struktur ketatanegaraan khususnya sebagai bagian dari MPR RI, ternyata lembaga tersebut masih belum banyak melakukan inovasi dalam bidang ketatanegaraan.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi "Eksistensi DPD" di Gedung DPD Jakarta, Jumat, dengan pembicara pengamat politik dari CSIS Indra J Piliang, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan anggota DPD dari daerah pemilihan Provinsi Riau, Intsiawati Ayus.

"Belum banyak inovasi-inovasi yang dilakukan," kata Indra J Piliang.

Hal itu antara lain disebabkan prinsip-prinsip ketatanegaraan dalam UUD khususnya yang mengatur tugas dan kewenangan DPD.

Menurut dia, sepatutnya anggota-anggota DPD menyusun agenda-agendanya berdasarkan janji-janji kampanyenya, misalnya soal pemekaran daerah.

Indra mengatakan, hubungan antara DPD dengan DPR perlu diperbaiki agar lebih kuat dan mampu bersinergi dengan baik. Demikian pula hubungan DPD dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Ia juga mengingatkan, munculnya lembaga DPD sebenarnya tidak terlepas dari konsekuensi penghapusan Fraksi Utusan Daerah (FUD) dalam MPR, karena selama ini peran parpol dan pemerintah terlalu besar untuk mengisi fraksi itu.

Namun kenyataannya, lanjutnya, ada keinginan kuat dari kalangan parpol untuk masuk ke lembaga DPD tersebut.

Dikatakannya, afiliasi politik yang dilakukan sejumlah anggota DPD memperlihatkan belum adanya keselarasan antara kepentingan kelembagaan dan kepentingan pribadi.

Indra juga menyinggung soal restrukturisasi kepemimpinan DPD di mana perlu adanya pembatasan masa jabatan pimpinan DPD yang bisa saja diukur berdasarkan kinerjanya.

Direktur Eksekutif PSHK Bivitri Susanti menekankan perlunya para anggota DPD untuk lebih mampu menyatukan pendapat, meskipun potensi-potensi ketidaksepahaman antaranggota DPD sangat besar.

"Contohnya soal kenaikan harga BBM, di DPD banyak para anggotanya yang beda pendapat dan terpublikasi secara `telanjang`," katanya.

Ia menyarankan agar apabila DPD ingin memberikan pertimbangan kepada DPR atau pemerintah, maka hal itu harus dipersiapkan secara matang agar bisa menjadi satu suara.

Anggota DPD Intsiawati Ayus mengaku para anggota DPD memang masih belum bisa berbuat banyak mengingat keterbatasan tugas dan kewenangan yang diatur dalam UUD.

"Akhirnya kita hanya bisa memainkan peran sebagai fasilitator yang menjembatani suara masyarakat yang ada di daerah kepada pemerintah daerah setempat," katanya yang dalam kesempatan itu juga meluncurkan buku karyanya berjudul "Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban Kinerja Satu Tahun Masa Sidang".

Ia menambahkan, DPD tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak bersinergi dengan DPR sehingga ada upaya membuat kesepakatan kerja antara DPR dengan DPD.

Dalam kesempatan itu, Intsiawati juga menceritakan sejumlah pengalamannya melakukan kunjungan ke daerah-daerah, khususnya di daerah pemilihannya, Riau.

"Mereka (masyarakat di daerah) menganggap kita ini seperti `superman` atau `sinterklas`, belum tahu dia, padahal di sini kita gak ada apa-apanya," katanya. (*/dar)

Peran DPD Belum Optimal

Jakarta, Suara Merdeka CyberNews. Setelah setahun masa persidangan, 128 anggota DPD RI merasakan fungsi, tugas, dan wewenang sesuai Pasal 22D UUD 1945 belum optimal. Hal antara lain disebabkan sistem bikameralisme hasil amandemen ketiga konstitusi bukanlah bikameralisme murni yang menjamin checks and balances.

Tidak heran, belakangan ini kerapkali bermunculan pertanyaan silih berganti menggugat keberadaan DPD. Gugatan bernama kecaman pun pernah dialamatkan kepada para anggota DPD RI dan lembaga DPD RI sendiri. Masa depan DPD RI kini menjadi taruhan.

Demikian intisari diskusi Satu Tahun Masa Sidang DPD RI: Ke mana arah hendak dituju? dan peluncuran buku "Menapak Tahun Pertama. Laporan Pertanggungjawaban Kinerja Satu Tahun Masa Sidang Intsiawati Ayus, Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Riau".

Narasumber dalam diskusi adalah Bivitri Susanti (Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) dan Indra J Piliang (peneliti Centre for Strategic and International Studies). Intsiawati yang juga Wakil Ketua Panitia Perancangan Undang-Undang DPD serta anggota Panitia Ad Hoc II DPD RI ini turut memberikan tanggapan atas peran DPD selama ini.

Intsiawati mengatakan bahwa pembuatan buku merupakan hasil bincang-bincang dengan Ketua PAH II saat itu itu, Kasmir Tri Putra. Awalnya, laporan tersebut mencoba membuat sebuah buku yang dikemas sebagai informasi, khususunya agenda yang dilakoni seorang anggota DPD. “Masalah ruang lingkup atau agenda kerja dan kegiatan di wilayah kerja. Idealnya dapat diluncurkan satu institusi DPD.”

Bivitri mengatakan jika masih tetap seperti sekarang keadannya, maka DPD memang harus dibubarkan, karena yang dibutuhkan Indonesia saat ini bukan seperti DPD sekarang. “Yang kita miliki belum merupakan bikameral atau belum bikameral yang efektif karena kata kuncinya adalah kompetisi antara dua dewan,” demikian Bivitri.

Chencks and balances selain terjadi antara dua lembaga, juga dalam parlemen itu sendiri. “Inilah yang dibangun sistem bikameral,” jelasnya. Sistem bikameral bertujuan menciptakan checks and balances untuk keseimbangan kedua lembaga. Ia memisalkan, ketidakseimbangan justru dimulai ketika pemilu di mana biaya yang mahal sekali justru terjadi untuk mengikuti pemilu DPD yang menyebabkan semua calon melarikan semua masalah ke DPR.

Dalam urusan tata negara, lanjut dia, ketidakseimbangan juga terjadi dalam hal usulan rancangan undang-undang. Karena bukan pengambil keputusan, maka sudah seperti menjadi harga mati bahwa setiap pembahasan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan pemerintah. “Harus digantikan dengan DPD yang seimbang dengan DPR,” ujar Bivitri.

Dikatakan, setelah DPD lahir lewat hasil amandemen UUD 1945, jika DPD kembali mengajukan amandemen secara politis akan susah lolos. “Sekali dibuka ia akan seperti kotak pandora, ada fraksi yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam atau federalisme. Mungkin orang per orang di DPR menyatakan setuju amandemen, tetapi fraksi belum tentu setuju.”

Ia menilai, kendala untuk mengajukan amandemen besar sekali kendati Kelompok-kelompok DPD sudah mengumpulkan tanda tangan sejak November tahun lalu. Mereka bahkan menggalang upaya sampai bekerja sama dengan daerah-daerah dengan pertimbangan memenuhi deadline usulan amandemen UUD 1945 menjelang 2007.

Sembari menunggu penjajakan amandemen, menurutnya, laporan tahunan orang per orang anggota DPD harus dilakukan untuk memperkuat posisi DPD. Laporan tahunan orang per orang akan semakin penting dan semakin lebih bagus jika dikeluarkan lembaga DPD.

“Dulu sempat ada laporang tahunan lembaga negara, tetapi sekarang tidak semua lembaga negara mengeluarkan laporan tahunan,” jelas Bivitri. “Sayang sekali DPD tidak mengeluarkan laporan tahunan. Padahal di sinilah letak perlunya penguatan DPD sementara waktu mengingat pembuatan laporan tahunan merupakan salah satu kunci penguatan.“

Penguatan DPD dengan langkah amandemen merupakan tujuan jangka panjang. Yang harus dibuktikan para anggota DPD terlebih dahulu sebelum mengajukan amandemen adalah bekerja optimal karena yang dilakukan selama ini belum berjalan efektif. “Kepemimpinan DPD menjadi kunci lain. Seharusnya kepemimpinan DPD bisa memainkan peranan ke arah mana DPD hendak dibawa,” ungkap Bivitri.

Lebih lanjut dikatakan, keberadaan DPD selama ini tidak diketahui masyarakat karena komuniksasi politik yang jarang dilakukan DPD kepada publik. Ia mencontohkan, DPD mempunyai laporan kunjungan kerja yang tebal dengan standar pelaporan yang baik, sayangnya tidak didiskusikan atau dipilah-pilah sesuai kebutuhan publik. Ini penting untuk mendukung apa pun yang mau dilakukan untuk penguatan DPD termasuk amandemen UUD 1945.

Bivitri menceritakan pengalaman ketika membicarakan amandemen dengan pimpinan komisi DPR. Pada dasarnya pimpinan tersebut menyetujui amandemen tetapi karena ia mengamati DPD belum ngapa-ngapain. “Apa pernah DPD membahas atau mengusulkan RUU? Belum pernah. Kalau sudah kok saya belum dengar.”

Seharusnya, menurut Bivitri, selama setahun ini diperjelas apa yang telah dilakukan DPD dengan memanfaatkan ruang gerak terbatas dengan memaksimalkan prosedur dan mekanisme internal sehingga banyak produk politik yang dihasilkan kemudian membawa segala hasil kerja ke ruang-ruang publik.

“Kalau pun dianggap tidak mempunyai fungsi bikameral yang sesungguhnya, satu hal yang harus diingat, secara rasional DPD bisa berperan. Peran dan fungsi ini harus diambil dengan memanfatkan serta mencoba segala bentuk komunikasi politik kepada konstituen. Ini tantangan peran yang harus dimainkan.”

Indra pun sependapat dengan Bivitri. Kalau kondisi dan situasi DPD masih sepenti sekarang maka lebih baik DPD dibubarkan saja. Mengenai buku laporan pertanggungjawaban, lanjut Indra, isi buku terutama memuat dialog Intsiawati dengan anggota masyarakat di berbagai daerah di Riau. “DPD bisa mendorong elit lokal berdialog dengan masyarakat.”

Menurut dia, DPD merupakan gagasan lama sejak tahun 1960-an seiring dengan munculnya sejumlah dari dewan-dewan di daerah sejenis Dewan Gajah yang memunculkan pemberontakan daerah agar di pusat dibentuk utusan-utusan daerah. “Jangan-jangan kita yang ketinggalan zaman, pikiran itu sudah muncul sejak 60-an. Tuntutan mereka adalah otonomi daerah dan pembentukan senat di tingkat pusat. Ide ini tidak mengemuka karena secara politik kalah. Kalau gagasan itu terlaksana barangkali pusat tidak akan sekuat sekarang,” jelasnya.

Indra mengatakan, persoalan di dalam tubuh DPD terletak pada kapasitas para anggota yang tidak semua seragam karena berasal dari tokoh-tokoh lokal atau kerajaan-kerajaan lokal seperti Pangeran Arief Natadiningrat dari Cirebon dan Ratu Hemas dari Yogjakarta, termasuk tokoh-tokoh agama. “Mereka selama ini bekerja tinggal panggil pesuruh, semua beres. Lembaga modern yang dulu terpikirkan dalam Komisi Konstitusi ternyata diisi sumber daya manusia dengan kapasitas jauh lebih tradisional dari anggota DPR.”

Kapasitas tradisional tersebut, lanjut Indra, terlihat dari sikap ewuh pakewuh kepada mereka apalagi mereka juga elit lokal yang mantan gubernur, bupati, walikota, atau pengusaha yang merasa menjadi anggota DPD hanya sekadar stempel saja. Akibatnya, anggota DPD yang lain bergerak secara individual dengan misalnya membentuk kaukus-kaukus di DPD yang ternyata jauh lebih aktif ketimbang DPD itu sendiri. “Ada situasi individualisme yang kuat di antara anggota DPD,” urai Indra.

Selain itu, struktur internal yang ditandai dengan pembentukan dikotomi antara Indonesia wilayah timur dengan barat justru berdampak negatif. Ia mencontohkan, di tingkat pimpinan DPD, Laode Ida mewakili wilayah timur dan Irman Gusman dari wilayah barat. “Kenapa harus timur-barat, kenapa bukan utara-selatan, kenapa bukan tengah-tengah. Satu DPD terdiri dari empat kamar. Dalam banyangan saya satu ruangan dari empat provinsi berbeda. Bagaimana bisa bersinergi antarmasalah provinsi sementara yang ketemu adalah teman-teman satu provinsi itu sendiri. Bagaimana upaya DPD berhadapan dengan DPR jika di dalam sendiri dikotomi geografi semakin dikentalkan.”

Selain itu, DPD seolah telah menjadi perwakilan provinsi sehingga setiap anggota DPD merasa harus mewakili daerah masing-masing. Daerah yang dimaksud adalah wilayah provinsi tempat anggota DPD berasal. Mekanisme internal seperti ini dapat menyebabkan keterkungkungan bagi anggota DPD. Contohnya, masalah Papua hanya dibicarakan anggota DPD dari Papua, begitupun masalah Aceh hanya menjadi pembicaraan anggota DPD dari Aceh atau Kaukus-kaukus DPD yang dibentuk untuk daerah-daerah konflik.

Dengan keadaan demikian, Indra mengibaratkan DPD seperti orang dengan mulut dikunci tetapi kaki dan tangan terbuka dengan membentuk kotak-kotak sendiri. Kalau DPD bersedia melakukan perubahan maka dapat dilakukan terhadap struktur internal DPD agar setiap anggota bisa berkiprah lebih bebas. “Dari sini barulah melangkah menuju amandemen UUD 1945. Kalau tidak mempunyai pengalaman yang bisa menjadi bahan referensi, susah juga. Kita hanya mengamandemen UUD 1945 hanya berdasarkan emergensi lagi, tidak berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraaan.” (habieb sl/Cn08)

DPD: Instrumen Demokrasi Indonesia Baru

SISTEM ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan dengan dibentuknya institusi baru dalam struktur politik Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan ini merupakan konsekuensi dari proses reformasi politik di Indonesia yang kemudian diwujudkan dalam perubahan UUD 1945 (konstitusi) pada Bab VII A Amandemen III UUD 1945. Dengan adanya amandemen konstitusi ini maka keanggotaan MPR kini terdiri dari DPR sebagai wakil partai politik dan DPD sebagai wakil masyarakat lokal (daerah).

Kenapa DPD?
Dalam sistem demokrasi, parlemen adalah lembaga yang mewakili kepentingan rakyat. Parlemen memiliki kewenangan dalam menentukan setiap aturan hukum atau kebijakan pada sebuah negara. Di sejumlah negara yang wilayahnya luas serta memiliki masyarakat yang sangat majemuk, seperti Amerika Serikat, Australia, Cina, Argentina, Brazil, Jepang, dan Filipina, adanya lembaga-lembaga politik yang memperjuangkan kepentingan lokal/daerah adalah suatu prasyarat yang tak terelakkan. Oleh sebab itulah kemudian parlemennya dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu di samping representasi kepentingan nasional secara umum melalui partai politik juga ada sebuah institusi yang mewakili aspirasi masyarakat lokal secara langsung. Bentuk parlemen seperti ini populer disebut dengan istilah bikameralisme. Setiap negara yang menganut sistem bikameral tentunya mempunyai karakter dan pendekatan yang berbeda dalam hal rekruitmen keanggotaan, kewenangan, atau hak dan kewajibannya.

Dalam konteks Indonesia saat ini, kehendak untuk memperkuat sistem demokrasi melalui pembentukan lembaga politik dua kamar ini adalah sebuah keniscayaan. Sebagai sebuah bangsa yang majemuk, pluralitas politik dan budaya tentunya perlu mendapat wadah tepat. Di samping aliran politik, konstruksi perpolitikan juga harus mempertimbangkan kenyataan sosiologis-antropologis masyarakat yang hidup berdasarkan pada kebudayaannya (lokalitas) yang beragam. Keberagaman itulah yang semestinya diakomodir sebagai sebuah kekuatan bangsa. Model demokrasi yang hendak dibangun dalam masyarakat yang multietnis-multibudaya seperti di negeri kita ini, pada akhirnya memang harus mencerminkan dua hal di atas, yaitu representasi politik dan representasi kultural.

Dengan dibentuknya DPD, sejalan dengan pemberlakuan kebijakan otonomi daerah, posisi tawar daerah terhadap pemerintah pusat semakin kuat. DPD tidak hanya berfungsi sebagai representasi masyarakat lokal saja tapi juga membawa misi untuk mengapresiasikan kepentingan-kepentingan daerah. Sementara itu, peluang untuk mempererat hubungan pusat dengan daerah, termasuk dalam menjaga integrasi dan keutuhan bangsa dapat terjaga dengan baik.

Kedudukan DPD
Posisi seorang anggota DPD sebenarnya sangatlah kuat. Dalam sistem politik Amerika Serikat wakil negara bagian ini dikenal dengan istilah Senator. Dibandingkan anggota DPR yang umumnya tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dalam Pemilu, anggota DPD justru memiliki dukungan yang lebih riil dan legitimatif. Sungguh sangatlah wajar apabila konstituen menaruh harapan besar kepada para anggota DPD. Namun sayangnya, kedudukan institusi DPD dalam struktur politik nasional ternyata masih dibatasi UUD dan UU. DPD kedudukannya masih belum setara dengan DPR. Jika diamati tugas dan kewenangannya, peran para wakil daerah ini tak lebih dari sekedar lembaga pertimbangan saja. Peran DPD yang antara lain menyangkut urusan desentralisasi, keterlibatan dalam pembahasan RUU (khususnya pajak, pendidikan dan agama), APBN dan sebagian fungsi pengawasan lainnnya yang juga selanjutnya melaporkan hasilnya kepada DPR, hanya dijadikan bahan pertimbangan saja untuk ditindaklanjuti.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU), DPD tampak belum memiliki kekuasaan yang berarti. DPD memiliki wewenang memberi masukan, tetapi pengambil keputusan ada di tangan DPR yang anggotanya berasal dari partai politik. Akibatnya, dalam upaya membuat kebijakan yang berskala nasional, anggota DPD harus memiliki kemampuan yang lebih untuk menggunakan pengaruh yang dimilikinya. Wewenang DPD sebagaimana terdapat dalam konstitusi bisa mengakibatkan berlarutnya pembahasan. Di sisi lain, pola
hubungan antara DPD dengan DPR tidak dinyatakan secara eksplisit dalam konstitusi. Anehnya lagi, anggota DPD bisa diberhentikan dari jabatannya yang mana syarat-syaratnya dan tata caranya telah diatur dalam UU (22d ayat 4). Sementara, ketiadaan hak legislasi DPD bisa menyebabkan kepentingan parpol ikut mengatur dan mengintervensi susunan, kedudukan
dan pemberhentian anggota DPD.

Kelemahan hak, fungsi, tugas dan kewenangan tersebut, betul-betul tidak sebanding dengan proses yang harus dilewati oleh para calon ‘senator’ ini. Bandingkan dengan anggota DPR yang—jika dilihat dari UU No.12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota—memungkinkan adanya kekuasaan DPP untuk menentukan calon jadi legislatif. Untuk menjadi anggota DPD ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh seorang calon. Misalnya saja, dukungan suara rakyat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan atau yang berkekuatan hukum sama yang besaran dukungannya berkisar antara 1000-5000 penduduk (tergantung pada populasi penduduk per daerah pemilihan).

Jika struktur politik seperti ini masih dipertahankan, maka masa depan DPD sebagai penyeimbang DPR dalam sistem bikameral jadi agak mengkhawatirkan. Di saat kinerja DPR kurang maksimal maka bandul demokrasi pun akan bergerak ke titik yang pesimis. DPR dan DPD semestinya memiliki kewenangan, fungsi dan hak yang setara agar kelemahan DPR tersebut bisa ditutupi oleh massifnya kinerja DPD. Di samping itu, model demokrasi yang kita anut sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih luas serta penghargaan yang tinggi pada kepentingan dan partisipasi masyarakat lokal. Karena prinsip inilah mestinya yang melatari semangat untuk membangun demokrasi dalam konteks masyarakat majemuk. Sebuah upaya untuk memberikan ruang artikulasi dan partisipasi politik yang lebih besar pada masyarakat lokal untuk membangun dirinya.

Kehadiran DPD dalam konteks lain adalah sebuah jawaban atas persoalan tentang minimnya kontrol politik masyarakat yang dulu hanya dilakukan oleh DPR. Saat ini institusi DPD diharapkan bisa menjadi alternatif baru yang mampu membawa perubahan politik secara nasional. Oleh sebab itulah maka penguatan DPD perlu mendapat dukungan dari berbagai kelompok strategis seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi lokal, institusi pendidikan, dan sebagainya. Dengan demikian, masa depan demokrasi di Indonesia lebih menjanjikan.

(Sumber: "Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggunjawaban intsiawati Ayus, Anggota DPD-Ri Daerah Pemilihan Riau," Proklamasi Publishing House, Jakarta: 2005)

Lahirnya DEWAN PERWAKILAN DAERAH


DALAM perjalanan sejarah, sejak pemerintahan orde lama, orde baru hingga masa transisi demokrasi, aspirasi masyarakat daerah sepertinya nyaris terabaikan. Bahkan pemerintah pusat sering menganggapnya sebagai penghambat pembangunan negara kesatuan RI. Pada banyak kasus, akumulasi kekecewaan masyarakat daerah telah memicu konflik dan geliat gerakan lokal untuk memisahkan diri. Sebut saja misalnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Negara Riau Merdeka (NRM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Semua itu tak lebih bersumber dari adanya ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah.

Perubahan politik Indonesia yang ditandai reformasi 1998 telah memberikan angin segar bagi upaya penataan sistem politik Indonesia ke arah yang lebih demokratis. Di antara upaya penataan tersebut adalah reformasi ketatanegaraan, yaitu melalui perubahan atau amandemen UUD 1945.

Salah satu fokus penting dalam amandemen tersebut adalah menentukan pola ideal hubungan pusat-daerah atau desentralisasi. Dari hasil pembahasan di MPR-RI mengenai pola baru desentralisasi ini kemudian keluarlah paket UU Otonomi Daerah pada tahun 1999 dan pembentukan lembaga baru khusus untuk perwakilan daerah pada tahun 2001. Lembaga baru ini selanjutnya dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI).

Paket kebijakan tentang Pemerintahan Daerah yang waktu itu tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 ternyata belum beranjak jauh dan hanya berkisar seputar persoalan demokratisasi politik di level pemerintahan daerah semata. Bahkan, dalam banyak hal, UU ini telah memberikan peluang yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang di daerah. Demikian pula dengan hasil revisinya UU No. 34 tahun 2004 yang malah banyak menarik lagi peran daerah ke pusat.

Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah harapan baru bagi seluruh rakyat dan masa depan demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, melalui lembaga baru ini ruang aspirasi rakyat daerah dalam proses politik nasional masih bisa diperjuangkan dengan cara lain.

Tiap provinsi dari 32 region di Indonesia kini masing-masing memiliki empat anggota DPD, sehingga total wakil daerah se-Indonesia berjumlah sebanyak 128 orang. Hal ini berarti bahwa keanggotaan DPD tidak didasarkan atas jumlah penduduk (populasi) per provinsi. Dengan sistem seperti ini maka dipastikan bahwa DPD tidak didominasi oleh provinsi yang berpenduduk besar. Kebijakan yang demikian sungguh masuk akal dan baik karena telah menjamin keterwakilan daerah berbeda dengan DPR yang ditarik berdasarkan sistem proporsional jumlah populasi.

Kehadiran DPD sebagai badan legislatif ‘kedua’ tentunya perlu mendapatkan apresiasi positif dari semua pihak sebagai langkah penting dalam menata sistem pemerintahan yang demokratis. Lembaga ini sangat terkait dengan desakan dan keinginan untuk lebih meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional; serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah.

(Sumber: "Menapak Tahun Pertama: Laporan Pertanggungjawaban intsiawati Ayus, Anggota DPD-Ri Daerah Pemilihan Riau," Proklamasi Publishing House, Jakarta: 2005)

Masa Kerja Pimpinan DPD Dipersingkat

Jakarta, Kompas-Dewan Perwakilan Daerah tengah menyempurnakan peraturan tata tertibnya. Salah satu usulan yang berkembang, ada keinginan memperpendek masa kerja pimpinan DPD dari semula lima tahun menjadi 2,5 tahun. Pimpinan Panitia Ad Hoc dan pimpinan Alat Kelengkapan, yang berjumlah 30 orang, ingin dikocok ulang.

Panitia Perancang Undang-Undang DPD, yang menangani perubahan tatib, membenarkan adanya sejumlah usulan tersebut. "Salah satu usulan yang masuk memang menghendaki masa kerja pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun," kata Wakil Ketua PPUU Intsiawati Ayus (DPD Riau), Rabu (29/6).

Selain masa kerja pimpinan DPD yang dipersingkat, lanjut Intsiawati, masa kerja pimpinan Panitia Ad Hoc maupun pimpinan Alat Kelengkapan juga diusulkan dipersingkat, yaitu menjadi satu tahun. Tujuannya untuk memberi kesempatan pada semua anggota untuk memimpin, ucapnya.

Anggota DPD dari Maluku Utara Juanda Bakar adalah yang mengusulkan adanya perpendekan masa kerja Pimpinan DPD itu. Dia berpendapat, hal ini penting untuk memberi kesempatan pada anggota lain. Penggantian pimpinan DPD pun tidak diatur dalam undang-undang, tapi sepenuhnya ditentukan oleh Tata Tertib DPD sendiri. Siklus penggantiannya pun tidak harus sama dengan siklus pergantian pimpinan pemerintahan.

Pimpinan PAH juga ada kecenderungan untuk dipilih setiap satu tahun, lalu mengapa pimpinan DPD harus dipilih setiap lima tahun, tandasnya.

Wakil Ketua DPD Irman Gusman (Sumatera Barat) yang dihubungi terpisah mengaku juga sudah mengetahui adanya usulan tersebut. Tapi dia yakin, usulan itu tidak akan diterima oleh rapat paripurna DPD. Usulan itu hanya dari satu orang dan jauh dari laku, ucapnya. Dia menduga usulan itu muncul karena ketidakpuasan. Saya sih senang-senang saja, tapi itu usulan minoritas, tandasnya. Soal usulan pemilihan PAH dan alat kelengkapan setiap satu tahun sekali, Irman berpendapat hal itu mungkin dilakukan. (Kompas - 30 Juni 2005)

Investasi Migas Sarat Masalah di Daerah

Jakarta, Kompas- Sejumlah permasalahan yang terkait dengan tuntutan daerah berpotensi menjadi hambatan bahkan ancaman bagi kelangsungan investasi sektor minyak dan gas. Permasalahan itu mencuat karena keinginan daerah memperoleh pendapatan dari kegiatan investasi migas.

Berbagai permasalahan di daerah diutarakan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rapat kerja antara Panitia Ad Hoc II DPD dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Selasa (14/6) di Jakarta.

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Panitia Ad Hoc II Kasmir Tri Putra itu terungkap pula kekhawatiran soal perundingan perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu, Jawa Tengah, yang dinilai berpotensi menimbulkan persoalan baru.

Daerah migas yang telah memiliki persoalan antara lain Garut dan Indramayu (Jawa Barat) serta Riau.

Anggota DPD Arif Nata Diningrat mengemukakan adanya tuntutan Pemerintah Kabupaten Garut yang meminta bagi hasil dari kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan asal Amerika Serikat, ChevronTexaco. Alasan pihak daerah, Garut kaya dengan sumber energi panas bumi tetapi masih termasuk daerah tertinggal dari ukuran ekonomi rakyatnya.

Dia juga mengemukakan masalah tuntutan pemerintah daerah Indramayu untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan pengelolaan migas. Bahkan, pemerintah daerah Indramayu telah menerbitkan peraturan untuk mengenakan pajak bagi setiap kegiatan pengelolaan migas.

Arif menambahkan, peraturan daerah Indramayu itu sudah dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Maret 2003. Namun, Mahkamah Agung kemudian memenangkan pemerintah daerah Indramayu.

Anggota DPD M Jum Perkasa mengemukakan, dana bagi hasil yang dikeluhkan setiap pemerintah daerah muncul karena dana tersebut selalu terlambat turun. Keterlambatan pencairan dana bagi hasil terjadi karena Departemen ESDM juga terlambat menyerahkan data ke Departemen Keuangan.

Bagi hasil ini dinilai bisa menimbulkan persoalan karena biasanya investor yang menjadi sasaran kemarahan daerah. Pemerintah daerah sering menekan pemerintah pusat karena dana bagi hasil migas sangat dibutuhkan untuk membiayai anggaran belanja daerah.

Dalam kesempatan itu anggota DPD Intsiawati Ayus mengingatkan pemerintah untuk tidak serta-merta meluluskan permintaan daerah untuk mengelola lapangan minyak yang dikembalikan investor. Alasannya, pengelolaan wilayah kerja migas membutuhkan keahlian agar memberikan keuntungan, sementara daerah tidak memiliki ketersediaan sumber daya tersebut.

Intsiawati mencontohkan kasus Blok CPP di Riau. Setelah dilepas PT Caltex Pacific Indonesia, blok tersebut dikelola PT Bumi Pusako Siak yang merupakan perusahaan milik pemerintah daerah dan Pertamina.

Menurut berita Kompas sebelumnya, produksi minyak di Blok CPP itu menurun pascapenyerahan tersebut.

Dia menyebutkan ada indikasi bahwa Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Riau, juga berniat menguasai Blok MFK yang juga akan dilepas Caltex. "Sangat sayang, saya tidak ingin penyakit di Siak akan menjadi penyakit di Rokan Hulu karena daerah operasi Caltex diserahkan kepada daerah. Bagaimana jangan sampai produksi turun," ujar Intsiawati.

Proses panjang

Menanggapi persoalan daerah itu, Purnomo menegaskan tidak ada undang-undang yang mendasari daerah pengolah migas mendapat bagian, kecuali daerah penghasil migas. Meski demikian, Purnomo menyatakan belum mendengar putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan pemerintah daerah Indramayu.

Purnomo pun mengakui proses penghitungan dana bagi hasil migas untuk daerah sangat panjang. Namun, menurut Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan, wakil daerah selalu diikutsertakan dalam penghitungan jumlah minyak yang dieksploitasi. "Tidak mungkin daerah tak mengetahui proses perhitungan dana bagi hasil," katanya.

Masalah di Blok Cepu

Kemungkinan munculnya persoalan tuntutan penyertaan daerah pada wilayah kerja migas Blok Cepu disinggung anggota DPD Budi Santoso. Bahkan, jika daerah disertakan dalam Blok Cepu, kemungkinan akan terjadi rebutan antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur.

Purnomo mengatakan, daerah dipastikan akan mendapatkan kepesertaan (interest) 10 persen dalam Blok Cepu. Sebelumnya seluruh interest diserahkan kepada PT Pertamina, tetapi sesuai dengan undang-undang migas yang baru, daerah bisa mendapatkan interest atau kepemilikan.

Purnomo mengakui, pemerintah memang belum memutuskan pemerintah daerah mana yang akan mendapatkan interest 10 persen. Kalau berpatokan pada wilayah kerja, yang mendapatkan interest adalah Bojonegoro, Jawa Timur. Namun, lapangannya sendiri ada di Cepu, Jawa Tengah.

"Kami belum bisa mengatakan pasti 10 persen jatuh ke mana, masih akan dibicarakan dengan Departemen Dalam Negeri. Wilayah administrasi dan wilayah pertambangan harus dipertimbangkan," ujarnya.

Sebelumnya juru bicara tim negosiasi pemerintah, Rizal Mallarangeng, mengatakan, tim negosiasi perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu sedang mengkaji kemungkinan penetapan komposisi saham di Blok Cepu sebesar 45 persen buat Pertamina, 45 persen buat ExxonMobil, dan sisanya 10 persen buat pihak pemerintah daerah. Komposisi itu masih terus didiskusikan dengan pihak ExxonMobil.

Pasokan BBM tersendat

Dari Surabaya dilaporkan, kemarin pasokan premium dan solar di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Surabaya dan Lamongan masih tersendat. Hal ini terjadi sejak dua pekan lalu.

Memang tidak semua SPBU mengalami kehabisan stok bahan bakar minyak (BBM).

General Manager PT Pertamina Persero UPMS V Hariyoto Saleh mengatakan, kelangkaan pasokan BBM di sejumlah SPBU sudah diatasi. "Tersendatnya pasokan BBM terjadi akibat keterlambatan tanker. Selain itu, dana subsidi BBM dari pemerintah kepada Pertamina sejumlah Rp 76,5 triliun, jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan di APBN sebesar Rp 19,5 triliun, belum turun. Hal ini yang membuat Pertamina tidak bisa melakukan pembelian minyak sehingga stok nasional menipis dari 24 hari menjadi 18 hari saja," ungkapnya. (LIA/NUT/dot/boy)

Investasi Migas Sarat Masalah di Daerah



Jakarta, Kompas- Sejumlah permasalahan yang terkait dengan tuntutan daerah berpotensi menjadi hambatan bahkan ancaman bagi kelangsungan investasi sektor minyak dan gas. Permasalahan itu mencuat karena keinginan daerah memperoleh pendapatan dari kegiatan investasi migas.



Berbagai permasalahan di daerah diutarakan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rapat kerja antara Panitia Ad Hoc II DPD dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Selasa (14/6) di Jakarta.



Dalam rapat yang dipimpin Ketua Panitia Ad Hoc II Kasmir Tri Putra itu terungkap pula kekhawatiran soal perundingan perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu, Jawa Tengah, yang dinilai berpotensi menimbulkan persoalan baru.



Daerah migas yang telah memiliki persoalan antara lain Garut dan Indramayu (Jawa Barat) serta Riau.



Anggota DPD Arif Nata Diningrat mengemukakan adanya tuntutan Pemerintah Kabupaten Garut yang meminta bagi hasil dari kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan asal Amerika Serikat, ChevronTexaco. Alasan pihak daerah, Garut kaya dengan sumber energi panas bumi tetapi masih termasuk daerah tertinggal dari ukuran ekonomi rakyatnya.



Dia juga mengemukakan masalah tuntutan pemerintah daerah Indramayu untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan pengelolaan migas. Bahkan, pemerintah daerah Indramayu telah menerbitkan peraturan untuk mengenakan pajak bagi setiap kegiatan pengelolaan migas.



Arif menambahkan, peraturan daerah Indramayu itu sudah dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Maret 2003. Namun, Mahkamah Agung kemudian memenangkan pemerintah daerah Indramayu.



Anggota DPD M Jum Perkasa mengemukakan, dana bagi hasil yang dikeluhkan setiap pemerintah daerah muncul karena dana tersebut selalu terlambat turun. Keterlambatan pencairan dana bagi hasil terjadi karena Departemen ESDM juga terlambat menyerahkan data ke Departemen Keuangan.



Bagi hasil ini dinilai bisa menimbulkan persoalan karena biasanya investor yang menjadi sasaran kemarahan daerah. Pemerintah daerah sering menekan pemerintah pusat karena dana bagi hasil migas sangat dibutuhkan untuk membiayai anggaran belanja daerah.



Dalam kesempatan itu anggota DPD Intsiawati Ayus mengingatkan pemerintah untuk tidak serta-merta meluluskan permintaan daerah untuk mengelola lapangan minyak yang dikembalikan investor. Alasannya, pengelolaan wilayah kerja migas membutuhkan keahlian agar memberikan keuntungan, sementara daerah tidak memiliki ketersediaan sumber daya tersebut.



Intsiawati mencontohkan kasus Blok CPP di Riau. Setelah dilepas PT Caltex Pacific Indonesia, blok tersebut dikelola PT Bumi Pusako Siak yang merupakan perusahaan milik pemerintah daerah dan Pertamina.



Menurut berita Kompas sebelumnya, produksi minyak di Blok CPP itu menurun pascapenyerahan tersebut.



Dia menyebutkan ada indikasi bahwa Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Riau, juga berniat menguasai Blok MFK yang juga akan dilepas Caltex. "Sangat sayang, saya tidak ingin penyakit di Siak akan menjadi penyakit di Rokan Hulu karena daerah operasi Caltex diserahkan kepada daerah. Bagaimana jangan sampai produksi turun," ujar Intsiawati.



Proses panjang



Menanggapi persoalan daerah itu, Purnomo menegaskan tidak ada undang-undang yang mendasari daerah pengolah migas mendapat bagian, kecuali daerah penghasil migas. Meski demikian, Purnomo menyatakan belum mendengar putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan pemerintah daerah Indramayu.



Purnomo pun mengakui proses penghitungan dana bagi hasil migas untuk daerah sangat panjang. Namun, menurut Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan, wakil daerah selalu diikutsertakan dalam penghitungan jumlah minyak yang dieksploitasi. "Tidak mungkin daerah tak mengetahui proses perhitungan dana bagi hasil," katanya.



Masalah di Blok Cepu



Kemungkinan munculnya persoalan tuntutan penyertaan daerah pada wilayah kerja migas Blok Cepu disinggung anggota DPD Budi Santoso. Bahkan, jika daerah disertakan dalam Blok Cepu, kemungkinan akan terjadi rebutan antara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur.



Purnomo mengatakan, daerah dipastikan akan mendapatkan kepesertaan (interest) 10 persen dalam Blok Cepu. Sebelumnya seluruh interest diserahkan kepada PT Pertamina, tetapi sesuai dengan undang-undang migas yang baru, daerah bisa mendapatkan interest atau kepemilikan.



Purnomo mengakui, pemerintah memang belum memutuskan pemerintah daerah mana yang akan mendapatkan interest 10 persen. Kalau berpatokan pada wilayah kerja, yang mendapatkan interest adalah Bojonegoro, Jawa Timur. Namun, lapangannya sendiri ada di Cepu, Jawa Tengah.



"Kami belum bisa mengatakan pasti 10 persen jatuh ke mana, masih akan dibicarakan dengan Departemen Dalam Negeri. Wilayah administrasi dan wilayah pertambangan harus dipertimbangkan," ujarnya.



Sebelumnya juru bicara tim negosiasi pemerintah, Rizal Mallarangeng, mengatakan, tim negosiasi perpanjangan kontrak ExxonMobil di Blok Cepu sedang mengkaji kemungkinan penetapan komposisi saham di Blok Cepu sebesar 45 persen buat Pertamina, 45 persen buat ExxonMobil, dan sisanya 10 persen buat pihak pemerintah daerah. Komposisi itu masih terus didiskusikan dengan pihak ExxonMobil.



Pasokan BBM tersendat



Dari Surabaya dilaporkan, kemarin pasokan premium dan solar di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Surabaya dan Lamongan masih tersendat. Hal ini terjadi sejak dua pekan lalu.



Memang tidak semua SPBU mengalami kehabisan stok bahan bakar minyak (BBM).



General Manager PT Pertamina Persero UPMS V Hariyoto Saleh mengatakan, kelangkaan pasokan BBM di sejumlah SPBU sudah diatasi. "Tersendatnya pasokan BBM terjadi akibat keterlambatan tanker. Selain itu, dana subsidi BBM dari pemerintah kepada Pertamina sejumlah Rp 76,5 triliun, jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan di APBN sebesar Rp 19,5 triliun, belum turun. Hal ini yang membuat Pertamina tidak bisa melakukan pembelian minyak sehingga stok nasional menipis dari 24 hari menjadi 18 hari saja," ungkapnya. (LIA/NUT/dot/boy)

DPD Minta Pemerintah Formulasikan Peralihan Lapangan Eks Caltex

**

Arin Widiyanti - detikFinance

Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) minta pemerintah pusat membuat formula peralihan lapangan minyak Bumi Siak Pusako eks Caltex di Riau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

"Bumi Siak Pusako dalam masa peralihan perlu disikapi pemerintah pusat karena kabupaten, provinsi dan dinas menuntut bagian. Ini menjadi preseden karena mengklaim satu sama lain, lalu yang berhak siapa?" kata Intsiawati Ayus, anggota DPD Riau saat raker Panitia Ad Hoc II DPD dengan Menteri ESDM, di Gedung DPR/MPR Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (14/6/2005).

Formula bisa berbentuk UU atau setidaknya Keppres sehingga terjadi kesepahaman dan ada perhatian dari pusat.

Dia menjelaskan, lapangan Bumi Siak Pusako yang merupakan eks Caltex dialihkan karena adanya UU otonomi daerah. Jadi daerah punya kekuatan mengelola sumber daya energi dan mineral di daerahnya.

"Saya dengar ada sharing kabupaten sebesar 70 persen dan pemerintah provinsi 30 persen. Namun dengan ini saya tidak melihat ada keharmonisan di antara mereka," kata Intsiawati.

Menurutnya, peralihan tersebut merupakan tongkat estafet dari pusat ke daerah, seharusnya ada bimbingan yang tidak melampaui kewenangan daerah. "Jadi semua aspek peralihan formulanya tetap disepakati bersama," kata dia.

Intsiawati meminta adanya fungsi pengawasan dari pusat karena ternyata pemulihan daerah eks Caltex tidak dikerjakan secara profesional. Jadi sangat mubazir jika tidak dimanfaatkan.

Menanggapi hal tersebut, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantioro mengatakan, kalau sudah business to business maka partisipasi interest pemerintah tidak ikut lagi. Alasannya, masalahnya bukan kebijakan, tetapi uang. "Karena ini bukan masalah kebijakan tapi UUD, ujung-ujungnya duit," komentar Purnomo. (mar/)

Sejumlah Kegiatan Akan Semarakan Helat Melayu Serumpun

BENGKALIS, Riau Online Sehubungan dengan dilaksanakan pertemuan Pemimpinan Adat Melayu Serumpun se-ASEAN ke III di Kota Bengkalis pada 1-7 Mei mendatang, selaku tuan rumah Kabupaten Bengkalis telah menyusun berbagai agenda kegiatan yang bakal ditaja pada helat yang mengambil tema: "Memartabatkan Adat Melayu Serumpun" tersebut.

Demikian dijelaskan Bupati Bengkalis Drs H Syamsurizal MM kepada sejumlah wartawan di pelabuhan speed boat Pemkab di Sungai Bengkel Bengkalis sebelum berangkat mendampingi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Riau Intsiawati Ayus SH MHum dan rombongan melakukan kunjungan kerja ke Desa Bandul (Kecamatan Merbau).

Adapun agenda kegiatan yang dimaksudkan orang nomor satu di Negeri Junjungan tersebut diantaranya pawai adat, seminar/dialog adat, pameran/bazar budaya Melayu, lomba permainan rakyat. "Selain itu juga akan dilaksanakan pagelaran seni budaya Melayu serta acara penganugerahan adat dan kenduri adat," jelas Syamsurizal.

Saat ditanya wartawan siapa saja yang bakal memperoleh penganugerahan adat tersebut, Syamsurizal mengatakan bahwa setakat ini dirinya belum tahu. "Mohon maaf. Saya betul-betul belum mengetahuinya. Karena penganugerahan adat ini sepenuhnya menjadi otoritas lembaga adat, maka sebaiknya teman-teman pers langsung mengkorfirmasikannya dengan para pengurusnya LAM Bengkalis. Sejauh ini saya memang belum memperoleh informasi dari mereka tentang siapa saja yang akan memperoleh anugerah dimaksud," jelas Syamsurizal, menyarankan.

Meskipun demikian, menurut informasi yang berhasil setidaknya ada dua nama yang dapat dipastikan bakal memperoleh anugerah adat dari LAM Bengkalis tersebut. Dari dalam negeri diantaranya Gubri HM Rusli Zainal SE. Sedangkan dari luar negeri Menteri Besar Malaka, Datuk Rustam Ali.

Sebelum itu, saat dihubungi secara terpisah Koordinator Seksi Pameran Budaya dan Bazar pertemuan Pemimpin Adat Melayu Serumpun Drs H Burhanuddin MM mengatakan bahwa materi yang bakal ditampilkan dalam pameran dan bazar tersebut nantinya akan sangat kental dengan nuansa Melayunya.

Untuk itu menurutnya, sebagai penanggungung jawab kegiatan ini, pihaknya sudah menyarankan dan sangat mengharapkan kepada seluruh para peserta pameran dan bazar untuk dapat menampilan materi-materi yang memiliki nilai budaya Melayu tradisional yang berasal dari daerah masing-masing. Termasuk juga kepada para peserta dari luar negeri.

"Sesuai maksud dan tujuan serta tema helat ini, kita mengharapkan melalui pameran dan bazar tersebut para pengunjung dapat memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang segala sesuatu yang berkaitan budaya Melayu. Baik itu yang berasal dari daerah lain di luar Kabupaten Bengkalis maupun yang berasal dari luar negeri," jelas Boy, begitu Ketua Bappeda Bengkalis ini akrab disapa.(ms)

More

Find Us On Facebook

Kontak Kami

Nama

Email *

Pesan *

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.